Cerita Bersambung; Bangku Masjid (25)
Cerita Bersambung; Bangku Masjid (25)
Ahmad David Kholilurrahman
Rombongan Datuk Buyutku Naik Haji
Petang-petang sepasang punai lah meriuh di pucuk manggis, muka laman masjid tua itu. Dari corong speaker tua tergantung di sudut belah ke hilir terdengar suara mengaji dari Qari Mesir Abdul Basith Abdussamad. Kaset baru nian dikirim langsung paman Kasyfun Nadzir dari Mesir. Disampul kaset gambar seseorang berpakaian Ala Al-Azhar, berkopiah merah berselaput sorban putih, berwajah bersih, termaktub merek produksi, Syirkah Shaut al-Qahirah li-Shautiyat wal Mar’iyat. Surah Al-Hajj yang dilantunkan qari bersuara emas dari Negeri Seribu Menara itu, mengalun-ngalun menembus jenak-jenak waktu sabur limur. Begitu orang-orang Melayu, menyatakan tempo waktu antara pertempuran petang menjelang malam. Digambarkan masyarakat Melayu sebagai sempadan terang dan remang.
Dari langit seberang di pucuk mangga, melintas ratusan kelelawar menuju langit Teluk Kuari. Mengincar kebun buah-buahan dan ladang yang ditinggalkan para pemiliknya pulang kampung. Petang kamis adalah waktu ramai kampungku. Perahu-perahu dari hulu, sarat dengan hasil talang-umo, dan mereka menyisihkan hasil kebun yang ditanam untuk disedekahkan kepada guru-guru mengaji dan kaum alim-ulama di kampungku.
Hal itu mengingatkan aku pada kisah yang terjadi puluhan tahun lampau. Yang rajin berkisah padaku adalah Guru kami Buya Abdullah Shoefie yang memiliki ingatan tajam dan terperinci detail sekali. Tarikh sejarah itu seperti tersimpan rapi dibawah susunan syaraf akal benaknya bak gudang penyimpanan database mutakhir tersusun teratur. Ibaratnya, jika mau membongkar arsip dan dokumentasi ingatan Tarikh-Sejarah. Cukup menarik bilik lemari sekian, memutar kode sekian, tekan tombol nomor sekian, seketika file-file yang dikehendaki terdedah seketika berisi cerita uraian data dan fakta sejarah masa lampau terbentang di ujung lidah Buya Abdullah Shoefie. Aku yakin guru kami ini sangat banyak mewarisi cerita-cerita bersejarah dari buyutku Haji Ahmad Shoefie. Selain tentunya, ilmu-ilmu agama yang sedikit-banyak terpercik dari talang pancuran Alim cerdas itu.
Pada suatu hari, selepas sholat zuhur di masjid tua itu. Guru kami Buya Abdullah Shoefie mengundang buyutku ke rumahnya, beliau dijamu hidangan masak sup daging tunjang kaki kerbau. Pada hari itu lama sekali beliau bercerita pada cucu saudaranya itu. Beberapa bulan kemudian, berpulang lah buyutku menghadap pemilik kehidupan yang Maha Hidup Allah SWT.
Sebagaimana yang pernah aku ceritakan sebelumnya. Selepas sholat maghrib itu, beliau sengaja hendak bercerita kepada jema’ah sekalian. Perihal sejarah orang-orang terdahulu di kampungku yang memiliki nilai sejarah. Apabila tidak diceritakan, khawatir lesap ditelan lupa.
Tentang tarikh sejarah buyutku dari pihak emak, yaitu Datuk Rajo Gedang, Haji Ja’far Shoefie yang lahir pada hari senin 12 Rabi’ul Awal 1292 Hijriyah bertepatan dengan 19 April 1875 Masehi. Tahun Hijriyah kelahirannnya, bertepatan dengan didirikannya Madrasah As-Shaulatiyah, di Mekkah. Madrasah yang menjadi tujuan para penuntut ilmu anak-anak negeri Melayu di Bilad al-Haramain. Madrasah As-Shaulatiyah ini, didirikan oleh Shaikhah As-Shaulah, sebelumnya di Lahore dan Lucknow (India).
Tahun kelahiran buyutku ini bersesuaian dengan tahun dicetaknya kitab karya Pujangga dan Sastrawan Melayu, Pahlawan Bapak Bahasa Indonesia dari Kerajaan Riau-Lingga yang berkedudukan di Pulau Penyengat Indrasakti, Raja Ali Haji bin Raja Ahmad. Kitabnya itu berjudul;Bustan al-Katibin li as Sibyan al-Muta'allimin (Taman Para Penulis dan Pencari Ilmu) tahun 1875 M. Atau bertepatan tahun kepergian kali keduanya pelukis terkemuka Indonesia, Raden Saleh Bustaman ke Negeri Eropa. Pada tahun itu juga gelombang imigrasi besar-besarab bangsa Arab dari Suriah, Lebanon, Palestina memasuki benua Amerika. Kebanyakan mereka adalah kaum buruh kasar dan kelas pekerja.
Buyutku, Pesirah Haji Ja’far Shoefie naik haji tahun 1923 M. Membawa ayuk perempuannya, Talhah (Nyai dari Wak Muhammad Ro’i) dan anak tertuanya dari istri kedua, Datuk Haji Utsman Ja’far (1909-1998). Ayuk perempuan dari buyutku ini wafat di Mekkah dan dikuburkan di Ma’la.
Jauh sebelum buyutku dari sebelah emakku naik haji. Buyutku dari sebelah bapak, Haji Ahmad Shoefie (1884 M/1301 H) naik haji pertama pada masa bujangnya tahun 1904. Buyutku Haji Ahmad Shoefie dibawa pamannya Haji Abdurrahim bin Syamsuddin. Pada tahun ini pula buyutku bermukim dan mengaji ilmu agama berguru kepada Masyayeikh Bilad al-Haram. Beliau mengaji di Mekkah sampai tahun 1908. lebih kurang tiga tahun lebih, buyutku dari sebelah bapak ini bermukim di Mekkah. Berguru kepada Syeikh Mukhtar (Bogor) dalam ilmu Falak. Juga sempat berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi. Juga berguru dengan Syeikh Muhammad As-Syatha, pengarang kitab I’anatul Thalibin.
Lalu, buyutku Haji Ahmad Shoefie naik haji kali keduanya pada tahun 1929 M. Membawa serta ayuknya, Haji Rafi’ah Shoefie (Nyai dari Nyaiku Mahanin binti Syafi’i), serta istri buyutku sendiri Hajjah ‘Aisyah dan anak-anaknya dan kemenakannya. Anaknya adalah datukku sendiri, Haji Nawawi Ahmad (1916-1985 M), Maktum, Rugayyah dan kemenakan buyutku, Haji Manshur Ja’far (1914-1992 M). Setelah menyerahkan anak lelaki buyutku ini, yaitu datukku sendiri, Haji Nawawi Ahmad, beserta keponakan buyutku, Haji Manshur Ja’far ke Madrasah-Madrasah di Kota kelahiran Nabi Muhammad SAW.Lalu, kedua saudara sepupu ini menetap tinggal di Mekkah berbilang-bilang tahun. Mengaji ilmu agama berguru kepada Masyayeikh Bilad al-Haramain. Sementara buyutku dan rombongan selepas musim haji, pulang berlayar kembali ke Tanah Air yang ketika itu belum lagi merdeka.
Kalau Datukku Haji Nawawi Ahmad sekolah di Madrasah Al-Falah, salah-satu Madrasah yang bercorak modern. Datukku ini bermukim selama 17 tahun di Mekkah. Pulang pada tahun 1946. Sedangkan Datuk Muk Haji Manshur, sekolah di Madrasah As-Shaulatiyah (berdiri 1292 H) bermukim selama 21 tahun lamanya. Bahkan menikah dengan Nyai Fathma binti Muhammad. Kedua anak lelakinya lahir di Mekkah. Yaitu Guru kami Buya Abdullah Shoefie Manshur dan Wak te Ahmad Kautsari. Mereka pulang pada tahun 1950.
Menurut cerita yang sering aku dengar di masa kanak-kanak dulu. Datukku ini adalah sosok cerdas. Kata riwayat Datuk Muk Haji Manshur tentang datukku;”Awak bukan main belajar setengah siang-malam, sedangkan Mudir (panggilan nama masyhur datukku Haji Nawawi Ahmad) santai tidur-tidur. Tapi, natijah imtihan (nilai ujiannya) selalu dapat terbaik!”.
Tapi, menurut Guru kami Buya Abdullah Shoefie lain lagi, secerdas-cerdasnya Guru Mudir (datukku ini) belum apa-apa dibanding dengan kecerdasan otak brilian Datuk Cik (Haji Ahmad Shoefie), semakin turun ke anak-anak datukku serasa semakin sayup!” Ujar Buya Abdullah Shoefie melabuhkan pandangan ke arahku dan menghela napas dalam-dalam. Aku mengangguk-angguk saja di sudut Masjid Tua itu.
Yang jadi pikiranku. Jika datukku yang dikenal orator ulung yang pernah memerah-padamkan wajah Belanda, lalu meredakan airmuka kaum penjajah dengan kelihaian pidato dan ketangkasan kata-katanya. Seperti apa sosok kecerdasan alim besar Haji Ahmad yang mewariskan ilmu langka, ilmu Falak ke guru kami Buya Abdullah Shoefie itu? Lama, aku tertegun seusai menikmati syarahan cerita pusaka yang dihantar ba’da maghrib yang sengaja nampak diceritakan.
Pada masa itu jema’ah haji berangkat menggunakan kapal laut yang berlayar berbulan-bulan. Menurut cerita datukku, sebelum diberangkatkan jema’ah haji mengalami masa karantina. Kapal yang berangkat dari Batavia (Jakarta masa itu), maka pulau Onrust di kepulauan Seribu adalah pusat karantina bagi jema’ah haji. Diperiksa apakah menderita penyakit menular atau tidak?
Sedangkan bagi jema’ah haji dari Jambi, sebagaimana jema’ah haji dari pulau Sumatera. Setelah berlayar dari Singapura mereka akan menuju Sabang. Dari Sabang nanti berlayar menebuk samudera Hindia hingga ke Ceylon (Srilangka). Apabila di Ceylon, inilah kapal laut jema’ah haji mengisi bahan bakar, makanan dan air tawar guna bekal pelayaran ke Lautan Arabia sampai di Laut Merah, berlabuh di Jeddah.
Ketika para peladang pulang kampung, menjemput petang jum’at dan menunaikan sholat jum’at keesokan harinya. Rumah-rumah tauke, saudagar kebun karet, ramai penuhi anak kuli@anak kapak yang hendak menunaikan jum’atan. Kebanyakan adalah kuli potong getah dari pulau Jawa.
Pemarab atas perintah kepala desa tak ketinggalan mengingatkan para kuli getah, jangan abai dengan kewajiban sholat jum’at. Tauke pun memberlakukan peraturan, bahwa acara timbang getah pekanan hanya ada pada setiap hari kamis. Mau tak mau para kuli getah para pendatang itu taat aturan dan menimbang perasaan orang kampung. Jika tidak, siap-siap lah jum’at besok harinya, Haji Ahmad Shoefie membasuh muka para saudagar, tauke dan anak kuli itu dengan tunjuk-ajar.
Suaranya dalam bergaung. Nyaring tak kering. Tutur bahasanya halus. Jika menyindir tepat kena, tanpa orang yang mendengarnya merasa tersinggung. Keluar sitiran ayat dan hadits dari mulutnya. Bacaan ayatnya fasih dan merdu penuh nagham bercengkok tiga. Sesekali keluar pepatah-petitih adatnya, berbungkus dengan sajian logika filsafat budi pekerti yang mulia. Bila para pendengar merunut sepanjang jalan pulang ke rumah nanti, akan terasa bahwa marah sang Alim cerdas yang disegani, menggemparkan negeri Jambi itu adalah bahasa sayang dalam wajah lain.
Kalau tidak lantaran wara’ dan tawadhu’nya. Tak bakalan seorang jagoan di kampungku yang anaknya tewas dalam peristiwa berdarah itu. Jika tak ditundukkan oleh wibawa Haji Ahmad Shoefie. Alim besar yang disegani lantaran ilmu dan akhlaknya ini yang pertama kali berani menyongsong bapak dari si anak yang tewas itu di rakit jambannya. Ketakutan yang berlebih-lebihan disangka bapak dari korban bakal mengamuk, begitu reda dan lunak dalam bayang sorotan mata teduh buyutku itu. Ibaratnya, menundukkan harimau terluka, tanpa menggunakan senjata apa pun!
Pada zaman kejayaan Haji Muhammad Bangko sebagai tauke saudagar, yang memiliki berpuluh orang anak-anak kuli. Baik orang kampungku sendiri, atau para pendatang dari Jawa. Kaum perempuan rumahan saudagar itu, sejak siang sudah dibuat sibuk memasak gulai nangka dan sambal telur. Guna menjamu anak kuli@anak kapak yang memotong atau menyadap kebun getah karet saudagar tauke getah yang mempunyai getah karet bertumpuk dalam toko gudang, di bawah rakit-jamban, atau karangan getah karet berbentuk balok persegi empat terendam terentang dari hulu sampai hilir sepanjang tepian.
Haji Muhammad Bangko ini terkenal saudagar yang budiman, baik hati dan pemurah. Mudah rundingan bagi penduduk kampung yang mengadu sesak. Tumpuan bagi orang yang mau berhutang. Dia adalah orang yang membangun setapak jalan tanah dari jalan lalu lintas dikampung seberang ke arah tepian rumah Datuk Haji Hamdan. Dan jalan itu mengalir sebagai amal jariyahnya kelak. Untuk mengenang kebaikan jasanya, kampungku membubuh nama jalan itu dengan namanya. Jalan Haji Muhammad Bangko.
Orang-orang baik selalu penuh cobaan, sayang tak beroleh anak keturunan hingga akhir hayatnya. Rumahnya besar bersambung, tepat di sebelah masjid tua arah hulu kampung. Sebagaimana lazimnya rumah saudagar di zaman dahulu, bak gula dikerubungi semut. Kemenakan dari pihaknya dan pihak istrinya yang kelak menempati rumah tersebut.
Aku cuma mendengar kisah saja tentang kemasyhuran Haji Muhammad Bangko yang awal mulanya berdagang di kampungku datang menghadap kepada anak lelaki tertua Pesirah, Rajo Gedang Haji Ja’far Shoefie, yaitu Datuk Te Haji Ibrahim guna menumpang dagang di rantau orang. Istilahnya, dagang menumpang. Dan peristiwa itu bersamaan dengan menghadapnya seorang Sayyid, saudagar kain dari Tanah Arab, yang bermaksud hati hendak meminang anak dara Rajo Gedang.
Sayyid dari negeri Mekkah ini adalah dagang menumpang. Musafir kelana jua turun dari negerinya sehabis musim haji berlayar ke negeri Jawi (begitu orang-orang di zaman itu menyebut negeri Melayu; Indonesia, Malaysia dan Patani). Banyak dari kalangan pedagang dan perantau Negeri Arab yang mengadu peruntungan ke Indonesia. Apalagi perdagangan karet di Jambi ketika itu sedang jayanya. Puluhan kapal-kapal tongkang dari pelabuhan Jambi hilir-mudik sibuk mengangkut hasil getah karet ke pelabuhan Singapura, sebelum dikirim jauh masuk ke negeri Belanda dan daratan Eropa lainnya.
Nama Sayyid dari negeri Arab ini Hamid ‘Arif. Hormat tutur katanya. Besar perawakannya. Karena pembawaannya yang menyenangkan dan dibekali tahu ilmu agama. Seperti asam di gunung dan garam di laut bertemu dalam belanga. Belanga itulah kampungku, Gurun Tuo. Sayyid dari negeri Mekkah ini jatuh hati kepada anak dara Rajo Gedang. Maksud hati itu pula yang disampaikan pada Datuk Te Haji Ibrahim Ja’far. Yang tak lain anak lelaki tertua dari Rajo Gedang, Pesirah Haji Ja’far Shoefie. Semula Sayyid ini sempat mengajar di Madrasah Nurul Iman, Jambi Seberang. Bahkan, termasuk salah-satu tokoh yang memiliki andil pada awal tahun berdirinya madrasah tersebut. Sambil berdagang kain hingga sampai ke hulu sungai Batang Tembesi. Jatuh hati dengan anak dara Rajo Gedang.
Kalau Rajo Gedang mau mudik ke Pauh atau hilir ke Mandiangin. Maka dikayuhlah biduk besar, Kajang Melako melintasi setiap kampung. Sepanjang kampung yang disinggahinya, naik lah Rajo Gedang menanyakan kabar dan mengadakan kunjungan memeriksa hal-ihwal yang berkenaan dengan pelayanan masyarakat. Jika ada saran dan usul serta permintaan masyarakat yang hendak disampaikan kepada pihak Residen Belanda di Sarolangun. Maka Rajo Gedang akan mendengar dengan penuh simpati dan airmuka cerah. Jika ada masalah, maka jiwa kepemimpinannya mengatasi masalah dengan jalan keluar yang disambut semua pihak. Sanggam penampilannya. Halus budi bahasanya. Runtut tegas tutur katanya. Bijak mengambil keputusan dan amanah mengemban tugas yang dipercayakan pada dirinya.
Di antara cucu-cucu Rajo Gedang yang pernah merasakan naik biduk besar Kajang Lako Rajo Gedang adalah Wak Te Abdul Aziz bin Haji Ibrahim, Wak ‘Alawiah binti Haji Ibrahim dan Sidi Akmal Hamid Arif dan lain-lainnya. Mereka sempat mencicipi masa kejayaan datuk mereka memegang tampuk amanah Pesirah yang berkuasa serantau Muaro Ketalo sampai Pauh.
Apabila hendak mengikuti kunjungan kerja Rajo Gedang, maka anak-cucunya yang perempuan nampak sibuk berdandan mengenakan baju kurung dan berkain selendang. Khusus cucu perempuannya, ada rasa malu jika tak nampak melingkar emas dua suku gelang melingkar di tangan, maka terpaksa meminjam sementara pada keluarga paman-paman mereka yang mulai tumbuh mekar jadi saudagar.
(Bersambung)
Rabea Adawea, Cairo, 27 Desember 2009
0 Comments:
Post a Comment
Subscribe to Post Comments [Atom]
<< Home