musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Monday, October 12, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (8)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (8)

Ahmad David Kholilurrahman


Pecah Perang di Tengah Siang

Sewaktu-waktu, perang dapat pecah dikampungku. Tak terkecuali perang bedil buluh marak-semarak membakar serata kampung. Aroma bakal meruap pertempuran, seiring intensitas dan mobilisasi semarak mekarnya musim permainan bedil buluh. Ditandai oleh seringnya gerombolan anak-anak masuk-keluar hutan dibelakang kampung. Rumpun-rumpun buluh yang tumbuh liar didarat kampung, menjadi sasaran para penggemar pertempuran.

Semakin hari perang seakan tak sanggup dibendung. Masing-masing pihak telah mempersenjatai diri, tak terkecuali 'selusin hantu' bujang tanggung yang kali ini menjelma pasukan penjaga garis demarkasi. Garis batas dari medan pertempuran antara dua pihak yang berperang. Tak jarang perang ini berjalan berhari-hari lamanya. Masjid tua itu menjadi batas pertempuran, sekaligus 'zona aman' dari muntahan peluru bedil buluh.

Bukan sembarang rumpun buluh bambu boleh didesain untuk membuat bedil buluh. Asahlah pisau parangmu tajam, pakai lah sepatu plastik balok bergerigi, siapkan obat anti pacat@pacet. Paling mujarab, oleskan rendaman tembakau yang dalam air dari ujung kaki hingga pangkal betis. Kemudian, pergi lah masuk ke dalam hutan dibelakang kampung. Cari rumpun buluh kecil hijau tua, sebesar kelingking tangan orang dewasa. Sebaiknya, kau temukan yang memiliki ruas ruang panjang dan sudah lumayan tua. Terbaik, jika kau beruntung menemukan buluh bambu hijau sebesar jari kelingking orang dewasa tengah mati pucuk. Maksudnya, memang tak bakal bertunas lagi. Begitu sebaris tips yang disarankan sahabat dimasa kecilku, almarhum Kailani Zainuddin, pakar pembuat bedil buluh paling piawai yang pernah kukenal.

Tak jarang, lantaran aku ingin sekali memiliki sebuah bedil buluh, aku 'barter' segenggam kue kering hari-raya dengannya. Bagiku ketika itu, seperti wajib mempersenjatai diri. Walau, aku tak terlalu suka dengan aroma perang, kawan! Tapi, apa mau dikata, dua pihak yang bertempur, telah sepakat bertahun-tahun menjadikan kawasan kampung masjid tua, sedangkan kami bermukim disekeliling wilayah itu sebagai 'zona hijau' (Green Zone/Manthiqah al-Hadraa') peperangan bedil buluh.

Secara geografis medan pertempuran, wilayah Masjid Tua itu masuk kampung hulu. Namun antara kampung hulu dan hilir yang bertempur, sepertinya sepakat menjadikannya 'batas aman', zona hijau bagi kedua pihak untuk gencatan senjata sementara. Anak-anak dikampung itu, tak boleh diganggu, apalagi diserang. Itu wilayah terhormat, markas selusin bujang tanggung biasa berkumpul. Anak-anak kampung sekitar Masjid tua itu dikenal terhormat. Jangankan untuk bertempur, lalu-lalang sekedar untuk lewat saja orang memikir seribu kali. Sampai-sampai digelar Kak Cik Syahir bin Hasan Utsman, sebagai 'Kampung Kraton'- merujuk kepada kawasan Istana Sultan dan Raja.

Aura wibawa dan marwah terpancar dari kampung Masjid ini, membuat dua pihak yang berperang bedil buluh sepakat menjadikannya zona hijau. Secara de facto, dia masuk kawasan kampung hulu. Namun, secara de jure, kawasan ini zona hijau pertempuran. Sehingga aku dan sebelas sepupuku yang gagah-gagah itu bebas melenggang kangkung. Dua pihak yang bertempur, tak bakal berani seujung kuku pun sembarangan menyerang kami. Kecuali, kami memaklumatkan sendiri, misalnya, tahun ini kami ikut peperangan bedil buluh.

Tapi, pilihan nekad ini hanya ditempuh satu-dua orang dari sepupuku yang memang sudah 'gatal tangan' ingin terjun ke medan tempur. Memunatkan pelor kertas yang dibasahi air liur, dilantakkan ke mulut lubang bedil buluh bambu, dipadat-padatkan dengan pangkal hulu bedil, lalu sebilah buluh yang telah diraut halus, dibulatkan itu mendorong pelor kertas basah hingga berjarak setelunjuk dari muara pelor. Ruang tersisa itu memompa angin, sehingga ketika pangkal hulu sebilah bilah halus bulat didorong, meledaklah suara; Daaaaaaarrrr, deeeeeerrrr, doooooorrrrr!!!!

Selain menyiapkan senjata bedil buluh terbaik. Memang dibuat dari buluh bambu hijau tua sebesar kelingking tangan orang dewasa. Juga tak jarang, mereka menyiapkan bedil-bedil bermoncong dua, gabungan dari dua atau tiga ruas buluh bambu seukuran lengan orang dewasa. Pun, bedil-bedil buluh cadangan, dipersiapkan untuk menggantikan bedil buluh yang apabila patah bilah, pecah tabung buluh bambu atau tersumbat ruang lubangnya, sehingga tak mau meletus pelornya.

Suara-suara letusan bedil buluh sudah terdengar sejak pagi. Masing-masing pihak sudah menguji kekuatan bedilnya, amunisi pelor kertas, perlengkapan sepatu dan baju perang. Perlengkapan perang pelindung badan terbaik; Gunakan jaket tebal anti hujan, topi pandan bundar dan celana panjang tebal. Selubungkan kain sarung menutupi muka, kecuali sepasang mata yang terlihat. Mirip kura-kura ninja yang muncul setiap pagi ahad di Televisi dirumah Tauke Getah yang pernah kutonton. Lagak dan penampilan mereka, bak pasukan "Berani Mati" pimpinan kopral Qamaruddin dalam film-film nasional yang sering diputar dihari libur nasional di Televisi Nasional. Berikat kepala merah-putih yang dipinjam dari pakaian pramuka paman dan abang mereka di Sekolah Menengah di Jambi.

Tontonan ini dinikmati seluruh penduduk kampung. Bagi, mereka ini seperti menyaksikan laga pertempuran didepan mata. Makanya, tidak ada yang melarang, bila sewaktu-waktu perang kembali pecah dikampungku. Asal, tidak menggangu pelajaran di Sekolah Dasar maupun Madrasah.

Perang bedil buluh ini memiliki etika dan aturan yang wajib ditaati bersama sebagai berikut;

Pertama, amunisi yang diperkenankan hanya pelor kertas yang telah dibasahi air. Pantangan perang bedil buluh menggunakan bahan pelor keras seperti, batu kecil, timah jala, buah inai kekuningan, atau bahan baku dari benda keras yang dapat menciderai lawan. Kedua, tidak dibenarkan menembak anggota badan yang rawan; seperti mulut, mata, telinga, dan selangkangan.

Ketiga, harus berhadapan satu lawan satu sembari berkejaran. Tergantung strategi yang direncanakan untuk menyergap musuh. Keempat, bagi musuh yang terjebak diwilayah kita, lekas mencari perlindungan atau jalan penyelamatan keluar. Artinya, tidak ada satu pihak pun boleh menawannya jadi 'tawanan perang'. Kelima, semakin jauh wilayah musuh dapat dikuasai, dan dijadikan basis penaklukan, berarti tanda kemenangan didepan mata. Keenam, perang dinyatakan jeda, apabila azan maghrib berkumandang, dilanjutkan keesokan hari atau tidak memandang situasi dan kondisi kampung.

Karena kampung Masjid tua itu sebagai wilayah 'zona aman'. Tentu, aku dan sepupuku yang selusin itu menyaksikan langsung letusan pelor kertas bedil buluh. Kedua pihak yang bertempur, tidak berani mengusik kami. Kecuali, ada satu-dua sepupuku yang 'gatal tangannya' ingin ikut-ikutan masuk medan peperangan. Seorang sepupuku, yang ditokohkan Wak Nga' dalam lakon cerita polisinya. Nah, yang ini 'terpaksa' pasukan blok kampung hulu, walau pun banyak kawan-kawannya dikampung hilir. Namun, perang tak mengenal saudara-mara, kawan!

Kecamuk perang bedil buluh dimarakkan dengan pancingan umpan kedua belah pihak. Satu-dua orang disuruh maju ke garis terdepan, sedangkan sekitar lima dan enam orang menjaga sembari mengintai dari segala penjuru arah. Arah yang paling rawan disusupi musuh, adalah wilayah pinggir sungai. Mereka datang dari arah bawah yang tak terlihat, lalu memotong langkah musuh dengan mengepung berbalik arah. Serangan tak terduga yang didukung kemampuan penyamaran dari balik padang daun keladi gatal memancing adrenalin jiwa muda para petempur.

Kedua pihak memiliki petempur andalan. Biasanya yang memiliki bekal persenjataan bedil buluh ganda ditangannya, terselip dibelakang badan dan juga memiliki spesial tukang padat-lumat pelor kertas basah itu. Mereka seolah tak pernah kehabisan bedil berisi pelor yang seketika meletus memuntahkan amunisi punatan kertas basah. Pelor terbaik dikenal bungkus buku tulis berwarna ungu. Selain, padat, linat dan lumat dimulut bedil buluh. Ketika ditembakkan nanti, mengeluarkan bunyi yang menggetarkan nyali musuh.

Persoalannya, tak mudah mencari kulit muka buku tulis berwarna ungu. Kalau berani mengoyak kulit-kulit buku tulis sekolah Madrasah, terima lah sebatan rotan peledas Guru kami Wak Gus Damiri singgah dibelakang badan. Terkadang, terpaksa kertas pembungkus toko-toko Tauke Getah berwarna kuning coklat kopi menjadi korban. Kalau pihak tauke getah datang melapor ke pihak Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah, ancaman sebatan rotan peledas kembali menanti-nanti dan amukan Guru kami yang amat dimuliakan itu.

Setelah berjam-jam bertempur, sepupuku berbadan tegap, berambut lurus landak yang dicitrakan polisi dalam cerita-cerita Wak Nga ini mengundurkan diri dari medan pertempuran. Walau pun, tembakan pihak musuh masih singgah dibadannya. Untuk menyelamatkan diri dia memilih bersembunyi dalam toko dibawah rumahnya hingga azan maghrib berkumandang. Selusin hantu yang lainnya duduk santai ditangga rumah yang terbuat dari kayu bulian tua, sambil menonton dua pihak pasukan yang bertempur saling kejar-kejaran.

Tiba-tiba terdengar suara erangan meringis kesakitan. Disusul suara keras sahut-sahutan antara dua pihak. Nampaknya seperti akan terjadi pertikaian adu fisik. Lantaran salah-seorang petempur menyalahi 'kode etik' pertempuran, menembaki salah-satu anggota tubuh musuh. Ini pelanggaran berat. Sanksi hukumannya jelas, pelaku dikeluarkan dari barisan pasukan yang bertikai. Pulang ke rumah atau jadi penonton saja. Hahahahaha

"Stop!!!" Kata seorang yang dianggap ketua pertempuran, memberikan aba-aba agar tensi pertempuran jeda sementara waktu.

"Daaarrrrrr, deeerrrrr, dooorrrrrr," letusan bedil buluh yang dilepas ke udara itu masih terdengar dikejauhan.

Namun, kedua pihak yang saling berhadapan, segera menghampiri seorang 'korban' salah tembak dibagian anggota tubuhnya yang terlarang sesuai dengan kode etik yang telah disepakati bersama.

"Kenapa kau tembak matanya?" Tanya sang komandan pada anak buahnya.

"Salah dia sendiri, bang, kenapa ketika aku tembak dia merunduk, aku mau bidik dadanya. Yang kena malah matanya". Ujar si prajurit membela diri.

"Ah, kau sengaja menembaknya. Sejak tadi, kuperhatikan bedil buluhmu selalu mengincar dia. Seakan kalian berdua seteru berat." Kata si Ninja bertopeng sarung kotak-kotak biru tua, menurunkan sejumput kain sarung yang menutupi mulutnya. Napasnya tersengal-sengal, kelelahan mengejar dan mengepung musuhnya.

"Mumpung jeda tembakan, bisa tarik napas, lumayan!!! Bisiknya dalam hati.

"Kalau memang tertembak, aku tak sengaja, bang". Kata si prajurit itu bertahan membela diri.

"Sudah. Sebaiknya kau istirahat saja ke tepi, Jali" Perintah komandan pada sang anak buah.

"Tanggung nian, kalau pertempuran ini tak dilanjutkan. Sebelum azan maghrib berkumandang, kita harus menghentikan pertempuran", Teriak sang Komandan seolah memberi isyarat pertempuran dilanjutkan.

Sepuluh personil yang kelelahan setelah minum air sungai, kembali ke pos masing-masing. Kali ini, pasukan kampung hilir mulai merangsek maju menguasai beberapa meter dari zona aman.

Ketika pasukan kampung hilir keasyikan menyerang masuk ke jantung kampung hulu didekat rumah Datuk Cik Haji Ali Ja'far. Tiba-tiba strategi jitu tengah dimainkan dengan cerdik oleh pasukan kampung hulu. Mereka mengepung dari tiga penjuru. Enam orang melipir jalan tepi sungai, merayap-rayap, merambat pelan-pelan dibawah padang keladi gatal. Mengintai musuh yang semakin masuk ke jantung pertahanan. Sementara satu rombongan kecil yang dari arah jalan babat arah darat masuk mengintai dari balik tiang rumah Wak Bangsit. Yang menjaga pertahanan berbasis dibawah rumah Datuk Cik Ali sengaja memancing musuh masuk menyerang.

Dengan satu lengkingan panjang, serombongan musuh yang menyerang berjumlah lima belas orang itu terkejut ketika mendapat balasan serangan dari tiga penjuru; Hulu-laut-darat. Tanpa ampun, mereka terkepung dan melipat arah kembali ke arah masjid. Secara diam-diam pasukan dari bawah daun keladi gatal dari arah bangku masjid mendesak mereka semakin jauh ke hilir. Kali ini, basis pertahanan kampung hilir jatuh ke kampung hulu.

Dari arah hulu semakin banyak pasukan prajurit muda memenuhi hingga rumah Nyai Bibi. Berarti, satu-buah rumah lagi, mereka sudah nampak akan keluar sebagai pemenang. Keringat basah membanjiri tubuh para prajurit kedua pihak yang bertempur. Lalu-lalang orang yang kembali dari talang-umo semakin banyak. Pertanda langit ashar semakin menghujung. Warna langit kuning tembaga menyemburat dari kaki langit seberang sungai Ruan. Matahari maghrib sekerdip mata lekas menyuruk tenggelam.

Satu dua pergerakan mencoba merebut benteng pertahanan digalang pasukan kampung hilir. Namun, bekal amunisi pelor kertas basah menipis. Mau tak mau, kertas yang menutupi dinding toko "Murah-Meriah" milik Bang Rusyad yang baru berdiri setahun menjadi korban penjarahan dinding kertas koran. Sebelum mereka sempat melancarkan aksi, sudah ketahuan oleh bang Arsyad Muharram. Hingga mereka lari ketakutan semakin menghilir ke bawah sawo@samanilo Nyai Zaicik.

Secara de facto, pihak kampung hulu sudah menguasai dan mengklaim kemenangan pertempuran. Kelelahan badan akibat lari mengejar musuh, mengisi lenat-punat-padat pelor kertas, mengunyah dengan basahan liur membuat kerongkongan diterkam haus dahaga luar biasa. Lagi-lagi air sungai tujuan memuaskan membilas haus dahaga. Walau pun, tanpa disadari dirakit jamban sebelah hulu, ada yang tengah menurunkan 'balok-balok racok' kuning-kuning sebesar lengan budak.

Mereka memuntahkan air sungai yang sempat diminum. Lalu, menumpah sumpah-seranah sepanjang jalan menuju pos terdekat. Apa mau dikata, setelah 'basis pertahanan' jatuh ke tangan musuh. Mau minum, eh tak tahunya terminum air sungai yang terkontaminasi 'balok-balok racok' dari hulu.

"Betul sekali, apa yang dikatakan sang komandan kampung hulu, bahwa kami memiliki senjata yang lebih mematikan, menakutkan dan menjijikkan". Gerutu Komadan pasukan kampung Hilir.

Kini kita baru merasa. Bahwa cukup kiriman 'torpedo' balok-balok racok kuning-kuning sebesar lengan dari hulu membuat kita yang sempat minum air sungai serasa memuntahkan isi perut. Ada rasa mau muntah, mual-mual tak karuan, lelah campur sedih. Lucu mau ketawa bercampur aduk. Tapi, apa mau dikata, kemenangan yang sudah didepan mata, buyar lantaran strategi pengepungan tiga penjuru dan perang gerilya yang dilancarkan pasukan amfibi yang mengintai berjam-jam dibawah payung lebar keladi gatal dekat bangku masjid merusak konsentrasi dan pertahanan yang telah dibangun.

Langit barat makin ghurub. Tak sampai lima menit kemudian, azan berkumandang memenuhi langit se antero kampung. Sayup-sayup memantul ke pematang kebun durian datukku diseberang, ke sungai Ruan, berbalik menyeberang ke sungai Guntung hingga terdengar Sungai Ale.

Pertempuran secara resmi dinyatakan berhenti. Kedua belah pihak yang bertempur, balik ke markas pertahanan, lalu pulang ke rumah masing-masing. Mengambil handuk, kain basahan dan timba sabun. Sepanjang tepian sungai dirakit jamban dari hulu sampai hilir, terlihat ratusan 'prajurit' sibuk menggosok-gosok badan. Buih-buih sabun mandi hanyut merekatkan fantasi dalam alam pikiran kanak-kanakku tentang kisah "Anak Raja Mandi di Hulu" yang pernah dikisahkan Wak Nga pada "Selusin Hantu Bangku Masjid". Hahahahahaha

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 12 Oktober 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home