musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Thursday, October 1, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (2)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (2)


Ahmad David Kholilurrahman


Haji Kulim

Dimulut pelabuhan cerita Wak Nga tentang sepupuku yang jadi tokoh polisi itu. Sebenarnya berpangkal dari kegelisahannya pada gadis-gadis kampungku yang mau saja menikah dengan para mandor-mandor perusahaan perkebunan sawit yang tak jelas asal-usulnya. Tak jelas apakah mereka tahu atau tidak mengaji atau sholat? Sementara mata pencaharian motong parah-menyadap getah pohon karet- tak dapat diandalkan mencukupi kebutuhan hidup.

Haji Kulim begitu orang-orang kampungku memanggilnya. Nama sebenarnya Abdul Kasim. Jauh sebelum menjadi saudagar kaya-raya, dia dikenal sebagai penjual sebatang kulim yang diakuinya sebagai warisan bapaknya ditepi batas kebun warisan bapaknya dikawasan sungai Talisak. Sebenarnya sebatang kulim berusia puluhan tahun itu bukan warisan bapaknya, sebab tumbuh ditanah milik Mad Yatim. Seorang anak yatim yang ditinggal mati bapaknya semenjak kecil. Namanya Muhammad bin Sa'ad. Namun sampai dewasa pun panggilan Mad Yatim yang melekat kuat pada dirinya.

Tiga puluh tahun lampau. Ketika bapak mad Yatim baru menikah langsung membuka rimba tuya, hutan rimba yang belum ada pemiliknya sama sekali. Siapa yang membukanya itulah yang menjadi tuan pemiliknya. Sebatang kayu kulim tumbuh tegak menjulang itu sebagai penanda sempadan-batas tepi dengan kebun milik Haji Kulim. Antara bapaknya Mad Yatim dan Haji Kulim telah saling maklum, sepakat bahwa sebatang kayu kulim itulah sempadan kebun mereka berdua. Bahkan hal ini diperkuat kesaksian Cik Abang dan Wak Dolet diatas secarik surat yang ditanda-tangani kepala desa.

Lantaran terdengar kabar dari mandor yang memborong jembatan di Sikamis, kata mandor jembatan itu, ada perusahaan kayu dari Jambi yang berani membayar mahal bagi pemilik kayu kulim yang semakin langka itu. Dia seenak hatinya, memanggil tukang tebang kayu menebang sebatang kulim milik Mad Yatim. Ketika itu Mad Yatim masih berusia belasan tahun. Keluarganya tak bisa berbuat banyak. Apalagi Haji Kulim memiliki pengaruh yang kuat, sehingga kepala desa dan aparatnya tak mampu berbuat banyak.

Hanya kalangan alim-ulama, termasuk guru madrasah yang dimotori Wak Gus Damiri yang menentang habis. Dia meneruskan perjuangan paman-pamannya meneraju pendidikan madrasah Arab dikampungku agar kampungku tak tenggelam dalam kelam-buta bebal ilmu. Gurunya sekaligus Mudir madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah adalah Guru KH. Nawawi Ahmad. Sosok ulama berpandangan modern. Guru Mudir, begitu orang kampungku memanggil Datukku ini. Dia tamatan Madrasah Darul Falah di Mekkah. Mengaji selama 17 tahun dengan para Masyayeikh di Bilad al-Haramain. Wak Gus Damiri ini adalah salah seorang murid datukku. Bahkan sepeninggal datukku yang bertugas di dinas sosial Provinsi. Murid-muridnya yang berjumah puluhan itulah yang meneruskan pengelolaan Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah diseberang kampungku.

Wak Gus Damiri dikenal sosok pendidik ulung, keras disiplinnya dan juga tak takut pada siapa pun. Siapa yang menyerahkan anak-anaknya masuk madrasah atau pengajian membaca Al-Qur'an mesti siap digembleng disiplin tinggi. Dia memang tipikal pendidik sejati. Penjaga moral ulung kampungku ini lulusan Madrasah Arab di Jambi Seberang. Jiwa kepemimpinannya telah tumbuh sejak kecil. Penduduk kampungku sangat menghormati dan menyeganinya. Dia dikenal spesialis Imam subuh dimasjid tua dikampungku yang berusia 84 tahun itu. Selain imam dan guru kami, Buya Abdullah Manshur yang juga mengepalai madrasah al-Fatayat, madrasah khusus mendidik kaum perempuan dikampungku.

"Pokoknya, sampaikan dengan Haji Abdul Kasim, jangan sembarangan main tebang sebatang kulim warisan Mad Yatim itu" Katanya pada jemaah yang duduk dibangku masjid subuh dulu.

"Kalau dia masih nekad juga, terima lah balasan Allah menimpa anak-zuriatnya tujuh keturunan". Sambil membetulkan letak kopiah hitam dan senter panjang berwarna biru tua ditangan kanannya.

"Mau, apa dia nanti memikul sebatang kulim, lalu sibuk mencari Mad Yatim di akherat kelak".

Sembari mata bijaknya mengedar pandangan ke jemaah yang duduk dibangku Masjid yang sejuk dingin, ditimpa butiran embun pucuk pohon manggis diatasnya. Ulat-ulat bulu kecil berjalan meliuk-liuk, seiring lidi kelapa yang kugoreskan atas permukaan tanah dilaman bangku masjid. Aku tak paham, apa yang tengah diperkatakan Wak Gus, hanya menangkap wajah orang-orang yang tercengkam diam.

Lelaki berusia berkepala lima yang kupanggil Wak Gus itu juga menghela napas panjang. Sembari istighfar berulang-ulang kali. Rasanya, berulangkali guru-guru kita mengingatkan siapa yang mengambil milik orang lain, nanti diakhirat kelak, sibuk lah dia mencari pemilik barang yang dicurinya. Ketika orang-orang masing-masing sibuk memikirkan apakah amal ibadahnya diterima Allah SWT.

Kalau Haji Kasim tu tak mau membatalkan rencananya. "Jadilah dia sekarang namanya Haji Kulim!" Kata Wak Gus sembari berlalu mengucapkan salam.

Kibaran kain sarung kotak-kotak hitam kehijauan, baju teluk belanga dan kopiah hitam sehitam kopi yang disukainya seiring berlalu. Sosoknya betul-betul citra pendidik sejati. Suara merdu mengimamkan sholat subuh dirindukan orang, dehem batuknya saja menciut badan murid-murid mengajinya, marahnya pun disambut sebagai kasih-sayang berwajah lain, pandangan matanya diartikan telaga bening penawar haus dahaga.

Biasanya jema'ah sholat subuh tahu, Wak Gus ini hadir atau tidak dari bau minyak wanginya yang tercium harum dari kejauhan. Jika dah tercium bau minyak wangi, lekaslah jema'ah yang biasanya masih juga sibuk mengotah-bercakap-cakap dibangku masjid. Seolah tak pernah puas mengunci mulutnya barang satu setengah jam selepas azan subuh. Macam-macam cerita dikeluarkan, terkadang cerita tak tentu ujung-pangkal pun dipercakapkan juga. Dari bawah pohon mangga kuini depan rumah Wak Ali, muncul kelebat bayangannya, seketika jemaah bangku masjid yang sibuk berbual ke hulu-hilir itu berlomba menaiki lima anak tangga masjid tua bertiang bulian tua, berbentuk setengah panggung itu. Yang anak-anak lari terbirit-birit menuju masjid pula.

Aku dulu termasuk sangat takut pada Wak Gus ini. Dia terhitung sepupu emakku. Untuk menumpang perahunya yang damis-kelimis-menyebut benda yang elok, bersih dan rapi, aku seakan segan setengah mati. Aku khawatir sepatu sekolahku yang belepotan lumpur tanah-liat dari jalan pulang sekolah mengotori lantai dan timba ruang perahunya. Aku menahan napas, agar kakiku tetap tak mengenai lantai dan timba-ruang perahu itu. Dia kulihat menahan-nahan senyum, sesekali batuk-batuk kecil. Sejak itu, aku mengelak menumpang perahunya, menyeberangi sungai yang mengalir lembut itu.

Haji Abdul Kasim alias Haji Kulim itulah saudagar dan tauke getah yang memiliki ratusan bidang kebun karet luas. Pergaulannya dikenal luas, rajin ibadah, bahkan berkali-kali naik haji, tapi kelakuannya pada anak kulinya semena-mena. Tak jarang ketika Berikinan-dengan anak kuli-kapaknya. Untung dipihaknya semata, rugi dipihak anak kapak saja. Berikinan adalah berhitung hasil menimbang getah karet berupa kepingan karet membeku berbentuk persegi empat. Sekeping karet tak kurang seberat 40-50 Kg. Bahkan sekali menurun getah dari hasil anak kulinya yang berjumlah puluhan orang mencapai 10 ton. Anak-anak kulinya, yang kebanyakan orang Jawa seringkali mengeluh, lantaran mereka tak menerima pemasukan sepadan dengan cucur keringat membanting tulang.

Kebanyakan saudagar dan tauke getah karet itu cuma mau membayar penghasilan kuli kebun getahnya dengan ransum bahan makanan. Keberatan jika membayar hasil timbangan getah karet dalam bentuk uang kontan. Ransum kebutuhan sehari-hari berupa beras, gula, minyak, kopi, teh, ikan asin, sarden, ikan teri, sandal jepit jepang, gipang, permen, dan telor cicak kesukaan anak-anak semuanya masuk dalam buku catatan hutang. Disini, tak jarang para saudagar tauke getah karet itu memainkan harga sekehendak hati, terkadang lebih mahal dari harga pasaran.

Kaum kuli kebun karet biasa menyimpan kepingan karet persegi empat selama dua pekan dalam tempat terpisah-pisah pada tempat penyimpanan rahasia ditengah hutan. Mungkin, dibalik kerimbunan semak-semak, dalam lubang penyimpanan rahasia. Dibenam tengah rawa-paya yang banyak lintahnya. Atau ditempat mana pun dalam kebun karet yang aman tak terduga dipikiran para pencuri yang mengidap penyakit pemalas setengah mati.

Kegelisahan Wak Nga terhadap gadis-gadis kampung yang mau saja kawin dengan mandor-mandor bujang perkebunan kelapa sawit itulah yang mengilhaminya menjadikan sepupuku berbadan tegap ramping, berambut lurus landak, dan berpenampilan rapi menjadi pelakon polisi dalam ceritanya.

"Wak Nga, maunya gadis-gadis kampung kita ini, tak sembarangan mencari jodoh. Selidiki dulu asal-usul, termasuk bisa mengaji dan sholat tidak!" kerut-kernyit dahinya menampakkan sedang menggantung kata berisyarat. Mulut bibirnya dari tadi mendehem antara menahan ludah dan kata.

Kami biasanya lekas paham, lekaslah cari pengobat masam mulutnya. Sepupuku yang tertua paling hapal. Maklum orang politik adalah orang siasat. Jadi, paham lah dia, bahwa pertanda lelaki separuh baya, berambut jagung, berkumis kuning-pirang ini meminta benda penghalau agas dan nyamuk. Iya, tentu bukan obat nyamuk yang dimaunya. Tapi, rokok kretek tanpa filter berlambang alat penjahit yang diisyarat ekor matanya.

"Tolong, kau beli rokok Kak Nga sebungkus, jangan lupa sebungkus rokok kretek filter untuk Te". Kata abang sepupuku seraya tersenyum kalui pada adikku nomr dua.

Adikku berlari kencang. Jejak larinya menyisakan gumpalan debu musim kemarau. Sesampai didepan toko "Baguyur Bae" dijaga Bang Sabar. Toko dibawah rumah panggung tinggi besar ini menjual barang-barang kelontongan. Juga kebutuhan ransum bahan makanan untuk para kuli getah dikebun milik bapak mertuanya. Bang Sabar bertubuh bak pendek gempal mirip buntal. Hobinya bermain bola voly. Dia dikenal pengumpan tim bola voly Gurun Bertuah. Kata bapakku yang juga sama-sama pemain bola voly ini, bang Sabar sangat sabar, sesuai dengan namanya. Sabar mengatur ritme permainan. Kapan saat memberi umpan-umpan empuk buat digebuk sepasang pencemis tinggi jangkung kembar Syukur dan Syakir.

Sekembali adikku membawa sebungkus rokok kretek tanpa filter untuk Wak Nga. Terlihat senyum dan gelak-tawanya terkekeh;"Anak muda dibangku belajar kini, memang lekas tanggap!" Tanggap membaca situasi dan kondisi. Dua kata terakhir ini terlihat sangat intelek dimulutnya. Bagi Wak Nga, kata-kata merujuk peristilahan bahasa modern, berakhiran si, sangat hebat baginya. Jika diucapkan dengan sedikit tekanan suara, pelafalan suara berat-dalam, sangat mirip penyiar Bung Hasan Oramahi pembaca siaran Dunia Dalam Berita di Tivi nasional.

Sebungkus rokok yang telah berada digenggaman tangannya, dirobeknya pelan-pelan. Dikeluarkan lambat-lambat. Tercium bau khas tembakau dan cengkih yang menerbitkan air liur kaum kulit putih datang menjajah tanah-air. Jika menyinggung soal tembakau dan cengkih, dia seringkali mengulas senyum. Teringat pada cerita Secangkir Kopi Pahit. Tapi, kali ini bukan cerita itu yang hendak dibentangnya. Biarlah lain kesempatan, anak-kemenakan bujang-bujang gagah berjumlah selusin menyimak cerita ini. Itu cerita khas kaum bujang-bujang pegadang malam, para pemburu, dan penjaga rakit getah Haji Kulim.

Kali ini dia mengisahkan perihal betapa beruntungnya seekor kera dibanding dirinya. Seekor kera, kalau mau makan tinggal pergi ke kebun ladang, ketemu setandan pisang lilin mengkal kuning, langsung dilahap sampai kenyang. Lain waktu, jika lapar lagi, pergi ke pucuk pohon jambu air, memamah-pepak sekehendaknya. Belum habis makanan ditangan kanan, tangan kiri pun dah merengkuh dahan ampelam yang berbuah lebat dihulu kampung.

Sedangkan diri manusia bangun sebelum matahari terbit mencari rezeki seperti lipas kutung. Ke hulu-hilir, ke laut-darat mencari mata pencaharian menyadap karet, berburuh-kuli angkutan amperah saudagar-saudagar getah, masuk keluar hutan mencari rotan, damar dan jerenang, mengambil madu dipucuk sialang Pemusiran, berkebun-ladang di Teluk Kuari, mencari ikan sepanjang rantau sungai Batang Tembesi dan lain-lainnya. Terkadang habis lelah badan seharian, tak beroleh hasil yang sepadan. Namun, yang membedakan antara manusia dan kera adalah karunia akal-pikiran dan perasaan.

"Namun, betapa beruntung seekor kera, tak pernah pening kepala memikirkan apa yang hendak dimakan" Ujarnya sembari menyulut rokok. Asap biru terhembus dari cerobong hidungnya, menerpa kumis kuning-pirangnya meliuk-liuk ditiup angin musim kemarau. Tebing tepian semakin surut. Jembatan rakit sangkut. Resah-gelisah pun hanyut.

"Manusia selain disangu akal-pikiran juga menjaga perasaan orang banyak!" Menjaga perasaan khalayak banyak bukan perkara gampang. Bahkan lebih gampang menjaga jemuran padi dilaman, dibanding menjaga perasaan orang sekurung-kampung.

"Kenapa susah menjaga perasaan orang banyak Wak Nga?, tanya sepupuku berambut keriting hitam. Dia sepertinya tertarik membahas permasalahan kejiwaan. Karena sejak kecil dulu, buku-buku yang bersangkut-paut tentang psikologi menarik hatinya. Tak jarang, saudara sepupunya yang lain menjadi 'kelinci' percobaan test psikotes yang eksprimen dan konyol.

"Karena, menjaga perasaan orang sekampung, seakan menakar seribu watak orang banyak!" tukas Wak Nga sembari mengulum senyumnya.

Orang yang paling pandai menjaga perasaan orang sekampung adalah kaum sastrawan. Yang berumah dikata-kata. Jiwanya bermukim disajak, cerita dan sandiwara. Jika menyindir dengan pantun. Marahnya pun mendendangkan seloka. Tersenyum dengan bidasan bidal. Memuji-sanjung dengan pepatah-pepetih. Orang-orang berjiwa halus ini, tersimpan kehalusan jiwa luar biasa. Jiwanya paling peka. Pantang melecehkan dan dilecehkan orang lain! Tapi, jangan sekali-kali mengecewakannya, dia semakin dahsyat berkarya. Wak Nga melirikku, seraya mengumbar senyum simpul.

"Nah, seberuntung apa pun kera tadi, dengan segala kebebasannya. Tapi tak memiliki hati nurani, akal-pikiran dan berperasaan. Jika setandan pisang yang dicurinya milik seorang perempuan tua yang tak punya anak-cucu, hidup menumpang dengan keponakannya, lalu berpekan-pekan menjaga tandan pisang itu dengan harapan dijual membeli beras dan lauk makan. Apakah ini bukan namanya melukai harapan sang nenek itu?" Raut wajah Wak Nga tersirat serius.

"Itulah yang membedakan kita dengan kera. Aturan Allah yang mengikat kita pada hakikatnya adalah demi 'membedakan' manusia dengan binatang. Membedakan antara manusia dengan kera. Sekaligus menafikan bahwa nenek-moyang manusia bukan bangsa kera". Api rokok kreteknya hampir mencapai kurungan garis kuning melingkar. Pertanda api rokok itu semakin terasa panas diujung bibir hitam arang itu.

Sampai kalimat diatas tadi. Aku tercengang takjub. Kapan Wak Nga membaca teori evolusi ala Charles Darwin? Dengan jawaban sederhana saja, secara tak langsung dia dah menyinggung sekaligus ikut membantah teori yang telah bertahan ratusan tahun itu. Itu pun cuma diiulasnya seimbas-pintas dari sisi setandan pisang lilin saja.

"Tapi, Wak, ada manusia yang dalam dirinya terdapat sifat kera!" Potong sepupuku yang sedari tadi diam. Bahkan lebih kejam dan curang dari kera. Mungkin kera mengambil setandan pisang cukup mengenyangkannya. Ini ada manusia yang merasa tak kenyang-kenyang. Sikat sana-sini. Hak orang, orang tubuh, katanya!

Sambil tersenyum, Wak Nga menyambung;"Mungkin, pada dirinya telah menjelma wujud perangai binatang!". Orang macam ni, kemungkinan besar sangat bahaya kalau memegang jabatan. Habis semua dikuasainya. Mana dipikirnya maslahat orang banyak. Yang penting perutnya kenyang, nafsu menguasai dirinya. Kalau ada pemimpin kampung tipikal ini jangan dipilih, apalagi didukung. Habis punah-ranah kampung kita ini.

Kami ditelan diam. Akal pikiran kami bergeliga hebat menghubungkan kera, manusia, setandan pisang, juga perihal kepemimpinan. Terus-terang dari tadi, aku lebih banyak memikirkan kapan Wak Nga membaca atau sekurang-kurangnya menguping perihal teori evolusi ala Charles Darwin. Walau sedikit pun, tak sepatah pun dia menyinggung ilmuwan yang dipuja-puja masyarakat Barat sekuler-atheis.

Angin malam musim kemarau berhembus kering. Pohon-pohon ditebing seberang sungai terlihat seperti raksasa tegak berjajaran menangkup sungai. Bayang-bayang hitam yang jatuh dialir sungai menciptakan siluet unik. Dimuara sungai Ruan diseberang terlihat cahaya lampu lentera perahu para pencari ikan memeriksa tajur dan menteban mereka.

Malam makin tua. Bulan merejuk-rajuk balik awan. Binatang malam menabuh irama. Sebelum berbunyi dentang 12 kali, kami sudah membubarkan diri. Wak Nga pun nak balik, rencana besok pagi mau pergi mudik ke Sarolangun. Ada urusan diajak kepala desa ke kantor Bupati, katanya mantap.

Sambil berjalan ke darat balik ke rumahku. Barisan rumah panggung dari kayu yang berleretan panjang, kukuh berdiri sejak puluhan tahun lampau buatan Datuk-Buyutku. Kelam semakin pekat membungkus kampung. Di malam-malam seperti ini, biasanya guru kami yang biasa dipanggil Buya sibuk muthala'ah-menelaah tumpukan kitab-kitab tuanya bermalam-malam. Kitab-kitab warisan ayahnya, ayah mertuanya atau yang dibeli sejak dia masih bujangan. Mencari tahu jawaban yang bertalian dengan persoalan agama dan kehidupan dari samudera huruf-huruf kitab kuning. Beliau adalah pembaca paling tekun, juga pelayar cerita paling ulung. Tentu bagiku untuk menceritakan ini, ada bab dan waktunya tersendiri. Itu pun, kalau Tuan dan Puan sekalian mau bersabar.

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 1 Oktober 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home