musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Tuesday, December 1, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (20)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (20)

Ahmad David Kholilurrahman


Seorang Alim dan Ahli Ilmu Falak


Kabut buta menyelimuti wajah batang sungai Tembesi. Tak seujung kuku pun, nampak perahu yang dikayuh ke seberang. Dedaunan manggis dan rambutan basah bersimbah embun di laman Masjid di tepi sungai. Matahari pagi belum lagi bangkit, berselimut tebal di ufuk timur. Dingin udara subuh menggigilkan ujung kakiku. Kaki kecil itu melengkung bergelung ke balik tepi sarung. Biasanya sehabis pengajian subuh di bulan puasa di Masjid Az-Zahir. Adalah perkara lazim bagiku dan sepupu yang selusin itu duduk mendengar riwayat cerita yang dibentangkan di serambi Masjid tua yang menghadap arah hilir sungai Batang Tembesi.

Pengajian subuh yang biasanya dihantar oleh Guru kami Buya Abdullah Shoefie, kerapkali mengupas tafsir surah Al-Qur’an yang dibuat bersambung sepanjang subuh di bulan ramadhan. Dibingkainya dalam tafsir Qashasul al-Qur’an perihal semacam tema kisah-kisah yang termaktub dalam kitab suci Al Qur'an. Juga tak lupa percikan lintasan tarikh sejarah kaum-kaum terdahulu yang terkubur zaman. Dikaitkan dengan fenomena kekinian yang berselaras dengan perguliran Surah yang tengah diurai tafsirnya.

Bagiku itu adalah curahan ilmu yang terbentang luar biasa. Aku merasa seolah-olah diajak mengendarai mesin waktu plesiran ke zaman tempo doeloe. Menyimak kisah kaum-kaum pupus yang diazab Allah lantaran kedurhakaan mereka yang melampau batas. Kaum-kaum yang mengingkari keimanan dan membangkang para Rasul Allah yang diutus pada mereka ditimpa ragam azan bencana yang tak terperikan.

Guru kami Buya Abdullah Shoefie kalau berkisah seolah mata kami tergantung menyimak aliran kisah yang dibentangkannya secara runtut, detail dan rapi. Seakan tak satu pun huruf dan harakat yang tertinggal. Kata orang kampungku menyebut hal demikian sebagai “Tak terbuang Kata”. Terkadang matanya memejam, mengingat detail sebuah cerita dengan kalimat yang runtut dan catatan kaki berupa tarikh nama orang, silsilah, negeri, tahun, letak, jarak beserta gambaran peta yang dilukis dalam kalimat-kalimat yang diterangnya jelas.

Aku dan selusin sepupuku duduk melingkar di serambi Masjid itu. Kami tekun-tunak mencerap kisah-kisah bermutiara itu. Walau terkadang, aku tak terlalu ingat secara detail, namun kelak ketika aku pergi menimba ilmu dari satu guru ke guru lain, dari satu perguruan ke perguruan yang lain negeri, tersangkut perihal hal-ihwal yang pernah kudengar di majelis ilmu serambi masjid itu. Dari buku-buku yang kubaca, dari pertukaran pikiran dengan seperkawanan. Hingga menjejak kaki ke negeri-negeri yang pernah disebut dalam kisah-kisah dimasa kanak-kanak dulu.

Guru kami, Buya Abdullah Shoefie adalah sosok pembelajar sejati. Otodidak yang berotak cerdas luar biasa dan pembaca tekun-tunak, menelaah kitab-kitab kuning hingga jauh larut ke lubuk malam. Dia menerima pengajian dari bapaknya yang juga dipanggil Abuya Manshur Ja’far. Kami memanggil bapaknya dengan panggilan Datuk Muk. Beliau adalah saudara tua dari datukku, Haji Abu Bakar Ja’far.

Seperti yang kukisah sebelumnya, jika datukku sebelah bapakku menerima pengajian di Madrasah Al-Falah (berdiri tahun 1330 H) di Mekkah. maka Datuk Muk Haji Manshur Ja’far adalah alumni madrasah as-Shawlatiyah yang didirikan tahun 1292 H, Jabal al-Hindi, Mekkah. Beliau bermukim menuntut ilmu dengan Masyayeikh Bilad al-Haramain selama 21 tahun. Datuk Muk Haji Manshur Ja’far ini bahkan menikah dengan Nyai Fathma binti Muhammad, anak seorang Guru di Jambi Seberang yang juga bermukim di Mekkah. Dari pernikahan ini beliau mendapat karunia dua permata hati di kota kelahiran Rasulullah SAW itu dan tiga anak perempuan sekembali mereka nanti ke tanah Jambi.

“Dulu, semasa Datuk Muk mengaji di Mekkah. Pernah suatu waktu, hampir habis bekal sakunya, sementara kiriman dari buyutmu Ja’far Shoefie belum juga sampai. Datuk Mukmu mengambil upahan menjahit pakaian. Sampai lah suatu masa datang kiriman dari buyutmu dikampung. Uang kiriman itu cukup untuk hidup setahun. Bukannya, Buyutmu tak mau mengirim uang, namun mengingat perhubungan antara Jambi dan Mekkah di zaman itu begitu sulit. Jika pun pergi naik haji berkapal berbulan-bulan”. Kisah yang kudengar dari pamanku Kasyfun Nadzir, orang kampungku yang pertama kali kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir.

Anak tertuanya adalah guru kami; Buya Abdullah Shoefie dan Wak Te Ahmad Kautsari yang kini berdakwah di Kuala Lumpur, Malaysia. Mereka berdua dibawa kembali ke Tanah Air dalam usia kanak-kanak. Jadi belum berkesempatan sama sekali mengerjakan rukun kelima Islam yaitu ibadah haji. Itulah jika mengenang Mekkah, guru kami Buya Abdullah Shoefie seperti dihisap kenangan pada masa kanak-kanaknya dulu. Terkadang, tanpa kami sadari, diam-diam butiran kristal mengalir di matanya. Ketika beliau dilamun kenangan ingatan pada laman masa kanak-kanaknya di Negeri Mekkah.

Kerinduannya kepada negeri tempat pecah tangis pertama kelahirannya begitu kuat dahsyat. Apalagi di musim orang-orang kampungku yang hendak naik haji. Semenjak dia dibawa kedua orangtuanya kembali ke kampungku dimasa belum baligh umur lagi. Jadi, belum satu kesempatan pun beliau berkesempatan naik haji. Melainkan sekali umrah diajak seorang jema’ah pengajiannya yang telah berbaik hati mengongkosinya umrah. Itu saja, katanya seperti mimpi!

“Tak terbayang nian, buya akan pergi ke Tanah Suci!” Katanya padaku ketika beliau berumrah ke Mekkah tahun itu melalui telepon.

Aku tak lupa mengucapkan doa, semoga pada masa mendatang, beliau dipanggil Allah ke Tanah Suci untuk mengerjakan ibadah haji. Aku menarik napas dalam-dalam, jika mengenang nasib guruku yang satu itu. Sementara alim-ulama yang dekat dengan penguasa di negeriku di Jambi sana naik haji sampai berpuluh-puluh kali.

Dulu, aku ingat suatu ketika datukku baru balik dari hilir ke Jambi. Membawa berita pesan dari bapaknya guru kami Buya Abdullah Shoefie, bahwa ada kabar sebuah partai politik yang menawarkan mengongkosi naik haji para alim-ulama. Namun, guruku ini tersenyum tipis saja. Kalau tak salah, hanya menambah separuh ongkos, dapat berhaji pada tahun depannya.

Tapi, beban kehidupan yang ditanggungnya bukan ringan. Ketika itu anak-anaknya banyak yang tengah menempuh sekolah memerlukan biaya. Juga kehidupan di kampungku yang dikatakan tak miskin, namun juga tak kaya. Jadi, baginya naik haji itu disamping memang mampu juga ada undangan dari pemilik Baitullah itu sendiri.

Dulu ada seorang jema’ah pengajiannya dari Pauh datang ke kampungku meminta bimbingan manasik haji pada beliau. Maka, guru kami ini akan menerangkan hukum rukun dan syarat haji dengan panjang lebar. Disertai dalil-dalil nash al-Qur’an dan al-Hadits. Juga dilengkapi dengan peta Ka’bah dan Masjidil Haram. Kami jema’ah masjid hanya mendengar dengan penuh harapan, semoga suatu ketika kelak, kami juga termasuk tamu Allah yang mendapati undangan suci itu.

Ketika guru kami buya Abdullah Shoefie bingkas bangkit ke dalam masjid mengambil kapur dan papan tulis kecil demi menjelaskan pada jema’ah pengajiannya yang datang khusus bertanya perihal Manasik Haji tersebut. Lalu seorang penduduk kampungku yang juga telah berhaji menyeletuk;

“Abdullah itu tak bakal lagi terbayang dengan Mekkah kini. Boleh sesat dia berjalan kini di sana. Itu di zamannya dulu, ketika Mekkah masih belum semaju dan seramai sekarang” Ringan saja seolah tanpa beban Haji itu berkomentar seenak perut. Memang orang-orang di kampung sejak lahir, seperti yang pernah kunyatakan memiliki bakat tiga ahli sekaligus; Pengamat, reporter dan komentator.

Sedangkan datuk-datuk kami, orang yang sangat dihormati guru kami setelah bapaknya sendiri tak pernah melemparkan kata seperti demikian. Aku ketika itu masih kanak-kanak memandang geram pada pak haji yang tak pandai memelihara lisan itu. Mau saja, aku menimpali membasuhnya dengan kata-kata, jika saja tak memandang datuk dan pamanda aku di majelis itu.

Lalu, aku terkadang jatuh iba hati dengan guru kami yang bersusah-payah menerangkan syarah pengajian, namun ada saja mulut para Bahlul Jahil Murakkab* seenak perut melontarkan komentar sinis. Dimasa kanak-kanak itu juga, telah timbul semacam sikap ‘perlawanan’ terhadap orang-orang yang berwatak Qil Wa Qaal**, bahwa suatu hari kelak, orang-orang semacam ini mesti aku kunci mulutnya dengan gaya perdebatan berperisai logis mantiqi.

"Tunggu saja waktunya, biar haji si fulan itu ketemu batunya dengan aku!" Bisikku geram, darah mudaku menggelegak hebat.

Aku ini cucunya KH. Nawawi Ahmad yang pernah berpidato memerahkan telinga Belanda, namun seketika meredakan airmuka kemarahan penjajah itu di gelanggang mata orang banyak. Setelah penjajah itu disindirnya telak, tapi diakhir pidatonya justru mereka tersenyum-senyum mengangguk-angguk kepala. Riwayat cerita ini kudapati dari bapakku yang mendengar langsung dari orang yang pernah mendengar langsung orasi pidato datukku di Bungo, di zaman penjajahan Belanda dulu.

Pernah suatu ketika, sebelum aku jauh pergi merantau menuntut ilmu. Guru kami Buya Abdullah Shoefie menuturkan semacam kilas-lintas sejarah yang diteroka datuk dan buyut kami yang dikenal luas sebagai peneraju utama dakwah Islam di kampungku dan negeri Jambi. Juga perihal kesempatan menuntut ilmu ke Bilad al-Haramain di zaman mereka yang seolah terputus. Padahal datuk, bapak mereka sempat bermukim belasan tahun di Mekkah. Tapi, tahun 1950-an adalah masa yang sulit. Usia kemerdekaan Republik baru seumur jagung, sekolah-sekolah dalam negeri banyak tutup lantaran perang dapat meletus kapan pun.

Jadi bagi generasi sezaman guru kami ini, kebanyakan hanya menempuh sekolah dikampung. Atau paling jauh mengaji di Madrasah Nurul Iman di Jambi Seberang. Ada beberapa orang yang berkesempatan sekolah di INS Kayutanam, Padang. Namun, tak sampai selesai, karena meletus perang PRRI yang melanda Sumatera Barat ketika itu, banyak yang putus sekolah.

Bapakku sendiri saja tak sampai ke bangku kuliah. Sekolah menengah atas ditempuhnya semacam sekolah persamaan, yang kemudian hari tak lagi dibuka. Tapi, kualitas lulusan sekolah menengah di zaman itu setingkat dengan kuliah zaman kini.

“Ujian akhir sekolah diadakan di Sarolangun begitu ketat dan soal yang diujikan begitu berat!” Begitu bapakku seringkali bercerita padaku.

“Dari 10 soal, bapak dapat mengerjakan 6 soal. Bukan tak sanggup mengerjakannya, namun waktu yang diberikan sangat terbatas. Alhamdulillah dari ke enam soalan tadi benar semua. Akhirnya bapak memenuhi nilai kelulusan”. Ujar bapakku menyemangati ketika belajar malam hari di kampungku yang haram bersimbah setrum listrik ketika itu.

Guru kami, buya Abdullah Shoefie adalah peminat ilmu sains yang luar biasa. Dia hapal nama-nama latin flora dan fauna, nama jenis penyakit dan obat-obatan. Ilmu Falak (Astronomi) adalah salah-satu keahliannya yang sampai kini belum nampak lagi calon pewarisnya. Keahlian ilmu Falak inilah yang menghantarnya membikin jadwal sholat sepanjang waktu untuk Provinsi Jambi beserta selisih waktu antara kampung-kampung dan kota serata negeri "Sepucuk Jambi Sembilan Lurah". Hisab ilmu Falak yang dihitung dan disusun beliau, terkadang dicomot sembarangan saja oleh Instansi yang mengurus masalah agama di Jambi tanpa menyebutkan penukilan dari sang penyusunnya (ahli hisabnya). Dulu pernah berlaku seperti itu, entah lah kalau sekarang sudah terbit kesadaran bahwa itu ada hak ciptanya yang dilindungi oleh Undang-Undang yang dikenal dengan HAKI (Hak Kekayaan Intelektual).

Aku tak ingat, namun dari cerita orangtua dan paman-pameman kami, beliau sendiri yang menghitung matahari sepanjang tahun dengan alat penimbang waktu yang dirancangnya sendiri. Setiap hari selama setahun beliau sibuk mengukur, menimbang, menelaah dan mencocokkan dengan disiplin ilmu Falak yang sangat langka itu ahlinya. Beliau juga sering dipinta membetulkan letak kiblat di Masjid-masjid di serata Jambi. Bahkan Masjid Raya Kota Bangko adalah beliau sendiri yang membetulkan letak arah kiblatnya yang semula keliru beberapa derajat.

Ada keunikan beliau di masa kanak-kanakku dulu. Guru kami ini suka menggambar binatang dengan pena antenanya yang dapat dipanjang-pendekkan. Aku dulu begitu suka, jika beliau menggambar di secarik kertas putih. Gambar-gambar yang bermula dari huruf-huruf latin berubah menjadi gambar binatang-binatang. Beliau juga suka menangkap ular berbisa dengan tangannya langsung, dengan doa yang komat-kamit di mulutnya. Ular itu pun takluk. Lalu mulut ular itu dijahitnya dan dimasukkan dalam karung.

Dulu, ada juga seekor napu, hewan hutan rimba raya yang kini mungkin dah punah, kalau tak mau dikatakan langka yang pernah dipeliharanya. Entah darimana beliau mendapatkan binatang sebesar kambing itu, namun bentuknya lebih mendekati kancil pelanduk. Binatang itu pernah hendak ditunggang oleh anak-anak beliau, yang juga diantara sepupu-sepupuku anggota Bujang Bangku Masjid (BBM).

Dengan salah-seorang anaknya, yang juga sepupuku ketika kami pulang dari rakit-jamban, suatu malam kami ditunjukkannya mata pandangan kami ke arah langit seberang. Lalu, kami ditunjuknya bentuk dan arah bintang-gemintang yang berkelap-kelip dilangit malam. Sekalian menunjukkan letak rasi bintang zodiak kami. Aku yang ketika itu masih kanak-kanak begitu kagum.

“Bintangmu Aquarius, As-Saakib al-Maa’ atau al-Dalw, penuang air, pembawa air. Bintang tercerah dalam rasi ini adalah Sadal Suud atau Shad al-Melik, begitu orang Arab memberi nama. Tampak antara lintang +65° dan −90° paling jelas pada pukul 21.00 selama bulan Oktober!” Kata Buya Abdullah Shoefie padaku seraya menunjukkan letaknya.

“Ada 22 bintang yang membentuk rasi Aquarius. Simbolnya Sang Pembawa Air. Bagi yang terlahir antara 20 Januari hingga 18 Februari memiliki zodiak Aquarius. Jadi, jangan heran, jika kau suka air, berenang hilir-mudik macam itik di sungai.” Canda beliau seraya tertawa.

“Jika saja dari dunia belahan lain aku menatap bintang-bintang yang ditunjukkanya dimalam yang bersamaan, alangkah menariknya, kawan!” Bisikku dalam hati, seraya menyunggingkan senyum.

Ilmu astronomi buta dimata kanak-kanakku. Aku terkadang, ingin mendengar dan menyimak lebih banyak lagi cerita perihal benda-benda langit dibelahan planet lain. Namun, beliau seringkali seperti menangkap kilatan mata keingin-tahuanku yang suka bertanya macam-macam hal. Aku sadar, bahwa aku bukan lah seperti beliau yang dikarunia otak cerdas cemerlang. Memiliki daya ingat luar biasa runtut, detail dan logis. Kualitas intelektualnya, bersanding dengan alumnus universitas mana pun.

“Dulu, Buya suka baca kitab Tafsir Al-Jawahir fi at-Tafsir al-Qur’an al-Karim, karangan Syeikh al-Tantawi al-Jauhari dari Mesir yang bercorak sains ilmi. Kadang-kadang ketika Datuk Muk kamu (Bapaknya, red) kehilangan kitab tafsir yang juga tengah dibacanya. Lantaran, diam-diam, buya juga ikut membacanya.” Tuturnya meriwayatkan kisah kanak-kanaknya padaku, disuatu masa yang telah lampau.

“Buya ini, kalau dulu tak mengaji belajar ilmu agama. Mungkin, minat besar buya tertuju menyelami ilmu-ilmu sains. Dulu, ketika buyutmu Haji Ahmad Shoefie mengajar ilmu Falak, mata dan kepalanya hanya tertuju menghadap ke Buya saja. Kadang buya merasa tak enak dengan kawan-kawan yang lain. Sedangkan murid-murid mengaji ilmu Falak kepada beliau bukan buya seorang saja”. Kata Buya padaku dan sepupuku yang duduk dibangku bulian tua, di laman Masjid tua berdinding kayu menghadap ke sungai yang mengalir lembut itu.

Dimataku, pengetahuan dan wawasan beliau yang melimpah ruah, termasuk mencakup ilmu-ilmu sains yang sangat digemarinya semenjak kanak-kanaknya, bak langit-langit masjid tua di kampungku yang memayungi kami dari panas dan hujan.

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 2 Desember 2009

*Bodoh, perangainya kurang ajar, biasanya disertai sikap cenderung memandang remeh-temeh

**Kata orang, kabar burung, isu dan gosip

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home