musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Tuesday, February 16, 2010

Sajak: Pak M. Natsir

Sajak: Pak M. Natsir

Ahmad David Kholilurrahman

Alahan Panjang,

Di lembah Gumanti,
Berdepan Jembatan Berukir,
Rumah tangis perdanamu,
Adalah Alahan Panjang,
Yang kumandang azan
Menjulang, ruang waktu
yang bertumpang rindu

O, Putra Muhammad Idris Sutan Saripado
Yang santun, cerdas dan sederhana
Seperti pantulan sepasang danau kembar
Di kaki Gunung Talang
Laman kanak-kanakmu, terbentang
Antara Alahan Panjang, Maninjau,
Solok dan Padang

Seperti lazim bujang surau,
Jauh sebelum ke rantau,
Yang hirau, yang lepau, yang limau
Manis airmuka santunmu,
Yang kalau jadi pantun,
Terjun turun ngarai,
Jadi lembah, lurah dan muara
Tersusun Capita Selecta

Bandoeng,

Kau bungkam mulut congkak guru Belanda
Yang pandang sebelah mata anak Sumatera

Rantaumu tanah Jawa,
Tera perahumu berkayuh ke telaga ilmu
Berguru ke Tuan A. Hassan
Di Kampung Keling,
Mengasah diskusi serembang petang,
Haji Agoes Salim dan Syaikh Ahmad Soorkati
Pun, kau mengaku berguru tiada henti

Sebenarnya hampir nyicip selemak-semanis ilmu,
Kau abaikan beasiswa ke Negeri Belanda
Narik hatimu, adalah syarah gurumu
Yang berpaham pembaharu
Yang fasih Arab, Inggris, India dan Melayu

Dalam perbancuhan mengaji ilmu,
Diskusi dan debat adalah perkara baru
Yang tumbuhkan rindu murid-guru
Mencari panduan Soal Jawab
Sembuhkan lumpuh umat,
Yang kebat-kebatkan khurafat,
Yang ada-adakan bid’ah
Yang kumpul-kumpulkan tahayyul

Djakarta-Djogjakarta,

Dalam pergerakan dunia siasat,
Kesantunanmu tiada kira,
Majelis terdiam menyimak pasat
Bulir-bulir bernas pemikir besar nan bersahaja
Daya jelajah intelektual terbentang luas
Menyelam di lubuk agama, falsafah, bahasa, sastra
Menyuluh kandil lentera cahaya emas
Akan akal budi berterang wahyu Allah

Pembela Islam, Panji Masjarakat
Memuat buah pikirmu, sedari mula
Gurumu menyuruh cari sendiri
Akan persoalan berkelindan kemudian
Mencari jawaban tahan ujian zaman?

Walau tangga dunia berupa wazir
Dan perdana menteri pernah kau daki
Tak silau akan harta, tak tuna akan kuasa
Karena jabatan adalah khidmah, bukan hadiah?

Masih terkenang aku, akan jiwa sederhana
Baju kemeja bernoda tinta, jas berjahit tambal-sulam
Kau tolak halus mobil kenderaan, harta benda dunia
Yang bukan hak dan milikmu?

Kau rancang arstitektural Mosi Integral Negara Kesatuan,
Menyelamatkan cerai berai Nusa Antara
Yang dah teriris-iris kecil jadi serikat-serikat
Kembali anak-anak negeri ke pangkuan persatuan

Hoetan Rimba Raja Soematera

O, zaman yang kacau,
Melahirkan keajaiban sosok lurus, sayang keluarga
Sepanjang masa memikirkan umat

Ketika penguasa berlaku timpang,
Maka rumah perjuanganmu menjelma hutan-hutan Sumatera
Keluar masuk nagari, bermalam di alam rimba raya
Pusat Pemerintahan Republik Revolusioner Indonesia

Pintu penjara adalah tamasya,
Seperti Hamka yang berkhalwat,
Mengarang lunas Tafsir Al-Azhar,
Bagimu adalah bilik munajat
Menyuling pancuran niat
Yang rakaat merukuk sholat
Tiada tinggal menoreh taqwim umat

Pantaslah, berdua sahabat karib saling berbalas syair
Kata Hamka kepadamu; “Masukkan aku dalam daftarmu!”*

Fiqh Dakwah adalah bacaan anak-anak muda
Tegak menjadi tiang, menara dan azan
Tali napas pesantren, kampus dan masjid
Jelajah dakwah merambah pelosok pedalaman
Wilayah terasing yang terkucil kesunyian

Surat-suratmu kepada pemimpin-pemimpin dunia
Sebagai buah cinta kasihmu pada Indonesia,
Walau penguasa mengurungmu berjeruji besi,
Baktimu tiada berhenti kepada negeri

Bahkan, seorang Raja dalam Muktamar Dunia Islam,
Lebih memilih bertanya; “Mana Natsir?”

Seorang Mantan Perdana Menteri;
“Merasakan kehilanganmu, lebih dahsyat dari bom atom Hiroshima!”

Cairo, 17 Februari 2010


*Sebuah Syair Hamka untuk M. Natsir

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home