musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Tuesday, September 29, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (1)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (1)

Ahmad David Kholilurrahman

Berkisahlah seorang lelaki separuh baya pada anak muda yang duduk takzim disampingnya. Mereka berdua duduk beralas sekeping papan dari kayu bulian tua berbantal sepasang puntat bulian tua jua. Menurut riwayat cerita datukku; Masjid Az-Zahir siap dibangun tahun 1925. Sedangkan tegak tiang pertamanya jauh sebelum itu. Perlu waktu sebulan untuk menggergaji secara manual sebatang tiang dari kayu bulian untuk tiang teras penyangga yang empat buah itu. Belum lagi mengumpulkan bahan-bahan rasuk-ramuan kayu-kayu yang lainnya. Tahun 1925 tertera di Kolam Masjid sebelah Laut, tepat setelah dinding-dinding Masjid tua itu terpasang lengkap. Jika masjid tua bertiang empat teras bulian tua setegak 40 meter, berdinding dan berlantai kayu, beratap genteng diambil tarikh siap dipergunakan pada tahun 1925 M. Berarti tahun ini, usia masjid ditepian sungai Tembesi yang mengalir lembut itu telah berumur 84 tahun.

Sejak kanak-kanak, jika berada diruang utama masjid itu, aku selalu memandang ke atas. Menjangkau pandangan ke arah empat buah tiang bulian yang menopang atapnya. Sembari memperhatikan burung-burung masjid yang biasa bersarang didekat mulut loteng disebelah timurnya. Cericit burung-burung makin menghebat, jika malam kelam keling dan tempiasan hujan menerpa sayap-sayap kecilnya. Aku seringkali tersenyum sendiri; "Hmmm, burung saja menghindar hujan, rindu mencari rumah berteduh dan bersuluh!".

Dulu yang kudengar tukang kayu dari Palembang yang merancang bangunan masjid 'makan ukuran' ini. Istilah 'makan ukuran' dilidah orang-orang Gurun Tuo untuk menyebut bangunan yang sanggam, sesuai kaidah ilmu seni bina bangunan, juga memang ukurannya pas dijangkau ilmu perhitungan matematis. Seujung kuku pun tidak ada rasuk dan perabungannya senjang-timpang. Secelah pun tak ada kisi-kisinya yang renggang, susunan dinding papan berkepit-kawin antara yang jantan dan betina. Dimasjid itu terdapat sepasang kolam wudhu untuk kaum lelaki di sebelah laut- bagian yang menghadap sungai. Dan kolam khusus perempuan sebelah darat-bagian yang menjauh dari sungai.

Arah mata angin bukan hanya delapan penjuru. Dikampungku delapan penjuru mata angin yang sudah lazim diketahui itu, ditambah lagi menjadi empat arah; Laut-Darat-Hulu-Hilir. Mereka tahu bahwa termaktub delapan arah mata angin dalam pelajaran ilmu bumi di SR dulu. Tapi, yang tertanam dibenak sejak kanak-kanak mereka selalu menyertakan empat arah geografis tersebut. Jadi, jangan sesekali, ada yang berani menghapuskan empat arah tersebut, kalau tak segan dihambur sumpah-seranah penduduk kampungku!

Lelaki separuh baya dikenal sangat piawai berceritera. Mulutnya ibarat pelabuhan, tempat berpangkal dan berlayar cerita. Yang aku heran, antrean kata-kata urut-tertib dalam ragam ceriteranya. Dia seperti memiliki 'kamus' perbendaharaan kata-kata. Tak semua kata-kata yang unik dikeluarkannya. Tak semua cerita, sembarangan dibentangnya. Menengok pada khalayak pendengarnya. Semakin ramai majelis pendengarnya, semakin memikat ceriteranya. Dulu, kami, aku dan saudara sepupuku memanggilnya Wak Nga'. Tempat favoritnya menayangkan kisah-kisah yang tak berjarang bersambung sampai bermalam-malam, adalah dibangku halaman masjid tua itu. Bangku Masjid- begitu kami biasa menyebutnya. Disitu markas kami kumpul. Jika malam membungkus gelap kampungku yang kepunan disimbah delau cahaya setrum listrik.

Kalau mau cari saudara-saudara sepupuku yang berjumlah hampir selusin bujang jantan gagah disitulah tempatnya. Biasanya, selepas makan malam mereka mengotah-bercakap-cakap panjang lebar dibangku tua itu. Sebagai lelaki, kami memiliki kebiasaan memasang sarung terselempang dileher. Bak pendekar silat kampung zaman dahulu. Kami duduk dilaman masjid, disekeping kayu bulian licin yang pecah disela-sela permukaannya. Agaknya, ribuan pantat yang mendudukinya, tak ubah amplas yang mengubah kasar serat menjadi halus licin. Belum lagi, tempias air hujan yang jatuh berderai dari sela-sela dedaunan pohon manggis yang menjulang diatasnya.

Bagi aku dan sepupuku, kehadiran Wak Nga' yang terhitung masih saudara sepupu emak-bapak kami terasa lain. Jemarinya yang kasar memilin sebatang rokok kretek tanpa filter itu. Dari saku kantong bajunya dikeluarkan cetuk hijau lumut- semacam mancis yang menyulut api rokoknya. Kumisnya yang dulu hitam, kini berwarna kuning pirang, mungkin disebabkan asap rokok kretek kebiruan yang dihembus mulut dan hidungnya menerpa kumis hingga berubah warna unik itu.

Malam ini dia menyalakan cerita baru. Tak perduli hasil rekaan atau khayalannya. Kami tetap menjadi pendengar setianya. Rasanya, mata kami tersangkut dibibirnya yang menghitam arang. Berdebar-debar menunggu jalan ceritanya yang tak jarang bersambung. Mirip khalayak pendengar dongeng seribu satu malam antara Syahrazad dihadapan Syahriar, Raja berhati rusak yang selalu menaruh curiga-cemburu, dan tak segan-segan membunuh perempuan tukang dongengnya keesokan paginya.

Malam bulan setengah hilang-timbul dibalik awan. Giliran sepupuku yang lain yang terkena giliran jadi tokohnya. Dia menokohkan sepupuku yang berambut lurus landak, berbadan tegap ramping sebagai polisi. Baginya sosok polisi idaman yang berani memberantas kejahatan sekaligus anti suap.

"Bayangkan, suatu hari, Wak Nga' ni nak singgah dikantor si Daniel. Tiba digerbang kantor kepolisian itu, barisan topi dinas berteter dipos jaga. Melihat topi tu saja, bukan main terbit perasaan aman dihati Wak Nga'. Bayangkan, jika dengan topi ini saja, masyarakat merasa aman, apatah lagi jika petugas yang muda-cakap itu terjun menjaga ketertiban masyarakat. Dua kali kata bayangkan, yang diulang-ulangnya dengan penuh tekanan intonasi, sudah cukup membawa pelayaran cerita ini bermula.

Tiba-tiba seorang polisi berpangkat rendah menghampiri Wak Nga', lalu bertanya:"Mau ketemu siapa, pak?" Tanya polisi itu tegas tapi sopan.

Bukan main Wak Nga' terasa bangga sekali. Belum ketemu dengan keponakan Wak Nga sendiri, Wak dah merasa dihormati. "Saya mau ketemu bapak Daniel?, bilang saja pamannya mau ketemu. Sebentar pak ya, silakan bapak duduk dulu. Polisi bawahan itu mengetuk pintu ruang atasannya, sembari menghormat tegap;

"Pak, ada tamu seorang bapak separuh baya mau bertemu bapak?, ujar polisi bawahan ituujar polisi bawahan itu mendahului dengan mengangkat miring tangan kanan ke sisi tebing pelipis kanannya.

"Oh ya, sebentar, saya akan menemuinya langsung". Polisi kepala itu sembari menutup gagang teleponnya, seketika bangkit-bingkas menuju pos depan itu.

Lalu, dengan tak disangka-sangka dia terpekik; "Oh, Wak Nga', apakabar? Dia cium hangat tangan Wak Nga', sembari memeluk tubuh tua Wak kamu ini". Pada bagian ini, lama mulut dan hidung Wak Nga' -sang layar tancap kami menarik napas dalam. Dalam remang-remang cahaya lampu dikerubung laron, aku menangkap beberapa kilau kristal airmata jatuh dipipinya yang tebal coklat.

Sampai dipenggal cerita ini, kami mengulum senyum. Dan kulirik ke samping sepupuku yang jadi tokoh polisi itu tersenyum-senyum kucing. Ada perasaan bangga, karena malam ini menjelma 'anak muda' –tokoh hero dalam ceritera versi sutradara hebat dikampungku.

Wak Nga' bukan main bangga nian. Apalagi itu disaksikan belasan anak buahnya yang berseragam dan bertopi rapi. Ketika hendak pulang, Wak Nga' disangunya ongkos dan tumpangan bawahannya yang menuju arah kampung kita. Sebelum, menutup pintu mobil itu, dia bercakap pelan;"Insya Allah awal bulan kelak, saya nak balik kampung, Wak!". Sekalian menjenguk sanak-keluarga yang masih bermukim dikampung.

Pada hari H itu. Wak Nga' menjadi orang yang paling sibuk. Istilahnya, kepala panitia dadakan. Perahu motor tempel dah Wak Nga' pesan dengan Mat Derus. Pokoknya, hari tu, jangan disewakan ke orang lain. Seharian untuk anak keponakanku yang nak balik kampung.

Kalau ada toke getah yang nak angkut-muat barang-barang perniagaan dari Jambi nian, jangan dihiraukan. Suruh cari perahu motor yang lain milik Bujang Jauhari atau Darazak.

"Hehehehehehe, suara tawanya terkekeh memecah ketunakan kami menyimak ceritanya". Duduk kami pun jadi melingkar dihadapannya. Kutengok sepupuku yang lain dah duduk selonjor diatas sandal jepitnya beralas tanah. Sedangkan yang empat orang lagi masih duduk setia bertopang dagu disisi kiri dan kanannya, sambil mencerap bagian yang paling ditunggu-tunggu;"Kisah seorang anak kampung menjadi polisi idaman, berani dan jujur. Memberantas kejahatan dan anti suap!".

"Terus Kak Nga', macam mana kelanjutan kisah tu? Tanya abang sepupuku yang tertua, sengaja memancing suasan kian makin marak. Abang sepupuku ini politisi tulen. Sejak zaman orde baru dia dah berpolitik. Tak pernah mau pindah partai, walau reformasi melahirkan ratusan partai-partai baru.

Diantara kami, dia lah yang paling tua. Dah bujang tua, kalau tak mau dilekat gelar bujang lapuk. Abang sepupuku yang paling tua ini tak memanggil Wak Nga, lantaran bapaknya bersaudara dengan emaknya Wak Nga'. Dia sendiri yang hanya memanggil 'Kakak' pada lelaki separuh tua, berbadan besar tinggi, berkumis kuning pirang, berambut ikal jagung itu.

Lalu, Kak Nga' –ujarnya sembari menjeling pada abang sepupuku ini, Kak Nga' sendiri yang meminjam kursi besar dirumah saudagar kaya dikampung seberang, untuk duduk ponakan didalam perahu motor tempel menyeberangi sungai Batang Tembesi yang terbentang ratusan meter itu.

Bagi Wak Nga' -berubah lagi panggilannya sambil menyapu pandangan ke arah kami;"Kehormatan seorang anak kemenakan adalah mesti disambut meriah, sebagai wujud kebanggaan mengangkat marwah kampung halaman kita yang sering dipandang sebelah mata ini".

Di rantau ini kelak, orang akan mengenang baik-baik, ada kepala polisi yang jujur, sederhana, berani dan anti suap. Semua cukong-cukong kayu habis ditangkapnya. Bahkan seorang wakil rakyat kabupaten yang 'bermain mata' dengan cukong kayu disikatnya. Walau bapak pejabat DPRD itu masih terhitung sekampung, Cuma terpisah sebatang sungai mengalir lembut. Bukankah asal-muasal penduduk kampung simpang itu dari kampung seberang sini juga!

Tak sadar kami terpukau hanyut dengan cerita itu. Terdengar 12 kali dentang jam tua dari masjid tua dikampung gelap tua itu. Pertanda tengah malam makin beranjak, suara binatang malam tak ubah lantunan zikir dan tasbih memuja-muji kebesaran sang Pencipta. Seperti sesyahdu aliran sebatang sungai dihadapan kami. Bias riak-riak kecil keperakan sesekali memantul dari sinangan rembulan merejuk-merajuk ke balik awan.

Bangku tua dari selembar kayu bulian tua berusia ratusan tahun itu adalah peninggalan buyut kami. Kawasan yang menjadi kebun buliannya itu, sampai sekarang disebut bulian. Keempat tiang utama penyangga atap masjid itu adalah diangkut dari kebunnya. Tiang paling anti rayap sedunia. Bahkan hingga berumur 84 tahun ini, keempat tiang itu masih tegak sanggam. Padahal banjir besar tahun 1955 yang hampir menenggelamkan separuh kawasan Jambi tak melapukkan tiang itu. Panas kemarau tahun 1980-an tak melekangkan seinci pun dari atapnya.

Aku menatap lama dari selembar gambar yang dimuat sepupuku dilaman jejaring sosialnya. Pada hari raya Idul Fitri sepekan lepas, mereka masih juga duduk mengotah diatas selembar papan bulian tua beralas sepasang puntat bulian tua, dilaman masjid tua, dan umur mereka pun mulai beranjak tua. Kuhitung, jumlahnya masih lengkap, kurang aku dan seorang sepupuku yang tengah mengembara dinegeri jauh. Yang tak pernah lupa pada sesap jerami di talang-umo, tak pernah lupa sepatah kata pun dari perbendaharaan bahasa orang kampung.

Padaku, sebulan yang lalu, dia mengatakan;"Bangku masjid itulah madrasah atau sekolah sebenarnya. Guru-guru kita bisa siapa pun, termasuk Wak Nga' guru cerita paling hebat. Nakhoda piawai memandu pelayaran cerita. Dimulutnya, cerita yang biasa-biasa saja jadi luar biasa. Pandai membaca situasi khalayak pendengar, menghubung-kaitkan dengan peristiwa yang tengah hangat. Dari yang sendu syahdu gugur airmata hingga riang gembira menerbitkan derai gelak-tawa".

Pencerita kami yang paling hebat. Guru kehidupan itu telah lama berpulang ke asal manusia. Sebelum wafat, dia masih sempat menulis kata-kata puitis dalam selembar buku. Siapa pun yang membacanya, tak urung didera kesedihan mendalam. Semacam ungkapan pertaubatannya, penyesalan paling rampus. Pun harapan untuk hidup lebih baik lagi sembari memberi makna kebaikan pada kehidupannya.

Itulah malam terakhir aku bercakap dengannya. Terjadi hampir sepuluh tahun lampau. Sebelum aku pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Menimba ilmu dari satu guru ke guru lain. Malam itu cuma kami berdua. Aku tak tahu kemana saudara sepupuku yang berjumlah selusin, yang biasanya rajin berselempang sarung sepanjang malam. Malam itu terasa dia semacam memberi nasehat dengan bingkai cerita jua. Namun, aku diam-diam menebak, bahwa ada seutas harapan agar ada seseorang yang mau meriwayatkan cerita-ceritanya. Kalau dia sudah tiada, riwayat ceritanya tetap ada. Jika dalam ceritanya terselip nasehat pembimbing jiwa, dari situ bermula mengalir amal jariyah baginya.

Rabea Adawea, Cairo, 29 September 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home