musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Wednesday, February 18, 2009

Allahu Yarhamha Mak Cak Megawati binti H. Abu Bakar Ja'far

Allahu Yarhamha
Mak Cak Megawati binti H. Abu Bakar

Malam rabu tadi (18/02/2009), mataku susah sekali terpejam. Sudah kurebah badan dalam gulungan selimut tebal. Diluar, musim dingin sejuk menusuk dahsyat. Kaca jendela mengembun. Angin bertiup kencang, walau tak mengirim gulungan debu coklat pekat. Seperti pekan lalu, gumpalan debu memedihkan pupil mata menyelimuti langit Cairo dari pagi hingga petang.

Kurapal doa tidur, tiga surah al-Qur’an. Kubasuh bibir dengan zikir, mengingat lakuku selama dua puluh empat jam lalu. Aku merasa begitu hampa sekali. Menulis-mengarang seakan hanya memuas dahaga belaka. Tapi, setelah itu kebahagiaan jenis apa yang kukecap, keriangan macam mana yang kurasa?

Resah nian. Kelindan pikiran melintas tanpa henti. Berkeliaran keluar-masuk memenuhi ruang benak. Apakah aku mesti bangun menyisihkan selimut, meninggalkan kehangatan peraduan? Menulis-mengarang menyelesaikan esai sebagai hadiah buat sahabatku yang menikah sepekan lalu di negeri Tumasik (Singapore). Atau menyungkupkan sujudku ditengah malam gulita. Sementara kawan-kawan terlelap pulas dibawah selimut tebal.

Biasanya, kalau seperti ini, ilham memenuhi ruang imajinasiku. Bahkan pada waktu macam ini, aku menemui puncak resa (mood). Kerap-kali, serangkaian kreatifitasku terlahir dalam himpitan waktu, keterbatasan sarana, juga kepungan rindu-dendam entah pada apa dan siapa.

Kulayang pesan singkat pada seorang kawanku yang ‘bertunak’ menikah dengan salah-satu putri pimpinan pesantren disalah-satu kota di Timur pulau Jawa. Aku kadang rindu dengan nasehatnya, lalu kutulis seperti ini:

Assalam. Beri daku nasehat, kawanku! Penaku seolah hampa. Layla memenjaraku dalam kotanya, aku semakin terasing sekali. Wassalam”.

Tak sekerijap mata, HP ku menyuluh cahaya, terhidang balasan:
Aku harap layla terus mencintaiku, disaat cintaku telah memudar padanya”.

Aku ingat beberapa tahun lampau. Pernah suatu waktu, ketika dia masih menuntut ilmu di Al-Azhar, Cairo. Selepas bertandang ke kediamanku, dia meninggalkan selembar corat-coret diatas meja belajarku, ketika pulang dari luar flatt, aku menemui goresan memecut semangatku untuk terus menulis, dia melihat bakat luar biasa dalam huruf-hurufku.

Kucoba rehat memejamkan mata. Menjinjit alam pikiran pelan ke serambi tidur malamku. Aku dengar seperti suara orang mengingau. Kubangun kawan sebelahku. Katanya tak mengigau. Sebab, malam sebelumnya, aku terbangun mendengar suara orang seperti nazak. Astaghfirullah, ucapku. Suara kawanku yang mungkin mengigau itu lalu terdiam. Rupanya seorang kawan sampingku mendengar suara yang sama. Hanya saja, dia diam disangka semua penghuni kamar terlelap tidur.

Tiba-tiba tanganku meraih HP terletak dipangkal kepalaku. Sambil kabur mata, aku menerima kabar duka tentang Mak Cak dari adikku dikampung:

Asslm. Pagi ko jam 6 kurang makcak menghembuskan nafas terakhirnya lantaran sakit biasonyo. Tubuh mak cak yang ringkih, kurus-kering, disinar mata yang hampir redup. 2 hari lalu saya ke Jambi”.

Inna lillahi wa inna Ilaihi Raji’un!

Lalu kubalas sms adikku:”Sapo yang di Jambi ngadapnyo. Semoga keluargo semua bersabar dan ikhlas. Allahumma firglaha warhamha wa’afiha wa’fuanha”.

Juga kuucapkan ta’ziah pada anak-anak mak cak, yang dah kuanggap seperti saudara-saudariku sendiri. Juga pada kedua pamanku, seorang di Jakarta, satu lagi dipelosok timur Jambi diperusahaan kayu raksasa Tungkal Ulu.

Siapakah Mak Cak yang termaktub dalam kabar duka itu? Dia lah ayuk tertua dari emakku. Bagiku seperti ibuku sendiri. Kasih-sayangnya sedari kecil menangkup anak-kemenakannya. Sejak dikampung dulu, dalam kondisi kehidupan susah, mak cak dengan suaminya yang kupanggil uwak, adalah dua sosok yang mengasuhku dengan limpahan kekayaan hati.

Dia hadir membimbing adik-adiknya, termasuk emakku. Itulah kesyukuran yang tak pernah aku lupa luahkan pada Allah. Suasana kekeluargaan terjalin begitu hangat-akrab. Aku yakin, selain payung Datuk dan Nyaiku, peran mak cak dihadapan emak, paman dan bibi begitu besar.

Dia sudah jatuh sakit beberapa bulan sebelum aku pulang liburan musim panas tahun lampau. Diantara penjemput ada Datuk, nyai, emak, bapak, bibi, paman beserta anak-istrinya, dua adikku dan abang sepupu. Satu mobil kijang ditambah dua sepeda motor menjemputku. Namun, tak kutemukan sosok mak cak, ayuk tertua emakku.

Dirumah datuk, aku terkejut melihat sosoknya yang dulu gemuk berisi, berubah bertubuh ringkih, kurus-kering, cahaya mata memucat. Deraan penyakit menggerogoti tubuhnya. Kucium kedua tangannya, dia menciumku. Dia menangis ketika memeluk tubuhku. Seorang anak-kemenakan yang jadi musafir fakir menuntut ilmu berbilang tahun dinegeri asing.

Aku hadirkan keriangan dan keluarkan oleh-oleh. Kubentang cerita-cerita perjalananku dari negeri jauh. Selama beberapa hari kulihat agak enak perasaanya. Makannya dah mulai selera, meski belum lahap nian. Wajahnya pun lebih bercahaya. Pada emakku kukatakan, semoga mak cak lekas sehat kembali. Aku rindu hidangan masakannya. Seduhan kopi ternikmat yang dibuatnya. Alhamdulillah, anak-anaknya merawat mak cak penuh telaten.

Abang sepupuku anak kedua Mak Cak sengaja memutuskan berhenti kerja di Malaysia. Setelah bertahun-tahun membanting-tulang sedari usia muda. Belum lagi genap umur dua puluh, dia dah merantau sebelum bapaknya wafat. Selepas itu dia menanggung beban kehidupan keluarga sejak sebelas tahun silam.

Tanggung-jawabnya berat ukuran bujangan seusianya. Mencari nafkah, mengongkosi emak, kedua adik perempuan dan abangnya yang ketika itu masih menganggur. Aku kasihan melihat abang sepupuku ini, dalam umur tiga puluhan, roman wajahnya seperti menanggung beban serumah-layang. Kulihat kadang dia duduk termenung, sembari menyeruput kopi dan menghembus rokok filternya. Bapak dah wafat ke alam baka. Emak tengah sakit keras. Abang-adiknya satu pun belum berkeluarga.

Kadang-kadang, kami bercakap hingga jauh dini hari. Ditengah bungkusan gelap-gulita malam. Listrik di Jambi paling kurang mati tiga jam dalam sehari. Banyak hal kami otahkan. Maklum, aku dah bertahun-tahun tak pernah pulang kampung. Aku bertemu abang sepupuku di Kuala Lumpur sebelum merantau ke Mesir. Aku transit tiga hari empat malam dinegeri sekandung Melayu itu.

Setahun sebelum aku pulang liburan musim panas tahun lepas. Dia menawarku singgah di Malaysia dulu. Nanti, kita pulang serempak ke Jambi. Abang sepupuku ini baik hati. Tak tega melihat orang lain menderita. Tak jarang dia meluahkan isi-hatinya padaku. Melalui pendekatan sedikit ilmu agama, aku coba membantu memecahkan persoalan yang ditanggungnya.

Menjelang dua bulan sebelum kepulanganku, dia sudah pulang duluan. Lantaran emaknya sakit keras. Dia mau dekat berkhidmah pada emaknya. Merawat dan memantau langsung pengobatannya. Aku jatuh iba padanya. Tapi, jiwa abang sepupuku ini begitu kuat-tegar. Mungkin, sudah terbiasa sejak lagi berumur bujang kecil sudah menanggung beban maha berat. Terus-terang, aku banyak belajar dari semangatnya.

Setibaku di kota Jambi. Lima hari aku habiskan sebelum menuju kampung halamanku, Gurun Tuo. Aku sengaja mau menghibur hati mak cak. Kupikir, boleh jadi kedatanganku sedikit memberi pengaruh pada proses penyembuhan penyakitnya. Tubuhnya mesti beristirahat total. Tak diperbolehkan menanggung pekerjaan berat menyita tenaga dan pikiran. Aku bersyukur, semua anak kemenakan dan keluargaku memperhatikannya.

Jam satu siang WIB tadi (18/02/2009) jenazahnya tiba dikampungku. Sesampai dimandikan, dikafankan. Di sholat dan dikuburkan menjelang jam tiga petang tadi.

Terngiang-ngiang ucapannya ditelingaku, ketika memelukku hendak berangkat ke Cairo lagi awal november tahun lalu. Mungkin, ini akhir kali, katanya. Aku menengok matanya meleleh serupa mata datukku yang uzur dimakan usia tua. Kedua orang ini mengucurkan airmata paling dahsyat. Aku jawab:”Insya Allah, mak cak lekas sehat lagi! Berdoalah terus memohon kesembuhan pada Allah SWT".

Tentang mak cak. Dia lah sosok kedua selepas kedua orangtuaku yang menaruh kasih-sayang berlimpah padaku. Tiga tahun lamanya, dia merawat dan menjagaku ketika aku bersekolah menengah pertama di kota Jambi awal sembilan puluhan. Emak dan bapakku menitipku dirumah datukku di Jambi. Sedangkan yang menempati rumah itu, mak cak sekeluarga, paman dan sesekali datang datuk-nyaiku dari kampung.

Setiap pagi, mak cak yang menyiapkan minuman pagi, nasi goreng dan secangkir teh. Merawatku seperti merawat anak-anaknya yang lain. Semua anak-kemenakan pernah merasa asuhan ‘hangat’ tangannya. Juga adik-adik sepupuku yang ditinggal mati emaknya. Sepupu-sepupuku yang kecil-kecil ditinggal kerja emak-bapaknya.

Jadi, mana lah aku lupa jasa baiknya. Semoga Allah balas dengan naungan rahmat dan cucuran maghfirah-Nya pada mak cak tercinta. Aku mesti banyak-banyak baca doa tastbit, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW bagi yang wafat. “Allahumma firglaha warhamha wa’afiha wa’fuanha....”. Wallahu A’lam

Rabea Adawea, Cairo, 18 Februari 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home