musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Tuesday, October 6, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (5)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (5)

Ahmad David Kholilurrahman


Piala Perak, Piala Kuningan Emas dan Jawara Umum

Aroma Malam Terang Nomor itu menguar-nguap di serata kampung kami sejak jum'at sepekan lalu. Diingatkan lagi secara resmi dengan pukul-tabuh kentongan kepala dusun kami, Wak Anang sehari sebelumnya. Sehingga membubarkan partai pertarungan tepuk bulu angsa alias bulutangkis antara dua pasangan terkuat dikampung kami Najamuddin Zanki dan Badri Budur melawan pasangan kembar bersaudara Salam dan Salim.

Luar biasa. Aroma Malam Terang Nomor membuat mata penduduk kampung terpusat pada satu titik; Masjid Az-Zahir. Masjid yang dibangun tahun 1925 dan menjadi saksi dari perjalanan penyiaran dakwah Islam di tanah Gurun Tuo. Pusat dari pengajaran dan penerangan ajaran Islam yang dibina sejak zaman datuk-datuk dan buyut-buyut kami dulu. Sejak masih membuka kaji kitab perukunan yang diajarkan Moyang kami Shoefie bin Tengkin. Dia yang mengajak kumpulan orang-orang mengadu ayam, duduk berleha-leha menghabiskan sepanjang hari duduk mengotah- berbual-bual tak henti untuk pergi mengaji ke Masjid itu. Kelak usaha penyiaran dakwah Islam ini diteruskan anak-anaknya, terutama, Haji Ja'far Shoefie dan Haji Ahmad Shoefie.

Sejak maghrib jema'ah telah menyemut masjid tua bercorak arsitektur khas negeri Melayu. Bentuknya setengah tiang bergaya rumah panggung kayu, empat tiang bulian tua setinggi 40 Meter tegak kokoh menyangga atapnya selama berpuluh-puluh tahun. Rayap pun enggan menggerogoti keempat tiang pusaka itu. Keempat tiang bulian tua itu wakaf dari buyut kami Ja'far Shoefie yang ditebang dan diangkut langsung dari kebun buliannya di Bulian. Dibutuhkan sepuluh kerbau penarik untuk menarik empat tiang setinggi 40 meter ini ke kampungku.

Kabar yang kudengar sejak kanak-kanak, inilah satu-satunya masjid tanpa mihrab di tanah Jambi itu hanya ada dikampungku. Bagian depannya yang agak mengerucut itu sebenarnya bukan Mihrab. Mimbar terbuat dari kayu bercat kuning telur berdiri sanggam. Dibagian belakang mimbar terdapat pintu laci berkunci gembok besar, tempat meletak penyimpanan barang-barang milik masjid; seperti hambal, sajadah, dan kain gorden. Juga mikrofon tua yang tak terpakai lagi, terdapat disitu.

Pengumuman Malam Terang Nomor itu berlangsung selepas Isya. Dewan guru yang terdiri dari sosok bukan sembarangan itu telah hadir mengisi shaf bagian depan. Guru kami Gus Damiri, Wak Hasan Usman, Buya Abdullah Manshur, Wak Sulaiman, Datuk Abdul Aziz, Mang Cik Abdul Mun'im, Wak Nde' Ahmad Tarmizi dan lain-lain.

Juga Guru-guru muda seperti Pak De Hasanain, Pak Cik Jang Ayu alias Ahmad Thabari, Paman Muzani, Kak Cak Wahyuddin, Mang Cik Junaidi terlihat lalu-lalang sibuk mengatur barisan duduk murid-murid Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah. Suara anak-anak itu semula mirip penumpang kapal pecah. Namun dengan kehadiran Dewan Guru yang disegani itu mulut ribut milik anak-anak terkunci diam. Serupa kesunyian yang membungkam tepian rantau Teluk Kuari di hulu kampung kami di kala malam tiga puluh. Malam bulan mati!

Telah hadir pula kaum 'Tiga Tali berpilin Tiga' yaitu terdiri kalangan tuo tengganai, alim-ulama dan cerdik-pandai. Ketiga kalangan ini biasa juga disebut 'Tiga Tungku Penjerangan' dalam sistim pranata sosial masyarakat Melayu Jambi. Tanpa keterlibatan tiga kalangan yang menopang kampung ini, entah apa jadinya kampung kami, termasuk semarak helat Malam Terang Nomor ini.

Setelah dibuka pembacaan wahyu kalam Ilahi, yang dibawakan oleh qari muda yang akan mengikuti MTQ tingkat Kabupaten Bang Cik Ja'far Sya'rani. Ketika namanya disebut akan membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an, bang cik Ja'far melangkah mantap dari arah tengah masjid. Menyibak barisan hadirin yang duduk tenang. Sosoknya mengenakan kopiah hitam, celana hitam, berbaju batik lengan panjang bermotif daun pakis, bercap sebuah logo bertulis "Ikhlas Beramal". Agaknya baju batik, salah-satu hadiah kemenangannya ketika menjuarai MTQ tingkat Kecamatan tiga bulan lalu.

Suara merdu qari muda mengalun-ngalun merdu ke puncak rindu. Syahdu merasuk hati para hadirin. Dari daun jendela rumah-rumah panggung sekeliling Masjid, kulihat wajah-wajah kaum perempuan berkerudung mengintip malu-malu. Dedaun manggis yang jatuh dilaman Bangku Masjid seolah diam terpaku, angin pun enggan menyapu. Mengalir hingga Tepian Bujang, menyeberang sungai Tembesi hingga ke tepian rumah Datuk Cik Haji Hamdan. Terpantul hingga pematang bukit dikebun durian datukku.

Kulihat Datuk Elok Haji Usman Ja'far menghapus sudut matanya dengan handuk kecilnya. Terharu sekalian bangga menengok cucu saudaranya yang membaca kalam suci Ayat-Ayat Allah ini. Duduknya terpekur dibawah daun jendela sebelah laut-arah tepi sungai itu. Angin malam berkesiur lembut, menggosok tengkuknya yang dilapisi baju teluk belanga hijau muda itu. Berkali-kali terdengar suara; Allah, Allah, Allah keluar dari bibir Datuk Te Munawwar, Datuk Cik Haji Ali Ja'far Datuk Itam Haji Abu Bakar Ja'far, Datuk Ning Bujang Haji Harun Ar-Rasyid Ja'far, Datuk Hanafi Ja'far yang lebih akrab kami sapa dengan Abah yang duduk di barisan shaf termuka.

Suara qari muda itu merdu sekali. Biasa diminta membacakan ayat-ayat suci al-Qur'an dalam kenduri perkawinan dikampungku. Dia akan mewakili kampung kami dalam perlombaan MTQ tingkat Kabupaten tiga bulan ke muka. Nama sang qari muda itu mengingatkan pada nama ayahanda mereka tercinta; Haji Ja'far Shoefie. Buyut kami yang memiliki tiga istri, belasan anak, puluhan cucu dan ratusan piut-cicit itu.

Setelah beberapa kata sambutan yang disampaikan Kepala Desa Datuk M. Syafi'i diteruskan oleh Mudir Madrasah Wak Gus Damiri. Tiba lah pada puncak acara yang ditunggu-tunggu khalayak ramai itu, yang ingin disimak oleh orangtua dan wali murid, yang dicemaskan murid-murid Madrasah sekampung. Perasaan cemas-cemas harap menjalari hati murid-murid Madrasah yang berpakaian rapi seragam baju putih lengan panjang, berkain sarung berikat pinggang, berkopiah hitam.

Enam piala perak dihiasi jurai-jurai pita merah-putih dan sebuah piala kuningan emas berteter atas meja bertaplak kain batik. Sejumlah bingkisan hadiah menumpuk dimeja tersebut. Mata khalayak hadirin sesekali tertuju-terpaku pada sejumlah piala-piala yang bakal menandai penabalan murid berprestasi masing-masing kelas dan jawara umum sang peraih nilai tertinggi. Dan juga khalayak menebak-nebak nama-nama murid-murid Madrasah yang bakal berjaya meraih piala kebanggaan itu. Ramai nama-nama murid masuk dalam bursa pengotahan orang kampung.

Sepatah dua patah berupa sambutan dan ujar-ujar nasehat dibingkis oleh guru kami, sosok pendidik ulung Wak Gus Damiri. Seolah makin memutar benang kepenasaran khalayak pendengar. Tentu saja, kalimat bersayap menghujam tajam yang dia singgung sejak tadi;"Barang siapa yang bersungguh, pasti beruntung"."Siapa yang menanam benih, akan menuai hasil". "Siapa yang tekun-rajin belajar dan menghapal, insya Allah beroleh kejayaan".

Kalimat-kalimat takjub pembangkit semangat, pelecut kemalasan, penghibur kesusahan itu seolah guyuran air sejuk dikerongkongan penuntut ilmu dipilin haus-dahaga luar biasa. Kata-kata yang keluar ikhlas dari mulut ihsan Guru kami Wak Gus Damiri, telah membuat kepala Wak Nga' yang duduk dipojok tiang tengah masjid kami, tepat disamping kotak tabungan-celengan dari kayu setinggi bahuku ketika duduk terangguk-angguk berkali-kali. Memang Gus Damiri, bukan sosok sembarangan. Kharisma kata dan perbuatannya seiring-sekata. Selaluan-setujuan!

"Tak ubahnya satu tiang yang menyangga masjid tua ini", Kata Wak Nga sambil berbisik pada rombongan Kak Cik Syahir sekawan. Kutengok sepupuku yang berjumlah selusin itu duduk disisi kiri Wak Nga.

"Kalau hilang satu tiang itu, pincang lah masjid kita ini yang dibina datuk-buyut kita sejak berpuluh-puluh tahun lampau". Lagi-lagi dia menambahkan, sembari melepaskan satu biji kancingan baju kemeja berwarna coklat tuanya. Udara bertambah gerah lantaran khalayak hadirin ramai. Dia melepas kopiah hitamnya, mengipas-ngipas badannya.

Lalu, Wak Gus Damiri mengeluarkan secarik kertas dari kantung baju teluk belanga putih. Secarik kertas yang mencantumkan nama-nama sang pemenang dan pelajar terbaik murid Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah. Tak seorang pun pernah melihat catatan yang ditulis miring bersambung rapi, tinta pena Hero hitam telah menuangkan dawat-tintanya demi mengabadikan nama-nama para jawara. Nama-nama yang membanggakan kampung kami, sekaligus orangtua dan wali murid yang tersebut diatas.

Namun, sebelum beliau menyebutkan nama-nama murid yang keluar sebagai juara kelas dan juara umum. Beliau terlebih dahulu menerangkan jumlah kelulusan dan naik kelas murid-murid Madrasah yang didirikan gurunya KH. Nawawi Ahmad itu.

"Jumlah muridnya yang mengikuti imtihan Madrasah sebanyak 170 orang yang terbagi dalam enam kelas dengan delapan ruang lokal. Prosentase kelulusan dan kenaikan kelas sebesar 83 persen. Jumlah murid yang tak lulus dan naik kelas sejumlah sekian orang". Suaranya lantang, diumumkan langsung dari atas meja kursi depan mimbar kayu masjid tua itu.

Beberapa murid yang disebut namanya tadi. Langsung jatuh dalam isak tangis. Orangtua dan wali murid yang disebut nama-nama tadi duduk tertunduk. Seperti hilang airmuka. Wajah mereka menggeleng, namun sepatuhnya tunduk pada keputusan yang diumumkan Guru kami Wak Gus Damiri.

Tak seorang pun berani membantah keputusan yang telah ditanda-tangani. Apalagi ini, setelah melalui serangkaian rapat Dewan Majelis Guru yang bersidang di malam hari. Nama-nama tadi memang betul-betul tidak dapat dipertimbangkan. Kenakalan dan kemalasan mereka luar biasa. Ketidak-lulusan dan ketidak-naikan itu harus dipandang sebagai hikmah besar; berarti anak-anak mereka masih akan menerima pelajaran didikan dari tangan dingin sang Mudir yang sangat disegani itu.

Orang-orang tua dan wali murid harap maklum. Walau ada kecewa terbersit, namun mereka menerima dengan hati lapang dan tangan terbuka. Kesempatan memperbaiki diri selalu terbentang didepan mata. Jadi, perasaan kecewa dan malu mesti disulam dengan jiwa besar. Berani mengambil resiko seburuk apa pun, sembari ikhtiar keras membangkitkan diri dari keterpurukan. Inilah bentuk pendidikan paling bijak yang diterima dari Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah berpuluh-puluh tahun.

Ini bukan kali pertama beliau tegak depan khalayak ramai mengumumkan Malam Terang Nomor. Jadi, penduduk kampung sudah sangat paham, jika apa yang telah diumumkan bukan keputusan asal-asalan. Tentu setelah melalui serangkaian pertimbangan matang. Setelah dirapatkan dalam sidang Dewan Majelis Guru yang duduk dalamnya para guru-guru berpengalaman makan asam garam kehidupan.

"Saatnya saya mengumumkan langsung nama-nama juara kelas dari kelas satu sampai enam. Kelas satu, juaranya ananda kami, Sofyan Mahmud dengan prosentase nilai 78,34. Kelas dua, juaranya ananda kami, Dzulhamdi bin Abdul Muluk, dengan prosentase nilai 82,31. Kelas tiga terdapat dua juara kembar, yaitu ananda kami; M. Iwan Kurniawan bin Abdus Shomad Ibrahim dan Fayzal Chakiem bin Abdullah Manshur. Dengan prosentase nilai 85.60. Kelas empat, juaranya Muslim bin Muhammad Nur dengan prosentase nilai 97,47. Kelas lima, juaranya M. Iwan Farhat bin Ihsan dengan prosentase nilai 89,62. Sedangkan kelas enam, juaranya Abdul Wadud bin Hanafi Ja'far dengan prosentase nilai 91. 87. Jadi dengan melihat hasil nilai keseluruhan dari masing-masing juara kelas. Maka, juara umum tahun ini jatuh pada ananda kami, Muslim bin Muhammad Nur". Tegas Wak Gus Damiri sambil melipat secarik kertas paling berharga tadi.

"Kepada para juara kelas, kami persilahkan maju ke depan mengambil tempat. Kami mohon hadir semua memberi jalan, agar para pemenang melangkah leluasa hingga ke depan", Harap Wak Gus sekali lagi.

Walau gagal meraih juara umum, kulihat sepupuku yang selusin itu dengan jiwa besar empat orang dari mereka berhasil menyabet juara kelas. Mereka mengelu-elukan Muk Muslim bin Muhammad Nur yang berjaya sebagai juara umum. Seorang anak cerdas dan baik perangai yang ditinggal wafat bapaknya. Yang tinggal dengan emak dan saudarinya dirumah sangat sederhana. Ditengah ketidak-beruntungan secara ekonomis, sang juara umum itu tumbuh alamiah. Dengan segala keterbatasan sarana, dia adalah pembelajar sejati.

Aku ingat cerita abang sepupuku yang jauh lebih tua, kata emaknya, Wak Ainan;"Sejak dia masih bayi, Wak sangat hati-hati memberinya makanan. Dalam kemiskinan yang melilit keluarga kami, Biarlah bertahan-tahan susah, daripada sembarangan menyantap sesuap dari barang haram yang bukan milik kami". Wak sangat khawatir jika termakan makanan haram. Dari makanan yang halal akan tumbuh pohon yang subur dan berbuah lebat!

Aku menangis mendengar kalimat-kalimat jujur yang meluncur dari mulut perempuan tua yang kupanggil Wak itu. Ditengah kehidupan orang-orang kaya dikampung kami, yang seenaknya memijak kepala anak-kulinya. Menguras tenaga, dan sengaja menahan upah kuli-buruh yang mengangkut getahnya, padahal keringat mereka dah kering berhari-hari.

Lewat Wak Ainan, sosok emak pekerja keras membanting tulang, menghidupi satu-satunya anak lelakinya. Dia sendiri yang mendatangi rumah Guru kami dimalam hari, hujan jatuh receh-receh, bak uang logam dari langit. Dia mengetuk pintu rumah Guru kami menyerahkan anaknya yang dipeluk dalam hujan lebat itu untuk bisa ikut bersekolah madrasah ats-Tsaqafah al-Islamiyah tiga tahun lampau.

Dan anak laki-laki harapannya itu memang tumbuh jadi pelajar pembelajar cerdas dan baik perangai. Dan malam ini, airmata kebahagiaan Wak Ainan tumpah bahagia. Kebahagiaan yang menjalar hebat dari rumah dihilir kampung, arah ke darat jalan setapak itu. Rumah berdinding pelupuh, beratap rumbai pandan itu. Malam ini menjadi penabalan sang jawara umum yang membanggakan sang Guru kami Wak Gus Damiri.

"Anak keponakan yang cerdas-cergas, selamat atas prestasi yang kalian raih". Wak Nga menyalami mereka satu persatu. Dengan suaranya yang khas, ketika menjadi pembawa dalam panggung acara dikampung kami. Senyumnya mengembang lebar.

Dibelakangku duduk Pak Gus Najib, Paman Mufakhir, Paman Khudari, Paman Zamilul Faiq, Kak Cak Mujib, Pak Su Zyaad, Kak Ning Buana dan Kak Cik Syahir. Kumpulan pengotahan yang meledakkan tawa membahana berdekah-dekah jatuh terdengar hingga rakit-jamban Tepian Bujang.

Ke enam pemenang tersebut tegak berbaris sejajar menerima piala perak dan bingkisan hadiah berupa buku pelajaran dari Dewan Guru dan Tokoh Masyarakat yang dipersilahkan secara hormat menyerahkan kepada mereka. Kecuali piala perak dan piala kuningan emas yang langsung diserahkan Mudir Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah, Wak Gus Damiri.

Pada abang sepupuku yang berjaya meraih juara terhormat itu, beliau mencium pipi kanan dan kirinya lalu menepuk pundak Te Abdul Wadud Hanafi, Kak Ning Iwan Farhat Ihsan, Kak Iwan Kurniawan Abdus-Shomad dan Kak Ning Fayzal Chakim Abdullah Manshur. Ada perasaan yang susah diungkapkan dengan tulisan; haru, bangga, senang dan bahagia menyeruak bercampur-baur. Kami saudara sepupu yang kecil sibuk mengerubungi mereka berempat. Bahkan kutengok dua sepupuku yang lain, sibuk menarik-narik piala perak berpita jurai-jurai merah putih itu. Yang lainnya, mengangkat-ngangkat bingkisan hadiah.

"Adik dan keponakan hebat, hebat, hebat!" Tiga kali ucapan 'hebat' terdengar dari decak mulut Wak Nga, sambil menggoyang-goyang kepalanya ke kiri-kanan.

Para juara kelas Madrasah at-Tsaqafah al-Islamiyah terdiri dari seorang cucu dari KH. Nawawi Ahmad, satu lagi cucu dari Haji Ibrahim Ja'far, saudara datukku ini dikenal seorang berjiwa seni. Dua orang cucu dari KH. Manshur Ja'far ulama terpandang dikampung kami. Guru yang berjasa mendidik Wak Gus Damiri dan penduduk kampung pada ajaran Islam. Datuk Muk Manshur, begitu aku dan sepupuku memanggilnya. Beliau mengaji selama 21 tahun di Mekkah, dibawah asuhan Masyayeikh Bilad al-Haramain. Kedua anak laki-lakinya lahir disana, yaitu Guru kami Buya Abdullah Manshur dan Wak Te Ahmad Kautsari Manshur.

Acara itu ditutup dengan doa yang dibacakan Imam Masjid kami Buya Abdullah Manshur. Dengan kata-kata bijak, beliau menyampaikan, mari lah kita mengikhlaskan hati, menunduk melabuhkan niat memohon pada Allah SWT atas segala karunia kesyukuran pada rahmat dan maghfirah-Nya. Peristiwa yang berlangsung malam ini, adalah puncak dari peristiwa dari perjalanan tahunan pendidikan Madrasah ats-Tsaqafah al-Islamiyah. Inilah bentuk dari cara mewujudkan penghargaan pada anak-anak cucu kita yang telah menempuh pendidikan di Madrasah tersebut. Semoga ilmu yang mereka peroleh, beroleh keberkahan dan ridha Allah Subnallahu Wata'ala. Lalu, beliau membacakan doa dengan penuh khusyuk-syahdu.

Jema'ah masjid terasa lengang. Yang terdengar cuma ucapan; amin, amin, amin, amin, amin. Setiap kali kalimat untaian doa jeda. Wak Nga membentang kedua tangannya, seraya menunduk tegap. Kedua bahunya menopang tegak badannya yang tegap tinggi besar. Kumpulan pengotahan muda dibelakangnya pun duduk menunduk seraya mengangkat tangan pula.

Malam itu aku menyaksikan peristiwa tahunan paling legendaris yang dihelat Dewan Majelis Guru Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah yang dinanti-nanti penduduk kampung. Selain tentunya, dua hari raya Idul Fitri dan Idul Adha yang paling ditunggu sepanjang waktu, yang paling diburu sepanjang rindu!

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 6 Oktober 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home