musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Sunday, October 4, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (4)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (4)

Ahmad David Kholilurrahman


Malam Terang Nomor

Tong......tong......tong......tong......tong! Suara kentongan buluh dabuk sebesar batang pinang itu bergema ke penjuru kampung. Dari hulu ke hilir. Dari laut ke darat.

"Oiiiiiiiiiiiiiiii, ninik-mamak kampung kito, yang besak dak disebut gelar, yang kecil dak disebut namo. Jangan sampai lupo, insya Allah malam jum'at besok malam pengumuman terang nomor di Masjid Az-Zahir. Macam tu pesan yang disampaikan Guru kita Gus Damiri". Katanya berulang-ulang kali.

Sejak habis ashar tadi, kepala dusun kami Wak Anang sibuk keliling kampung menabuh kentongan yang terbuat dari buluh dabuk menyiarkan amanah berupa maklumat penting dari Mudir Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah perihal Malam Terang Nomor.

Dari pangkal sampai buntut kampung, Wak Anang sibuk memukul kentongan buluh dabuk. Setiap ada kerumunan khalayak ramai, walau lebih dari tiga orang, disampaikan berulang-ulang pengumuman penting ini. Di toko "Terang Bulan" Haji Sya'ban Dailami dihulu kampung, sibuklah dia memaklumatkan amanah dari sang juru pendidik sejati kami itu. Sampai-sampai, majelis pengotahan Datuk Syamsul Badar sepi dari pendengar setianya.

Lazim sudah jamak dimata, didepan toko Haji Sya'ban terdapat bale-bale kayu, kursi panjang dan papan catur yang sudah hilang dua anak bidak caturnya. Bidak prajurit warna hitam paling ujung diganti dengan batu kerikil hitam. Benteng diganti dengan bongkahan kayu yang ditarah mirip benteng yang asli. Toko dibawah rumah panggung bertiang itu, termasuk toko lama yang bertahan sepanjang tiga puluh lima tahun. Sejak zaman bapaknya Datuk Syamsul Badar masih muda, toko "Terang Bulan" sudah berdiri tegak memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat kampungku.

Ditoko berdiri sanggam, luas dan besar. Dalamnya susunan almari- begitu orang-orang kampungku menyebut lemari- kaca bercat hitam pudar memuat aneka-ragam barang-barang dagangan kebutuhan sehari-hari. Susunan kaleng sarden, susu bubuk, susu kental manis, sabun mandi, sabun cuci cap Salam-bergambar telapak tangan, pasta gigi, sikat gigi, brush cuci plastik, belau. Almari sebelah kanan pinggir dinding sebelah hulu yang terbuat dari papan triplek putih licin, memuat bungkusan berukuran kiloan; 1 kilo dan setengah kilo gula, tepung terigu, tepung ketan, sagu. Gantungan bungkusan kecil shampo dan kopi bubuk A Tigo tersangkut disisi sebelah hulu toko. Tepat diatas meja kursi tempat duduk Haji Sya'ban.

Sebelah hilir toko itu, sepuluh dirijen minyak tanah tak tentu warna, berselempuluh debu dan jelaga hitam minyak sayur alias minyak goreng makan. Lantai toko itu hitam pekat bercampur sisa tumpahan minyak. Disini juga menjual minyak solar. Kalau-kalau para pemilik perahu motor tempel menginginkannya. Stok persediaan paling-paling tiga dirijen berkapasitas 25 liter. Disini biasa Bujang Jauhari dan Darazak biasa membeli minyak solar untuk perahu motor tempel mereka.

Itulah markas kumpulan Bang Bedul, Te Musa Hitam, Cik Hamzah dan Bujang Padi. Kalau tak meramaikan majelis pengotah ulung Datuk Syamsul Alam yang betah ngotah dari pagi sampai petang. Siang sampai malam. Kalau ada antara siang dan malam pun, mereka tak akan menghiraukan terus mengotah tak tentu ujung-pangkal. Dari politik sampai harga cabe di Sarolangun. Dari urusan tetek-bengek kepala desa hingga mantri suntik pun diperbincangkan.

Rasanya kurang afdhol kalau mulut terkunci barang separuh siang. Tak perduli, istri dirumah merengut moncong lantaran beras dikaleng tinggal secupak. Anak-anak yang berjumlah cukup untuk satu tim kesebelasan sepakbola merengek minta ini-itu. Belum lagi tauke sudah marah-marah, lantaran dah sebulan tak menurun getah karet. Hutang di buku Bon (catatan hutang-piutang) sang Tauke Getah yang memuat selarik panjang catatan hutang-piutang orang-orang kampungku. Kata orang Melayu:"Hutang bersimpai selingkar pinggang!".

Walau petang mulai menguning tua. Langit ufuk barat arah Teluk Kuari bersepuh keemasan. Tapi anggota kumpulan pengotahan itu tak tampak sebatang hidung pun. Rupanya, dah asyik tegak berkerumun depan kepala dusun kami yang sibuk menyampaikan maklumat penting dari Guru kami yang sangat dihormati Gus Damiri. Datuk Syamsul Alam duduk termenung, sambil mengupil hidungnya yang bulat mirip burung betet itu.

Membayangkan saja sudah berdebar-debar jantungku;"Seandainya, andai kata, kalau-kalau cucunya yang tertua Umar Afandi termaktub dalam senarai nama-nama yang diterangkan nomor kelulusannya besok malam". Katanya berulangkali sembari tersenyum-senyum sendiri.

Dia sudah menyiapkan hadiah istimewa untuk cucu kesayangannya. Hal ini sejak sebulan lalu diputar-putarnya dihadapan kumpulan anggota setia pengotahannya. Sampai telinga Te Musa Hitam dibuatnya.

"Pening kepalaku dengar impian pungguk merindukan rembulan, sindir Cik Hamzah sok puitis.

"Apa yang awak sebut barusan?" Jelit mata Datuk Syamsul Alam.

"Burung pungguk merindukan bulan", tapi yang kini ada pungguk tua yang merindukan bulan muda" Jawab Bang Bedul yang sedari tadi lebih banyak diam.

"Jangan sembarangan kau cakap, itu cucu kesayanganku. Harapanku sejak anak bungsuku tak mau lagi sekolah. Aku menaruh harapan besar pada cucuku itu". Promosinya hebat, air liurnya jatuh seperti gerimis mengundang.

"Aiii, Tuk, air cucuran atap jatuh ke pelimbahan. Tak kan ada berbalik ke atas". Balas Bujang Padi santai.

"Maksud kau, kau meragukan cucu kesayanganku itu". Kali ini suara meninggi. Seolah tak terima disindir telak Bujang Padi.

"Kalau datuknya besak otah, besar bual tentulah cucunya juga bakal besak otah juga". Pepatah berbunyi macam ni Tuk:"Buah takkan jatuh jauh dari pohonnya". Cik Hamzah lagi-lagi menyitir petuah pujangga.

Datuk Syamsul Alam terdiam. Dalam hatinya kurang ajar anggota setia pengotahanku ini. Dia mengeluarkan rokok tembakau gulungnya, mengambil sejumput tembakau dari kantungnya, menetalkan liur ke ujung kertas putih rokok, mengulung dan memilin pelan-pelan. Lalu, terciumlah bau keras tembakau gulung terbakar cetuk-mancis timah kuningan.

Sesampai dibalai desa kecil mungil berlantai setengah tiang, berdinding kayu ditepian sungai itu, berhenti langkahnya dihadapan khalayak ramai yang mengerumuni pedagang kain gebeng dari Palembang bubar seketika. Anak-anak kampung yang tak berbaju ini ramai mengikuti arakan pengumuman yang disampaikan kepala dusun ini.

"Oiiiiiiiiiiiiiiii, ninik-mamak kampung kito, yang besak dak sebut gelar, yang kecil dak disebut namo. Jangan sampe lupo, insya Allah malam jum'at besok malam pengumuman terang nomor di Masjid Az-Zahir. Ayo beramai kito menghadirinyo. Macam tu pesan yang disampaikan Guru kita Gus Damiri." Katanya berulang-ulang kali.

Semakin ramai barisan anak-anak kampung berbaju kumal yang bau keringatnya minta ampun. Maklum, sejak habis ujian Madrasah pekan lalu mereka sudah berlibur. Jadi kerja mereka bermain sepanjang siang dan malam. Walau sudah diperingatkan pihak Madrasah, lebih baik mereka membantu orang tua dirumah, atau ikut pergi ke ladang-umo. Namun, yang namanya kanak-kanak, dunia permainan lebih memikat.

Ditengah kampung kami. Dilapangan Badminton Gajah Mada. Kembali Wak Anang menyiarkan maklumat malam terang nomor. Pertandingan badminton antara dua pasangan ganda paling jago langganan kejuaraan tahunan Hari Kemerdekaan Republik, Najamuddin Zanki dan Badri Budur melawan pasangan kembar bersaudara Salam dan Salim. Pukulan smash dan backhand kidal dua-beradik selisih tiga menit tajam mematikan. Bukan main, seru dan tegangnya pertarungan yang memasuki rubber set dan juice ke tiga kalinya. Sampai-sampai empat kali ganti bola, sepanjang partai pertandingan yang berlangsung hampir satu jam setengah ini.

Suara penonton bersorak-sorai riuh-rendah memberi semangat pada kedua pasangan ganda putra andalan kampung kami, jika kejuaraan tingkat Kecamatan yang memperebutkan Piala Camat digelar setiap tahun.

Pak Lung Syukri yang dikenal mantan juara badminton selama empat tahun berturut-turut tahun 1970-an pun ikut menonton dibalik kerumunan penonton. Haji Maskur yang dikenal penggemar berat olahraga tepuk bulu angsa ini pun, duduk khusyuk diatas kursi sandarnya. Tak henti berteriak menyemangati kedua belah pasangan ganda terkuat dikampungku ini.

Rasanya, kerumunan penonton di lapangan Gajah Mada itu bak di Istora Senayan, seperti yang sering ditonton penduduk kampungku di televisi nasional dirumah Haji Sya'ban Dailami. Seolah-olah yang bertarung dilapangan Gajah Mada petang ini adalah rombongan pebulutangkis nasional seperti Rudi Hartono, Tan Joe Hok, Liem Swi King, Lius Pongoh, Candradinata dan Icuk Sugiarto.

Tapi, ketika mendengar suara kentongan yang ditabuh Wak Anang, melewati kolam sebelah darat masjid tua dikampungku itu. Khalayak penonton ini bubar. Apalagi diiringi kerumunan anak-anak kampung yang bersorak-ramai membuntuti Wak Anang, permainan yang lagi seru dalam reli panjang dan menginjak juice ketiga setelah imbang angka berkali-kali seketika terhenti. Lapangan yang semula berumput, lantaran musim kemarau tahun itu berkepanjangan mengepulkan terbangan debu.

Kutengok Haji Masykur menyingkir ke depan toko "Zamrud Khatulistiwa" milik Wak Syamsu Hilal. Duduk diatas kursi panjang yang disebelahnya tercoreng tai kering ayam moyok. Tak diperdulikannya lagi sampingnya ada bekas kotoran yang bisa menodai kain sarung cap Mangga warna hitam. Yang paling penting sekarang, adalah mendengar apa yang hendak disampaikan kepala dusun yang sudah berpeluh cucur keringat menyiarkan maklumat mustahak dari Mudir Madrasah Gus Damiri.

Hingga buntut kampung depan rumah Wak Akmaluddin, maklumat pengumuman itu masih juga diulang-ulang. Anak-anak kampung yang mengikuti sejak dari pangkal kampung dihulu, rumah Wak Awaluddin, sampai hapal dengan isi maklumat pengumuman yang keluar dari suara serak Wak Anang.

"Oiiiiiiiiiiiiiiii, ninik-mamak kampung kito, yang besak dak disebut gelar, yang kecil dak disebut namo. Jangan lupo, insya Allah malam jum'at besok malam pengumuman terang nomor di Masjid Az-Zahir. Ayo beramai-ramai kito menghadirinyo! Macam tu pesan yang disampaikan Guru kita Gus Damiri". Katanya berulang-ulang kali.

Malam yang ditunggu-tunggu itu hampir tiba jua. Setelah berhari-hari dikepung perasaan berdebar-debar. Campur aduk perasaan, cemas, takut, riang-gembira bercampur jadi satu tak menentu. Seperti perasaan orang yang menunggu balasan cinta dari sang kekasih. Terkadang timbul perasaan semacam orang yang hendak berak. Tapi, lekas-lekas hilang. Perut pun juga tak tentu rasa. Dihinggapi sindrom malam terang nomor. Apalagi yang mengumumkan itu bukan tokoh sembarangan; Sosok pendidik ulung Wak Gus Damiri.

Tokoh kharismatik yang jika beliau duduk dibangku Masjid tua dikampungku itu saja, jangankan anak-anak muridnya yang anak-anak muridnya yang masih diasuh oleh tangan dinginnya, gemblengan pendidik moral nomor wahid. Kalangan bapak-bapak beranak dua, yang pernah mengecap tempaan didikannya pun masih memasang rasa hormat dan segan luar biasa. Sosok yang bertungkus-lumus; memutar siasat akal-pikiran, menimbang perasaan umat, memikirkan kelangsungan Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah yang didirikan gurunya KH. Nawawi Ahmad.

Bukan main, semakin menjelang sepekan ke depan perasaan itulah yang bergelora dahsyat. Lebih dahsyat dari pusu-pusu arus air diteluk Gilo berputar-pusar menelan apa pun. Lebih deras dari aliran air dinapal seberang yang menghempas laju perahu ke tebing. Lebih cemas dari hati anak-anak kampung yang berleleran ingus, ketika melihat mantri tukang suntik membawa tas hitam kulit cap buaya datang ke rumah kepala desa.

Luar biasa sindrom malam terang nomor menjalar benak perasaan murid-murid Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah. Termasuk abang-abang sepupuku yang telah remaja. Mereka pun, sibuk bukan main mempersiapkan diri menyambut malam yang berdebar-debar, sekaligus dinantikan momentum oleh orang sekurung-sekampung. Orang tua dan wali murid sibuk membesarkan semangat, harapan dan impian anak-anaknya. Agar menjadi orang berilmu, taat pada orangtua, agama dan bangsa.

seiring janji, apabila berhasil menggondol juara umum, atau sekurang-kurangnya duduk menjuarai kelas-kelas Madrasah. Maka hadiahnya adalah diajak bapaknya ikut mudik ke Sarolangun menjual ikan hasil tangkapan rawe dan menteban. Pergi ke Sarolangun, ketika itu masih berupa Kecamatan masuk Kabupaten Sarko saja sudah hebat bukan main. Bayangkan naik mobil angkutan yang memiliki pendingin udara alami. Tanpa perlu distel volume berapa derajat celscius. Naik menumpang mobil Leo "Tabuan Tanah" kepunyaan Datuk Cik Syarif Darasip.

Sejak sebelum petang menjelang matahari tenggelam dihulu Teluk Kuari. Perahu-perahu peladang sudah kembali merapat ke rakit jamban. Petang kamis adalah suasana paling ramai kampung. Semua yang berdiam dikebun karet, diladang-talang-umo balik ke kampung. Ramai jema'ah sholat maghrib sudah ramai memenuhi bangku masjid. Percakapan mereka semua tak terlepas dari ihwal Malam Terang Nomor!

Macam-macam ramalan dan prakiraan anak siapa yang bakal berjaya malam nanti? Rata-rata yang langganan juara kelas, nama mereka ikut disebut dalam perbincangan. Jangan main-main, Malam Terang Nomor adalah malam penentuan kelulusan dan kenaikan kelas. Sekaligus penabalan siapa yang keluar jadi juara umum yang berhasil menggondol piala perak yang diperuntukkan masing-masing juara setiap kelas. Satu piala kuningan bagi sang juara umum.

Para Dewan Guru Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah telah berdatangan. Termasuk guru-guru muda satu persatu terlihat muncul di Bangku Masjid. Mereka mengenakan kain sarung rapi, baju kemeja bersetrika rapi, terlihat lancip ujung lengannya. Kopiah hitam dalamnya ada cap bertulis terbungkus plastik kedap air. Kalau dipakai terlalu lama tak dibuka sesekali, uap keringat melekat dicap itu akan terlihat seperti butir-butir embun dikaca.

Terdengar kumandang suara mengaji dari corong speaker pengeras suara. Itu suara dari dalam kaset mengaji Sheikh Abdul Basith Abdus-Shamad, seorang qari terkenal dari Mesir. Kaset itu bukan sembarangan kaset, lantaran dikirim langsung dari Mesir oleh paman Kasyfun Nadzir yang tengah belajar di Negeri Para Nabi. Kaset itu dititipkan lewat jema'ah haji dari kampungku yang naik haji tiga tahun lampau. Suara merdu Qari Mesir itu mengalahkan qari-qari nasional seperti Muammar ZA yang pernah kulihat di Televisi rumah-rumah tauke getah karet, ketika melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an diperayaan Isra' Mi'raj di Masjid al-Istiqlal yang dihadiri Presiden, Menteri dan Pejabat Negara.

"Jangan kepunan talau. Kita semua harus menyemarakkan malam terang nomor", kata Kak Cik Syahir sambil menyulut rokok kretek. Syahdu sambil tersenyum manis khas miliknya.

"Ai, iya, kapan lagi, kesempatan langka ini hanya sekali dalam setahun!" Sambung Paksu Zyaad membetulkan sarungnya yang longgar gulungannya.

"Nak nengok, Gus Damiri langsung yang mengumumkan dari atas meja depan mimbar masjid". Tukas Paman Khudari tak mau kalah menoleh kiri-kanan.

"Siapa tahu, ada keponakan kita yang selusin beruntung keluar juara umum tu!" Ujar Kak Cak Mujib menimpali, sambil membenahi Torbus warisan datuk Mudirnya. Peci Torbus itu mirip yang dipakai Teuku Umar di Aceh.

"Hahahahahaha....hahahahhahaha" Gelak tawa Pak Gus Najib dan Kak Ning Buana pecah berdekah-dekah hingga ke tepian bujang yang sepelemparan batu dari tempat mereka duduk dibangku masjid, bawah pohon manggis menjulang tinggi dan rambutan penuh dengan sakat-benalu itu menghadap ke sungai Tembesi yang mengalir damai. Sedamai hati para jema'ah yang rajin memakmurkan Masjid Az-Zahir. Salah-satu golongan dari tujuh golongan yang beroleh naungan Allah di akherat kelak. Yaitu pemuda yang hatinya terikat-tertambat-terkebat dengan Masjid. Subhana Allah!

Tapi, suara gelak-tawa itu berhenti seketika. Dari bawah pohon mangga kuini Wak Ali muncul sesosok bayangan Wak Gus Damiri dari arah hilir. Sosok berbadan tegap-punat penuh wibawa melangkah perlahan-lahan. Tenang, tapi pasti. Suara sandal hitam kulit cap buaya itu tak terdengar menggesek bungin tanah pepasiran. Cara berjalannya yang khas sekali. Seperti langkahnya yang diam-diam ketika dia memata-matai anak-anak muridnya; Apakah sibuk belajar dan menghapal pelajaran dimalam hari?

Jema'ah sholat maghrib itu pun lekas-lekas menaiki lima takah anak tangga. Suara langkah kaki khalayak ramai itulah, yang menandai bahwa sekejap lagi Wak Yasin bangkit-bingkas dari duduk zikirnya, Muadzin alias Bilal setia Masjid tua Az-Zahir sebentar lagi mengumandangkan iqamah!

(Bersambung)


Rabea Adawea, Cairo 4 September 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home