musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Saturday, October 3, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (3)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (3)

Ahmad David Kholilurrahman


Rumah Pengajian


Sejak Wak Gus Damiri membuka rumah pengajian disebelah hilir rumah mertuanya. Setelah lama vakum pasca wafatnya mertuanya yang dikenal Guru Mengaji dan Imam di Masjid tua dikampungku. Orangtua dan wali murid berduyun-duyun menyerahkan anak-anaknya belajar mengaji. Rumah pengajian itu berdiri setengah tiang, beratap seng, berlantai papan kayu berukuran 15 X 20 M. Mirip maktab pondok-pondok pengajian zaman dahulu. Pengajian belajar membaca al-Qur'an itu dilangsungkan selama dua waktu; Selepas subuh hingga jam 06.00 pagi dan selepas maghrib hingga Isya. Berlangsung setiap hari kecuali libur hari jum'at dan sepanjang bulan puasa.

Bapak mertuanya, Haji Ismail dikenal sebagai guru mengaji paling keras didikannya. Dikenal juga imam dimasjid kampungku sejak zaman datukku masih memimpin Madrasah at-Tsaqafah al-Islamiyah di Gurun Tuo Simpang. Cerita seputar majelis pengajian al-Qur'an yang diselenggarakan di rumah Guru Haji Ismail mengundang beragam kesan dan komentar dikalangan anak-anak muridnya yang berjumlah hampir ratusan orang.

Murid-murid pengajian zaman dulu, memang sangat patuh dan khidmah pada sang Guru. Pekerjaan berselang-nugal ladang-umo membantu Guru mengaji dikerjakan secara gotong-royong dibantu murid-muridnya. Termasuk menjaga sebidang kebun pasir dihulu sungai Ruan. Bapakku bercerita, dia pernah terkena giliran jaga kebun pasir yang menanam sayur-sayuran dan buah-buahan itu selepas subuh menjelang masuk sekolah rakyat dirumah bertiang di hulu kampung.

Kisah paling kesohor tentang Guru Haji Ismail adalah ketika menyimak bacaan muridnya pada pengajian belajar baca al-Qur'an. Jangan sampai salah-ucap Makhraj huruf, panjang pendek harakat, juga ilmu tajwidnya. Kalau tak segan-segan dihamun dengan hardikan kerasnya. Seekor kumbang pun serasa takut berdengung dekat telinganya. Jika marah sudah menyala hebat. Murid-murid pengajian yang masih berusia 8 hingga 15 tahun serasa duduk menunduk tenggelam tekun menekuni mushaf diatas bentangan rehal kayu. Terlintas bayangan kelam, jika nanti ketika tiba giliran disimak Guru senasib dengan kawan yang dibentak barusan tadi.

Suara bunyi anak-anak mengaji bacaan al-Qur'an itu serupa ribuan lebah berdengung. Tiada jeda sedikit pun, sampai datangnya sang guru mengaji yang dikenal galak setengah mati. Sebenarnya dibalik kerasnya sistem pendidikannya, terkandung kebaikan luar biasa. Hanya saja, hal tersebut baru disadari berpuluh tahun kemudian. Jika, lantaran bukan didikan setengah ala semi militer itu, belum tentu lidah mereka ringan melafalkan ayat-ayat suci itu. Keberkahan ilmu hadir bersama keikhlasan sang Guru.

Mulutnya bersungut bila bacaan anak murid pengajian serasa sangkut. Mirip perahu sangkut dirempan buluh dabuk. Sesekali dua masih dimaafkan, ketiga kali rotan peledas melayang membabit badan sebelah kanan.

"Celetassss, aduiiiii, rintih muridnya!" Ulang lagi bacaan kamu tadi, teriaknya sembari membetulkan letak kopiahnya yang agak miring ke kiri! Ekor matanya menjeling ke arah murid yang diselimuti ketakutan luar biasa.

"Itu huruf Sin, bukan Syin. Sin kecil, bukan Syin besar. Sedikit salah baca, seketika salah makna". Syarah guru menunjuk letak huruf yang ditunjuk dengan duri landak putih bergaris hitam yang dipegang muridnya itu. Gemetar tangan murid ketika tangan guru menggeser arah telunjuknya ke letak huruf Hijaaiyah yang dimaksud. Bercucuran keringat dingin sebesar butir jagung.


Dia mengedar matanya ke arah murid-murid sekelilingnya. Murid-murid duduk pas dihadapannya tak berani memandang menentang matanya. Mereka hanya mencuri-curi kesempatan memandang kawannya yang beroleh hadiah sebatan rotan kecil peledas itu. Luar biasa hangat terasa menjalar lengan sebelah kanan. Terkadang melesat sebutir lelehan panas disudut kedua bolamata, seraya hati kecil berujar;"Alangkah ganasnya Guru padaku!".

Jangankan dengan anak-anak murid mengajinya yang berjumlah ratusan itu. Dengan jema'ah masjid yang sudah beranak-bini pun, dia tak segan menghamburkan amuk amarahnya. Jika dipandangnya menyalahi akhlak budi pekerti.

Pernah suatu ketika Pak Cik Kasthalani Zainal Abidin dihamunnya dengan terpaan tamparan tangannya. Hampir saja melayang ke tanah badan Pak Cik Kasthalani. Maklum saja terpaan tamparan mantan pesilat kampung. Jangan-jangan sembarangan, walau gerak itu tak terlalu bertenaga lagi, namun jejak silat masih berbekas. Lantaran Pak Cik Kasthalani bertengger macam burung seenaknya dibingkai jendela diserambi luar masjid tua dikampungku. Padahal Imam sudah datang naik tangga, muazzin Wak Yasin siap-siap mengumandangkan iqamah. Pak Cik Kasthalani masih saja asyik mengotah- bercakap-cakap dengan karib kentalnya Bang Syafaq Jaelani.

Menurut riwayat dari saudara datukku paling bungsu. Guru Haji Ismail tak pernah segan-segan menegur siapa pun yang dianggap salah. Penduduk kampungku menaruh rasa segan luar biasa pada sosoknya. Kalau kutengok fotonya bersama datukku dalam sebingkai foto dilaci meja datukku diruang luar rumahku. Kuperhatikan pasat-pasat sekilas wajahnya mirip Buya Hamka. Beralis hitam, raut airmuka serius. Mengenakan syal putih, berkopiah hitam dan berbaju teluk belanga. Maklum beliau juga alumni didikan madrasah di Bilad al-Haramain. Tempaan alam dan perguruan yang pernah ditempuhnya sangat berbekas sekali. Tentang ini, jangan lupakan baca doa Tatsbit baginya, wahai pembacaku yang baik hati.

Murid-muridnya yang berjumlah ratusan itu baru sekarang merasa hasil didikannya. Kesaksian dari murid-muridnya, termasuk bapakku seringkali kudengar dalam perbincangan dirumah. Betapa hasil didikannya meninggalkan pengaruh luar biasa dalam perkembangan jiwa mental mereka. Walau terkesan seperti sistem disiplin semi militer, namun mental berani terasah menghadapi kehidupan dengan resiko seburuk apa pun patut diacungkan jempol.

Sampai sekarang pun murid-muridnya masih rajin 'memutar' kenangan bersama Guru yang paling ditakuti, disegani sekaligus disayangi. Padahal zaman itu, kenakalan remaja belum separah zaman sekarang. Buah-buahan yang berbuat lebat, tak seorang muridnya pun berani mengutip barang sebuah. Jambu airnya merah mengkal lebat meluyut dikebunnya diseberang sungai Ruan, seorang pun tak berani menyentuhnya. Begitu juga kebun buah-buahan milik penduduk kampung, seperti rambutan, mangga, jambu bol, jambu air, duku dan durian. Kalau ketahuan ada anak muridnya yang berani mencuri hak milik orang lain. Terimalah 'hadiah' paling sedap dirumah pengajian nanti malam.

Nah, murid-murid pengajian yang berjumlah lima puluhan itu membantu tugas gurunya. Mengangkut air untuk kebutuhan mandi, memasak dan mencuci rumah gurunya pun ditunaikan setiap pagi dan petang. Mereka bergiliran mengangkut dirijen dan ember memenuhi tempayan besar dibagian Gharang-tempat mencuci dan membilas piring dan kencing, biasanya terletak dekat dapur dirumah-rumah panggung dikampungku.

Aku mendengar cerita dari paman dan wakku. Bahwa ada sebuah tradisi khas bagi orangtua yang mau menyerahkan anaknya ke Guru Mengaji Al-Qur'an. Sebilah rehal kayu terbuat dari kayu medang, mushaf al-Qur'an, sebatang rotan dan sebungkus tembakau gulung. Makna pendidikan moral yang terkandung adalah tertera dalam peraturan tak tertulis, sebagai berikut;

"Guru, tolong didik-ajarkan anakku hingga tahu pandai mengaji agar tak bebal buta kelam diakherat kelak. Ini rehal dan mushafnya jangan dikembalikan hingga dia khatam mengaji. Sebatang rotan sebatkan ke punggungnya, jika dia nakal dan membandel perintah Guru. Sedangkan sebungkus tembakau gulung ini untuk Guru, hanya ini yang dapat kami berikan. Apa pun terserah Guru mendidik-ajarnya. Saya tak marah, sekali pun Guru memukul dengan rotan, selagi demi kebaikan anak saya!".

Peraturan tak tertulis yang menjadi undang-undang hukum masyarakat ini berlaku sepanjang waktu. Makanya, sekeras apa pun Guru mendidik muridnya, tak ada orang tua atau wali murid yang membangkang. Apalagi sampai berani menantang Guru dengan bersenjata parang panjang. Secenteng apa pun orang tua murid, apalagi dikampungku banyak yang pandai silat dan jagoan, namun menaruh hormat luar biasa dengan Guru yang mendidik anak-anaknya.

Guru memberlakukan disiplin keras. Murid-murid patuh tunduk dengan tunjuk-ajar Guru. Orangtua dan wali-wali murid mendukung demi kebaikan anaknya sendiri. Terselamat dari kegelapan jahiliyah buta-kelam tak pandai mengaji, atau dari deraan lidah bebal setengah mati mengaji al-Qur'an.

Wak Gus Damiri inilah pewaris disiplin tingkat tinggi dari mertuanya. Jangan sembarang anak-anak murid sekolah madrasah atau rumah pengajiannya nakal membandel. Terima lah hukuman ala beliau yang sangat khas. Hukuman mendidik, bukan menyakiti. Sekalipun tak segan-segan sebatan rotan peledas mendera tubuh.

Kerapian dan kesopanan dalam berpakaian sangat diperhatikan. Jika mengenakan kain sarung, dipastikan bawah gulungan mesti mengenakan ikat pinggang. Berbaju kemeja, tak dibenarkan baju kaus. Kopiah hitam atau putih terpasang rapi dikepala. Buku dan kitab pelajaran madrasah wajib bersampul rapi. Terserah dari kertas apa, yang penting kulit kitab terjaga dari goresan atau gerusan yang mengubah kumal wajah kulit muka kitab.

Shalat ashar wajib berjema'ah di Masjid al-Ikhlas yang lama. Jika ketahuan ada yang mencoba lari kabur, lantaran ingin lekas pulang. Terimalah laporan dan hukuman besok siang di sekolah madrasah. Dia juga mengontrol ketat pelajaran dan guru-guru pengajar madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah. Guru-guru yang berhalangan hadir harus menyatakan izin tertulis. Sama seperti murid-murid yang berhalangan karena sakit atau satu lain hal, mesti mengirim surat ditanda-tangani orangtua dan beramplop.

Ada seorang wali murid yang agaknya terlalu rewel dengan sistem pendidikan yang diteraju Wak Gus, sehingga tercetus komentar sumbang;"Aii, kalau macam itu, aku juga bisa mengajar di Madrasah Ats-Tsaqafah, kata Wak Basing Dak. Begitu orang-orang kampungku menyebut sosoknya yang berambut uban, berpakaian tak terurus itu.

Memang sejak dulu, dia dikenal agak kontroversial sosoknya. Jarang masuk pergaulan masyarakat. Ada saja ketidak-sukaannya pada kaum agama. Sebenarnya orang seperti ini jahil murakkab- mungkin ada sedikit ilmu, hanya tak mau mengamalkan. Kadang-kadang tindak-tanduknya cari alasan semata. Bertahun-tahun dia tak pernah sholat jum'at dimasjid kampungku. Entah sholat dimasjid mana? Orang-orang tua sudah bosan menasehatinya, namun dia acuh tak acuh.

Menghadapi Wak Basing Dak yang ucapannya memerah telinga sosok pendiam. Pendidik ulung penjaga moral akhlak kampungku ini. Dia memiliki akal tersendiri. Bukan ditentangnya mentah-mentah. Namun, dijumpai Wak Basing Dak ini. Lalu dengan penuh kelembutan dia ucapakan permintaan.

"Bang, tolong abang juga ikut jadi guru di Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah?". Kata Wak Gus pada Wak Basing Dak.

"Terserah abang mau mengajar kelas berapa. Kelas satu boleh, kelas enam pun tak jadi soal! Kata Wak Gus tegas namun pelan. Seraya memandang mimik muka Wak Basing Dak yang berubah tak tentu rasa.

"Baik lah dik, abang akan datang besok pagi ke Madrasah diseberang" Sanggup Wak Basing Dak membalas permintaan Wak Gus Damiri.

Memang keesokan harinya. Ketika jam pelajaran madrasah dimulai jam 2 siang. Wak Basing Dak datang dengan langkah gontai. Dari jalannya terbaca gelagat, bahwa tak sembarangan Guru bisa mendidik anak-anak kampung jadi pintar dan berakhlak mulia.

Ternyata dia hanya sanggup bertahan mengajar dua hari saja. Hari pertama mengajar murid-murid kelas satu yang berisiknya minta ampun. Sedangkan dia dikenal suka bergurau-canda dengan anak-anak itu. Hari itu saja, tak sampai jam 4 petang, Wak Basing Dak merasa sangat kewalahan menangani anak-anak kampung ini.

Besoknya diterai lagi oleh Wak Gus untuk mengajar mata pelajaran madrasah kelas 6. Ini yang lebih parah lagi. Waktu satu mata pelajaran selama 45 menit terasa seperti satu hari. Keluar keringat dingin dan gelegasan ditubuhnya. Tak tentu, apa yang mau diajarkan. Mau berdongeng, murid kelas 6 ini bukan usia kanak-kanak lagi. Inilah yang dinamakan orang kampungku;"Nak ngajar dikelas satu, dak mampu. Nak ngajar kelas atas dak termakan kaji!".

Akhirnya keesokan hari. Pagi-pagi sekali Wak Basing Dak menghadap Wak Gus, mengakui tak sanggup dan takluk. Dia minta maaf mencium tangan Wak Gus. Padahal secara usia, Wak Basing Dak lebih tua dari Wak Gus. Namun, kali ini baru tahu rasa bagaimana Wak Basing Dak ketemu batu. Cara unik yang ditempuh Wak Gus Damiri membungkam telak mulut-mulut pengkritik -kaum jahil murakkab- jitu luar biasa. Sejak itu tak terdengar lagi Wak Basing Dak menyinggung sistem pendidikan madrasah yang dipimpin sang pendidik sejati, penjaga moral akhlak kampung kami.

Pimpinan madrasah yang telah memintanya mengajar di madrasah terhormat bukan sosok sembarangan, dia dipercaya Gurunya langsung meneruskan madrasah modern yang didirikan tokoh ulama, KH. Nawawi Ahmad yang masyhur sebagai ahli pidato ulung, ulama berpandangan modern dan juga putra dari ulama yang menggemparkan Jambi, Guru Haji Ahmad Shoefie. Bapaknya dikenal luas figur alim jenius luar biasa. Tiga tahun mengaji di Mekkah, namun alim luar biasa menguasai kitab-kitab kuning. Ilmu falak adalah salah-satu keahlian bapaknya yang kelak diwariskan pada cucu abang kandungnya, guru kami Buya Abdullah Manshur.

Batu Belah Pangkal Tangga

Disebelah darat rumah pengajian setengah tiang itu, terletak rumah Nyai Nga, saudari tertua datukku. Aku hapal anak tangga bagian luarnya, yang terdapat batu besar dan tempayan kecil untuk mencuci kaki sebelum naik ke anak tangga. Batu sebesar kisaran tepung itu mengingatku pada dongeng Batu Belah Batu Betangkup. Dongeng tua Melayu yang tersohor ke seantero negeri-negeri Melayu. Dalam Kumpulan Sajak: Nyanyi Sunyi karangan Raja Pujangga Baru, Amir Hamzah terbabit perihal dongeng Melayu Kuno. Itu kuketahui dari membaca buku sajak milik pamanku yang kuliah di Jogjakarta tahun 1985.

BATU BELAH


Dalam rimba rumah sebuah
teratak bambu terlampau tua
angin menyusup di lubang tepas
bergulung naik di sudut sunyi.

Kayu tua membetul tinggi
membukak puncak jauh di atas
bagai perarakan melintas negeri
payung menaung jemala raja

ibu bapa beranak seorang
manja bena terada-ada
plagu lagak tiada disangkak
mana tempat ibu meminta

Telur kemahang minta carikan
untuk lauk di nasi sejuk


Tiada sayang;
dalam rimba telur kemahang
mana daya ibu mencari
mana tempat ibu meminta.

Anak lasak mengisak panjang
menyabak merunta mengguling diri
kasihan ibu berhancur hati
lemah jiwa kerana cinta

Dengar.........dengar !
dari jauh suara sayup
mengalun sampai memecah sepi
menyata rupa mengasing kata

Rang... rang... rangkup
Rang... rang... rangkup
batu belah batu bertangkup
ngeri berbunyi berganda kali.

Diam ibu berfikir panjang
lupa anak menangis hampir
kalau begini susahnya hidup
biar ditelan batu bertangkup

Kembali pada suara bergelora
bagai ombak datang menampar
macam sorak semarai ramai
kerana ada hati berbimbang

menyahut ibu sambil tersedu
melagu langsing suara susah;

Batu belah batu bertangkup
batu tepian tempat mandi
Insha Allah tiadaku takut
sudah demikian kuperbuat janji

Bangkit bonda bewrjalan pelan
tangis anak bertambah kuat
rasa risau bermaharajalela
mengangkat kaki melangkah cepat.

Jauh ibu lenyap di mata
timbul takut di hati kecil
gelombang bimbang mengharu fikir
berkata jiwa menanya bonda

lekas pantas memburu ibu
sambil tersedu rindu berseru
dari sisi suara sampai
suara raya batu bertangkup

Lompat ibu ke mulut batu
besar terbuka menunggu mangsa
tutup terkatup mulut ternganga
berderak-derik tulang belulang

Terbuka pula, merah basah
mulut maut menunggu mangsa
lapar lebar tercingah pangah
meraung riang mengecap sedap..

Tiba dara kecil sendu
menangis mencari ibu
terlihat cerah darah merah
mengerti hati bonda tiada.

Melompat dara kecil sendu
menurut hati menaruh rindu...

Batu belah, batu bertangkup
batu tepian tempat mandi
Insha Allah tiadaku takut
sudah demikian kuperbuat janji.

Amir Hamzah*


Jika diajak datukku bertandang dipagi hari sekitar jam 7 pagi hingga menjelang masuk waktu dhuha. Aku selalu takut dan mengelak jika lewat tangga bagian depan rumahnya. Aku bayangkan, ketika aku asyik membasuh kakiku, tiba-tiba batu itu membuka mulutnya dan menangkup kakiku yang biasa menyepak bola plastik dilapangan Gajah Mada depan Madrasah al-Fatayat. Aku khawatir tak dapat lagi bermain bola bersama sepupuku yang berjumlah selusinan itu.

Setelah datukku mengucapkan salam. Aku selalu mencium tangannya yang terasa dingin. Lalu kedua kakak-beradik itu terlibat pembicaraan.

"Apa kabar Mok Nga' pagi ini?" Tanya datukku melepas kopiah putih berpori-pori lebar dari kepalanya, lalu meletakkan dalam kantung baju safari putih lengan panjangnya. Dalam kantong sakunya biasa terdapat minyak angin botol kecil, minyak wangi dan tasbih putih.

"Alhamdulillah, macam ni lah, Abu, katanya menyebut nama datukku. Badan dah tua banyaklah sakit-sakitan. Kadang-kadang panas-dingin mengerubungi badan. Ujarnya lemah-lirih.

Tadi, lepas subuh dah kusuruh Maknunah, anak perempuan satu-satunya yang tinggal berdua dengannya- buat rebusan pucuk sembung. Alhamdulillah, ada terasa enak sedikit!

Anak perempuannya yang kupanggil Mak Ning Kenun datang menghidangkan dua cangkir teh panas, dua keping lempeng keras dan beberapa potong keju persegi tiga dalam piring beling putih. Keju ini kiriman dari Mekkah, katanya. Di atas meja panjangnya sebelah hilir, nampak kaleng hijau minyak samin bergambar onta.

"Makan lah, cung, katanya padaku sembari membetulkan baju dingin- sweater berwarna hijau tua yang membungkus tubuh tuanya!

Aku menatap datukku terlebih dahulu. Aku tak mau mencibit kepingan lempeng keras terbuat dari adonan tepung terigu bercampur mentega tanpa terlebih dahulu datukku memulainya. Begitu adab majelis ketika makan diajarkannya padaku. Yang tua dulu, baru yang muda. Datuk dulu, baru anak-cucu.

Rumah besar tinggi itu adalah warisan dari buyut kami dulu. Entah mengapa aku merasa agak takut jika berlari keluar, lalu memandang 'batu belah' yang tergeletak dipangkal tangga buliannya. Apalagi memandang ranjang besi tinggi besar diruang sebelah serambi bagian dalamnya. Baskom-baskom besar tersusun dibawah ranjang besi tua, kasur lapuk, lemari-lemari kayu jati berbingkai kaca telah ada sejak dia masih gadis dulu. Barang kuningan besar-kecil berbaris berjajar diatas lemari berpelitur hitam tua yang pudar warnanya. Barang-barang kuningan langka itu berupa cogan sirih dan penumbuk inai pemerah kuku telapak tangan.

Rumah panggung itu sudah tua. Langit-langitnya hitam mengisyaratkan lapuk dimakan zaman. Terkadang lantai yang dipijak terdengar berderak. Aku khawatir sekali, kakiku yang kurus kering terpelus masuk lubang. Namun yang mengkhawatirkan aku adalah batu belah pangkal tangga bulian itu. Nanti ketika aku sudah agak besar dan masuk sekolah dasar. Paham lah aku, manalah batu punya mulut menelan kakiku. Kalau batu memiliki mulut, tolong tunjukkan padaku dimana gigi putihnya? Apakah batu dapat tersenyum?

Aku injak-injak sambil menginjit telapak kakiku berpijak diatas batu bundar itu sambil merapalkan mantra;"Batu belah batu bertangkup. Tangkup aku batas lutut! Batu berat batu bertangkup, tangkup aku batas perut! Batu belah batu bertangkup, tangkup aku batas mulut!". Setelah itu aku kencingi batu itu sepuas hatiku. Kenapa aku dulu begitu takut padamu?

Aku sebenarnya suka saja diajak datukku bertandang ke rumah saudara-saudarinya yang berjumlah belasan orang itu. Namun, aku tak tahan jika duduk mendengar otahan orang-orang tua. Aku sukanya jalan-jalan dari pangkal hingga buntut kampung. Melihat tepian sungai yang airnya surut atau dalam. Mencari kabar apakah Wak Seman dapat rezeki pagi ini ikan patin atau tapa dari hasil mengulang rawe dan mentebannya diteluk gilo? Atau Wak Mad Zein beroleh hasil buruan rusa atau kijang semalam dilembah Gurah?

Jika telah sampai dihilir kampung dibagian rumah panggung tinggi jangkung. Dibawah rumah panggung itu berdiam saudara nyaiku dari pihak bapakku. Biasanya, dekat tepian bawah kayu bengkirai melepai itu, ramai kerumunan orang-orang menengok perahu yang baru pulang dari sepanjang tepian rantau mencari ikan dan udang. Jauh sebelum sungai diracun tuba, setrum akku dan dompeng dulang dimudik. Lima puluh meter saja kau melewati toko rendah yang milik bang cik Junaidi, akan semakin menuju ke ujung kampung. Ketika itu belum dibangun jembatan gantung satu dan dua. Pangkalan Jembatan Gantung 2 masih berupa semak belukar, didalamnya terdapat kebun duku. Cat kuning genteng Jembatan Gantung 2 mengingatkan kau pada Golden Gates Bridge di teluk San Fransisco. Hehehehehe

Sejak kecil aku telah menandai dengan mudah untuk mengingat penanda pangkal dan ujung kampungku. Kampung kami ditandai dengan awal agama dan diakhiri dengan kesempurnaan agama. Dimana kau temukan rumah Wak Awaluddin dan Wak Akmaluddin berarti mudah lah bagimu menentukan mana arah hulu dan hilir? Mana pangkal kampung mana buntut kampung? Dijamin kau tak akan tersesat pulang ke rumahmu?

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo 3 September 2009

*Dikutip dari Kumpulan Sajak Nyanyi Sunyi, Amir Hamzah

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home