musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Sunday, October 11, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (7)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (7)

Ahmad David Kholilurrahman


'Selusin Hantu' Bermain Pancit!

Dikampungku, segala ragam jenis permainan tradisional bergulir secara alamiah dan musiman menurut kecenderungan anak-anak kampung. Ragam permainan itu, lahir dari tradisi turun-temurun. Artinya, sejak zaman orangtua kami dulu, jenis permainan itu sudah lahir, bertumbuh-kembang, kemudian mengurat-mengakar dalam benak kreatifitas anak-anak kampung. Permainan murni seratus persen hasil prakarya yang dibuat dari bahan-bahan yang disediakan alam kampungku.

Masjid tua itu menjadi markas kaum bujang tanggung-sebuah istilah yang merujuk kepada fase peralihan umur kanak-kanak menuju remaja dikampungku- Mereka berkumpul menghabiskan malam bersama kawan-kawan seumur. Menurut cerita yang dituturkan bapakku, di masjid tua bertiang bulian tua, berdinding kayu papan itulah, pusat anak-anak seumurnya menghabiskan malam-malam bulan puasa.

Biasanya, mereka meramaikan masjid dengan tadarusan dimalam puasa. Selepas itu makan perhausan-kue-mueh atau kolak untuk membasuh kerongkongan selepas tarawih atau tadarusan yang dihantar masyarakat kampung yang berbaik-hati sedekah. Tentu saja, ketika zaman itu, banyak hantaran hidangan makanan dari kaum keluarga bagi bujang-bujang tanggung menghabiskan malam-malamnya dimasjid sepanjang ramadhan.

Puluhan anak-anak bujang tanggung itu terkadang terlibat permainan dilaman tanah masjid tua. Berpenerang lampu pelita minyak, yang terkadang malap cahaya. Mereka meramaikan malam-malam puasa dengan ragam permainan. Tentu saja, ketika itu serbuan televisi dan play station belum merambah hingga wilayah pedalaman kampung-kampung di Jambi.

Kalau tak main kejar-kejaran sistem berkelompok. Paling tidak bermain Pancit. Perlu aku terangkan tatacara permainan yang agak unik ini. Dikatakan unik, karena bagi yang terkena giliran jaga SIN- biasanya salah-satu tiang rumah sebagai pusat dari wilayah perjagaan permainan-. Maka bagi siapa yang terkena hukuman menjaga tiang ini, mesti menutup mata ketika dibelakangnya kawan-kawannya berbaris-berjajar, baik yang sukses menutup permainan atau pun tidak, alias terlambat ketika memegang tiang yang dijaga oleh yang terkena giliran. Ketika nomor yang ditebak oleh yang penjaga yang terkena giliran tanpa melihat barisan belakangnya, maka bagi siapa yang tak berhasil menutup permainannya, siap-siap lah terkena hukuman menjaga tiang keramat itu.

Kesempatan menebak nomor, dengan harapan jatuh pada siapa yang tak berhasil menyelesaikan permainan hanya tiga kali. Bila nomor yang disebut tak menemui sasaran, berarti yang menjaga Sin terus menjaga tiang tersebut hingga permainan berikutnya. Tentu saja, permainan ini menuntut sportifitas dan kejujuran. Artinya, hukum permainan yang berlaku, adalah bahwa yang terpilih menjaga tiang Sin, maka harus jujur menjaganya. Tentu saja dia lebih waspada dengan daya penciuman yang tajam, dapat menebak-nebak siapa yang dipilihnya untuk terkena giliran menjaga tiang Sin pada game selanjutnya.

Diantara permainan yang kami gemari. Bahkan dimainkan setiap hari adalah permainan tradisional Panjit. Aku tidak tahu, apakah permainan ini masih tergelar secara alamiah dikampungku sekarang?

"Nomor Tiga", kata sepupuku yang berambut keriting, memejam mata dengan dua tangan terlipat-lintang menahan dahinya, sembari menebak siapa-siapa yang tak berhasil menyelesaikan permainan tadi.

Nomor yang ditebak secara acak itu terkena padaku. Aku berhasil menyelesaikan permainan tadi. Jadi, dia mesti menebak sekali lagi. Kesempatan menebak diperbolehkan sebanyak tiga kali saja. Kalau dia tak mau menjelma penjaga setia tiang keramat itu. Kembali kedua matanya memejam, menghadap ke tiang lalu melipat-lintang kedua lengannya, menahan dahinya agar tak menyentuh tiang. Mencoba menebak-nebak lagi. Persoalan yang paling musykil, susunan barisan yang berjajar dibelakang tadi sudah mengubah formasi urutannya. Boleh jadi yang nomor satu tadi, justru berpindah pada urutan paling buncit. Yang nomor empat pindah ke tengah-tengah.

Kembali sepupuku ini menebak lagi. "Nooooooooomoooooooooooooor Liiiiiiiiiiiiiiiiimmaaaaa". Katanya sembari berharap kali ini tebakannya menemui sasaran.

Ternyata tebakan sepupuku berambut keriting beruntung. Sepupuku yang berumur paling muda terkena busur panah tebakannya. Kali ini giliran dia menjaga tiang keramat itu. Diantara kami, dia adalah yang lahir paling belakangan. Namun, pertumbuhan badannya dan gejala akil baligh-nya melonjak paling cepat. Sehingga digelar sepupuku yang berjumlah selusin, sebagai bujang DK-alias Dewasa Kelamin. Tentu, ini merujuk pada bayangan tipis kumis dan jenggotnya mulai bertumbuhan. Karena itu, kami yang berjumlah sebelas ini, tak punya alasan untuk tak memasukkan namanya dalam kumpulan "Bujang Bangku Masjid".

Aku sempat menangkap kekhawatiran dimatanya tajam elangnya. Alis matanya lebat seperti sarang kelulut dibingkai daun jendela rumah. Seolah tersirat dari hati kecilnya ucapan berikut:"Sebagai lelaki yang kalian semua terima dalam kumpulan "Bujang Bangku Masjid", tentu aku akan membuktikan, bahwa kalian tidak salah-pilih. Walau aku paling muda, tapi aku sanggup bertahan dalam permainan yang unik ini".

"Baik kawan, mari kita bermain Pancit", kata-katanya seringkali mengutip reporter sepakbola yang didengarnya dari radio berantena tutup periuk tua yang dipancangnya diatas rumahnya.

Dia membalik badannya, melintangkan kedua lengannya, menahan dahinya menghadap ke arah tiang yang tegak ke arah hulu. Kedua mata elangnya mulai memejam sambil menghitung satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh.

Sebelas sepupuku, kadang-kadang sepupuku yang perempuan pun ikut permainan ini. Cuma mereka tak bakal bertahan lama satu dua kali game lekas mengundurkan diri. Mereka yang perempuan berpikir, lebih baik mereka bermain karet gelang saja dengan kawan-kawan perempuannya. Ini permainan bukan main-main, bisa terkena jaga sampai malam hari. Hahahahaha

Ke sebelas kami sudah hilang tak tampak dimatanya, ketika hitungan menginjak angka sepuluh. Kulihat dua orang sepupuku yang lebih tua hanya bersembunyi dibalik perahu didepannya. Tentu mereka berharap paling duluan menyelesaikan permainan dengan memegang tiang Sin paling duluan daripada yang terkena giliran jaga, yaitu sepupuku paling muda itu, Bujang DK.

Yang lainnya, ada yang bersembunyi dibalik salang-puntung, disela ramuan papan-kayu, dibalik drum bekas, diatas tadambun rumah, dibalik kandang ayam, dalam ambung yang ditelungkup bertutup karung goni, dan macam-macam tempat sembunyi strategis yang dianggap paling cepat menuju tiang Sin tersebut.

Pertama kali, tentu sepupuku yang paling kecil ini bakal mencari persembunyian mereka yang sebelas disekitar tiang itu. Tiga menit berselang, dia mulai mencari ke tempat yang dicurigai tempat sembunyi di arah laut. Kedua abang sepupuku yang bersembunyi dekat dengan tiang Sin berlari sekencang tenaga, bak Mardi Lestari, pelari tercepat Asia Tenggara dalam kejuaraan SEA Games lima belas tahun lampau. Mereka berdua sukses lebih dahulu mencapai tiang keramat Sin, dibandingkan si penjaga, adik sepupuku yang diijuluki "Bujang DK" itu.

Kulihat dari arah matanya, memancarkan rasa ketegangan. Walau, disembunyikannya dalam senyum manisnya itu. Senyum yang bisa membuat gadis-gadis remaja bertekuk-lutut menerima cinta pertamanya. Tawa masih berbiak dari mulutnya, walau tak tumbuh cepat. Berarti dia harus berhitung dengan waktu, bahwa masih tersisa 'sembilan hantu' yang bersembunyi dalam lubang persembunyian masing-masing. Jika dia lengah sedetik pun, mereka akan menuju tiang Sin yang dijaganya penuh waspada.

Kala dia lagi sibuk mencoba mengobrak-abrik menebak arah persembunyian sembilan hantu itu. Dia kecolongan lagi, lantaran aku dari arah atas tadambun rumah datukku terjun tiga anak tangga untuk segera lari sekencang tenaga mencapai tiang keramat, pusat permainan unik itu. Tangan kananku berhasil lebih dahulu menyentuh tiang Sin. Napasnya tersengal-sengal, akibat berpacu lari denganku tadi. Aku dan kedua abangku yang lebih dulu sukses menyelesaikan permainan tadi, duduk ditangga sembari menunggu 'delapan hantu' yang lainnya keluar sarang.

"Kutengok Bujang DK itu mulai surut semangatnya. Tiga hantu tua lebih dahulu menerkam tiang keramat Sin itu", kata abang sepupuku yang tertua itu.

"Ah, biasa lah tu, Teh" Ujar abang sepupuku yang satu itu. Jangan diambil pusing amat, dulu pun kita masih kecil-kecil dulu, habis juga dikerjai rombongan Kak Cak Mujib Cs.

"Hahahahahahahahahaha", tawa yang meledak dipangkal tangga itu membuyar konsentrasi si Bujang DK yang mandi keringat bercucuran. Antara berani dan cemas. Khawatir dan harap.

Tapi, apa mau dikata, permainan ini menguji kesabaran dan kecermatan lima panca indera? Jangan jadi lelaki, jika tak tahan menerai Permainan Pancit; Menjaga tiang keramat seorang diri berjam-jam, menebak nomor urutan siapa yang gagal menyelesaikan permainan, mengendus-ngendus lubang dan sarang persembunyiaan ke sepuluh 'hantu bujang tanggung' itu. Juga siap-siap adu kecepatan lari menuju tiang keramat Sin. Seraya menyebutkan nama si fulan.

Lantaran lengah mendengar derai tawa kami bertiga. Adik sepupu paling muda usia, dipanggil Bujang DK itu agak buyar konsentrasinya. Sehingga kelengahan sedikit, dimanfaatkan tiga sepupuku yang lainnya untuk mencapai tiang keramat Sin, tanpa sempat dia duga nama mereka. Nah, sudah enam hantu yang sukses menyelesaikan permainan. Berarti masih ada 'lima hantu' lagi bersembunyi disarang persembunyiannya. Boleh jadi mereka malah sudah berpindah sarang, yang tak bakal ditebak oleh penjaga si Bujang DK tersebut.

Kulihat wajahnya sedikit tegang. Bahkan kali ini, keringat bercucuran lebih kencang. Bekas-bekas tanah mencoreng wajahnya yang tampan itu. Sandal yang dikenakannya, sejak awal tadi sudah diitanggalkannya. Khawatir, akibat sandal itu laju larinya sedikit terhambat. Dan ini bukan perkara main-main. Adu lari memperebutkan supremasi terhormat; Menaklukan musuh secara jantan atau malah ditaklukkan 'sebelas hantu' bujang tanggung-tanggung itu. Apabila mereka lebih dahulu mencapai tiang keramat Sin, senyum mengejek mereka luar-biasa memanaskan aroma permainan unik mengadu nyali kaum lelaki itu.

Tiang keramat Sin, sebatang tiang rumah yang bulat terbuat dari kayu bulian tua puluhan bahkan ratusan tahun usianya. Keras, kuat dan hitam. Kayu kualitas nomor satu hutan rimba raya di Jambi. Anti lapuk dan lekang. Anti rayap dan kumbang-kumbang. Rayap tak mempan mengunyah, kumbang-kumbang tak mampu melubangi untuk sarangnya. Terpendam dalam tanah berpuluh-puluh tahun pun tak bakal lapuk.

Terbukti, datukku dan saudara-saudaranya menemukan simpanan tumpukan ramuan kayu bulian milik ayah mereka terpendam dalam tanah ditebing 'Tepian Bujang', berjarak sepelemparan batu dari bangku masjid tua itu. Menurut cerita datukku dulu, kayu-kayu bulian itu semula adalah tumpukan milik ayah mereka yang dikenal Pesirah dizaman Belanda itu. Karena tak pernah dipergunakan, akhirnya bertahun hingga puluhan tahun tumpukan kayu-kayu nomor satu terkubur lumpur sungai dimusim banjir, terpendam dalam tanah tebing 'Tepian Bujang'.

Mereka adik-beradik akhirnya berbagi dengan kesepakatan yang saling adil. Jadi, kesepakatan bersaudara, adalah warisan yang dibina bapak mereka yang berjiwa besar itu. Pesirah Ja'far bin Shoefie dikenal sebagai sosok bijak luar biasa. Jika menyelesaikan masalah dengan jiwa kepemimpinan yang bijak. Beliau yang kupanggil buyut itu, kukenal dalam kisah-kisah yang selalu dihidupkan datukku dalam kenangan sembari menyeruput secangkir kopi A Tigo dipinggir daun jendela rumahku yang menghadap ke darat setiap pagi dan petang hari.

Kisah-kisah yang bila tak rajin diriwayatkan ke anak-cucu, akan hilang lesap begitu saja. Persis serupa lampu malap kehabisan cahaya. Agaknya, kisah yang kudengar sedari kanak-kanak itu, membentuk lukisan dinding dibenakku bertahun-tahun. Lukisan yang menunggu seorang anak muda yang mau meriwayatnya dalam kisah-kisah. Bahwa anak-cucunya, sebenarnya memiliki 'warisan' harta karun luar biasa, yaitu kekayaan jiwa besar seorang buyut yang kaum penjajah Belanda saja menaruh rasa hormat dan segan luar biasa padanya.

Kembali ke permainan Pancit tadi. Satu persatu dari 'enam hantu' itu sudah keluar sarang. Ada yang tertangkap namanya, sehingga si penjaga muda usia itu sukses menangkap tiga sosok yang bakal jadi sasaran acakan nomor yang bakal disebutnya nanti. Sementara tiga sosok yang lainnya berhasil meraih tiang keramat Sin itu lebih dahulu dari dirinya.

Kini waktunya si penjaga itu memerintahkan 'sebelas hantu' yang berbaris berjajar dibelakangnya untuk siap-siap disebut nomor mereka. Tentu nomor yang disebut, itu seringkali berubah-ubah acak-acakan sampai nomor urutan yang disebut itu jatuh pada 'tiga terdakwa' permainan Pancit. Tapi, apa mau dikata, dua kali dia menyebut nomor, kedua-duanya adalah sosok sepupuku yang berhasil menyelesaikan permainan. Tinggal satu kesempatan lagi. Kali ini, jangan gagal sekiranya tak mau jadi peronda mirip hansip jaga pos Siskamling di siang-bolong.

Penjaga muda usia, berjuluk Bujang DK ini, mulai melipatkan lengannya, melintang diatas dahi menyentuh satu sisi tiang keramat Sin. Sembari memberi aba-aba, dia mulai memperkirakan bahwa 'tiga terdakwa' hantu yang berhasil dijegal menyudahi permainan itu, malah tegak berdiri dalam urutan berpindah.

"Nomor tujuh", terdengar suaranya parau.

"Hah, ini nomorku sendiri. Sedangkan aku tadi terletak nomor enam", bisikku dalam hati.

Sebelum si Bujang DK menyebutkan nomor yang diduganya. Salah-satu dari ketiga 'hantu terdakwa' bertukar posisi. Mereka bertiga selamat dari tebakan maut itu. Berarti, dia terlambat menebak, sekiranya lebih dahulu, maka dia akan beruntung akan menembak nomor yang jitu kepada 'ketiga hantu' yang disebutnya tadi.

Kali ini dia belum beruntung, berarti harus menjaga tiang keramat kayu bulian tua, keras, hitam, kuat, anti rayap dan kumbang-kumbang itu selama satu putaran permainan lagi. Ini bukan perkara menyenangkan, kawan! Sendirian berjam-jam tegak mondar-mandir menjaga tiang keramat. Jika penjaga sudah terlihat lelah, lazimnya lebih banyak duduk berjaga-jaga dekat tiang saja. Tapi, jika berjaga disekeliling tiang saja, persembunyian hantu-hantu berambut hitam semakin sulit dibongkar. Bukan hal mustahil, mereka bakal bersembunyi lebih musykil lagi. Diam-diam naik ke rumah, balik menyantap gorengan pagi tadi. Jika dirasa malas, tidur adalah pilihan menyenangkan merebah badan di pembaringan.

Tidak! Itu bukan watak 'sebelas hantu' bujang-bujang gagah-tampan itu. Orang kampungku mengenal sepupuku yang selusin itu sebagai bujang-bujang berjiwa besar dan baik perangai. Kalau ada kenakalan, itu masih dalam batas tolerir. Boleh jadi dari wujud 'perlawanan' mereka terhadap perkara yang menyimpang dari agama. Mereka ditempa oleh keluarga-keluarga terhormat. Datuk-buyut mereka bukan sosok sembarangan. Sosok terhormat panutan masyarakat sekurung-sekampung. Kesepakatan bersaudara akur adik-beradik yang dicontohkan kalangan datuk-datuk mereka saja, sudah menerbitkan rasa kekaguman luar biasa penduduk kampungku. Hasil didikan sistem moral sang Pesirah yang berkuasa sepanjang kampung-kampung rantau tepian Batang Tembesi dari Muaro Ketalo hingga Pauh.

Jabatan Pesirah yang disandang Buyutku itu diawal abad lampau itu, semata-mata lantaran kepemimpinan jiwa besarnya yang memberi pengaruh luas.Jangankan masyarakat Melayu Jambi, kaum Penjajah Belanda pun menaruh rasa segan dan hormat luar bisa. Jabatan Pesirah bukan jabatan yang diperebutkan seperti jabatan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota sekarang. Tapi jabatan yang hanya dipercayakan kepada tokoh-tokoh berpengaruh yang memiliki jiwa besar, kepemimpinan yang bijak dan adil, menjadi suri tauladan masyarakat.

Permainan Pancit yang digelar sejak sembilan pagi itu, akhirnya bubar seiring azan Zuhur yang dilaungkan Wak Yasin dari corong speaker tua dimasjid tua dikampung itu. Sepupuku yang muda usia, namun lekas bujang itu terselamatkan oleh sebuah panggilan azan. Satu-persatu dari 'sebelas hantu' kembali ke rumah mencuci badan, mengambil kain sarung dan kopiah menuju masjid tua dipinggir sungai yang mengalir lembut itu.

Senyum bahagia yang terhampar diwajah si Bujang DK, memperlihatkan deretan giginya yang sudah tercemar kuning-kuning nikotin rokok itu. Setelah lelah berjam-jam bergulat dengan permainan Pancit, mondar-mandir ke laut-darat, ke hulu-hilir mencari sarang persembunyian 'Sebelas Hantu' bujang-bujang, berpacu adu lari, dan menebak-nebak nomor terdakwa agar menjadi pesakitan menganti dirinya menjaga tiang keramat Sin. Hari ini bernasib baik, terselamatkan oleh seruan mulia;"Allahu Akbar, Allahu Akbar".

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 11 Oktober 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home