musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Thursday, February 3, 2011

Aku Menangis, Ya Misr al-Ghaaliyah

Aku Menangis, Ya Misr al-Ghaaliyah


Ahmad David Kholilurrahman


Semestinya, pada penghujung Januari lalu, aku datang menjenguk Pameran Buku terbesar di Timur Tengah. Keluar masuk kedai-kedai buku, adalah wisata ilmu yang sangat kusukai. Aku kerap membayangkan, betapa mengasyikan jadi buku sarat ilmu; bak pelepah kurma mengkal sarat di tandan.

Tapi, sebuah tenaga dan akal pikiran anak muda, menderu-deru angin Revolusi Pemuda memercikkan amuk, harga diri dan perlawanan pada tiran. Biarkan syair-syairku yang menulisnya; Ketika tangan dan airmata sepasang duka yang bersahib riwayat airmata;

Aku menangis di haribaan-Mu,
Negeri kekasihku, tanah air keduaku,
Misr al-Ghaaliyah, Allah jamin dalam kitab-Nya:
“Udkhuluu Misra Insha Allahu Aminin”
Aku menangis, kering dawat syairku
Tak lagi bercerita keteduhan rumahmu,
Penghujung musim dingin, wisata buku dan pembacaan syair-syair
Hidangan buah-buahan tersedap di bulan ini.

Aku menangis di pangkuan-Mu,
Pedih airmataku, nyeri ulu hatiku,
Kenapa ketamakan, hasad, zalim berkuasa
Menumpahkan airmata, darah dan nyawa
Aku merindukan salam bertebaran selama ini
Di seluruh pojok lorong-lorong kotamu yang sangat kuingat rapat.

Aku menangis di belaian Nil,
Nyanyian burung-burung terbakar,
Sapaan Shobah al-Ful yang begitu renyah,
Gelak tawa yang hangat dan tiada dua,
Kepulan asap hangat Fuul dan tho’miyah
Kesejukan ruz bil-laban dan 'ashir koktail,

Aku menangis di bawah menara kembar tua Al-Azhar,
Ruaq yang dingin dan sunyi, relung ringkih
Dimana jejak syeikh awlad al-Jawi
Ransum sebelas keping roti gandum setiap pagi,
Seduhan embun pagi membasuh lantai Jami’ Al-Azhar
Suara merdu ayat-ayat Suci mendamaikan jiwa kembara

Aku menangis di sisi jembatan Qasr al-‘Ayni
Sepasang singa perunggu yang diam,
Tak pernah melawan, dan acuh abai cuai
Wajahku jatuh di air keperakan, cahaya rembulan
Purnama wajahmu, Misr al-Ghaliyah

Aku menangis di Maydan Tahrir,
Menatap gedung tua bersejarah merah kesumba
Gurat lelah sebaris pesan Khedive Abbas Hilmi
Dilempar api dan letupan batu-batu berterbangan
Kukira biji bara api dibawa Ababil,
Tapi bukan, itu mungkin apinya Habil dan Qabil?

Aku menangis di sabilji Hay Gameliyah
Menjadi sarang penyamun, menukar wajah seribu tuna
Khan Khalily menjelma bazaar jarahan,
Tatapan mata curiga dan beringas memanas
Antara Bayna al-Qasrayn, yang kian sepi
Kedai kopi el-Fishawi, Naguib Mahfouz meneguk
Bancuhan Ahwah Saadah sastra, cerita dan revolusi abad lampau
Aku adalah pejalan kaki antara el-Fishawi dan Riche
Urat nadi kesusasteraan dalam serangkaian buah pena
Menjulang, memanjang dan menghilang

Aku menangis di bawah pelepah buah kurma,
Yang kubayangkan, sepasang mata hitam zaitunmu
Melirik di balik cadar katun kapas negerimu
Melihatku menangis, ya Misr al-Habibah
Kau yang menjadi pelipur sedihku di rantau
Anak Melayu yang selalu risau dan rayau
Memberiku seteguk cangkir air zikir

Aku menangis di balik papa kedana,
Tangis yang berhulu kering kerontang,
Menghilir pada getar gelepar gempa syair

Aduhai, ya Misr al-Habibah
Ya Misr al-Ghaaliyah
Ya Misr al-Majidah
Ya Misr al-‘Azhimah
Ya Misr ar-Raahinah
Ya Misr al-Hazinah
Ya Misr Ardhil-Kinanah
Umm Dunya wa Bilad-Hadharah


Cairo, 2 Februari 2011

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home