musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Monday, February 15, 2010

Sajak: Tuan A. Hassan

Sajak: Tuan A. Hassan

Ahmad David Kholilurrahman

Tumasik,

Dari bilik Negeri Tumasik, sebelum mekar bandar dagang,
Menjulur Melaka yang melidah petah sejarah,
Ayun buayan gelombang darah, menyimpul temali kapal nasab,
Akan nasib al-kamar mengibar dirham dinar,
labuh sauh jangkar, jaring silsilah menghimpun turun-temurun,
memuyun setangkai ilmu,
yang sampai, yang gapai, yang landai, yang pandai

sehiruk-pikuk saudagar melamar pasar,
Menyuruk seceruk sempit lapar,
Ragam bangsa jatuh bangun menegak kuasa,
Keletah lidah yang bergetah bahasa,
merimbun rumpun Melayu,
Menyeduh rindu seteguk ilmu,
Yang menyelam-nyelam di lipatan laman-laman kitab kuning,
Setabah mengeja larat harakat,
Bertunak niat yang melemak-manis,
dibetis tiang pelantar,
atap melentik, sesenyap samar camar,
dan airmuka manis Syahbandar menguar koar;

"Dah karam dunia, dah kelam buta?"

Inilah denyut pasang-surut anak manusia penjelajah Arab, Sudan, Palekat,
Madras, Tamil, Bangla, Tionghoa menyacak layar Ke Tenggara, Merentas Samudera Hindia,
Sesempit selat akrab bungin berumah laut musim angin utara,
yang ngaum seribu harimau terkam badai, yang koyak-moyak gudang-gudang,
Tapi sejak lama kami belajar menjahit jala, mendempul perahu,
Pun memintal bantal ombak, memuntal gazal lasak, mengekal ikat talikat

"Tuan, ince, mari, mari sini, kita tawarkan perniagaan,
seluar destar, kain Palekat pun ada?
Tukar sirih, pinang dan barus pun jadi?"

"Yang sudah gaharu, cendana pula, wahai kafilah dagang!"

Seperti ziarah dari satu jazirah ke seribu jazirah,
Berputik cengkih, harum kenanga, pedas lada, wangi kesturi,
kalungkan bunga rampai ihtisar percakapan setedas kalam
akan kandil akal pengetahuan, bersimbah cahaya wahyu Al-Qur'an,

Bukan nafsu yang melesukan zaman,
memalsukan surban yang uban
Tersebab pernah membisu kepala batu,
pengampu bid'ah, penganut khurafat dan pemuja tahayyul?

Dan merecup jiwa mujtahid yang mujahid.
Berkuncup lah Ijtihad yang berjihad.
Berlayar dari pangkal Ilmu-ilmu alat,
Melamar gemar ilmu Nahwu,
Pembahasan Tashrif,
memaling satu huruf, akhir kalimat dari pasung pujian ke lancung ujian?

Dari satu rakaat ke taubat,
Berpikir mantiq yang meletakkan akal di pinggan wahyu,
yang sudu pun tak bakal saling seteru,
karena seiring selaluan,
sepadu-sepaham,
sebentang-seperlapikan kata,
seanyam sesirat kalimat
perdebatan sekhalayak pencinta ilmu,

Perihal perbincangan ilmiah;
Jawab yang bertamu soal, atau soal yang bertemu jawab?

Termaktub dalil Ummu-l Kitab, dan Kutubu-Tis'ah
Perbincangan syarah ulama-ulama pemangkin ijtihad
dalam sebatang pohon zaman usia seratus tahun,
Terang berjodoh benderang, seperti nyalang matahari pukul dua belas siang!

Soerabaja,

Awalnya, adalah pelayaran menebuk Bandar Soerabaja,
Seperti riwayat yang mu'tamad,
Sekitar tegah paman kepada kemenakan;

"Jangan ceburi majelis si Fakih,
tak melebus lafadz niat sebelum sholat,
yang tak berqunut,
yang menampi Barzanji jadi nyanyi,
dari Maghribi hingga Serambi!"


Walau, setekun penenun, meraih satu alif ba ta,
Dari satu nun ke Nun
Dari satu Kitab ke kitab terbentang,
Menyelidik mana Sunnah, mana Bid'ah?
Menyelisik sisik-siang, mana beras mana atah?

Lantaran akal bersimbah cahaya wahyu,
Tak akan pernah saling silang sengketa?

Ibarat keahlian vulkanisir, yang memeriksa bocor jantung angin,
pecah jangat ban, sekafan kain putih
yang aus, yang lampus, yang hangus

Bandoeng,

Setekun bertenun,
Menulis buku, menjilid,
Mencetak dan menerbitkan.
Itu pekerjaan sehari, selain ceramah dan melayani ruang perdebatan,
Pada sebatang kara zaman yang kacau,
Dan api revolusi yang membakar "Bandoeng Laoetan Api"

Ada kedua bilah tangan sepasang sahabat menggelar tikar pengajian,
Persatuan Islam, saudagar dari Palembang dan Kalimantan,
Tapi Tuan lebih dikenal lebih luas,
Sebagai Guru memancur ilmu,
Bagi M. Natsir, anak datuk Sumatera yang alim dan cerdas,
si orator ulung, Isa Anshari, anak Tatar Sunda Abdurrahman,
Pun, Rusyad Nurdin dan kawan-kawan sepermainan.

Tuan takik gores Soal-Jawab,
yang setebal bantal,
Tafsir Al-Furqan, yang
Segera tahu Tuan juga memulia bahasa Melayu, bahasa ibuku?

Dari balik jeruji tanah pengasingan di Timur, Ende,
Bung Karno kirim surat kepada Tuan,
lalu gayung bersambut polemik seputar Islam, Kebangsaan dan Kemodernan,
yang Proklamator itu mengaku berguru juga pada Tuan.

Di Bawah Bendera Revolusi, merekam fragmen pertukaran pikiran cerdas
Antara Guru dan Murid, walau keras, tapi bersahabat?

Dan Stasiun Kereta Api Bangil,

Adalah rentangan saksi bisu kehangatan persahabatan Tuan dan Bung?
Pada malam-malam yang tak tahu di mata telinga orang banyak?
Kata orang ramai;"Tuan adalah Singa podium, sekaligus Domba pergaulan?

Zamanku kini kian langka, yang ulama bermata setajam mata elang,
Yang politisinya bertelinga ke bumi dan langit?

Yang berlambak-lambak, malah yang mengaku ulama,
tapi nyatanya, tak lebih pelawak atau penghibur belaka.
Politisinya berkuping pekak badak, walau daunnya selebar tudung saji

Adakah ombak persahabatan yang mengikat Tuan dan Bung Karno,
yang perahu dan tongkang saling berpegangan?

Bangil,

Kenapa Tuan menjatuhkan hati ke Kota kecil sepelemparan batu dari Soerabaja?

Kenapa, misalnya bukan Malang atau Pasoeroean?

Berbekal sembilan murid dibawa dari Bandoeng,
Tegakkan kaki pesantren di Bangil,
Tangan dingin, pikiran sejuk mengalir cerdas,
Tekun-tunak, bak seorang penenun menjalin pintin benang umat,
Memilih jalan pendidikan, bukan lapangan siasat?

Itu biar tugas M. Natsir dan kawan-kawan mencebur politik di parlemen dan
panggung kekuasaan?

Tuan Lebih suka menabur semai bibit-bibit baru,
Sembari menulis buku-buku baru,
Yang mengundang minat baca baru
Mencari Soal-Jawab baru
Yang kelak Bergayung-Sambut?

Atau mencari soalan baru
Atas jawaban lama?

Yang berpuluh jilid buku
Menyusun risalah atas segala persoalan,
Dari kamus bahasa, tauhid, syari'ah, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadist,
Pemikiran, Kristologi, Ahmadiyah, Kebangsaan, Kebatinan, pun
menyaji hidangan sejuk moral kejiwaan umat?

Jika Tuan kini hadir di Bangil, hari ini
Menatap tapak-tapak sejarah,
Tuan akan menangis,
Seumpama tikaman gerimis,
Yang mengiris-ngiris
Pelipis, paling tipis
Seiris, iris
Secebis, cebis
Sampai habis

Cairo, 15 Februari 2010

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home