musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Monday, December 15, 2008

Risalah Cinta untuk Layla










Batam Pos, Sunday, 06 April 2008



Cerpen Ahmad David Kholilurrahman
*



Layla
,

Dari jauh masih terbayang daku pada gemerlap kotamu. Malam-malam seperti tak pernah tidur. Seolah susah memberi 'sempadan' siang-malam. Siang serupa malam, malam sepadan siang. Hiruk-pikuk masih teringat diambal pikirku, ketika daku sampai dikotamu mencari persinggahan dalam safar panjangku.

Kukenang petang yang tenang. Matahari semakin memberat ke barat. Kakiku terhenti di kotamu. Telingaku menangkap gemercik nafoura, simbahan air sejuk berombak menjilat kaki pualam pelataran Jami'. Mulanya, kubayangkan ramai sekawanan burung dara mematuk remah-remah roti sepanjang plasa kotamu.

Petang itu aku lelah nian. Haus dahaga menyerbu kerongkonganku. Lilitan lapar menerkam hebat. Entah berapa hari aku 'puasa' sepanjang perjalanan jauh. Aku sekadar bertumpang barang semalam dua malam dikotamu. Kupikir, dapatlah merebah litak diserambi Jami'. Iya, rehat menyegar-bugarkan tubuh.

Layla,

Sampailah suatu hari, ketika kau pergi bersama keluargamu melalui setapak jalan samping Jami. Kata orang-orang ramai;"Tuan sekeluarga itu tengah berbelanja di pasar?"
Kudengar seorang saudagar menyambut ramah:"Ya Sidi, ahlan wa sahlan, ayo mari ke sini menengok barang-barang perniagaan kami".

Ketika aku tengah mencari upah untuk membeli makanan. Bersimbah keringat memikul karung-karung rempah dan obat-obatan.

Mungkin, lantaran daku pengembara jauh. Jarang kupikir untuk memberi sambutan berlebihan, seperti kaum bangsawan yang datang digelanggang mata orang ramai. Beriring hulubalang dan pengawal yang menunda kesibukan orang senegeri. Aku diajarkan untuk menghargai siapa pun sepatutnya saja. Tak boleh berlebihan, apalagi berlaku seperti 'budak' pada 'majikannya'.

Boleh jadi keluargamu sangat merah padam atas tingkahku. Seorang hina kelana tak tahu diri, memberi penghormatan sekedarnya saja pada kaum terhormat. Aku tak tahu, bahwa dikotamu, terdapat tingkatan masyarakat yang dibentuk sejak turun-temurun. Kupikir, tradisi aneh yang dipelihara para kaum lapuk.

Layla,

Aku pun lancang budi pada keluargamu. Hanya berlaku biasa-biasa saja. Tak ada penghormatan berlebihan yang kuberikan. Walau dengan sangat santun kujunjung adat-istiadat negerimu. Jika tahu bahwa kau terlahir dalam kaum terpandang. Mesti ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Aku tak bakal menumpang singgah bermalam dikotamu. Cuma ketika petang itu aku sudah kepayahan, haus-dahaga mengurungku berhari-hari. Sedang kotamu yang terdekat kucapai.

Seandainya, aku memilih terus berjalan. Entah apa yang bakal terjadi? Yang jelas aku tak bakal kebetulan mengenalmu. Meniti lorong-lorong tua kotamu. Menikmati bangunan purba yang dibangun entah berapa abad? Kota yang terus bergadang siang-malam. Seperti yang kukatakan diawal tadi:"Susah membubuh sempadan siang-malam?".

Seandainya, aku tak lancang berani meminta seteguk air pada gadis kesayangan Tuan terhormat. Niscaya, aku tak bakal menyingkir jauh dari kotamu. Setelah ditolak-tampik, sambil terpekik menghalauku keluar ke pintu gerbang negerimu. Seperti pesakitan aku diarak anak-anak kecil. Dihalau seperti layak binatang saja. Seperti inikah nasib para pengembara asing yang tengah bertumpang singgah?

Layla,

Dalam kesusahan penderitaan. Aku menghibur diri, menguat-nguatkan hati. Terlintas kisah para kaum terdahulu. Bukankah para Nabi menerima perlakuan yang lebih parah dariku. Bukankah para Alim-Ulama' pernah mendekam di balik jeruji penguasa durhaka? Bukankah para pemuda Ahl al-Kahfi menyingkir jauh ke gua purba dan 'tertidur panjang' sampai runtuhnya tirani lalim?

Aku merasa kuat lantaran tak menyimpan dendam. Itulah sebabnya, aku tak mengeluh sepatah pun. Bagiku, perlakuan seperti ini bukan hal yang aneh dalam hidupku. Itulah sebabnya, aku tak pernah menyimpan airmata? Kau boleh percaya atau tidak, aku tak pernah menangis lantaran siksaan kaummu?

Pun, dengan hati lapang aku berjalan keluar kotamu. Biarlah aku 'terasing' jauh. Sampai kapan pun, aku tak pernah 'kalah' terhumban jatuh kelindan rindu. Taruhlah, aku memang tak memiliki kelas, apalagi berbangsa sepertimu. Rumahku rantau; beratap langit, berlantai bumi.

Layla,

Kau baca atau tidak risalahku. Aku telah memaafkan perlakuan penduduk kotamu. Suatu ketika nanti, aku yakin mereka akan meralat kesalahannya. Dan saat itu, aku tak bakal mungkin kembali kekotamu. Walau dialu-alu sepanjang jalan, selingkar plasa kota dan dijamu siang-malam.

Cuma, satu saja yang kuharap padamu. Ajarkan pada kaummu, terutama kaum perempuan. Bahwa betapa ganasnya fitnah diujung lidah. Ketajaman lidah mampu menyarung pedang, juga dapat mengobar perang. Tak selamanya lelaki asing mengembara dari negeri jauh hina-dina. Sekali pun pakaiannya kumal berselaput debu, boleh jadi hatinya lebih teduh dari gemercik pancuran nafoura.

Baiklah, sebelum dawat yang kucicah kering. Aku hanya ingin mengatakan pada kaummu. Mungkin bernama Layla, Lamya', Nabila, Nawwal, atau siapa pun perempuan terhormat dikotamu:"Sesungguhnya cinta tak mengenal bangsa. Tak pernah memilih nasab. Tak pula mengukur roman airmuka!".

Cairo, 15 November 2007

Tulisan berupa artikel, esai, cerpen dan sajak dimuat di media tanah air. Juga dalam bentuk buku. Kini tengah menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar, Mesir. ben_kahlil@yahoo.com

1 Comments:

At September 21, 2010 at 8:32 PM , Blogger kak Zaza said...

saya buntu kan cerpen dari utusan malaysia..
udah banyak kali dicari, tp xda jgk..bantu.....

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home