musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Friday, December 25, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (24)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (24)

Ahmad David Kholilurrahman

Akur Sepakat Anak-anak Pesirah “ Datuk Rajo Gedang”


"Sejatinya, bayangan cermin diri memantul kepada anak-anak jua!".

Begitu agaknya, filosofi yang terkandung dari kebesaran jiwa Buyutku, Haji Ja'far Shoefie yang bergelar “Datuk Rajo Gedang Tumenggung Dusun Tuo Nan Arif” jauh-jauh hari sebelum mengemban amanah Pesirah di zaman peralihan Belanda berbonceng sekutu. Sedari awal telah menanamkan ajaran didikan pada anak-anaknya, panduan hiudp akur-sepakat bersaudara dan gemar silaturrahim sekalian musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat. Teladan mulia itu sendiri, dia hadirkan pada pribadinya sendiri dan saudaranya sesama anak Shoefie bin Tengkin.

Buyutku, Guru Haji Ahmad Shoefie adalah adik sang Pesirah sendiri yang diongkosi pergi mengaji ke rantau Mekkah selama tiga tahun. Dia membuka hutan rimba tuya di Sungai Ale, Semuruk dan Bulian. Demi memikirkan nasib masa depan adik-adik dan anak-anaknya kemudian hari. Haji Ja’far Shoefie, tak ubah seorang ‘bapak’ bagi adik-adiknya sendiri. Setelah ditinggal wafat oleh ibunya, dalam usia masih muda juga. Sebagai anak lelaki tertua, dia memegang nakhoda kapal keluarga.

Sementara bapaknya, Shoefie bin Tengkin lebih sibuk mengurusi masyarakat dalam pengajaran mengaji ilmu perukunan. Ada sebagian pihak yang menilai bapaknya agak pemalas, karena tak mewarisi sebidang tanah pun pada anak-anaknya. Namun, pada zaman itu, beliau lebih suka bertekun-tekun mengajak khalayak ramai yang gemar mengadu ayam dan lalai waktu pergi ke surau kecil di hilir kampung untuk mengaji kitab perukunan di surau. Jauh sebelum masjid yang berusia hampir tiga perempat abad itu tegak sanggam.

Tunjuk-ajar didikan dari sang Pesirah Haji Ja’far Shoefie juga yang meresap dalam ke tulang sumsum anak-anaknya. Akur sepakat dalam bersaudara adalah perkara yang telah diterapkannya kepada saudara-saudaranya sendiri. Tak sedikit jasanya, dalam membantu adiknya, Haji Ahmad Shoefie belajar menuntut ilmu mengaji ke Masyayeikh Bilad al-Haramain. Juga dengan saudara-saudaranya yang lain, yang tetap bermukim di kampungku sendiri.

Termasuk, juga mengongkosi saudara sepupu dan anak-anaknya yang lain pergi naik haji dan belajar di Mekkah. Datukku sendiri, Haji Abu Bakar naik haji dan mukim di Mekkah selama tiga tahun dimasa bujangnya menjelang umur 20-an. Sayangnya, tak terlalu menumpu perhatian kepada bidang agama, lebih menyukai berdagang dan berkebun di kemudian hari setelah menikah dengan nyaiku Nacik binti Darasip. Tapi, ketekunan beribadah tak goyah, walau didera sakit sekali pun. Dan datukku bersaudara dikenal sebagai orang-orang yang gemar memakmur masjid tua di kampungku itu. Jika mereka adik beradik saja datang ke Masjid, cukup lah ramai jema’ah yang menegakkan sholat berjema’ah.

Ketika itu negeri Hijaz (Mekkah) masih dibawah kekuasaan Syarif Hussain bin Ali (1856-1931 M). Pada tahun 1924 ditumbangkan Ibnu Saud yang dibantu Inggris menumbangkan dan mengusir Syarif Husain dari Hejaz ke tanah pengasingan Siprus, lalu menegakkan kekuasaan di Amman, Jordania.

Pada mulanya, Syarif Husain adalah Gubernur Mekkah yang diangkat oleh Turki Utsmaniah tahun 1908. Lalu, memberontak kepada Turki Utsmaniah pada bulan juli 1908. Mengangkat diri sebagai penguasa Negeri Hijaz, terlepas dari kekuasaan Turki Utsmaniah. Dan pemberontakan selalu melahirkan pemberontakan yang lain. Sejarah itu juga menimpa dirinya sendiri di belakang hari kemudian.

“Negeri Hijaz (Mekkah dan sekitarnya) masih miskin, mengharapkan kedatangan jema’ah haji setiap tahun yang memberikan lapangan pekerjaan pada penduduk Mekkah!” Kata Datukku Haji Abu Bakar membuka cerita, sambil menegukkan kopi hitam A Tigo kesukaannya. Aku menggaruk punggung belakangnya.

“Kala musim badai padang pasir bertiup kencang, pepasiran menerbangkan apa saja. Memerihkan pupil mata dan terlihat, sejauh mata memandang, permaidani pepasiran coklat kuning-tua bergelombang, mungkin, seperti mau menghentakkan desakan dari perut bumi. Semacam pertanda bahwa kandungan hasil bumi yang tertanam di perut bumi tak beberapa lama waktu lagi akan keluar memancarkan emas hitam”.

“Apa emas hitam itu, datuk?” Tanyaku, lalu memandang ke arah dagu beliau yang ditumbuhi jenggot putih yang baru dicukur. Kopiah haji berlubang kecil-kecil seperti anyaman jaring jala itu menutupi kepalanya yang terlihat botak licin.

Setiap dua pekan sekali pada pagi jum’at. Pergi lah beliau ke Datuk Suwadi’ di hulu kampung. Kelak, ketika penglihatan Datuk Suwadi tak amat lagi, maka keponakannya, Wakcik Fakhrurazi sendiri yang mencukur botak rambut Amminya.

“Minyak bumi itulah yang berupa karunia Allah mendatangkan kemakmuran bagi kerajaan Saudi Arabia dan penduduknya hingga sekarang. Dan doa Nabi Ibrahim itu terkabul di kemudian hari.” Kata Datukku sambil memandang tajam padaku yang sedari tadi banyak tanya.

Anak kecil yang banyak tanya pada orang-orang tua di kampungku disebut “Onyol”. Ke-onyol-an ini pula yang menghantarkan aku ingin tahu banyak hal di laman kanak-kanakku yang semestinya lebih banyak bermain. Tapi, sikap ini ada sisi manfaatnya juga, membuatku ingat lekat pada cerita-cerita sejarah masa lampau yang jika tak dikisahkan akan lesap dimakan zaman. Cerita-cerita pusaka yang terkadang abai dipandang sebelah mata oleh sepupuku yang selusin itu.

Bagi buyutku Haji Ja’far Shoefie yang berperawakan tinggi besar. Berwajah tampan impian para gadis-gadis di zamannya. Ditambah lagi tutur kata yang sopan, lantang dan berwibawa.Kelantangan dalam berbicara atau pidato menurun kepada cucunya yang juga Guru kami Buya Abdullah Shoefie. Jika buyutku Ja’far Shoefie berbicara, seketika penduduk kampungku memandang hormat pada butir-butir bernas tutur nasehat dan tunjur ajarnya.

Dalam berpakaian sanggam rapi dan menawan. Kadang mengenakan kain sarung bugis yang ditenun dari bahan halus, bajunya yang rapi nampak macam orang Siak. Terkadang mengenakan baju teluk belanga ala Melayu. Jika berjalan dari jauh tercium semerbak harum minyak wangi yang dikenakannya. Pada Guru kami Wak Damiri menurun lah kebiasaan datuknya ini.

Buyutku tak suka penampilan asal-asalan. Apalagi ketika hendak menghadap wajah ke kiblat. Pantangan baginya mengenakan pakaian yang berbau keringat. Baginya, pakaian yang dikenakan untuk ibadah, mesti yang mencerminkan kebersihan badan dan hati. Memantulkan keindahan. Bukankah Allah itu Maha Indah, dan menyukai yang indah. Kebiasaan ini turun mewaris pada anak-anaknya yang berjumlah puluhan itu.

Dalam bekerja pun tak sudi hasil sembarangan asal jadi. Harus necis dan damis. Kala selesai bekerja di mana pun, perkakas peralatan mesti tersimpul rapi dan ditaruh kembali pada tempatnya. Dimana letak tangga, ambung, bunang, jala, sesap, cangkul, parang, pisau harus kembali pada tempatnya. Ibarat keris berpulang tampuk pada gagangnya.

Jika ada orang yang meminjam, mesti menjaga amanah barang pinjaman itu. Tepat tempat dan waktu kala menggembalikan pinjaman. Watak dan karakter buyutku Ja’far Shoefie adalah berjiwa besar, rajin beribadah, suka berdisiplin, telaten, hemat, amanah, jujur, bijak bertutur dan pandai mengatur.

Baju untuk pergi ke talang umo dan kebun lain. Baju untuk sehari-hari lain. Baju untuk ke tengah masyarakat juga lain. Apabila pulang dari luar, sesampai dirumah digantungnya baju yang berkeringat tadi diatas gantungan. Dibiarkannya angin mengeringkan keringat menyepuh bajunya. Pantangan Rajo Gedang menggantung baju basah keringat ke atas gantungan paku didinding. Dinding rumah harus nampak bersih. Dimarahnya anak-anaknya yang berani mengotori dengan coretan di dinding.

Adab sopan santun di majelis makan sangat ditekannya pada anak-anaknya sedari kecil. Duduk bersila yang rapi. Tak boleh duduk mencangkung sambil makan. Sendok dan pinggan tak usah berdenting. Pelan dan tenang. Makan jangan seperti dikejar musuh, nampak terburu-buru tak karuan.

“Ingat nian, kata bapaknya (Buyutku) yang tua dulu yang memulai mengambil pinggan. Baru disusul yang lebih muda sedikit hingga yang muda sekali. Jangan lupa, mulai dengan Basmallah dan doa makan!”. Begitu datukku mengisahkan didikan sopan-santun bapaknya. Sosok yang dipandang terhormat oleh Residen Belanda di Sarolangun.

Jika terjadi masalah yang musykil ditengah masyarakat, dia akan turun tangan dan memecahkannya dengan musyawarah. Memandang masalah dengan penuh pertimbangan dan kecermatan berpikir. Cerdas dalam menguraikan masalah sekaligus mencarikan jalan keluarnya. Ibarat menarik rambut dalam tepung. Rambutnya tertarik keluar, tepungnya tak terburai!

Bukan perkara mudah menanamkan didikan akur-sepakat bersaudara pada anak-anaknya yang lahir bukan dari rahim yang satu. Ketiga istri Pesirah Rajo Gedang bukan berasal dari Gurun Tuo, yang melahirkan belasan permata hatinya yang tumbuh rapat dalam selisih umur setahun-dua.

Antara yang abang, ayuk dan adik menaruh perasaan saling menghormati dan menyayangi. Saudara lelaki datukku yang tertua, Datuk Te Haji Ibrahim Ja’far menjadi tempat mengadu adik-adiknya. Sementara yang muda, seperti Datuk Haji Firdaus dan Datuk Hanafi Ja’far tak segan-segan nampak bermanja dengan abang-ayuknya. Jika mereka sedang berkumpul, datang lah ke rumah saudara perempuannya yang di hilir. Ke rumah Mok Sak dan Mok Nga. Yang di kemudian hari kelak, ketika sudah banyak saudara-saudara tua mereka berpulang ke rahmatullah. Datukku dan saudara-saudarinya yang masih hidup, berkumpul dirumah bapaknya yang dikerat dua ditempati abangnya yang alim pandai mengaji 17 tahun di negeri Mekkah, Datuk Haji Manshur Ja’far dan adik perempuan, Nyai Te Abasiah.

“Rumah tua orangtuanya ini dulu panjang bersambung. Kata datukku, zaman kanak-kanaknya dulu, jika berlari dari bagian laut ke darat, rasanya jauh sekali.” Datukku seperti tertegun dalam, mengingat bayangan masa kanak-kanaknya ketika mengasuh adiknya yang lahir tepat dibawahnya, Umar Ja’far yang wafat diusia kanak-kanak, diserang demam panas berhari-bermalam.

“Di malam hari, datuk menggendong adik datuk yang sakit itu. Badannya terasa panas membara. Dengan tali ambin kain panjang, datuk mengambilnya dari gendongan buyut perempuanmu, buyut Lathifah”. Kutengok kedua mata datukku berkaca-kaca mengkilau.

Zaman itu tidak lah banyak tabib. Walau buyutmu sendiri mantan Pesirah yang tentu masih ada pengaruh kuat dimata penduduk kampung serata sungai Batang Tembesi.

Adik datuk itu tak mau tidur. Demam panas menyerang dahsyat sekali. Lalu pada malam yang kesekian, wafatlah saudara datuk dalam usia kanak-kanak. Sedih nian, wajah buyutmu ketika itu. Aku tak tahan juga mendengar kisah datukku ketika itu. Pandangan datukku jauh menerawang ke masa kecilnya yang telah tertinggal jauh lampau.

Tak jarang aku menyaksikan antara abang-ayuk dan adik duduk akur sepakat bercerita tentang banyak hal. Terkadang mereka terkenang pada masa hidup ‘Pesirah’ ketika jayanya sebagai sosok berpengaruh serantau tepian Sungai Batang Tembesi dari Muaro Ketalo hingga Pauh.

Cerminan adab sopan santun terpantul jelas pada tutur kata Datuk Elok Haji Utsman Ja’far sebagai anak tertua Pesirah dari istri kedua, Buyut Lathifah (Pauh). Lihatlah bagaimana, datuk elok Haji Utsman Ja’far yang ahli ibadah dan wara’ itu memanggil Datuk Muk Haji Manshur Ja’far (adik kandung) dan KH. Nawawi Ahmad (adik sepupunya) dengan memanggil ‘Guru’, lalu menisbatkan kata ‘sayo’ pada dirinya. Kehalusan budi bahasa siapa yang dipantulkan sang jagoan silat yang ahli ibadah dan wara’ ini?

Datukku sendiri adalah sosok yang paling rajin menyambung tali silaturrahim. Sejak kecil, aku seringkali diajaknya mengunjungi abang-ayuk dan sepupunya yang lain. Dari situ lah, aku mengenal tali persaudaraan yang rajin dibinanya. Dan dari situ pula tumbuh minat merekam cerita-cerita pusaka yang akan usang, bila tak rajin dihikayatkan.

Jika datang Abang datukku, Guru Haji Manshur dari Jambi, maka datukku dan saudara-saudarinya yang lain datang menyongsong menanyakan kabar dan kesehatan sang Guru. Walau pun, Haji Manshur Ja’far adalah adik kandung dari Datuk Elok Haji Utsman Ja’far. Tapi, tengok macam mana adabnya memperlakukan orang alim berilmu? Kalau kini, kadang ada kaum saudagar yang baru kemarin sore naik peruntungan, kalangan berpangkat jabatan baru dua hari memegang kekuasaan, dengan tanpa segan berani memanggil nama guru-guru kami yang dalam ilmunya.

Tak ada yang memanggil nama pada yang lebih tua. Seingatku hanya Datuk Ning Bujang yang terkadang memanggil datukku dengan nama depannya, Abu. Datuk Ning Bujang yang namanya Haji Rasyid Ja’far ini adalah sosok pintar diplomasi yang panjang akal. Paman Kasyfun Nadzir adalah salah-satu anak lelakinya. Anak lelakinya ini adalah orang pertama kampungku yang menamatkan kuliahnya di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Jadi buah bibir penduduk kampungku semasa aku kanak-kanak dulu. Teladan penuntut ilmu yang khidmah pada kedua orangtuanya. Jika beliau pulang dari Mesir, sekurung-sekampung menyambutnya penuh rindu.

Lantaran didikan akur-sepakat bersaudara yang diwarisi dari buyutku Haji Ja’far Shoefie bersaudara yang juga dikekalkan mereka dalam kehidupan rukun damai adik-beradik. Sehingga tak ada anak-anaknya yang didengar bertingkah macam-macam. Apalagi sampai rebutan warisan. Lantaran jiwa akur-sepakat ditopang juga dengan silaturrahim musyawarah mengekalkan persaudaraan antar mereka bersaudara banyak yang lahir dari tiga rahim perempuan yang juga pandai menjaga sopan-santun dihadapan suaminya yang berjiwa besar. Pesirah yang menerbitkan rasa hormat di mata Residen Belanda yang berkedudukan di Sarolangun.

Didikan awal adalah dimula dari rumah-tangga. Apalagi adab sopan-santun diajarkan sedari kanak-kanak, tentu akan melekat hingga tua kelak. Hal yang paling sederhana yang nampak sepele, adalah tentang panggilan/sapaan perbasaan (perbasoan) Abang, ayuk, mok, adakah zaman sekarang, masih ada orang-orang yang menjaga rapat-rapat kehalusan budi bahasa itu?

Amat merugi lah, jika kini pada kalangan zuriat buyutku tak mau mengambil teladan mulia, akur-sepakat bersaudara, gemar silaturahim dan musyawarah dari sang Pesirah yang bergelar Rajo Gedang yang berkuasa dari Muaro Ketalo hingga Pauh yang apabila mudik-hilir di sungai batang Tembesi dikayuh Biduk Kajang Lako.

Betul lah apa kata pepatah Melayu dulu:”Budi bahasa menunjukkan bangsa?

Rabea Adawea, Cairo, 25 Desember 2009

(Bersambung)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home