musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Friday, October 23, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (11)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (11)

Ahmad David Kholilurrahman


Sedenting Gambus Raden Dolah


Grendak-grending. Itulah isyarat dan pertanda sedekah kenduri pernikahan akan segera dilangsungkan. Istilah adat dikampungku ini, mengacu kepada kesibukan kedua belah pihak rumah keluarga mempelai pengantin lelaki dan perempuan yang mulai sibuk berkemas-kemas menyiapkan keperluan untuk melangsungkan hajatan sedekah kenduri perkawinan.

Rumah pengantin perempuan sudah berhias sejak beberapa pekan sebelum jatuh hari H. Tentu, saja ruangan rumah dan kamar pengantin sudah dicat indah. Jenis cat yang paling cocok dengan rumah panggung Melayu Jambi ini, juga jenis cat kayu. Bukan seperti cat tembok yang gampang kering dan meresap didinding tembok rumah batu.

Pengecat rumah paling piawai dikampungku adalah Raden Dolah. Dia adalah langganan utama para Tauke dan saudagar kaya dikampungku yang mau mendandani rumahnya berlapis cat kayu. Setetes tinta cat pun tak jatuh menetes sembarangan dari kuasnya. Lelaki separuh baya ini, semula adalah anak pungut dari sebuah peperangan di zaman Jepang dulu.

Kedua orangtuanya telah lama wafat sejak dia masih bayi. Dia terselip dalam zaman perang kemerdekaan di Sumatera ketika itu. Kemudian, oleh warga kampungku, Wak Anang (jauh sebelum jadi kepala dusun kami) dipungut sebagai anak angkatnya. Kebaikan hati Wak Anang yang menganggap seperti kandungnya sendiri, juga menumbuhkan perasaan sayang dan iba hati melihat seorang anak yang tak tentu dimana emak-bapaknya. Masa kecilnya tumbuh dalam asuhan Wak Anang sekeluarga. Sosok Raden Dolah yang rajin, tekun walau terkadang susah ditebak watak hariannya menerbitkan rasa sayang orang sekampung. Dia seperti anak kampungku sendiri. Dan itu dirasakannya sampai dia berusia separuh baya. Sampai hari ini pula.

Sedari kecil, namanya Abdullah yang kemudian lebih populer dengan sebutan Raden Dolah mengaji dan belajar dikampungku. Kelak dimasa dewasanya, dia menjadi ‘anak turut’ Datuk Haji Hamdan dirumahnya, yang tepian rakit-jambannya menjadi tepian berlabuh dan bertolak warga kampungku yang mau berpergian ilir ke Jambi atau mudik ke Sarolangun.

Raden Dolah ini pun, pernah jadi ‘anak turut’ Datukku. Gelar Raden dipangkal namanya adalah pemberian dari Datukku. Ceritanya begini, suatu hari Datukku memintanya membantu pekerjaan. Dia seolah tak mau. Disuruh ini tak mau. Disuruh itu tak mau. Diajak makan pun, diam membatu.

Akhirnya Datukku timbul akal untuk membujuknya. Orang macam ini harus diberi gelar kehormatan tiada kira.

“Ayo lah Raden, sekarang kita makan siang?”, Kata Datukku pelan.

Nah, panggilan Raden ini seolah setrum listrik dahsyat yang melambungkan kepercayaan dirinya. Sugesti alami mengalir dahsyat untuk memecutnya untuk segera bergerak lincah menjalani kehidupan yang sedari kecil dimatanya seperti luka parah tak tersembuhkan. Kutub selatan dan utara medan magnit bertemu padu. Antara “Raden dan Dolah”. Gelar yang terhormat dan nama yang mulia.

Sehingga, lama kelamaan, gelar Raden Dolah melekat erat dibibir masyarakat kampungku. Dia sering diminta Datukku menjaga kebun durian Datukku di Sungai Ale. Sungai Ale adalah sepotong nama yang akrab dialam petualangan masa remaja kami. Aku pikir hanya setengah lusin dari anggota Bujang Bangku Masjid yang memiliki kenangan manis dan khusus dengan Sungai Ale.

Ketika bangun pagi. Aku buru-buru bangkit-bingkas dari katil dirumahku. Lalu, melonggok ke bawah melalui jendela ruang luar rumahku, sambil berharap Raden Dolah telah pulang membawa satu keranjang ambung durian yang dipikulnya dengan menyampir tali ambung dari kulit kayu dikening kepalanya yang berambut pendek cepak mirip polisi. Badannya yang kecil dan pendek itu seperti tegar menahan beban sekeranjang ambung durian dari kebun datukku di Sungai Ale itu. Sepatu baloknya berduri gerigi menginjak tanah, seperti langkah serdadu sehabis pulang perang. Memercikkan genangan air hujan semalam dilaman rumahku.

Tidak gampang menerka apa yang dikehendaki Raden ini. Kadang-kadang sepanjang hari dia berlaku ramah dan murah hati pada siapa pun yang memerlukan pertolongannya. Namun, pada keesokan harinya tak jarang dia duduk diam, sedikit bicara dan lebih banyak duduk tercenung seperti menahan sebeban gunung diairmukanya yang sekilas tenang-tenang, macam sungai Tembesi yang mengalir dikampungku itu. Tak banyak yang mampu menyelami lukisan getir disebatang hayatnya yang sejak kecil tak mengenal siapa ibu-bapak dan sanak-saudaranya. Jangankan mengenal siapa handai-taulan dan kaum kerabatnya, mengenal nama kampungnya, masyarakat kampungku tak banyak tahu.

Baginya, Gurun Tuo adalah kampung dan tanah-airnya kini. Dikampungku itu dia diambil sebagai anak pungut dari medan kecamuk peperangan zaman Jepang oleh Wak Anang, dipelihara dan dibesarkan dengan segala ragam tradisi kampungku. Dia mengaji pada Datuk Haji Ismail, mertua dari Guru Madrasah kami, Wak Gus Damiri. Oleh Datuk Haji Hamdan, Raden Dolah ini pun sudah dianggap sebagai bagian keluarganya sendiri. Dia memanggil Pak Cik pada Datuk Haji Hamdan. Segala keperluannya dipenuhi oleh Datuk Haji Hamdan, juga istrinya yang kupanggil Wak Ning. Saudari tertua dari Guru Madrasah kami tadi. Jadi masih saudari sepupu emakku juga.

Bahkan, Raden Dolah ini pernah tinggal berumah di rakit-jamban datukku. Aku masih ingat, diusia masih lima atau enam tahun, dia masih sempat berumah diatas rakit-jamban berdinding papan kayu, beratap seng, tersedia dapur setengah badan dari berlantai tanah, dan tempat tempat tidur kasur dibagian dalamnya. Jadi rakit-jamban ini memang seperti rumah sendiri. Makanya, aku pernah bilang, rakit-jamban ini menjadi ‘rumah keduaku’ dimasa kanak-kanak, tempat aku menghabiskan waktu membaca buku sambil asyik memancing ikan.

Cerita yang paling suka dia ceriterakan padaku adalah keberanian dirinya memanjat pohon pepaya masak ditengah pertempuran antara tentera dan pemberontakan Gestapu ditahun 1965.

Katanya, suatu hari ketika aku ikut mengungsi bersama tentera yang hendak menumpas gerakan komunis di Sumatera bagian Selatan. Aku menyelip masuk dalam barisan mereka, lalu tiba-tiba pecah pertempuran berkecamuk berjam-jam.

“Aku pun bosan menunggu dalam lubang persembunyian, sembari berharap pertempuran senjata berhenti. Lalu, pada sebuah kebun, aku melihat sebiji buah pepaya masak ranum dibatang. Terbit air liurku, apalagi sejak pagi tadi aku belum makan sebutir nasi pun”. Katanya sambil meletakkan lampu senter aluminium putih didekat tempat duduknya.

Aku nekad memberanikan diri menerobos kecamuk tembak-menembak antara dua pihak itu. Aku langsung masuk kebun dan memanjat batang pepaya yang tengah berbuah ranum menggiurkan itu. Baru saja tangan tanganku meraih dan memilin-petik buah pepaya masak-ranum, meletus bunyi peluru dan melayang berdesing disamping daun telingaku.

“Seketika aku menjatuhkan diri. Tiarap. Tak berani memandang ke belakang.” Ujar Raden Dolah terdiam sejenak menarik napas. Seolah peristiwa diujung tanduk itu berkelebat melintas dikepalanya yang pendek-cepak itu.

Kemudian disusul letusan suara senapan saling bersahut-balas. Batang pepaya itu roboh ke tanah, buah pepaya masak ranum sejangkauan tanganku. Dalam kecamuk kontak tembak-menembak itulah, kuhabiskan buah pepaya yang manis-harum luar biasa, katanya mengakhir ceritera. Sampai disini, aku tertawa tergelak-gelak. Dan setiap kali bertemu Raden Dolah, aku selalu meminta diputar-ulang kisah kenekatannya memanjat pohon pepaya ditengah kecamuk perang.

Bagiku dimasa kanak-kanak itu, bukan kisah pertempuran yang menarik diriku. Tapi, sebiji buah pepaya masak-ranum itu yang mengundang jatuh air liurku. Cuma ceritera itu pula yang paling ingin aku simak ulang, setiap kali dia datang ke rumahku. Hahahahahhahahaha

Lama dia tak pernah muncul datang bertandang ke rumah datukku. Lalu, seketika terdengar kabar dia akan pergi ke Palembang. Katanya, ingin mencari telusur jejak keluarganya disana. Cuma saja yang menjadi pikiranku ketika itu, apakah betul masih ada pihak keluarganya yang masih hidup di Palembang? Paling tidak, apakah masih ada orang yang masih hidup, tahu riwayat perihal asal-usul keluarganya? Yang jelas dia tak mungkin lahir dari batu. Hahahahahaha

Semalam sebelum keberangkatannya ke Palembang. Dia datang ke rumahku sambil menenteng gambus tua yang terbuat dari kayu. Gambus adalah kesukaannya sejak muda. Selain pemetik gambus, dia juga dikenal penabuh gendang kompangan. Terbangan-begitu mulut orang kampungku menyebut sepasukan penabuh gendang-kompangan mengarak mempelai pengantin lelaki dari rumahnya ke rumah mempelai pengantin perempuan. Dia tak pernah absen dari anggota kumpulan penabuh gendang-kompangan dikampungku setiap kali ada helat kenduri perkawinan.

Setidaknya, bakat seni tumbuh subur dalam jiwanya yang tak mudah ditebak. Lika-liku perjalanan hidupnya yang didera penderitaannya yang tak kenal siapa emak-bapaknya. Wataknya yang tak mudah diduga, mungkin, lantaran memendam kegundah-gulanaan dalam. Sedalam lubuk di Teluk Kuari, hulu kampungku. Pergolakan jiwanya yang ditikam keresahan tak berujung. Seperti arus tengkujur Teluk Gilo dihilir kampungku yang membenam perahu yang tak pandai dikemudikan. Makanya, tak semua penduduk kampungku pandai menyelami jiwanya yang tak terduga; kadang-kadang ramah, namun tak jarang bermuka masam. Duduk tercenung sepanjang siang bercelana sekutung, sebatas lutut dan baju loreng-loreng hijau.

Kesedihan yang menggantung dipelupuk matanya, kesedihan sebagai sebatang kara sejak masih kecil itu seperti lukisan berwarna sepia. Kalau disapukan pelukis ke kanvas lukisan, tentu didominasi warna kuning, coklat dan hitam. Semakin menciptakan perpaduan warna yang mengundang kesan kelam, suram dan muram. Jika dinyanyikan dimulut para pedana gambus, tentu aroma murung lagu Melayu mendayu-dayu. Kesepian yang seolah tak bertemu tepi. Jika dipantunkan dalam kesenian Biduk Sayak adalah bait-bait gundah-gulana yang boleh mengundang penyimak setia kesenian langka ini menghapuskan airmata dengan sapu tangan kesayangan.

Namun, aroma murung dan kesedihan tak bertepi. Wajah penuh penderitaan sejak masa kecil. Temparamen dan sifatnya yang tak mudah diduga, kecuali oleh beberapa orang yang sangat dihormatinya dikampungku. Jiwa yang seolah tenang-tenang saja, sesungguhnya memendam gejolak badai dilautan perasaan terdalam. Dalamnya laut, bisa diduga. Dalamnya lautan perasaan, siapa yang berani menyangka?

Beribu-ribu perasaan yang berjilin-pintin dalam lubuk hati jika diperturutkan semakin membuat jiwa terkungkung kepungan duka cita. Jika tak diobati dengan secebis bernama keriangan, walau sementara, dapat sedikit mengurangi beban yang menghimpit. Suara lembut sungai Tembesi yang mengalir syahdu, suara buah aro jatuh ke sungai di seberang Sungai Ale, kecipak-cibur ikan lampam dilaut rakit-jamban, kicau burung murai batu dipagi hari, oakan kerbau dipadang rumput petang hari, igau kuau digunung, lincah kaki kijang berlari dihutan perawan adalah hidangan alami pengobat jiwa yang ditimpa badai hujan angin gundah-gulana.

Petikan gambus yang mengalir sayup-sayup ditiup angin hingga ke seberang. Terlahir denting-denting gambus merdu-sayhdu mengalir lahir dari jemari tangan Raden Dolah. Ragam irama berbancuh, melodi ala Melayu yang mendayu-dayu, hingga irama padang pasir yang semarak mengalun-alun kemudi khayal ke Negeri Seribu Menara. Sekilas terselip petikan lirik gambus Ryaad Syimbathi, musisi terkenal yang mengaransemen lagu-lagu kasidah Ommi Koltsoum, sang biduanita kondang Mesir yang bergelar Kawkab as-Syarqi (Bintang Kejora).

Lagu-lagu Gambus ala Lembah Gurah dinyanyikannya seperti lagu Dalu Ari. Lagu yang satu ini begitu menjiwai dalam petikannya yang lembut mendayu-dayu. Aku paling suka irama lagu Dalu Ari. Bahkan ketika besar kelak, dialam perantauan menuntut ilmu di tanah Jawa. Kaset rekaman amatiran, hasil copy yang entah ke berapa kali itu, aku simpan rapi. Jika, hatiku didera rindu pada kampungku, diam-diam aku meminjam tape recorder kecil milik kawanku, sambil jaga malam di Pesantren, lagu itulah yang kuperdengarkan menghibur jiwa yang dikepung rindu.

Dimulut Raden Dolah, lantunan irama gambus lagu Dalu Ari menjelma semacam oase ditengah gurun pasir jiwanya yang bak Tak Putus dirundung Malang. Semacam penyaluran suara hatinya yang terpendam, yang tak seorang pun tahu. Kecuali Allah Subhanallah Ta’ala. Kalau pun ada beberapa orang yang dianggap pandai membaca jiwanya, itu lantaran dia tak mau mengecewakan hati tokoh-tokoh yang berbaik budi dengan dirinya. Lagu Dalu Ari terus dinyanyikannya berulang-ulang kali.

Di ruang bagian luar rumahku dalam balutan kelam buta, kerlip cahaya lentera minyak, dia melantunkan dengan sepenuh hati. Gambus tua yang banyak coretan nama dan kata-kata mutiara itu, seolah sebatang kayu balok pelampung jiwanya yang tenggelam dalam lautan kesedihan tak tertanggungkan.

“Daluuuuuuuu Ariiiiiiiiiiiiiiii, Daluuuuuuuu Ariiiiiiiiiiiiii” lengking suaranya serak parau, ditingkahi geleng kepalanya yang khas jatuh ke samping.

“Ting ting ting, ting, ting,” Petikan gambus beriringan mengaliri jenak-jenak udara malam kelam buta. Kerongkongannya tercekat, seperti hendak melontarkan suara jiwa. Tapi, apa daya, seolah tak dapat terlisankan. Seakan terhalang dinding tebal Tembok Raksasa di Negeri Tiongkok sana. Lagu itu begitu dijiwainya dengan sepenuh jiwa yang ringkih.

Secangkir kopi hangat dihadapannya lesap separuh. Ampas kopi terbaik Jambi itu berselaput dibibir gelas. Seolah ampas kopi itu juga merasakan jeritan hatinya yang terkungkung kesenduan mendalam. Mataku sudah berat mengantuk, tapi denting-denting gambus mengusir kantuk pergi jauh-jauh.

Aku pun dicengkam melankoli dahsyat. Serasa jalaran lagu Dalu Ari yang dinyanyikan dimalam yang beranjak larut, pada kampung yang berpuluh-puluh tahun haram bersimbah cahaya setrum listrik Negara. Seakan-akan ribuan kunang-kunang berpendar-pendar menerangi pertunjukan solo gambus Raden Dolah yang keesokan harinya hendak berangkat ke Palembang menyusur asal-usul keluarganya.

(Bersambung)


Rabea Adawea, Cairo, 23 Oktober 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home