musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Monday, December 7, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (22)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (22)

Ahmad David Kholilurrahman


Bak Dengungan Ribuan Lebah


Jika ditarik garis lurus dari hulu ke hilir antara dua kampung yang dipisah sungai Batang Tembesi itu. Maka rumah Datuk Cik Syarif, saudara nyaiku sebelah emak, adalah tapal permulaan kampung Gurun Simpang hingga berakhir di tepian Wak Karim yang kini dibangun jembatan gantung baru. Jembatan gantung terbuat dari besi yang warna catnya mengingatkan aku pada jembatan The Golden Bridge di San Fransisco yang kulihat di televisi.

Jadi, sepanjang tepian kampung Gurun Simpang hanya ada beberapa rumah panggung saja. Antara lain, rumah datuk Haji Hamdan berdepan dengan tepian rakit jambannya yang besar, tempat perahu-perahu orang kampungku berlabuh. Jauh sebelum kedua kampung terhubung oleh jembatan gantung. Ketika itu, setiap rumah memiliki perahu-perahu yang ditambatkan di rakit jamban. Moda transportasi sungai sangat vital memegang peranan luar biasa. Ibaratnya, siapa yang tak punya perahu, berarti tak memiliki kenderaan ‘sepeda motor air’.

Dan anak-anak sekecilku wajib belajar berenang dan mengemudi berkayuh perahu. Di kampungku, jika perahu ditumpang lelaki dan perempuan. Maka, lelaki itulah yang harus berkayuh. Jadi, malu lah kalau seorang anak lelaki menumpang perahu, sedangkan yang mengemudi kayuh perahu perempuan. Serasa semua mata orang kampung dari hulu ke hilir menatap lelaki yang sepanjang penyeberangan dikayuh kaum perempuan. Aib. Malu lah, kawan! Perasaan tak enak sama seperti berenang berhanyut dari hulu ke hilir, naik ke tepian berjalan kembali ke hulu tanpa baju.

Karena pelajaran akhlak sopan-santun adalah mendasar bagi kami. Jauh sebelum kami mengenal baca-tulis. Sopan-santun adalah didikan rumah tangga. Jika orangtua pandai mendidik anaknya, maka anak itu akan tumbuh berkembang jadi anak baik perangai, berakal dan berbudi halus. Hormat pada yang tua. Sayang pada yang muda. Tahu perbasaan-panggilan sanak kerabat sekampung; Mana yang dipanggil paman, bibi, wak, datuk, buyut. Dari ketepatan cara panggilan perbasaan, dapat diukur apakah kedua orangtua mereka dirumah mengajari atau tidak? Anak yang baik itulah dinamakan ‘makan ajaran’ orangtua.

Jangan coba-coba salah panggil. Yang dipanggil boleh menegur langsung. Atau dia pura-pura tak mendengar. Perlakuaan diacuhkan itulah yang tak mengenakan. Bagi yang lekas paham, sadarlah dirinya telah salah panggil perbasaan.

Seketika terlontar ucapan:”Kurang ajar, aku ini masih terhitung sepupu jauh datukmu, kau panggil pulak dengan Wak!”. Ucapan yang mengatakan ‘aku’ terloncat macam sambaran petir ditengah siang bolong

Dengan orangtua dan sanak keluarga, setidak-tidaknya pada yang lebih tua, kami tak pernah mengatakan ‘Aku’ tapi ‘Saya’. Walau makna keduanya sama saja. Tapi, panggilan diri dengan saya. Bagi kami orang Melayu Gurun Tuo, panggilan saya lebih ‘halus’ daripada aku. Kami tak pernah memanggil yang lebih tua dari kami dengan panggilan kau atau kawan. Bagi yang lembut perasaannya, seringkali ditambah; iya, saya!

Dan Guru Kami Wak Gus Damiri adalah penjaga gawang moral di kampungku. Jika tak pandai panggilan perbasaan, mesti siap-siap menerima jeweran kuping. Atau sebatan rotan peledas yang hangatnya minta ampun. Ketika itu, kalangan orangtua wali murid tak satu pun yang komplain, jika anaknya dihukum guru. Karena, hukuman guru adalah wajah lain dari pendidikan akhlak budi pekerti. Itu bagian dari ‘reward and punishmen’ yang sangat jitu dikemudian hari kelak.

Sejak kecil emakku sudah menggadang-gadang aku untuk diserahkan mengaji dengan Guru kami Wak Gus Damiri. Ketika itu beliau sudah berpindah ke seberang kampung, membangun rumah panggung bertiang berdinding kayu bersebelahan dengan rumah Datuk Haji Hamdan. Rumah pengajian disamping rumah mertuanya dikampungku itu tutup, sejak beliau pindah ke rumah barunya di seberang kampung.

Namun, lantaran aku masih kecil baru kelas satu SD. Sedangkan aku belum pandai berkayuh perahu, walau sudah berenang di sungai macam itik ke hulu-hilir. Emakku agak khawatir melepasku sekecil itu. Rencananya tahun depan, jika aku sudah duduk di kelas dua atau tiga SD, aku akan diserahkan seperti abang-abang sepupuku yang telah mengaji ke rumah guru kami Wak Gus Damiri.

Setiap petang, aku hanya dapat menelan ludah melihat abang-abang sepupuku menyeberang mengaji dengan sang pendidik sejati itu. Jika sudah petang melamur dilangit barat hulu kampung. Ramai lah perahu-perahu tertambat di rakit jamban Datuk Haji Hamdan. Rumah guru kami, Wak Gus Damiri macam digelayuti puluhan ekor sarang lebah. Suara mengaji al-Qur’an seperti dengungan ribuan lebah.

Jauh sebelum aku lahir. Kampungku adalah salah-satu pusat pengajian Islam terkenal dikawasan pedalaman Jambi. Banyak guru-guru agama yang pernah mengaji di Bilad al-Haramain dan lulusan madrasah pengajian di Jambi Seberang. Datuk dan buyutku sendiri adalah alumnus sekolah agama di Mekkah. Bahkan keduanya, sekembali ke Tanah Air semakin ligat menyiarkan dakwah Islam hingga ke penjuru Jambi. Mengajar wilayah pedalaman sungai Batang Tembesi hingga ke Sabak dan Tungkal dibagian hilir.

Ramai nian orang-orangtua menyerahkan anaknya mengaji di kampungku Gurun Tuo. Dari wilayah mudik pedalaman macam Tabir, Rantau Panjang, Air Liki, Pangkal Bulin, Jernih, Air Hitam, Pauh, Sepintun, Lubuk Napal, Lamban Sigatal mengaji ke Gurun. Juga dari wilayah peiliran, semacam Rantau Kapas, Muara Tembesi, Mato Gual, Aur Gading, Jelutih, Muaro Ketalo, Kertapati dan lain sebagainya mengaji ke para datuk-buyutku.

Anak-anak pengajian ini bermukim di pondok-pondok kecil yang dibangun di tanah kosong. Di sebelah hulu rumah datuk Haji Hamdan ada beberapa buah pondok. Dikampungku sebagian mereka tinggal di rakit-jamban yang lebih besar. Sehabis belajar mengaji baca Al-Qur’an, mereka pergi memotong-menyadap karet tauke getah, atau mengambil upah pada orang kampung yang memerlukan tenaga mereka. Jika tidak, kiriman dari orangtua mereka di kampung mencukupi. Hanya perlu beli beras dan cabe. Sedangkan lauk-pauk ikan, tinggal menjala atau memancing di sungai.

Biasanya, ada saja kaum dermawan yang baik hati menyumbang mereka berupa kebutuhan belanja dapur sehari-hari. Yang berladang-kebun, biasa memberi sayur-sayuran, jenis cabai, kesik, kacang panjang, pucuk ubi, labu dan cendawan. Memang, rezeki orang yang menuntut ilmu agama itu tak sama dengan yang bekerja. Pintu-pintu rezeki terbuka dari arah yang tak terduga. Jadi, berbahagia lah, wahai para penuntut ilmu!

Guru Haji Manshur yang kupanggil Datuk Muk adalah salah-satu guru yang mengajarkan ilmu-ilmu agama di Madrasah kampungku. Jauh sebelum beliau pulang ke Tanah Air. Sudah tersiar kabar, bahwa akan pulang seorang guru dari Mekkah. Ketika itu ramai lah, harapan orang-orang kampungku dengan kedatangan beliau. Seorang alim pandai yang mengaji selama dua puluh satu tahun dengan Masyayeikh Bilad al-Haramain. Lebih lama empat tahun dari Guru Mudir, KH. Nawawi Ahmad, datukku sendiri yang juga mengaji selama tujuh belas tahun.

Guru Haji Manshur pulang ke kampungku membawa anak-istrinya. Salah-satu anak yang dibawanya, dia lah Guru kami kelak; Buya Abdullah Shoefie. Sedangkan anak keduanya, Wak te Ahmad Kautsari, sebelum pindah mengajar di Kuala Lumpur, Malaysia juga sempat mengajar abang-abang sepupuku mengaji madrasah. Namun, aku sendiri tak sempat belajar dengan beliau.

Pada mulanya, Madrasah pengajian berlangsung di rumah bertiang yang kini dibeli oleh Wak Jailani. Disitu lah murid-murid belajar mengaji madrasah. Asal mulanya madrasah itu adalah gedung Sekolah Rakyat (SR). Namun, Sekolah Rakyat itu berpindah ke kampung seberang. Yaitu ke gedung kayu yang kelak juga menjadi tempat aku belajar di Sekolah Dasar No 53/VI. Guru Sekolah Rakyat (SR) yang tersohor di zaman orangtua kami adalah Guru Manan dan Guru Sabki.

Dan pangkalan perahu menyeberang bagi murid sekolah di tahun 1960-an itu adalah lubuk Samaragi. Biasanya, dari tepian seberang, murid-murid Sekolah Rakyat berteriak memanggil orangtuanya minta dijemput. Datuk Ndek Azaya akan meneruskan pesan jemputan itu kepada orang-orangtua mereka yang tinggal di hulu kampung. Ketika itu kampung Gurun Simpang masih hutan belukar lebat. Hanya ada jalan setapak yang menghubungkan Sekolah Rakyat dengan bangunan gardu tua yang dibangun zaman Belanda itu. Konon, Belanda merencanakan bangunan Gardu besar diperuntukkan pasar kalangan pekanan bagi Gurun dan kampung-kampung sekitarnya.

Bangunan tua bertiang beton beratap seng itu, masih kusaksikan hingga zaman aku masuk sekolah dasar. Begitu kokoh dan kuatnya bangunan yang dirancang oleh Penjajah Belanda itu. Apabila diterpa hujan tengah jalan hendak pergi sekolah di pagi hari atau sekolah madrasah di siang hari, gardu tua menjulang tinggi itu menjadi tempat persinggahan berteduh sementara. Di malam hari itulah tempat hangat bagi kambing-kambing yang tak diperdulikan tuan pemiliknya balik kandang. Bau tahi dan kencing kambing menguap dahsyat, apabila bertimpa tempiasan hujan!

Gurun Tuo adalah tujuan para pengaji ilmu-ilmu agama (dalam bahasa Melayu Jambi; Ugamo) dari penjuru pedalaman aliran sungai Batang Tembesi. Kampung besar itu, sudah masyhur sebagai tempat lahirnya para alim-ulama yang menyiarkan agama Islam di Jambi. Banyak yang pandai menguasai ilmu-ilmu keislamanan. Wibawa kampungku di zaman itu sudah terdengar ke mana-mana negeri, sebagai salah-satu pusat pengajian Islam penting di provinsi Jambi.

Sejak dari zaman batu sabak kalam gerip sampai buku tulis pena pensil. Gurun Tuo telah tegak menjulang jadi menara penyiaran Islam di Pedalaman Jambi. Yang gaung syiar Islam itu disiar-siarkan ke wilayah pedalaman dan peiliran. Lantaran pernah menjadi pusat terkemuka pengajian Islam, maka diakal pikiran penduduk kampungku, wilayah geografis itu seolah berpusat di Gurun Tuo. Penduduk yang mendiami wilayah pedalaman sungai Batang Tembesi dan Merangin disebut orang-orang mudik. Sedangkan bagi yang mendiami sepanjang aliran sungai hingga bermuara ke sungai Batang Hari bermuara di Sabak disebut orang peiliran.

Wibawa Gurun Tuo ketika itu sudah menyamai bahkan melebih Sarolangun. Sebuah kota kecil yang terletak di tangah urat nadi perhubungan di Provinsi Jambi. Jika pasar Sarolangun sudah mekar sejak zaman Belanda. Maka, Gurun Tuo sudah marak menjadi pusat pengajian Islam, jauh sebelum zaman kemerdekaan Indonesia. Paling tidak, wilayah Kepesirahan yang sekarang mencakup Kecamatan Mandiangin dan sekitarnya adalah Buyutku sendiri, Pesirah Ja’far Shoefie dari Gurun Tuo.

Kebesaran dan kegemilangan sejarah masa lalu. Sampai kini masih melekat disebagian penduduk kampungku. Bagi mereka, Gurun Tuo itu pernah berjaya sepadan dengan Sarolangun. Karena itu, sedikit tidak mempengaruhi kultur dan sikap penduduk kampung yang tak mudah tunduk. Terkadang, kejayaan masa lalu menjadi ingatan kolektif yang tak segera jua tanggal dari alam pikiran mereka. Walau, kuakui sikap semacam ini, adalah salah-satu faktor penghambat kebangkitan Neo Gurun Tuo.

Jika bercakap mengotah, mereka tampak seperti pakar dan ahli disiplin keilmuan mana pun. Jika berteori, bukan main seolah Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Al-Jabbar, Al-Khawarizm pernah menyinggahi kampungku. Dan penduduk kampungku terciprat tumpahan ilmu mereka yang meninggalkan jejak tapak pengaruh hingga direguk peradaban Eropa Abad Pertengahan. Sejak kanak-kanak, aku sering mengamati, bahwa penduduk kampungku memiliki tiga bakat keahlian sekaligus; Pengamat, komentator dan reporter!

Macam-macam perbincangan yang mengupas teori ini teori itu. Walau, tak semua teori itu pernah mereka jajal eksprimen di Laboratorium ilmu pengetahuan. Berdasarkan prakiraan dan dugaan belaka. inilah penyakit kalau telah banyak berbual-bual. Khayalan tingkat tinggi merengkuh hingga Tembok Raksasa di Negeri Tiongkok, di Timur dan tanah Andalusia di Barat.

Namun, kehadiran guru-guru alumni pengajian Madrasah di Bilad al-Haramain, sedikit tidak telah memberikan imbangan pada watak kultur penduduk kampungku. Mereka, menyerukan bahwa kunci ilmu pengetahuan adalah membaca, menelaah, berpikir dan mengamalkannya. Tanpa itu semua kosong belaka. rumah-rumah pengajian, madrasah dan gedung sekolah umum adalah usaha dari mengerem mulut orang-orang kampungku tak menghabiskan waktu sepanjang hari dengan obrolan otahan belaka.

Jika dulu, bapak dari buyutku Shoefie bin Tengkin sudah menyibak jalan terang cahaya. Kala itu penduduk kampungku sibuk menghabis waktu ditelan sia-sia dengan mengaji kitab perukunan Iman dan Islam. Diteruskan anak-anaknya, yang mengaji di Mekkah, lalu menyebarkan dakwah Islam hingga wilayah pedalamanan Jambi. Maka generasi cucunya, mulai membuka rumah Madrasah Pengajian Keislaman di tanah kelahiran datuknya. Sehingga berduyunan dari kampung-kampung pedalaman dan peiliran yang datang mengaji dengan Guru Manshur Ja’far, KH. Nawawi Ahmad, Haji Ismail Ja’far hingga kelak diteruskan anak-anak mereka. Yaitu Guru-guru kami; Wak Hasan Utsman, Wak Gus Damiri, Buya Abdullah Shoefie dan lain-lainya.

Rumah-rumah pengajian belajar membaca mushaf Al-Qur’an tumbuh merecup sepanjang kampung. Dari yang paling kecil hingga besar. Dari hulu ke hilir. Dari yang muridnya sekitar 10 orang hingga 50-an orang. Sekolah Madrasah Al-Falah dan Ats-Tsaqafah tegak menjulang bak menara kembar yang menaungi kampungku dari kegelapan jahiliyah. Membuka mata menatap dan menghikmati delau terang benderang ajaran Islam.

Guru-guru yang ikhlas itu tegak di barisan paling depan membentengi dari syirik, khurafat dan bid’ah jahiliyah. Para pengamal ilmu hitam dan sihir semakin menyusut jauh. Sejak para alim-ulama tamatan Madrasah di Mekkah itu pulang menyiarkan akidah Islam, mengajak hanya beribadah dan menyembah Allah Subhanallah Ta’ala. Memurnikan akidah tauhid adalah hal yang paling mustahak dalam hidup ini. Tanpa kompas tauhid, karam lah biduk perahu yang berlayar di tengah gelombang dunia fana ini.

Guru kami Buya Abdullah Shoefie sering menasehati kami semasa kecil dulu;“Jangan berkeliaran di waktu petang maghrib. Pergi ke Masjid atau pulang saja ke rumah!”.

Maksudnya jelas, pergi lah sholat jema’ah di Masjid atau pergi mengaji al-Qur’an di rumah-rumah pengajian. Jika waktu petang melamur, rumah-rumah pengajian berterang lampu kandil minyak itu bersimbah cahaya terang benderang. Suara anak-anak mengaji terdengar dari hulu sampai hilir kampung, bak dengungan suara lebah membelah angkasa raya. Setan iblis takut mendekat, membisikkan pengaruh jahat. Hantu-hantu memilih pergi menjauh.

Sebatang sungai yang mengalir lembut di kampungku itu menyimak kalam Allah yang dibaca para umat Muhammad SAW di Gurun Tuo. Suara-suara kanak-kanak melantunkan ayat-ayat suci itu merentas tebing, menyeberangi sungai, memantul pematang bukit di seberang, lalu menghulu ke Teluk Kuari, menghilir ke Teluk Gilo. Lalu, diam-diam terbang membumbung ke langit malam. Seiring bentangan sayap-sayap malaikat memayungi langkah kaki-kaki kecil para penuntut ilmu.

(Bersambung)


Rabea Adawea, Cairo, 7 Desember 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home