Sajak: Sesudu Murung, Sepinggan Menung
I/
Mungkin, Majnun-Layla
Seperti luka yang tertusuk jatuh,
disiram asin garam,
Cuka cuaca,
Tetes limau.
Sahut orang ramai;
Lelaki itu perindu ulung,
Pun pemurung sulung.
Tapi, ada pula yang bilang,
Senyap tanpa berkata;
Dia majnun yang mencari Layla!
Sini, kubisikkan padamu seorang;
Dia memang terasing jauh,
Sejak laut menolak berlabuh,
Gelombang menghalau sauh,
Bintang jauh meredup rapuh.
II/
Kota Tua,
Pagi tadi dia menelusuri kota tua,
Pekat sejarah menyeduh aroma sastra.
Diantara laluan Korba-Kobba;
Deretan gedung-gedung tua,
Bercat kuning tembaga,
Tingkap usang,
Perabungan mengelupas.
Seperti retak musim cemas.
Mungkin, gugur pula kenangan orang Belgia,
Baron Van Imban, pun lepas-luncas sketsa arsitektural.
Membina al-Madinet as-Shams dipelupuk Cairo,
Dibaris awal tahun, seabad lampau.
III/
Plasa Sunyi,
Lalu-lalang menjelang ramai,
Menyemut mulut kedai pakaian,
Kios mainan kanak ditawar sepanjang jalan;
Boneka, balon, busa sabun dan kembang gula.
Harum roti terkapang meresuk udara.
Disini, tak pernah hidup tradisi khas kota seni;
Pelukis dan pemusik jalanan,
Menyaput kuas dan palet kanvas,
Merengek biola dan klarinet mengeras.
Tak tampak sekawanan burung dara,
Singgah memburu remah-remah roti diplasa kota.
Kedai Kopi,
Lalu perindu ulung singgah dikedai kopi,
Memilih duduk dipojok barat,
Menghadap ke arah jalanan.
Bersandar dikursi kayu separuh lingkar,
Taruh bekal merehat penat.
Memesan secangkir Ahwa Araby;
Kepul hangat hidangan qahwaji,
memenuhi ruangan bercampur aroma shisa
Pelan-pelan mengaduk lembut,
Sesudu murung, sepinggan menung!
Heliopolis, Cairo, 31 Oktober 2007
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home