musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Monday, October 19, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (10)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (10)

Ahmad David Kholilurrahman


Mengakap Ikan di Lebung Paya Seberang


Lebung paya adalah gudang-gudang ikan dimusim kemarau. Dikampungku, ada beberapa buah lebung paya. Lebung Kuning di Teluk Kuari di hulu kampung. Lebung Kecil di Payo Silap. Lebung Batang di Kampung Seberang. Spesies ikan air tawar hidup didalamnya, terutama yang menyukai tanah lumpur. Ikan-ikan sejenis betok, sepat, ruan (gabus), betutu dan belut adalah kalangan penghuni mayoritas lebung-lebung paya dikampungku.

Lebung-paya ini terbentuk dari ceruk tanah yang menampung limpahan air banjir yang merendam kampungku setiap tahun. Luasnya bahkan hampir tiga kali lapangan sepakbola. Setiap tahun dibulan-bulan musim penghujan, banjir kiriman dari hulu, selalu merendam kampungku. Dulu, jauh sebelum kini dibangun Bendungan Dam di Muara Limun. Jadi, sisa banjir yang merendami kampung setiap tahun, jika surut, maka air limpahan banjir tadi tergenang mengisi cerukan 'kolam raksasa' lebung-paya tadi. Spesies ikan air tawar dari sungai Tembesi juga ikut terbawa, lalu membentuk semacam 'koloni' tersendiri. Sebagian tak kembali ke habitat air sungai Batang Tembesi. Koloni ikan-ikan kaya gizi inilah yang masuk daftar menu makan penduduk kampungku.

Sepanjang rantau sungai Batang Tembesi masih menyimpan ikan-ikan. Sebelum penggunaan setrum akku menangkap ikan yang dilakukan pihak-pihak penangkap ikan tertentu. Jauh, sebelum tuba ikan merajalela, penebangan liar (Ilegal Logging) hutan rimba raya gila-gilaan, pendulangan emas marak, pembukaan korporasi kebun sawit raksasa, memakan beribu-ribu hektar lahan. Ekosistem sungai berjalan alamiah. Daur ulang alamiah ekosistem menjamin kelangsungan hidup biota dan spesies ikan dan udang didalam 'kerajaan sungai'. Ketika jenis 'Ikan-ikan bangsawan' semacam tapa, patin, kelemak, sengarat, belido, baung, lampam masih kerap dijumpai.

Jika mau makan berlauk ikan. Penduduk kampungku cukup turun sebentar ke Sungai Tembesi membawa jala atau pancing, lalu dalam waktu satu dua jam, mereka pulang dengan membawa hasil seember. Itu pun cukup menjala melipir disepanjang tebing sungai, tanpa mesti menggunakan perahu. Cukup untuk lauk-pauk menu makan tiga kali sehari. Besoknya, jika mau lagi ikan yang lebih enak, mesti menjala ke rantau tepian sungai ke hulu atau ke hilir.

Cerita-cerita dikampungku perihal ikan-ikan yang melimpah-ruah disepanjang juluran sungai Batang Tembesi bukanlah khayalan. Berpuluh-puluh tahun lampau, ketika manusia masih bersahabat erat dengan alam. Manusia belum sebuas sekarang, lebih buas dari binatang sekali pun. Menzinahi alam raya semula jadi menjadi 'petak-petak' kerajaan miliknya sendiri. Ketika kaum Sanak (Suku Anak Dalam) masih betah hidup dirumahnya di hutan rimba-raya. Mata pencaharian mereka berburu dan mencari damar-jerenang belum terganggu nafsu buas manusia yang mengaku modern.

Awal kerusakan alam berlangsung dalam skala kecil. Secara natural alam yang diciptakan Allah sebagai karunia bagi makhluk-Nya, masih sanggup mendaur-ulang secara alamiah proses pencemaran sungai dalam skala kecil tadi. Namun, lama-kelamaan kerusakan pencemaran lingkungan sungai berjalan secara sporadis, sistematis dan massif. Maka, terima lah wajah sungai yang bersedih kusut-masai, keruh, miskin ikan, dan airnya tak lagi layak dipergunakan untuk keperluan sehari-hari. Manusia yang merusaknya, maka terima lah akibat kerusakan juga menjalar hebat pada pribadi, masyarakat dan bangsa. Sungai tak bersalah, Tuan? Alam tak berdosa, Kawan!

Lama, aku tercenung dibangku masjid tua itu, pinggir Tepian Bujang yang juga masyhur itu. Aku duduk sendirian. Setelah belasan tahun dilamun alam perantauan ke negeri orang. Duduk tepekur tafakur seolah 'bercakap' dengan sahabatku sejak kecil, Batang Tembesi. Aku sangat paham kelakuannya. Jauh sebelum aku pergi menuntut ilmu ke banyak guru dan perguruan. Aku merasa bau lumpur sungai masih lekat dihidungku, moncoreng mukaku ketika main perosotan dasuran ditebing sungai, amis cacing pasir ditanganku, pancing rebo dari cabang dahan kayu kopi berpemberat botol limun seakan baru kemarin kubikin. Melepas ikan-ikan idung budak, biji durian dan lais yang memelas dari mata pancing kembar lima dari cabang-cabang kayu kopi.

Aku duduk sepanjang hari dirakit jamban datukku yang seperti 'rumah keduaku'. Membaca buku perpustakaan sekolah dasar sambil memancing ikan. Memandang ke tengah sungai yang mengalir lembut yang menyimpan 'gudang rahasia' masa kanak-kanakku. Menyimak siapa yang datang dirakit jamban Datuk Haji Hamdan ditebing tepian seberang sana. Memperhatikan perahu-boat yang mengangkut-bongkar muatan getah karet dan ransum kebutuhan sehari-hari. Perahu-perahu anak-anak sekolah yang parkir disepanjang rakit-jamban besar diseberang itu.

Rakit-jamban Datuk Dan, begitu aku memanggilnya memiliki jasa besar bagi penduduk kampungku. Dari tepian seberang sana, penduduk kampungku memulai tapak menjelajah dunia luar. Bayangkan, jika rakit-jamban itu tidak ada, dimana mau menambat tali rantai perahu jika berlabuh. Dari mana jika mau melayang menyeberang balik ke rumah, jika rakit-jamban itu tiada? Sedangkan barang-barang kebutuhan yang dibawa, kadang bukan dibawa tangan sebelah? Tentu jasa Tuan rakit-jamban dari batang-batang kayu balok yang mengapung itu menjadi saksi dari perjalanan tapak kaki penduduk kampungku mencapai dunia luar, dunia seberang.

Betul lah, kata orang Melayu dulu;"Rantau itu seberang!". Rantau memang seberang, dipandang jauh dimata kampung, berpisah bertahun-tahun dengan sanak-saudara dan kaum kerabat, juga menabung rindu dan airmata. Dalam belitan asyik-masyuk dikota-kota besar, orang-orang itu tetap merindukan kampungnya. Kampung itu adalah jejak kaki bayi yang belajar menapak jalan. Jadi, bohonglah jika ada manusia yang lupa dan melupakan kampung halamannya? Bukan lupa, mungkin lebih tepatnya malu mengaku anak kampung. Mereka, para 'pendurhaka budaya', sepertinya senasib dengan pendurhaka agama yang kebanyakan mati meragan. Jika badannya sehat, hatinya menyimpan benalu budaya yang menggerogoti hidupnya.

Seperti lebung-paya yang menyimpan gudang-gudang ikan dimusim kemarau tadi. Maka, pada kemarau tahun ini, aku dan sebelas sepupuku itu sibuk ikut orangtua kami pergi ke lebung-paya diseberang. Dibelakang rumah Datuk Haji Hamdan terhampar lapangan rumput multifungsi; Dipagi hari tempat kerbau-kerbau merumput, belalang beterbangan, petang hari menjelma stadion sepakbola, malam hari menjadi sasaran jalan babi-babi hutan masuk kampung. Jika tujuh belas agustusan menjadi medan lapangan upacara masyarakat kampung. Disebelah padang rumput luas itu terdapat lebung-paya yang ditumbuhi rumpun nipah, pandan dan kayu bungur.

Dilopak kecil, aku dan sepupuku biasa menjahili anak berudu yang kehilangan induknya. Mereka berpencaran lari ke dalam air, ketika kaki-kaki kecil kami hendak memijaknya. Pecah tawa berderai-derai, melihat berudu-berudu kecil itu. Dibawah sebatang pohon bungur yang rindang itu, kami menaruh barang-barang bawaan, berupa ember, tas memuat alat-alat menangkap ikan, juga rokok dan air minum.

Kebiasaan aku dan sepupuku asyik menonton seorang lelaki yang dikenal dengan Din Kakap yang menangkap ikan ruan (ruan) dengan alat kakapnya yang terbuat dari buluh-bambu yang dipecah kecil-halus. Pecahan bilah bambu dijalin-jirat dengan rotan. Cukup dengan menghentak-lantak alat pengakap ikan itu ke segala penjuru lebung-paya secara rambang-serampangan membidik ikan-ikan ruan sebesar lengan yang bersembunyi didasar lebung paya. Jika dirasanya pengakap itu seperti mengenai sasaran, maka pelan-pelan badan menunduk, lalu kedua tangannya sibuk mencari-cari ikan yang masuk perangkap alat pengakap ikannya.

Tangannya teracung ke udara sembari menjepit-genggam ikan ruan sebesar lengan, berarti rezekinya terhidang didepan mata. Ikan ruan yang meronta-ronta itu, dibenamnya dalam kain karung yang diikatnya dipunggung belakangnya. Nah, ini atraksi dan aksi menarik bagiku dan sepupuku yang dikenal "Bujang Bangku Masjid" itu.

Ada seorang tukang kayu di kampungku, Dumyati namanya. Ia di kenal lantaran ketokan palunya memiliki ciri khas, suara tok, tok, tok. Tok, tok, tok di telinga penduduk kampung kedengarannya seperti menyebut-nyebut nama seseorang: din kakap...din kakap…din kakap. Ini sering ditiru oleh sepupuku yang ada-ada saja ide gurauan yang melintas dalam perbincangan kami dibangku masjid tua dipinggir sungai yang mengalir lembut itu.

Tapi, hari ini, Din Kakap tak muncul. "Mungkin, sibuk pergi ke talangnya," kata Wak Seman pada bapakku yang membuka kebat-ikatan tali jalanya.

Jala itu adalah hasil jahitan sendiri. Aku melihat bapakku menjahit jala sepulang mengajar di SD seberang kampungku. Sehabis ashar, mulai dia menjahit jala bikinan sendiri. Katanya, sejak muda, dia sudah belajar menjahit jala dengan cuban jala. Cuban itu semacam alat penjahit jala dari bambu atau kayu. Tali pancing digulung dalam cuban itu, lalu seperti para pemintal benang, bapakku mulai menekuni jahit jalanya setiap petang sehabis ashar.

Aku dan sebelas sepupuku hanya memandang terbengong. "Hari ini, awak semua kepunan lah semua melihat atraksi gratis bang Din Kakap," kata abang sepupuku tertua nomor dua. Dalam kumpulan Bujang Bangku Masjid ini, dia dikenal sebagai wakil ketua dari abang sepupuku yang berlagak politisi ulung. Hahahahaha

Kak Ning Farhat, begitu aku memanggilnya memang suka sekali menangkap ikan. Pada waktu air sungai surut, musim ikan mudik, dia memungut kelapa busuk, dilubangi bagian atasnya, lalu dibenamnya buah kelapa busuk tadi didasar tepian rakit jamban. Dibiarkannya dalam barang waktu sejenak.

Tiba-tiba dia terjun ke tepian rakit jamban, menyelam buah kelapa busuk yang ditandai dengan sebatang kayu unjar, lalu muncul wajahnya dipermukaan sungai, tangan kanannya menutup lubang kecil kelapa busuk tadi. Diatas batang-batang balok rakit-jamban itu, aku dan sepupuku sebaya menyaksikan hasil tangkapannya dalam buah kelapa busuk yang dibenamnya. Ikan-ikan kecil macam semuruk-seluang melompat-lompat ketika dikeluarkan dari ruang kelapa busuk itu.

Tak apa lah, seperti kata guru kita di madrasah ats-Tsaqafah Islamiyah;"Tak ada rotan, peledas pun jadi." Begitu balas abang sepupuku yang politisi itu menyitir ungkapan Pakcik Jangayu Ahmad Thobari.

"Nah, hari ini kita selusin inilah yang jadi Din Kakap-Din Kakap baru. Kita beramai-ramai lah mengakap lebung-paya ini, siapa tahu akan berjumpa ikan ruan sebesar bantal!" Sambung abang sepupuku nomor tiga. Dalam beberapa hal, dia sangat terobsesi dengan gaya reporter pertandingan bulutangkis di radio yang menyiarkan kejuaraan All England di London.

Kelak gaya berlagak reporter atau pembawa acara di Televisi ini dibentangnya di SD dikampungku dengan dua kawannya. Botol-botol kecil kerajinan kelasnya yang dipajang disentung sekolah tua tegak doyong itu. Botol-botol kecil beragam bentuk, disusunnya diatas meja guru, tiga kursi melingkari meja itu, lalu dia bergaya seperti penyiar Televisi yang mewancarai para pejabat. Botol-botol kecil itu ibaratnya mikrofon atau tape kecil perekam milik wartawan yang rajin merubungi tokoh-tokoh terkenal ketika diwawancarai.

Jangankan kami Bujang Bangku Masjid yang genap berjumlah selusin itu. Guru-guru kami yang diam-diam mengintip depan pintu, tersenyum mengulum senyum. Rupanya, abang sepupuku yang nomor tiga ini dan dua kawan sekelasnya tak sadar, lonceng jam istirahat sudah selesai, pertanda memasuki jam pelajaran baru. Ibu guru didepan pintu hanya mengulum senyum melihat gaya kelakuaanya. Mereka bertiga buru-buru menyimpulkan serakan botol-botol kecil tadi, merapikan meja guru, mengembalikan tiga kursi yang terlanjur melingkar dan kembali duduk dibangku masing-masing.

Kami mengikuti gerak lingkar jala yang dihambur oleh orangtua. Kami merundukkan kepala seperti duduk mencangkung dalam air, lalu sibuk mengakap pinggir jala yang sengaja belum diangkat. Biasanya, ikan-ikan ruan sebesar lengan meronta-ronta, melawan jeratan jaring-jaring jala ingin lepas-bebas. Semakin ikan-ikan meronta-ronta, semakin dahsyat kami mengakap jala-jala yang dihamburkan.

"Ingat, tangkap dan pegang kepalanya kuat-kuat dengan kedua tanganmu." Begitu yang diteriakkan Datuk Muk Muhsin kali ini. Dia sebenarnya bermukim di Bengkulu, lantaran balik mengunjungi saudara-saudarinya, salah-satu saudari tuanya adalah nyaiku, emak bapakku.

Karena menjala dan mengakap lebung-paya dimusim kemarau tahun ini menyedot minat penduduk kampungku. Dia pun ikut serta mengenang masa mudanya dulu. Dia sudah berpuluh tahun merantau keluar kampungku mencari dunia baru. Bermacam kota dan provinsi sudah didatanginya. Pernah bermukim di Tanjung Karang, Rejang Lebong, Curup dan Palembang.

"Kalau mau tahu siapa kita, merantau lah ke negeri orang!" begitu kata-katanya padaku. Ketika itu aku masih sangat kecil. Tapi, hobi mendengarnya bercakap-cakap dengan bapakku dan saudara-saudaranya.

Sedari muda dia memiliki cita-cita mendirikan koperasi. Baginya koperasi yang dibicarakan dalam buku karangan bapak Proklamator Bung Hatta adalah salh-satu hasil usaha perekonomian yang mengangkat harapan ekonomi kaum pribumi. Koperasi ini pula sangat pas dengan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada pemerataan kesejahteraan ditangan rakyat. Dimata Datuk Muk Muhsin, semangat koperasi ini dipandangnya sebagai 'perlawanan' terhadap kezaliman Tauke saudagar getah karet yang sengaja mencekik leher kuli-buruhnya. Cita-citanya ini baru terwujud diakhir hayatnya di Curup. Dia didaulat kelompok tani disana, memimpin koperasi kelompok tani setempat.

Badan kami berkubang lumpur. Bau amis ikan dan lumpur berpadu lekat dibaju kami. Muka kami pun berbalut pupur lumpur. Kulihat sejak tadi dua orang adik sepupuku yang masih kecil, sibuk menangkap lintah yang merayap di pangkal pahanya. Badan lintah itu gemuk, pertanda kenyang mengisap darah kedua adik sepupuku itu. Kedua abang sepupuku, membunuh binatang penghuni lebung-paya itu diatas 'pulau kecil' tanah yang tak tenggelam ditengah lebung paya. Rokok yang disulut dimulut dua abang sepupuku, membunuh mati lintah gemuk kekenyangan.

"Rasakan kau, binatang kurang ajar!" teriak kami serempak, seraya melemparkan gelak tawa terbahak-bahak ke sekeliling lebung-paya. Suara tokek dan kodok bersahut-sahutan. Macam marah, orkestrasi musik mereka diinterupsi suara-suara 'selusin hantu' Bangku Masjid itu.

"Dasar memang bangsa lintah, kalian cuma hanya pandai mengisap darah orang!" Tukas abang sepupuku nomor empat.

"Kalau ada manusia seperti lintah, mengisap darah saja kerjanya. Berlaku zalim sewenang-wenang pada orang kecil miskin, maka kelakuanya lebih kejam dari lintah di lebung-paya ini". Kata Datuk Muk Muhsin berkhutbah sambil menghamburkan jalanya.

Saauuuuuuu, saauuuuu, saauuuuuu, kecipak bunyi hamburan jala itu berbiak bunyi. Memantul ke sebalik rumpun nipah dan pandan liar itu. Gelembung-gelembung kecil air lebung-paya tercipta, ketika jala dihamburkan para penjala ke seluruh penjuru arah.

Tiba-tiba dia mendiamkan jala sejenak. Seperti ada sentakan ikan besar terperangkap dalam jaring jalanya. Dengan isyarat telunjuk kanannya, dia menyuruh aku dan abang sepupuku tertua mengakap sekeliling jalanya. Kami berdua sibuk memutari jalanya, dia mengencang gulungan jaring jalanya pelan-pelan. Lalu, dia duduk seperti mencangkung dalam air, tangannya memiting ikan besar. Aku dan abang sepupuku tertua terperangah dengan gerakan kilatnya menerkam ikan besar.

Rokok dimulutnya masih menyala, walau kedua tangannya sibuk menerkam dan memiting ikan besar. Sepertinya tangkapannya kali ini bertemu rezeki tak terduga. Lalu, dengan cekatan kedua tangannya menangkup kepala ikan ruang sebesar betis abang sepupuku itu.

"Alhamdulillah," kata Datuk Muk Muhsin mengucapkan syukur. Insya Allah, malam nanti boleh makan panggang ikan ruan bercicah kecap cabai-bawang. Mulutnya seperti menelan-nelan makanan, membayangkan ikan yang masuk perangkap jala yang dihamburnya ke arah bumbun rumpun nipah.

Dua menit kemudian, tangannya mengangkat jala dari dalam lumpur paya lebung itu. Seraya mendekap erat ikan ruan sebesar betis abang sepupuku tertua itu ke dadanya. Dia segera menepi ke tanah tepian lebung-paya.

Ikan ruan sebesar betis abang sepupuku tertua tergeletak diatas rumput, menggelepar meronta-ronta mau meloncat ke dalam lebung-paya. Tapi, seketika tanganya menghantam kepala ikan dengan satu sentakan, ikan itu terdiam menarik napas macam orang kena penyakit sesak napas.

Dalam tradisi dikampungku, siapa yang menangkap ikan terbesar di lebung paya, dia lah yang jadi juaranya. Walau tangkapannya hanya sepuluh ekor ikan, namun jika salah-satu seekor hasil ikan tangkapannya berbobot besar. Dia dikenal sebagai juaranya mengakap ikan dilebung-paya. Hari ini yang jadi juara mengakap ikan adalah Datuk Muk Muhsin.

Kerbau-kerbau Datuk Haji Hamdan mengoak beriringan selepas puas menyantap rumput dipandang hijau luas. Kerbau-kerbau itu dipelihara dan dijaga oleh Guru madrasah kami Wak Gus Damiri. Biasanya, kopiah hitam kekuningan bertengger dikepalanya, ketika mengiring kerbau-kerbau pulang kandang.

Petang mulai menurunkan tirai-tirai kuning-keemasan dilangit barat. Dari padang rumput luas dekat kandang kerbau itu, dari bawah pohon kemang menjulang tinggi, lukisan terindah Maha Pencipta terhampar dibatas kaki langit. Burung-burung elang kelok pulang ke sarang. Rombongan kelelawar membercaki hitam langit petang.

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo 19 Oktober 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home