musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Thursday, October 8, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (6)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (6)

Ahmad David Kholilurrahman


Secangkir Air Putih Wak Ainan

Pulang dari Masjid Az-Zahir di Malam Terang Nomor itu. Datuk Syamsul Alam jatuh tertunduk malu. Hilang airmuka. Masygul. Kecewa luar biasa. Apalagi disindir habis-habisan oleh anggota setia kelompok pengotahannya-kaum pembual bermulut besar, yang kerjanya setiap hari sibuk membahas persoalan apa saja dari soal politik di radio hingga kebijakan kepala desa. Dari harga cabe di Sarolangun sampai hasil rawe dan menteban Wak Seman di sungai Gurun. Dari hasil melor-berburu rusa-kijang Mad Zain hingga tas kulit cap buaya milik mantri tukang suntik diperbincangkannya. Selalu ada sisipan tambahan menu otahan-bualan yang sedap singgah diujung bibir mereka. Jika merokok mirip mesin perahu motor ketek-keluar asap tanpa jeda.

Cucu kesayangannya Umar Affandi, yang digadang-gadangnya, setidaknya meraih juara kelas itu malah tersungkur jatuh, masuk dalam senarai daftar murid-murid yang tak lulus tahun ini. Dan itu langsung diumumkan didepan mimbar masjid oleh tokoh pendidik yang paling disegani, Wak Gus Damiri dalam Malam Terang Nomor kemarin malam. Selera makan Datuk Syamsul Alam lenyap tiga hari tiga malam. Setiap hidangan yang disaji anak-istrinya, dipandang dengan mata layu. Selayu kuning daun pisang dipetang hari. Tiga hari tiga malam dia absen dari Majelis Kumpulan Pengotahan depan Toko "Terang Bulan" milik Haji Sya'ban Dailami.

Padahal Bang Bedul, Te Musa Hitam, Cik Hamzah dan Bujang Padi sudah menunggu-nunggu saban pagi dan petang. Apalagi Cik Hamzah dah menyiapkan sekian bait-bait pantun sindiran yang dapat memerahkan muka datuk Syamsul Alam. Kali ini ramalannya kalah telak. Cucu kesayangannya itu malah didakwa sebagai pelajar malas dan biang keladi kenakalan dikampung.

"Betul apa yang kau cakap itu Hamzah tempo hari. Kalau datuknya besak otah, besar bual tentulah cucunya juga bakal besak otah juga" Kata Bujang Bedul seraya menyingsing kain sarungnya yang menggesor tanah laman toko "Terang Bulan".

"Aku tu tak sembarang cakap." Kata Cik Hamzah pada Bujang Bedul:

"Buah tak kan jatuh jauh dari pohonnya!" Lagi-lagi dia menyitir pepatah Melayu itu.

"Agaknya si Datuk tu tak bercermin apa? Tanya Bujang Padi, sedari tadi diam, larut asyik mendengar percakapan mereka berdua.

"Mungkin, dia bercermin, tapi cerminnya itu pada air yang keruh. Sekeruh air sungai batang Tembesi kala dapat kiriman banjir dari hulu". Jawab Te Musa Hitam sambil terbatuk-batuk kecil. Maklum dari tadi, empat batang rokok kretek yang sibuk dihisapnya sambung-menyambung.

Otahan membahas "Pungguk Tua Merindukan Bulan Muda"-alias mimpi di siang bolong Datuk Syamsul Alam dan cucunya Umar Affandi ini saja, mereka berempat telah menghabiskan waktu berjam-jam. Hingga terdengar suara Azan (Bang) Zuhur memanggil-manggil dari Masjid tua yang terletak ditengah kampung itu. Majelis pengotahan ini bubar, lantaran panggilan lapar mengajak pulang ke rumah masing-masing. Mereka tak terlalu mengambil berat, apakah siang ini dapur berasap atau tidak?

Perihal hilang selera makan Datuk Syamsul Alam menjadi pembicaraan hangat lagi. Lebih-lebih Bang Bedul sekawan mengedar sepanjang tangga, sepanjang jalan. Juga dalam setiap kumpulan pengotahan disepanjang kampung tersebar luas. Rasanya, tak ada yang tak tahu. Akhirnya sampai juga ke telinga kaum alim-ulama dikampung, mereka berempat dipanggil ke rumah Wak Gus Damiri. Dinasehati untuk tak menyiar-nyiarkan perbincangan seputar itu lagi.

"Kalau sampai terdengar ke telingaku sekali lagi, kamu berempat yang mesti tanggung-jawab." Gertak Wak Gus diserambi rumah mertuanya, sebelah hulu Rumah Pengajian itu.

"Iya, iya, Pak Gus, kami mohon maaf atas kesalahan ini," kata Cik Hamzah seakan menjadi juru bicara mereka berempat. Lalu tangan keempat mereka meraih tangan guru kami itu, seraya berjanji tak akan mengulangnya lagi.

"Kini, pergi kamu bujuk dan besarkan hati ketua kumpulan pengotahan kamu itu, Datuk Syamsul Alam. Bujuk biar selera makannya terbit lagi". Kata Wak Gus memberi petuah bijak.

"Insya Allah, Pak Gus!" Iya ya Guru!" Kata mereka menyahut serempak.

"Tapi, kalau tak salah, dia memang tak selera makan, bukan lantaran Malam Terang Nomor, Tapi, tersebab gigi palsunya baru dipasang empat hari yang lalu," Kata Bujang Padi terlanjur terlebus kata membocorkan rahasia itu.

"Hmm, iya, sudah. Aku pun nak siap-siap pergi ke kebun pasirku diseberang." Kata Wak Gus Damiri mengisyaratkan mereka segera bangkit-bingkas berlalu dari meja kursi di serambi rumah panggung bertiang itu.

Mereka berempat pun pamit minta izin, seraya mengucapkan salam.

Dirumah Muk Muslim bin Muhammad Nur. Kegembiraan itu menjalar hebat ke rumah berdinding pelupuh, beratap rumbai pandan itu. Dengan rendah hati Wak Ainan menyambut ucapan selamat dari tetangga, handai-tauland dan lalu-lalang orang-orang depan rumahnya yang menunjukkan kekaguman pada prestasi terbaik yang diraih anak lelaki satu-satunya.

Bagi yang bertandang. Dia keluarkan air putih dan rebusan pisang lilin yang ditebangnya disamping rumahnya dua hari lalu.

"Tak ada yang dapat Wak sajikan, selain jamuan air putih dan rebusan pisang lilin ini," begitu katanya pada tamu-tamu yang datang bertandang.

Dalam kemiskinan yang melilit sejak gadis. Dia tetap memperlakukan tamu dengan baik hati. Makanan-minuman apa saja yang dimilikinya, itu yang disajinya. Senyum hangatnya terkembang, dibalik kain tengkuluk yang menutupi kepalanya. Perempuan tua yang sangat hati-hati menjaga makan-minum yang mengalir mulut anaknya sedari bayi. Dia perempuan dikampungku yang sangat pandai menjaga hati tetamunya. Kalau tak ada apa-apa, secangkir air putih tetap disajinya.

Aku sangat tahu itu. Lantaran aku sering disuruh bapakku untuk memanggil Muk Muslim, jika bapakku perlu bantuan muridnya itu untuk mengerjakan pembuatan bagan-bagan struktur organisasi sekolah dasar dikampungku. Setiap kali aku singgah ke rumah Wak Ainan, jamuan air putih itu tak ketinggalan menemaniku. Luar biasa kebaikan hati perempuan tua yang kupanggil Wak itu.

Pemandangan terbalik justru aku saksikan dari rumah-rumah gedung saudagar berduit dikampungku. Terkadang, jika menumpang nonton televisi malam liburan, dirumah para tauke-tauke getah karet dikampungku, Nyaris sama sekali tak pernah Tauke Getah Karet yang dikenal saudagar kaya-raya memberi kami,-aku dan sepupuku yang selusin, sekedar secangkir teh panas atau penganan kue-mueh penghangat kerongkongan. Kebanyakan kalangan saudagar kaya-raya itu, mengidap penyakit congkak dan kikir. Kalau pun ada yang baik hati, itu jumlahnya tak sampai jari sebelah tangan.

Tapi, keikhlasan dan kebaikan hati itu justru aku temui secara akrab dan alamiah dirumah Wak Ainan. Perempuan miskin yang menghidupi anak-anaknya dengan jiwa besar. Pantang mengemis pada kaum berduit dikampungku. Kerja keras membanting tulang, demi mewujudkan cita-citanya, mau melihat anak lelakinya jadi anak yang cerdas dan baik perangai.

Masih lekat dibayangannya, ketika menyerah anak lelaki, harapan satu-satunya ini ke rumah Guru kami Wak Gus Damiri ditengah kilat petir bersabung-sabung, hujan receh-receh, sebesar duit logam menimpa kampung kami dimalam dingin itu. Dua anak-beranak ini menerobos hujan, mengetuk rumah Mudir Madrasah terhormat itu. Menyampaikan hasrat untuk menyerahkan anak lelaki satu-satunya itu masuk sekolah Madrasah yang dipimpin Wak Gus Damiri.

Bagi perempuan tua bertudung kain tengkuluk, berpayung cap ABC hadiah batu baterai senter itu yang pudar warna, datang dengan maksud mulia, demi memenuhi kewajiban pendidikan agama untuk anaknya. Agar anaknya tak menderita kelam-gulita di akherat, buta-huruf mengaji Islam didunia ini. Dan ditengah keterbatasan kehidupan, kemiskinan yang mencengkam dari ujung kaki hingga kepala, semangat menuntut ilmu Muk Muslim bertumbuh-kembang tunas hijau.

Dan anak lelaki satu-satunya itu melunaskan cita-citanya. Menjelma intan, permata, payung kebanggaan keluarga perempuan tua yang bermukim dikampung hilir sebelah darat tepi jalan setapak itu. Malam tadi menjadi saksi penobatan anaknya menjadi murid teladan dikampung kami. Pelajar terbaik peraih jawara umum Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah didepan Majelis Dewan Guru, tuo-tengganai, alim-ulama, dan cerdik-pandai di Masjid tua Az-Zahir. Juga mengalahkan empat orang abang-abang sepupuku yang kebagian meraih juara kelas masing-masing.

Murid cerdas dan baik perangai itu selalu tampil sopan dan rapi. Songar rambutnya tersisir rapi, muka yang jernih serupa telaga bening. Serupa aliran anak-anak sungai disela bebatuan. Muka yang memancarkan kesantunan budi pekerti mulia. Tutur katanya lembut, dan selalu tersenyum hangat. Hormat pada guru dan orang-orang tua. Sayang pada yang muda-muda belia.

Dan Muk Muslim bukan hanya menjadi pelajat terbaik di Madrasah. Namun, juga menjadi bintang dikelas Sekolah Dasar No 53/VI yang kepala sekolahnya bapakku. Dia menjadi buah bibir penduduk kampungku. Tipikal murid cerdas, baik perangai, kreatif dan ringan tangan membantu pekerjaan apa pun. Bahkan kelak, urusan administrasi surat-menyurat Kepala Desa dikampung pun, dia juga ikut terlibat membantu. Dalam usia muda, dia sudah menjadi harapan kampung kami.

Aku ingat sekali. Kerap-kali ada kenduri pernikahan dikampungku. Dia selalu menjadi bagian seksi dekorasi menghiasi panggung tarup. Wataknya yang penolong dan penuh ide-ide kreatif disenangi penduduk kampung. Dia membuat huruf-huruf kapital dari kertas minyak, dan hiasan dekoratif berwarna khas Melayu disebidang kertas jagung warna-warni. Aku masih mengingat, desain huruf-huruf yang dilihatnya dari guntingan majalah yang kubawa, dipindahkannya dengan garis-garis yang diukirnya sendiri dikertas kartun.

Kalau lah orang cerdas, kreatif dan tekun-tunak bekerja, maka ilham Allah lekas lah mengalir dahsyat. Ini kecerdasan didikan alam, yang dengan jiwa seni menjelma dalam sewujud karya-karya kreatifitas tinggi. Aku mengangguk kagum atas olahan tangannya yang seperti Leganda Raja Midas, apa yang disentuh jadi emas. Sebaliknya, bukan umpama legenda Si Pahit Lidah; Apa yang disumpah, jadi batu!

Tapi apa mau dikata. Nasib kadang-kadang tak singgah akrab pada kaum miskin terpinggirkan. Yang tak masuk masbuk dalam pembicaraan kaum saudagar kaya raya dikampungku, sekali pun masih ada pertalian perkerabatan dengannya. Keterbatasan ekonomi yang melilit keluarganya. Kemiskinan yang menjadi sosok hantu monster menakutkan itu, tak mampu menyampaikan cita-citanya sekolah hingga perguruan tinggi. Padahal dikampungku, bukan sedikit saudagar kaya-raya, berlimpah harta, tapi tak tergerak sedikit pun membantu membuka peluang pelajar cerdas, kreatif dan baik perangai sekolah tinggi-tinggi.

Jika saja, Muk Muslim berkesempatan meniti bangku perguruan tinggi. Aku yakin, dia akan menjadi pelajar bintang bersinar terang dilangit malam gelap-gulita kampungku yang kepunan dialiri setrum listrik. Dia menjadi payung lebar, tempat berteduh dari terik-panas kebodohan dan hujan kemalasan. Dia menjadi intan-permata berkilau, sekali pun terbuang ke pelimbahan, tetap berkilau cerlang terang-benderang.

Aku sering berpikir, bahwa nasib seringkali berjalan lain. Anak-anak saudagar kebun getah karet malah tak mau sekolah. Asyik ke hulu-hilir, ke laut-darat bersepeda motor. Jika ada kebun buah-buahan penduduk kampung yang berbuah lebat, adalah gerombolan kera berambut hitam anak-anak saudagar kaya-raya itu yang jadi biang keroknya. Mereka pelanggan setia sebatan rotan peledas yang diberikan Guru kami, Wak Gus Damiri!

Wahai zaman indah yang sudah jauh tertinggal dilampau, tak akan batu kerikil disepuh jadi emas permata. Ketika kekayaan para saudagar yang dulu congkak dan kikir minta ampun itu susut, bahkan tak jarang anak-anak mereka jatuh miskin. Seketika mereka serta-merta menyadari, bahwa harta benda yang diperoleh bukan dari jalan dan dengan cara yang halal, tidak akan pernah membawa keberkahan. Selagi ada hak-hak kaum fakir-miskin, anak yatim, penuntut ilmu, ibnu sabil dalam harta-harta mereka tak tertunaikan.

Bagaimana mau tumbuh empati dan simpati kepada kaum lemah tak berdaya (al-Mustad'afin). Jika neraca timbangan getah karet kaum saudagar kaya-raya itu panas. Main sekian strip, ketika menimbang hasil sadapan getah karet. Apabila membayar upah buruh-kuli, sengaja ditunda-tunda sampai dua-tiga hari setelah keringat mereka kering. Pun, sekehendak hati sewenang-wenang membalut anak kuli kebun getah karet dengan iming-iming hutang rangsum tanpa memberi uang sepeser pun.

Jika merasa ada duit sedikit. Mulai pandai bercakap-cakap. Tak peduli, mana pangkal-ujung arah pembicaraannya. Suara saudagar itu paling ramai. Seramai pasar kalangan mingguan. Mudah sekali meremehkan orang-orang kecil. Segala urusan dipandang gampang. Diukur dengan 'bahasa angka-angka' uang. Kalau menyumbang berderma, dimuka orang banyak. Biar ditandai, lihat si Fulan berjiwa pemurah.

Sebaliknya, pelajaran moral nomor wahid yang kusaksikan dari kepribadian Wak Ainan memberi pengaruh luar-biasa pada anaknya. Tak pernah lupa menjamu tamu, walau hanya secangkir air putih. Bersikap hati-hati dalam kehidupan. Takut-takut nian jika anak lelaki satu-satu dan keluarganya termakan-terminum dari sesuap barang yang haram. Barang yang bukan hak miliknya. Dan pantang menadah tangan dibawah pada kaum saudagar, pemilik beratus-ratus bidang kebun karet yang berwatak congkak dan kikir bin pelit luar biasa itu.

Tapi malam tadi sejarah telah berbicara, membungkam mulut besar Datuk Syamsul Alam. Mengunci rapat-rapat mulut kaum saudagar kaya-raya congkak, kikir dan kesat budi-bahasa itu. Malam tadi menjadi kesaksian zaman emas:"Seorang anak yatim miskin yang ditinggal mati bapak itu menjelma jadi sosok murid teladan terbaik dikampungku. Sosok anak cerdas, kreatif dan baik perangai!"

Jika ada sepuluh pemuda teladan macam Cik Muslim dikampungku. Tentu akan lain wajah dan bentuk kampungku yang kerap digelar penduduknya sendiri encot-berot.

(Bersambung)


Rabea Adawea, Cairo 8 Oktober 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home