musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Sunday, December 13, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (23)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (23)

Ahmad David Kholilurrahman

Mantan Pendekar yang Ahli Ibadah


Diantara jema’ah masjid tua yang berusia tiga perempat Abad itu, paling rajin ibadah itu adalah Datuk Elok. Namanya Haji Utsman Ja’far, yaitu saudara tertua datukku satu emak. Dia anak tertua dari perkawinan Haji Ja’far Shoefie dengan Lathifah binti Muhammad Rasyid, buyut perempuanku dari garis sebelah emak ini berasal dari Pauh. Sebelum menikah dengan Buyut Lathifah, buyutku yang pernah memangku jabatan Pesirah ini menikah dengan perempuan dari Sarolangun dan beroleh beberapa orang anak. Dan terakhir buyutku ini menikah lagi dengan perempuan dari Banten.

Di masa mudanya, Datuk Elok Haji Utsman Ja’far dikenal jago silat kampung. Salah-satu jenis dari warisan khasanah kebudayaan tradisional Melayu Jambi. Sosoknya wara’ dan taat ibadah. Sejak mudanya, Datuk Elok ini dikenal rajin menjalankan ibadah sunnah, seperti sholat Dhuha, puasa Senin-Kamis dan ibadah-ibadah lainnya. Menjauhi makan makanan yang Makruhaat, dibenci, berbau menyengat keras, sejenis petai, jering, kabau, bawang putih dan lain sebagainya. Tapi, beliau adalah penggemar berat sambal tumbuk asam segala asam. Dari Asam belimbing, tomat, mangga, kemang, macang, hingga asam rambai. Rasanya, kurang afdhal, kalau beliau makan tanpa disertai sambal tumbuk. Makannya lahap dan nikmat. Badannya sehat tegap. Tidak suka merokok. Itu pantangannya sejak muda!

Bahkan jauh sebelum menikah dalam usia 18 tahun dengan Nyai Hasnah binti Haji Ahmad Shoefie, saudari tertua dari datukku KH. Nawawi Ahmad. Istri Datuk Elok, Hasnah ini lebih dikenal panggilannya dengan Nyai Nut. Datuk Elok sudah tekun-tunak menjalankan ibadah-ibadah sunnah. Jangan ditanya perkara ibadah Mahdhah yang wajib, itu memang perkara yang selalu menjadi hati pikirannya sehari-hari. Ketunakan menjalani hidup beribadah ini dinikmatinya sampai akhir hayatnya. Dalam kondisi susah dan senang. Sukacita dan dukacita. Cerah dan hujan. Kering dan banjir sekali pun!

Menurut riwayat yang dituturkan datukku, bahwa "Abang Lok" nya ini adalah orang pertama yang berani menebang kayu aro besar dibelakang rumah yang ditempatinya. Kayu Aro itu begitu tinggi. Tempat bersarang segala macam makhluk; Buas dan jinak. Halus dan kasar. Dari binatang-binatang buas yang besar ganas sampai yang kecil jinak. Segala macam jenis burung-burung rajin singgah, panggung atraksi tupai. Arena bergelantungan kera, monyet, simpai, beruk. Sarang lebah, penyengat, tabuan. Tempat bertengger burung ganas semacam Elang, Celekai, Lang Kelok, hingga rumah berteduh Musang dan Harimau Dahan. Tak jarang harimau pun suka berteduh dibawahnya.

Bahkan, di zaman itu, kayu aro itu dianggap sarang setan dan hantu oleh penduduk kampungku. Kayu Aro termasuk jenis rumpun tanaman rambat atau sejenis benalu yang menumpang hidup dengan pohon-pohon besar. Lalu, rupa dan bentuknya yang menyelimuti pepohonan itu memakan humus tanah yang diserap oleh pepohonan besar itu. Lama-kelamaan, Kayu Aro mengalahkan dan mematikan pepohonan tempatnya bertumpang gayut semula.

Pohon Kayu Aro menjulang tinggi besar. Jika dimalam hari, terdengar bunyi-bunyi aneh yang menyeramkan dan merindingkan bulu roma bagi siapa pun yang kebetulan melewati jalan babat-jalan paling belakang di kampungku. Zaman orangtuaku masih kanak-kanak, Kayu Aro itulah kawasan yang paling takut mereka lalui. Pada malam kelam tiga puluh,-begitu orang-orang Melayu kampungku menyebut malam mati bulan itu. Suasana menakutkan menegakkan telinga-kuping jika terpaksa melalui jalan babat itu semakin menjadi-jadi. Suara-suara binatang hutan, dan bunyi-bunyi aneh bersahut-sahutan.

Melihat hal demikian yang berlaku bertahun-tahun di kampungku. Datuk Elok Haji Utsman Ja’far, yang dimasa mudanya jago silat dan sosok paling berani yang pernah kami dengar ceritanya, mengambil keputusan, bahwa Kayu Aro raksasa tegak menjulang tinggi, ukurannya tiga kali lebih tinggi dari bumbungan rumahnya mesti ditebang. Dan, selama ini tak seorang pun tukang kayu yang berani menebangnya. Setelah berjam-jam mengasah kapak beliungnya tajam-tajam, beliau turun rumah mengenakan celana slebor hitam, berbaju kaos putih dan lilitan syal putih dikepala.

Pertama kali yang dilakukannya, sebelum menebang Kayu Aro raksasa yang sudah dipandang angker oleh penduduk kampungku itu, adalah mengumandangkan azan seraya berkeliling pohon Kayu Aro besar itu. Azan yang dilaungkannya terdengar ke segala penjuru kampung. Maka, berduyun-duyun penduduk kampungku datang tegak menonton. Selepas laungan azan yang terdengar hingga jauh itu, beliau mengucapkan Bismillah, lalu mengayunkan kapak beliungnya;”Crass, crass, paakkk, paakkk, pakkkk!”.

Dalam tempoh waktu satu jam lebih, kapak beliungnya sudah mengeliling lingkaran kayu itu. Dan apabila kayu sudah kelihatan condong, namun belum rubuh, maka perkara terakhir menebang kayu tinggal menekuk. Biasanya menekuk ini, dengan arah mengapak dari bagian belakang mata tajam kapak beliung. Dan kayu itu akan rubuh mengikuti arah yang telah diduga sebelumnya.

“Crummmm, Buuuummmmmmm, Baaammmmmmmm!” Suara keras pohon raksasa Kayu Aro rubuh berdebam ke tanah terdengar hingga ke seberang sungai Batang Tembesi.

Sejak itu, hilanglah segala kesan aura dan nuasa menakutkan dari kawasan belakang rumah Datuk Elok Haji Utsman Ja’far. Anak-anak kecil pun dah berani, jika bermain hingga ke arah jalan babat yang dulu masih berupa jalan setapak penuh tumbuh semak-semak.

Apa yang ditakutkan terjadi peristiwa. Misalnya, Jin dan Setan mengamuk, lantaran sarang dan rumahnya bergelantung ditebang tak terjadi apa-apa. Dan, sosok yang gagah berani itulah Datuk Elok Haji Utsman Ja’far. Seorang lelaki ahli ibadah dan wara’ yang gemar melaksanakan ibadah sunnah secara dawwam (berketerusan, bersinambungan) seumur hidupnya.

Sikap akidah Tauhid yang diyakini oleh Datuk Elok, bahwa kekuasan dan kekuatan yang mutlak hanya milik Allah. Kalau kita sudah menyerahkan diri dalam segala urusan duniawi dan ukhrawi pada Allah, lalu kenapa mesti takut kepada selain-Nya! Termasuk, dalam perkara keberanian mengambil keputusan menebang kayu Aro raksasa yang dianggap angker dan menyeramkan oleh penduduk kampungku.

Beliau juga guru mengaji Al-Qur’an bagi anak-anak usia sekolah dasar di kampungku. Ketika aku masih kecil, rumah beliau yang berjiran dengan rumah datukku ini, juga didatangi anak-anak mengaji pagi sehabis subuh menjelang berangkat ke sekolah dasar di seberang kampungku. Aku sering berpapasan dengan anak-anak murid mengajinya, yang ketika itu sudah dididik oleh anak menantunya. Wak Hasan Utsman dan Mang Cik Raden Thayyib.

Dari riwayat cerita yang kudengar semasa kanak-kanak dulu. Lantaran beliau adalah seorang jago silat kampung. Suatu waktu, beliau pernah melumpuhkan pencuri yang nekad menaiki rumahnya. Pencuri itu dibuatnya jatuh tak berkutik, seraya mencium kakinya, meraungkan minta ampun;

”Ampun, Wak, ampun, Wak! Ampun nian! Iyo selamat!!!”

Lalu beliau dengan bijak, singkat berpesan;”Kau pulang lah, jangan sekali-sekali coba berani mengulangi lagi!”

Sikap berani itu masih terpancar hingga masa tuanya. Dulu, rombongan paman-pameman kami (tak usah lah aku sebutkan siapa nama mereka?). Pernah hendak mencoba menakut-nakuti lelaki yang paling rajin pergi awal kali ke Masjid tua di waktu subuh hari.

Suatu malam, rombongan paman-pameman kami sehabis bergadang semalam suntuk. Mencobai nak menerai, keberanian lelaki ahli ibadah ini dengan atap rumbai yang tengah dijemur sehabis dianyam, namun belum dipasangkan ke rumah. Mereka berdua menyarungkan atap rumbai ke badan mereka. Ketika lelaki taat ibadah itu, yang sebenarnya Wak mereka sendiri, lewat ke arah laut, hendak sholat subuh. Mereka takuti dengan sebentuk ‘hantu-hantuan’ dua atap rumbai berjalan ditengah kegelapan pekat malam.

“Tapi, apa yang terjadi, kawan?”

Bukannya kecut nyali. Datuk Elok Haji Utsman Ja’far ini terus berjalan bertopang tongkat, sambil menegur santai;

“Ai, bujang. Sudah lah, pekerjaan siapa ini? Yang nak membikin aku takut pulak?”

Mendengar suara pelan bijak dari lelaki mantan jagoan silat Melayu kampung itu. Dua atap rumbai yang berjalan itu berhenti seketika. Sejurus lalu lelaki yang mereka panggil Wak itu, kedua atap rumbai hantu-hantuan itu lari terbirit-birit malu minta ampun. Rencana nakal mereka hendak menakut-nakuti orang tua itu, malah seakan kena batunya telak! Hahahahhaha

Sikap mental berani adu nyali mengalir hingga anak-cucunya. Seorang cucunya yang paling kecil, yaitu anggota Bujang Bangku Masjid nomor 12 adalah sosok yang mewarisi keberanian datuknya. Aku ingat, sepupuku ini dimasa kecilnya, adalah orang yang paling berani pulang malam sehabis tanpa lampu penerangan. Padahal ketika itu umurnya kurang dari lima tahun. Terkadang dia menyeberangi sungai berkayuh perahu seorang diri ke tepin tebing jambannya di napal berarus deras itu. Dari tepian tebing napal tinggi itu, dia naik berjalan menuju rumahnya, melewati kuburan tua, melalui jalan setapak penuh ilalang.

Suatu malam aku dan adikku ditemani bapak hendak buang air ke rakit-jamban di sungai. Tiba-tiba terdengar langkah kaki anak kecil berlari deras, sekencang anak kijang di hutan belukar.

“Nak kemana Pak Cik, sapanya pada bapakku?”

“Kau, Dedi! Tanya bapakku.

“Iya, Pak Cik.” Jawabnya tenang.

Ditangannya tergenggam bungkusan kertas koran berisi ikan teri dan cabai merah. Rupanya sepupuku yang dikenal berani ini, baru saja kembali dari disuruh ibunya.

“Pak Cik nak temani abang kau ini, yang takut sendirian ke rakit-jamban di malam hari!”. Padahal ketika itu umurku baru enam tahun.

Jadi, tak usah heran. Jika sepupuku yang kelak, biasa kami panggil Bujang DK (alias Dewasa Kelamin). Lantaran tanda-tanda akil balighnya lekas melampaui umurnya yang paling muda diantara kedua belas Bujang Bangku Masjid.

Abang tertua dari adik sepupuku ini juga dikenal berani adu nyali. Pergaulan abangnya yang dipanggil Kak Ning ini dikenal luas sepanjang rantau mudik hingga hilir. Dari orang-orang tua kampung, orang-orang pasar, para pendatang dari mana-mana, hingga preman kenal dengan abang sepupuku ini.

Suatu ketika kakak perempuan sepupuku menangis sepulang sekolah dasar. Rupanya, dimarah dan hendak ditampar oleh bapak kawan sekelasnya. Kakak sepupuku ini dituduh oleh anaknya menyakiti anak perempuan kesayangan lelaki itu.

Mendengar kabar yang menjatuhkan marwah harga diri keluarganya. Lalu, abang sepupuku yang berani dan pantang mundur gertak ini mendatangi rumah lelaki yang berani-beraninya hendak menampar ayuk sepupuku itu. Pantang baginya, jika ada yang berani mengganggu harga diri keluarganya.

Lelaki yang menampar adik perempuan sepupunya itu didatanginya. Lalu, lelaki itu ditantangnya apa maunya? Dengan suara sengau, abang tertua dari adik sepupuku ini mengacung-ngacungkan kepalan tinjunya.

Lelaki itu mengaku salah dan minta maaf pada abang tertua sepupuku ini.

Sebenarnya, abang sepupuku yang kusapa Kak Ning Syafiq ini, bukan lah sosok yang suka ribut berkelahi. Namun, baginya ketika masih bujang itu, pantang baginya mendengar ada adik-adiknya, adik-adik sepupunya yang diganggu orang.

Pernah suatu ketika, ketika Wakku, kakak tertua bapakku tengah duduk dipinggir pagar rumah dinas yang ditempatinya dekat SD di seberang kampungku. Lalu, dari kejauhan nampak debu berterbangan di jalan raya yang masih berupa tanah bertabur batu kerikil belum lagi diaspal oleh pemerintah.

Padahal tak satu pun nampak kenderaan lewat. Tapi terbangan debu menyelimuti dari jalan depan masjid Al-Ikhlas Satu (sebelum pindah ke Masjid Al-Ikhlas Dua) yang kini sudah roboh dan berdiri toko kelontongan.

“Ada apa Fiq?” Tanya Wakku melihat anak-kemenakannya ini berlari dengan napas terengah-rengah, setelah berhenti sejenak lantaran ditanyai oleh pamannya. Abang tertua dari adik sepupuku ini menerangkan maksudnya kepada pamannya.

“Si Haji Fulan ini kurang ajar betul, Om! Seenak perut saja, mentang-mentang dia berduit, hendak melecehkan harga diri kami!” Katanya sambil mengambil ancang-ancang hendak memburu lelaki yang sebaya bapaknya.

Tutul-tokeng terusssssssss, kejar terus!** Kata Wakku menyemangati!

Mendengar suara Wakku yang seolah nampak mendukungnya. Lalu, abang tertua sepupuku ini meneruskan pengejaran memburu lelaki tua sebaya bapaknya itu. Sampai di rumahnya, lelaki itu mengunci rumah rapat-rapat. Di depan rumah lelaki yang dianggapnya kurang ajar itu, ditantangnya sejadi-jadinya.

Datuk Haji Utsman Ja’far memiliki dua orang anak, yaitu Wak Hasan Utsman dan Wak Fauziah Ustman. Namun, beliau memperoleh sepuluh orang cucu lelaki dan perempuan dari anak lelaki tertuanya, yang kami panggil Wak Hasan Utsman. Wak Hasan ini adalah guru kami juga di Madrasah kelak, setelah Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah aktif kembali, setelah dua tahun sempat vacum, selepas wafatnya Guru kami; Wak Gus Damiri bin Abdul Majid.

Guru kami, Wak Hasan Utsman ini tamatan dari Madrasah Nurul Iman di Jambi Seberang. Beliau dikenal guru mengaji kitab dan mudir Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah yang didirikan datukku KH. Nawawi Ahmad. Madrasah bergedung modern, lantaran memiliki ruang-ruang kelas yang memadai dan dibangun secara permanen.

Kalau Guru kami, Buya Abdullah Shoefie Manshur mengajar pengajian di Masjid setiap kamis petang jum’at. Maka, Wak Hasan Utsman ini mengajari khusus pengajian kaum ibu-ibu di pagi jum’at, di Madrasah al-Fatayat dekat rumahku. Biasanya, jam sembilan pagi kaum ibu-ibu sudah berdatangan memenuhi ruang madrasah berbentuk kelas besar memanjang tanpa sekat.

Dari gedung Madrasah al-Fatayat bercahaya suram itu, aku masih mendengar suara fasihnya membaca kitab-kitab kuning tanpa harakat, lalu menerangkan arti dan maksud muatan hukum-hukum Islam yang terkandung dalamnya. Materi pengajian kaum ibu-ibu ini, dipilihnya yang bertalian langsung dengan pembahasan dan permasalahan hukum-hukum dalam Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (Fiqh Perempuan Muslim).

Ruang pengajian kaum perempuan setiap pagi jum’at itu kini telah lama kosong. Seakan mengabarkan kepada zaman, merindukan sosok Ustadz muda, tawadhu berilmu ikhlas mau dan mampu mengisi ruang yang telah lama lengang itu?

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 13 Desember 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home