musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Friday, December 4, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (21)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (21)

Ahmad David Kholilurrahman


Majelis Serambi Masjid dan As-Syajarat al-Silsilah


Selepas pengajian Tafsir di subuh hari sepanjang bulan puasa ramadhan di Masjid Az-Zahir itu. Guru kami, Buya Abdullah Shoefie Manshur seringkali duduk di serambi Masjid. Biasanya, dalam majelis itu hadir juga datuk, wak dan paman-pememan kami yang sengaja menunggu matahari terbit. Ada datukku Haji Abu Bakar, Datuk Hanafi Ja’far yang kami panggil Abah, Wak Nazori Abdul Majid, Wak Sya’rani Abdul Majid, Pakde Hasanain, Wak Te Ihsan, bapakku, termasuk aku dan sepupu-sepupuku yang lebih dikenal dengan Bujang Bangku Masjid.

Buya Abdullah Shoefie mengenakan kain sarung bergaris hijau putih, baju safari lengan panjang coklat tua bersaku dua. Kepalanya berbungkus syal bercorak putih-hitam seperti yang sering dikenakan pemimpin PLO, Yasser Arafat. Pakde Hasanain membawa tikar yang lebih baru dari dalam ruang sholat perempuan yang terletak di bagian darat Masjid tua itu. Tikar itu dibentangnya untuk guru kami dan tetua kampungku yang mendengar majelis surahan di serambi Masjid tua bergaya setengah rumah panggung Melayu itu.

Jika pengajian ba’da taraweh atau subuh hari, mengupas seputar hukum-hukum yang bertalian dengan Aqidah, syari’ah dan akhlak. Maka majelis surahan di serambi masjid ini biasanya lebih umum, lepas dan bebas. Termasuk menyinggung kajian tarikh (sejarah) yang memang sangat kugemari. Wak Sya’rani menyukai kajian geografi atau ilmu bumi, sebagaimana yang sering diungkapkannya. Kalau memandang globe dan peta, beliau suka mengangguk-angguk kepala. Tak jarang, beliau banyak bertanya hal ilmu bumi ini pada guru kami Buya Abdullah Shoefie. Sedangkan Wak Nazori adalah sosok bertutur kata halus, macam orang-orang sastra kebanyakan. Konon, dimasa mudanya, beliau yang kupanggil Wak ini sangat menyukai kesenian. Pandai memainkan gitar dan biola, juga menyukai karya-karya kesusastraan.

Pada pagi itu, aku duduk di tangga masjid dengan sepupuku mendengar orang-orang tua bercerita. Hikayat cerita itu yang seolah memang sengaja diceritakan, agar kami yang masih kanak-kanak menyadari bahwa datuk-buyut kami bukanlah orang sembarangan. Mereka telah menggoreskan tarikh sejarah cemerlang di tanah Gurun Tuo hingga sampai ke Jambi. Dan hal itu masih kuingat rapat dalam benak pikiranku.

“Dengarkan, Buya mau berkisah padamu, tentang silsilah Moyangmu Shoefie bin Tengkin.” Kata Guru kami itu sambil menyapu pandangan padaku.

Aku memasang telinga tajam-tajam, dan mata tak berkedip sedikit pun. Kutengok sepupu-sepupuku yang lain juga duduk merapat. Seakan tak mau kehilangan huruf dan harakat satu pun. Para datuk, wak dan paman-pameman kami pun juga ikut memasat telinga menyimak pula.

Siti Halimah binti Abdul Halim Abizar Chaniago, bergelar Datuk Paduko Ndo Kayo, kawin dengan Mas Agus Gunawan. Dapat anak tiga orang, yaitu: Tengkin, Gelgan dan Ali.” Kata Buya sambil menunjukkan telunjuk, jari tengah dan jari manis tangannya sebelah kanan agak gemetar. Sementara kelingking dan ibu jarinya saling menggulung. Paham!

Aku mengangguk-angguk sembari menyerap nama yang agak aneh di telingaku. Walau sudah jauh memeluk Islam. Nama-nama Melayu kuno melekat pada nama bapak dari moyangku. Tengkin bin Mas Agus Gunawan.

“Kemudian Tengkin kawin dengan Bendarimen binti Ki Agus Gunarti (dari Sungai Tawar, Terusan, Palembang) dapat empat anak, yaitu Shoefie, Saman, Maznah dan Jenah. Shoefie kawin dengan Zainab binti Syamsuddin Nakhodo (cucu dari Mas Mato binti Ahmad Kromo Joyo, yang bergelar Sunan Pakubuwono III). Dari perkawinan Shoefie bin Tengkin dan Zainab Syamsuddin Nakhodo dapat tujuh anak, antara lain; Haji Ja’far Shoefie dan Haji Ahmad Shoefie.” Sambung Buya Abdullah Shoefie sambil merenggangkan duduknya.

Menurut kisah yang masyhur kudengar dimasa kanak-kanak dulu, Sunan Pakubuwono III dari Kraton Solo ini lari ke Sumatera, sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial Belanda. Sampai di Lubuk Landai, Bungo, Jambi kawin dengan perempuan tempatan. Jadi kampungku Gurun Tuo memiliki pertalian darah dengan Lubuk Landai, Kabupaten Bungo. Bahkan di masa bupati Bungo, Husin Sa’ad, para orang-orang tua kami bersilaturrahim ziarah ke Lubuk Landai. Orang-orang Lubuk Landai membalas kunjungan ke Gurun Tuo dengan membawa dua ekor kambing untuk disembelih dan dimakan bersama-sama. Kisah ini aku dapatkan juga dari bapakku.

Bahkan as-Syajarat al-Silsilah (Pohon Silsilah) Nenek-Moyangku itu pernah dibawakan Husin Sa’ad dan kerabat keluarga di Lubuk Landai, Bungo ke pihak Kraton Solo. Pihak Kraton Solo membenarkan dan mengesahkan bahwa memang Pakubuwono III memang lari ke Sumatera dan beroleh zuriat keturunan disana. Aku pun dengan mata kepala sendiri, pernah melihat As-Syajarat al-Silsilah leluhurku ini dalam selembar karton yang dibikin oleh guru kami Buya Abdullah Shoefie, yang bertulis dengan huruf arab. Jika ditelusuri secara detail dan teliti, hampir penduduk Gurun Tuo memiliki keterkaitan hubungan pertalian darah satu dengan lainnya. Aku tak tahu, apakah susunan pohon silsilah itu masih ada atau tidak lagi?

Bahkan selepas bubar majelis di serambi masjid itu kembali ke rumah masing-masing. Begitu juga guru kami, Buya Abdullah Shoefie berlalu. Aku, abang sepupuku, anggota Bujang Bangku Masjid tertua berwatak politisi dan abang sepupuku nomor empat, beserta Wakte Ihsan menyimak dan membaca As-Syajarat al-Silsilah leluhur kami itu, sampai keasyikannya hingga masuk waktu zuhur. Sementara sepupuku yang lain, masuk gulungan tikar di tempat sholat kaum perempuan menuntaskan tidur pagi mereka. Ada juga sepupuku yang lain yang tak terlalu hirau. Bagiku, bukan mau membangga-banggakan atau mengambil sikap ‘ashabiyah (fanatisme) puak dan klan. Namun, disitu tersisip sejarah, yang jika tak dikisahkan akan luntur terkubur zaman.

Pada malam keesokan harinya. Selepas pulang dari pengajian taraweh. Emak Faridah berpesan kepadaku untuk ke rumahnya di Kampung Tengah. Perempuan ramah dan baik hati yang kusapa emak ini, adalah saudari tua bapakku. Dia biasa mengajak kami menikmati makanan dan minuman sehabis sholat taraweh. Bahkan dulu, aku pulang liburan dari pesantren di Bangil, Jawa Timur, beliau sering mengundangku dan sepupuku yang lain berbuka puasa di rumahnya. Anak lelakinya yang tertua adalah sepupuku yang cerdas. Kawanku semasa sekolah di SD dan Pesantren di Jawa Timur itu. Bersama adiknya, mereka berdua juga, sebagaimana kebiasaan Bujang Bangku Masjid, bila dimalam hari suka mengenakan kain sarung terselempang di leher. Mirip pendekar-pendekar di zaman baheula.

Seperti yang telah kukisahkan sebelumnya. Bahwa guru kami, Buya Abdullah Shoefie adalah seorang pembaca tekun dan pencerita yang memikat. Jika melihat kami datang ke rumahnya, tak jarang beliau menumpahkan ilmunya melalui obrolan bertenaga dengan balutan kisah tarikh-sejarah zaman dahulu. Dan itulah yang sebenarnya sangat memikatku. Aku seringkali tak puas, sembari bertanya ini-itu, dan tak jarang melebar ke persoalan hukum Islam yang kerap mencetuskan ‘perdebatan’ antara kami dan beliau. Bukan perdebatan kusir, lebih tepatnya semacam transfer ilmu dari beliau pada kami, Bujang-Bujang Bangku Masjid.

Ditemani hidangan bubur jahe, sumping tanah dan bubur talam lemak. Malam itu, guru kami Buya Abdullah Shoefie, seolah sengaja hendak membentangkan sejarah tentang nenek-moyangku. Sambil memegang handuk radio kecil, handuk kecil yang terselempang di bahunya, rokok putih beliau mulai melayarkan cerita-ceritanya.

“Dengar, malam ini, buya mau berkisah khusus tentang sejarah buyut-buyutmu. Perhatikan dan ingat baik-baik. Kata beliau lantang dan jelas. Abang sepupuku nomor dua, menyifati kelantangan suara Buya ini dapat ‘memakan’ suara yang keluar dari mikrofon sekali pun.

“Pada tanggal 12 Rabiul Awwal 1292 H. Lahirlah Buyutku Haji Ja’far Shoefie dari pasangan Shoefie bin Tengkin dan Zainab binti Syamsuddin Nakhodo. Tahun kelahiran buyutku dari sebelah emak, bersamaan dengan tahun didirikannya Madrasah As-Shaulatiyah, Mekkah. Jauh sebelum itu telah berdiri juga dua Madrasah As-Shaulatiyah di Lucknow dan Hyderabad (India) yang didirikan seorang wanita bernama Shaulah asal India. Dia adalah istri dari Syeikh Rahmatullah. Maka, nama Madrasah ini dinisbatkan kepada namanya. Kemudian Madrasah As-Shaulatiyah dipimpin oleh cucunya Sheikhah Shaulah, yaitu Sheikh Salim sebagai mudirnya, ketika Haji Manshur Ja’far (bapak dari Guru kami Buya Abdullah Shoefie) belajar di Mekkah.” Tukas beliau mengembangkan senyum hangatnya.

“Sedangkan Madrasah Al-Falah. Sekolah datukmu KH. Nawawi Ahmad (alias Guru Mudir) mengaji di Mekkah berdiri tahun 1330 H. Tahun itu juga berdiri sebuah organisasi Islam besar di Indonesia, yaitu Perserikatan Muhammadiyah 8 Dzulhijjah 1330 H yang diasaskan KH. Ahmad Dahlan di Jogjakarta.” Sambung beliau sambil menatap padaku dalam-dalam.

Aku mengangguk-angguk dalam. Benak pikiranku berkelabat menjelajah jauh ke zaman silam. Singgah di wajah datukku yang kuingat dalam usiaku lima tahun. Ketika itu kondisi kesehatannya sudah rapuh dimakan penyakit sesak-napas. Tapi, penyakit macam apa pun tak sanggup mengusir watak pemarah Guru Mudir. Aku masih ingat, ketika menjenguk beliau ke rumah Nyai Lautku, Nyai Mahanin. Selepas aku mencium tangannya, aku diberinya sekerat roti biskuit coklat disimpan dalam stoples plastik disampingnya. Ketika anak-cucunya agak terlambat memenuhi permintaannya, amarahnya pecah seketika. Aku pun merasakan seolah mau diteguk oleh amarah penyakit tuanya. Kakiku gemetaran hebat ketika itu. Kalau-kalau tak lekas dibawa bapakku ke luar kamarnya, boleh jadi aku terkencing-kecing dibuatnya.

Marah datukku akan mereda, bila datang anak lelaki tertuanya. Abang dari bapakku yang dipanggil dengan Wak. Beliau adalah anak lelaki kesayangannya sedari kecil. Dulu, kemana-mana pun datukku pergi urusan dinas. Wakku ini seringkali diajak. Bahkan dimasa kecil, beliau sudah pergi ke kota-kota besar di Sumatera macam Palembang dan Padang. Bahkan menurut cerita nyaiku, wakku ini sudah naik pesawat dimasa bujang kecilnya mengikuti tigas dinas datukku di kantor sosial Provinsi Jambi. Konon, dari cerita paman, sepupu bapakku, mungkin, lantaran Wakku inilah anak lelaki tertuanya. Dua anak tertua datukku semuanya perempuan. Yakni, Wak te Halimah dan Emak Faridah.

Kemudian alur benak pikiranku kembali mencerap cerita-cerita yang dibentangkan guru kami; Buya Abdullah Shoefie. Kutengok emak Faridah menghidangkan teh panas bercampur daun Ni’nak (Mint) kering. Dituangnya secangkir untukku, cangkir-cangkir lainnya untuk sepupuku yang duduk berkumpul melingkari guru kami. Sedangkan didepan Buya secangkir besar kopi A tigo bertutup.

Dalam ilmu falak. Buya dulu mengaji dengan Buyutmu Ahmad Shoefie. Sehabis subuh menjelang masuk sekolah rakyat di hulu kampung, yang kemudian hari dibeli oleh Jailani. Penduduk kampungku memanggilnya Wak Jai.

Yang mengaji falak bukan hanya Buya seorang. Ada Bang Hasan Utsman, Gus Damiri, Sulaiman, Haji Zulkifli dan lain-lainnya. Termasuk yang generasi bapakmu sesekali sering ikut mengaji. Kami mengaji di serambi Masjid ini lah, berterang lampu pelita kandil, dibawah beduk tua itu.

Tapi, setiap kali mengaji ilmu Falak. Pandangan Buyutmu selalu tertuju ke Buya seorang. Kadang Buya tak enak dengan kawan-kawan yang lain. Seolah-olah buyutmu hanya mengajar buya seorang saja. Padahal banyak murid-muridnya yang lain duduk melingkar sekeliling buyutmu. Tiap apa yang buyutmu terangkan, buya paling cepat paham. Jadi pengajian ilmu falak tersambung terus. Jika ada pertanyaan, buya lah yang selalu mendapat giliran pertama menjawab. Jika pertanyaan yang diajukan pada kawan-kawan yang lain tak mampu dijawab mereka, buya juga yang terkena giliran menjawabnya. Jadi, lama-kelamaan, Buyutmu merasa yang ‘makan kaji’ ilmu falak yang diajarkannya hanya buya seorang.

Tapi, sebenarnya ilmu falak yang buya dapatkan dari buyutmu adalah kunci-kuncinya yang berupa inti saripati dari ilmu falak. Sedangkan selepas itu merupakan hasil otodidak dan penyelidikan buya sendiri. Karena ilmu Falak ini adalah ilmu eksakta (ilmu pasti). Maka, siapa yang mengaji dan mempelajarinya harus pakam dulu menguasai disiplin ilmu Al-Jabar, berikut cabang-cabangnya berupa geometri, matematika, aritmatika dan logaritma. Disamping memang menuntut ketekunan luar-biasa, senantiasa menyelidiki dan meneliti dan rajin membaca perkembangan keilmuan astronomi yang sudah luar biasa pengembangannya.

“Jadi, kalau disusur-jelujur ilmu Falak ini. Buya berguru dengan Buyutmu Sheikh Haji Ahmad Shoefie (1302-1386). Buyutmu belajar mengaji ilmu Falak dengan Sheikh Mukhtar Bogor (1278-1349 H). Sheikh Mukhtar Bogor bersama Sheikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif al-Minangkabawi (1276 -1334 H dan Sheikh Sa’id Yamani (1265-1352 H). (Datuk dari Zaki Yamani, mantan Menteri Perminyakan Arab Saudi) mengaji ilmu Falak dengan Sheikh Abu Bakar Syatha (1266-1310 H) penulis kitab I’anat at-Thaalibin (kitab rujukan ulama-ulama bermazhab Syafi’i di Indonesia).” Terang Buya Abdullah Shoefie panjang lebar, jari-jemarinya agak gemetaran.

Sheikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah ulama besar di Masjidil Haram. Nama al-Khatib melekat dibelakang namanya, lantaran beliau menjadi salah-satu Khatib di Masjidil Haram. Seorang anak Melayu yang jadi alim besar dari jadi rujukan alim-ulama di Bilad al-Haramain. Beliau juga merupakan gurunya Inyik Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah (bapaknya Buya Hamka). Sosok ulama besar yang sangat dihormati Inyiak Rasul yang kelak mengilhami gerakan tajdid (pembaharuan) di Sumatera Barat.

Sheikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif al-Minangkabawi ini lahir di Koto Gadang, Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pada hari senin, 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 M) dan wafat di Mekkah hari Senin, 8 Jumadil Awal 1334 H (1926 M). Semasa mudanya di Mekkah, dia mengaji berguru dengan ulama terkemuka antara lain, Sayyid Bakr as-Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Sheikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.

“Ketika datuk Mukmu Haji Manshur Ja’far pergi mengaji ke Mekkah. Beliau bertemu dengan Sheikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Jadi Datuk Mukmu bertemu dengan guru Buyutmu Haji Ahmad Shoefie. Karangan kitab beliau antara lain, Ar-Riyadh al-Wardhiyah, Hasyiah Fath-ul Jawad di Fatwa al-Khatib”. Jelas Buya bak membuka lapisan langit pengetahuan baru bagiku.

Dalam penelusuran kemudian hari setelah aku merantau jauh dari negeriku. Ternyata Sheikh Ahmad Khatib bukan hanya ahli dalam ilmu fiqh, hadits dan tafsir serta ilmu-ilmu agama lainnya. Beliau juga ahli geometri, terbukti dengan kitab yang dikarangnya, berjudul: Raudhat al-Hussab fi ‘Ilmi al-Hissab, dicetak pertama kali oleh Maktabah Al-Maimuniyah al-Halabi, Mesir (1910 M). Kitab ini mengetengahkan perbincangan seputar ilmu geometri dan lain sebagainya.

Bahkan dalam ulasan tiga sarjana penyelidik Noor Hayati Marzuki, Sharul Nizam Ishak, Jamaludin Md Ali dari Universitas Sains Malaysia, Penang. Mengulas kitab Sheikh Ahmad Khatib tersebut yang membahas teori Sfera (tiga Matra) terilhami dari kuncup bunga Tuut (Shonunbur). Teori Geometri Sheikh Ahmad Al-Khatib mengulas juga, segitiga, segi empat, bulatan dan elips, piramid, silinder, trapizium dan lain sebagainya. Sheikh Ahmad Khatib ini juga menghubung-kaitnya dengan bentuk bumi bulat. Sarjana Islam sudah lebih mengetahui bahwa bentuk bumi itu bulat. Ketiga sarjana penyelidik (peneliti) mengangkat kepakaran multidimensi dari ketokohan Sheikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga anak Melayu abad 19 yang menjulang tegak menjadi menara ilmu di Bilad al-Haramain.

Malam itu, sambil menikmati hidangan perhausan taraweh. Aku dan sepupuku menikmati perbancuhan ilmu pengetahuan yang juga dihidangkan guru kami; Buya Abdullah Shoefie. Sosok jenius didikan pengajian di kampungku. Pembaca ulung dan pencerita hebat yang memikat kami sejak kanak-kanak dulu. Beliau juga tipikal ulama zaman dahulu, yang menaruh minat dalam pada ilmu sains.

Pada dasarnya, yang dinamakan ulama itu adalah Mutaafaanin (menguasai banyak cabang ilmu) Jadi, bukan hanya menguasai ilmu-ilmu agama belaka, juga ahli dan pakar dibidang ilmu sains sebagaimana yang ditunjukkan ulama-ulama abad pertengahan seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Qayyim, Al-Jabbar, Al-Khawarizmi dan lain-lain.

Sosok ulama itu bukan yang jenggotnya panjang jatuh menjuntai ke lantai dan lilitan gulungan surban di kepalanya sebesar bunang. Sementara menjauhkan perbincangan ilmu sains dari urusan persoalan agama. Bukan sosok yang sampai kini masih sibuk mempertengkarkan, bahwa belajar bahasa asing selain bahasa Arab itu haram!

(Bersambung)

Rabea Adawea. Cairo, 4 November 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home