musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Saturday, October 17, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (9)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (9)

Ahmad David Kholilurrahman


Gasing Berpusing Puting Beliung

Pembuat gasing terbaik dikampungku adalah Lok Saini. Komandan perang bedil buluh kampung hulu, dizaman paman dan abang-abang sepupuku yang lebih tua. Dengan tarahan dan takukan mata parangnya, sebongkah kayu bulian tanduk atau kayu kopi disulapnya jadi gasing yang berputar menawan; pakam, halus, licin dan seimbang. Tanda gasing terbaik, ketika dialit dengan lilitan tali karung goni ketat-kencang, lalu dihumbankan jatuh berputar ke laman tanah permainan, maka liukan gasing menderu ibarat pusaran angin tornado puting beliung.

Medan permainan gasing digelar disepanjang laman rumah-rumah panggung bertiang kayu bulian itu. Dari hulu ke hilir, akan kau temukan berpuluh kumpulan permainan adu gasing. Adu gasing bukan sekedar memperlombakan mana gasing yang paling lama berpusing bak angin puting beliung. Tapi, juga gasing milik siapa yang paling kuat dan tahan adu?

Nah, jika permainan adu gasing sudah mewabah. Menjalar dahsyat memacu keasyikan para pegasing sepanjang hari melilit-memutar gasingnya dengan tali karung goni, juga melabuhkannya ke tanah berputar, berputar dan berputar bak amukan topan tornado. Meliuk-liuk ibarat penari jaipongan, menghunjam tanah berpusar menukik, memercik pepasiran tanah. Setunak-tunaknya berputar tak menghiraukan suitan pegasing yang telah memainkannya. Tanda gasing akan jeda berhenti, terlihat liukan semakin melemah, tarian gemulainya kendur, dan tiba-tiba menggeletak terkapar.

Aku memiliki sebuah gasing warisan yang terbuat dari kayu bulian. Warnanya merah kehitaman, berukuran besar dan rajin kulumuri minyak kelapa. Kalau ibaratnya manusia, gasing itulah yang berpenampilan badan besar, rajin berminyak rambut dan juga kusimpan dalam laci lemari diruang tengah rumahku. Aku menemukannya secara tak sengaja, ketika membongkar isi lemari yang memuat buku-buku bacaan dirumahku. Aku yakin, itu mungkin, gasing warisan dari paman-pamanku dulu. Jadi, setiap musim gasing mewabah dikampungku, gasing pusaka itulah yang selalu kumainkan dengan anak-anak sebayaku.

Pertama kali aku memainkan gasing itu, tangan kecilku keberatan memegang badan gasing bulian yang berat dan besar itu. Lagi pula, aku memerlukan tali karung goni yang lebih panjang untuk melilit tampuk kepala hingga leher gasing. Nah, jika tak terbiasa memakai tali yang lebih panjang, seringkali lilitan tadi bukannya malah terbuka teratur ketika gasing dihumbankan ke laman permainan. Namun, sangkut dan tersentak, gasingnya terlempar tak tentu arah. Salah-salah, menghantam kepala orang lain. Jangan kira, hantaman gasing kayu bulian dikepala, menyamai pukulan tinju singgah dikening. Rasanya, sakit luar biasa, kawan!

Apabila ada permainan adu gasing. Aku saran kau untuk menyaksikan dari luar laman permainan. Jika, kau tak mau terkena sambatan pusingan gasing yang terbang sembarangan tak tentu arah. Sebab, para pegasing-pegasing itu saling mengapak-saling menghunjam pukulan antara gasing yang satu dengan lainnya. Pemenangnya, dilihat antara gasing yang dikapak dan mengapak; mana diantara keduanya yang paling tahan atau terus berputar. Tentu saja desain gasing juga menentukan daya putar, keampuhan liukan dan keseimbangan gasing berpusing bak angin tornado puting beliung itu.

Ada tiga macam gaya mengapak adu gasing dikampungku;

Pertama, kapak tegam, yaitu miringkan badanmu, lalu ambil tenaga seperti orang mau menusuk, hantam gasingmu ke gasing lawan yang terlebih dahulu dipasang berputar, dengan cara menegam-menukikkan kepala gasing ke arah badan gasing lawan. Sehingga, gasing lawan berhenti meliuk-liuk dan jatuh tertegam ke tanah.

Kedua, kapak cedok, adalah sebuah gaya mirip sudu-sendok menyendok nasi. Tarik napas dahulu, kemudian gasingmu membidik ke arah bawah gasing lawan dengan gaya seperti mencedok. Kalau tepat sasaran, gasing lawan meloncat terbang ke udara, lalu jatuh terpelanting entah ke mana. Bagi yang memasang gasingnya sebagai pihak yang kalah, mesti siap-siap mencari gasingnya dibalik tiang atau terpelanting masuk pelimbahan. Tapi, jika meleset mengenai sasaran, kau mesti siap-siap mencari gasingmu sendiri.

Ketiga, kapak sambar (layang), gaya mengapak gasing dengan membidik gasing lawan dari arah samping atau jauh. Gasing lawan yang disambar gasing kita, mirip seperti ayam disambar elang. Gaya gasing sambar atau layang, jika tepat mengenai sasaran, maka gasing lawan melayang tanpa ampun. Tapi, jika tak mengenai, atau nyaris mengenai sasaran gasing lawan, maka kemungkinan diadu mana diantara gasing kita dan lawan yang berputar lebih lama.

Masing-masing pegasing yang bertarung memiliki jurus-jurus andalan dari ketiga gaya mengapak gasing tadi. Walau tak sedikit diantara pegasing-pegasing sanggup meladeni permainan adu gasing dengan ketiga cara tadi.

Dikampungku, Kamis Cedok sesuai nama yang tertera tadi, adalah salah-satu pegasing andal yang jago dalam gaya mencedok. Para pegasing amatiran, sepertiku mesti banyak belajar menyerap ilmunya. Lantaran itu, dia segera memintaku melilit tali karung goni dari kepala hingga bahu gasing, lalu putarkan gasingmu di tanah.

"Tengok, wahai bujang, cara mencedok gasing paling jitu!" Badannya miring, seraya mengayun gasingnya ditangan kanan, dengan dorongan gerak ke depan ke belakang, seketika gasingnya menghantam gasingku. Gasingku meloncat terbang, mengenai kandang ayam datukku yang terbuat dari papan kayu. Tergeletak tak berdaya, dipinggir kandang ayam itu.

"Kau tengok tadi, bukan? Nah, itu jurus kapak cedok paling dahsyat" Katanya bak pendekar sudah mengeluarkan jurus andalannya, mulutnya komat-kamit serupa merapal mantra. Ditelingaku dia berbisik, tahukah kau bujang, ini semata 'eksyen' belaka. Kata eksyen adalah kata paling sering diucapnya. Menurut riwayat yang kudengar dari kawan-kawannya, dia terpikat kata dahsyat itu, selepas mendengar seorang sutradara dalam sebuah film yang ditontonnya dilayar tancap masa bujangnya dulu mengucapkan kata-kata sakti itu.

Dia memiliki murid-murid dalam hal ilmu pergasingan ini. Ingat, katanya, tak semua orang bisa pandai mencedok gasing lawan, sejak dulu, aku cuma kenal beberapa orang saja yang suka gaya mencedok.

"Pelajaran kasar yang bisa kau tiru dalam perihal mencedok gasing, tengoklah cara orang menyekop tanah ketika membangun jalan aspal diseberang sana. Kau perhatikan mereka baik-baik, mana yang tak paham nanti kau tanyakan aku lagi" ujarnya pergi berlalu.

Jangan kamu tahan langkahnya, itu satu gaya khasnya, jika pegasing-pegasing amatir merujuk tanya-jawab perihal ilmu permainan gasing dikampungku. Gaya sok sibuk dan sok penting dah ditebarnya sepanjang jalan. Padahal kerjanya dirumah hanya mendengar musik-musik dangdut dari tape deck besar yang disambungnya dengan akku. Sepuluh hari sekali, dia menitipkan akku untuk dicas di Sarolangun dengan mobil angkutan Am Len.

Selain Kamis Cedok, ada juga pakar gasing yang juga pegasing andal. Namanya bang Syu'aib Tegam. Julukan Tegam melekat dibelakang namanya, sejak dia ditabalkan sebagai pemilik gaya tegam paling memukau dikampungku. Gasing siapa saja yang ditegamnya, tanpa ampun mati kutu berhenti putar, jatuh tertukik di laman permainan. Bang Syu'aib Tegam memiliki obsesi luar biasa, berharap diundang dalam Festival Permainan Tradisional Tingkat Nasional.

Lantaran kegilaanya pada dunia pergasingan. Dia memiliki koleksi gambar-gambar gasing dari seluruh nusantara. Ada buku bergambar tentang gasing yang diperoleh dari kerabatnya yang pernah kuliah di Bandung dulu. Buku yang melapuk berwarna kuning kusam itu, sudah lumat dibawanya ke mana-mana.

Setiap ada kunjungan mantri kesehatan, tim penyuluh kesehatan kecamatan, atau tim ibu penggerak PKK Kabupaten yang datang ke kampungku. Nah, buku yang memuat gambar gasing itu yang dibawanya menghadiri acara di balai desa itu. Tak jarang, dengan berani hati dia ajak pak dokter yang tengah istirahat sehabis mengobati masyarakat secara gratis, mantri kesehatan yang penat habis menyuntik warga sakit, atau ibu-ibu memberikan penyuluhan tentang Keluarga Sejahtera dengan menunjukkan gambar-gambar dahsyat itu.

Dikamar bagian serambi luar rumahnya, gambar kopian gasing-gasing itu yang ditempelnya. Obsesinya yang terlalu besar, bahkan membuatnya lupa makan dari pagi sampai petang. Koleksi tali lilitan gasing pun, dimilikinya beragam. Dari tali karung goni, sumbu kompor hingga tali pramuka berwarna putih. Itu disimpannya rapi dalam laci lemarinya, juga sebotol minyak kelapa, meminyaki gasing-gasing kesayangannya yang disimpan dalam kotak khusus berbungkus kain jarit.

Selain Kamis Cedok dan Syua'ib Tegam, jago ketiga gasing dikampungku adalah Rajab Sambar. Ampun, bila bang Sambar, begitu nama populernya, dah beraksi dalam permainan gasing dikampungku. Dari pangkal sampai ujung kampung, dia rajin tampil turun gelanggang permainan gasing. Kalau pagi ini, kamu jumpa dia didepan toko "Terang Bulan" Haji Sya'ban Dailami, lepas zuhur nanti, dia dah beranjak dilaman permainan lain, kali ini depan toko "Zamrud Khatulistiwa" Haji Syamsu Hilal. Petang nanti, selepas ashar depan toko Mangcik Junaidi di kampung hilir dia unjuk gigi. Penggemarnya ramai, karena disamping sosoknya yang ramah, humoris dan tampan dengan rambut jambul ayamnya. Tak sedikit, gadis-gadis dikampungku memasukkan nama bang Rajab Sambar dalam obrolan manis sehari-harinya disela menyapu dan mengepel tangga rumah.

Orang-orang yang kelelahan membanting tulang sepanjang hari, agak terhibur dengan kehadirannya. Maklum, kawan, penampilannya yang agak flamboyan, badan tegap dan wajah tampan sudah memikat penonton digelanggang. Belum lagi humor-humor segarnya yang meledakkan suasana, mencairkan ketegangan, juga meriuh-rendahkan gelak-tawa para penonton.

Salah-satu gurauannya yang paling sering diperdengarnya pada penonton adu gasing, adalah bahwa permainan gasing adalah yang permainan tradisonal yang penuh pesona. Para pegasing seperti para matador di negeri Spanyol sana. Jadi, kalau mau turun gelanggang, mesti tampil gagah-perkasa dan penuh lagak. Kalau ada sepatu kulit, walau pun warisan tujuh keturunan, sebaiknya kau kenakan, begitu nasehatnya yang terngiang-ngiang ditelingaku.

"Kau anggap gasing-gasing itu ibarat banteng yang kita taklukkan, lalu tali balut gasing dari karung goni adalah untuk menjerat kepala banteng, lalu gasing yang kau kapak dengan salah-satu dari ketiga gaya itu adalah banteng-banteng terluka tertusuk pisau belati dipunggungnya". Tutur katanya lembut, senyumnya terhampar landai ibarat pepasiran di tanah Bekali diwaktu air surut dimusim kemarau.

Aku heran, dengan para pegasing-pegasing unik ini. Ketiga mereka memiliki obsesi masing-masing, dipadu khayalan tingkat tinggi dan idealisme cita-cita tak bertepi. Lewat sebongkah kayu bulian tanduk yang ditarah jadi gasing, impian ketiga mereka membumbung terbang ke se antero dunia. Sejak bang Kamis Cedok, penggemar dangdut. Bang Syu'aib Tegam yang mengidam-ngidamkan diundang dalam Festival Gasing Nasional, hingga Bang Rajab Sambar yang flamboyan dan humoris, sosok yang memandang gasing adalah permainan seni dan unik. Gasing dalam alam pikirannya, ibarat banteng-banteng terluka terkena tusukan belati para matador-matador tampan bermata tajam. Luar biasa!


Tapi, ada satu kekurangan mereka bertiga, yaitu saling menolak jika tampil bertiga saja dalam satu gelanggang permainan gasing dilaman rumah panggung bertiang berjumlah ratusan buah itu. Seperti ada saling rasa segan diantara mereka bertiga. Apalagi mengingat masing-masing pihak sekuat tenaga menjaga citra dari masing-masing gaya andalan mengapak gasing yang sangat mereka kuasai. Jika ditanya, mana gaya mengapak gasing yang paling hebat? Ketiga mereka mengklaim paling jago. Tapi, jika dipertemukan dalam majelis otahan, ketiganya serupa kucing takut disapu lidi. Masing-masing memasang muka segan.

Yang paling pandai mempertemukan ketiganya dalam majelis otahan hanya sepupuku yang politisi itu. Maklum, ketiganya adalah kawan sepengajian di majelis Pengajian Wak Gus Damiri. Sepupuku yang berselisih delapan tahun umurnya denganku ini, dikenal luwes dan luas dalam pergaulannya. Ketiga-tiga jago gasing itu, seringkali hanyut dalam otahan politiknya.

Kapas boleh dipintal jadi benang kain. Air liur politisi dipintal jadi otahan. Kalau ketiga jago gasing kampungku dikumpul oleh abang sepupuku dari pagi sampai petang pun, mereka betah berlama-lama duduk dibawah pohon mangga ditepi air. Angin berpuput dari seberang meniupkan riak-riak keemasan matahari yang jatuh diatas wajah Sungai Batang Tembesi.

Abang sepupuku, anggota tertua "Bujang Bangku Masjid" yang memandu obrolan tiga keunikan tiga jago gasing dikampungku. Antara bang Kamis Cedok penggemar dangdut sejati, Bang Syu'aib Tegam, pemimpi yang terobsesi diundang dalam Festival Permainan Tradisonal di Tingkat Nasional dan Bang Rajab Sambar yang berjiwa flamboyan menganggap permainan adu gasing sebagai banteng-banteng yang mesti ditaklukkan belati matador. Dimata bang Rajab, penampilan para pegasing mesti serupa matador-matador Spanyol bermata tajam, jantan dan flamboyan.

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo 17 Oktober 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home