musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Sunday, October 25, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (12)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (12)

Ahmad David Kholilurrahman


Sedekah Kenduri Pernikahan Ayuk Sepupuku


Menjelang sepekan hari H helat sedekah kenduri pernikahan saudari sepupuku yang juga guru sekolahku di SD 53/VI dulu. Selusin kumpulan Bujang Bangku Masjid sibuk juga membantu persiapan hajatan pernikahan tersebut. Seluruh penduduk kampungku berperan serta menolong terselenggaranya sedekah kenduri perkawinan ini.

Yang menikah ini adalah putri tertua Guru kami, Buya Abdullah Manshur. Berjodoh dengan seorang lelaki dari tanah Jawa. Mereka berdua adalah guru yang bertugas lain tempat. Calon suaminya bertugas di Bangko. Sedangkan ayuk sepupuku ini dapat tugas di SD tertua dikampungku. Bangunan Sekolah Dasar terbuat dari kayu papan beratap seng, berdiri tegak doyong. Seolah menahan beban kelapukan dimakan usia tua berpuluh tahun. Bangunannya memanjang dari Timur ke Barat. Sejajar bersambungan membentuk empat ruang kelas terpisah. Dari kelas empat sampai enam. Sedangkan kelas satu dan duanya berdiri digedung baru yang memang belakangan dibangunnya.

Ibu guru muda tamatan Sekolah Pendidikan Guru di Jambi. Begitu tamat langsung diangkat jadi Guru. Ditempatkan dikampungnya sendiri. Lama, sekali sejak zaman bapakku dan saudara-saudara sepupunya jadi Guru di tahun 1970-an. Baru kali ini lagi ada putra-putri asli kelahiran kampungku yang diangkat jadi Guru lagi. Saudari sepupuku ini adalah sosok ibu guru yang baik, pandai dan rajin mendidik kami. Aku tetap menghormatinya sebagai guru dikelas, walau diluar sekolah dia adalah kakak sepupuku sendiri. Aku dan tiga orang sepupuku yang lain pernah menjadi muridnya dikelas dua dan enam SD.

Dalam keluarga besarku kebanyakan menjadi sosok pendidik. Menekuni dunia pendidikan dengan mengajar di sekolah dasar dikampungku. Bapakku dan dua saudaranya juga guru. Sepupu-sepupu bapakku yang lain juga guru. Tentu, guru-guru yang berasal dari kampungku sendiri memiliki cara dan pendekatan yang khas terhadap anak muridnya. Karena mereka sangat memahami watak dan corak perangai penduduk kampungku. Dengan segala hormat, tanpa bermaksud meminggirkan peran guru-guru dari luar kampungku. Tapi, anak-anak tempatan kampungku yang jadi guru, tentu memiliki tanggung-jawab moral dan kultural yang lebih besar dibandingkan guru-guru dari luar daerah yang ditugaskan mengajar dikampungku.

Kesibukan menyongsong pernikahan itu berbulan-bulan sebelumnya. Cuma denyut nadi sedekah kenduri lebih kencang berdetak pada sepekan sebelum hari H. Semenjak hari H pernikahan ditetapkan jatuh pada hari dan tanggal sekian. Ada sebuah helat, namanya Kumpulan, yaitu mengumpulkan kaum ninik-mamak; tuo-tengganai, alim-ulama, cerdik-pandai dan pemuda-pemudi. Biasanya, dalam acara kumpulan di petang hari sehabis ashar atau malam hari selepas Isya ini yang diundang terbatas.

Aku paling suka mengikuti helat ini, karena dalam Kumpulan ini, kalangan tua banyak mengeluarkan pepatah-pepitih dan pantun bersambut. Apalagi dalam menentukan jatuhnya hari baik dan bulan baik kapan akan dilangsungkan pernikahan antara dua pihak ini. Istilah hari baik, bulan baik ini hanya ada dalam istilah adat. Tentu dalam Islam tidak ada yang namanya hari dan bulan tertentu yang dipandang buruk dan nahas. Agaknya, baik dalam adat, dipandang hari yang tepat semata, kapan waktunya yang pas untuk digelar perhelatan sedekah kenduri pernikahan.

Selusin dari kumpulan Bujang Bangku Masjid ini, kerapkali ditugaskan sebagai “Tukang Kato” –sebagai penyampai pesan undangan helat Kumpulan. Sejak sebelum sholat Ashar, kami tampil lagak bercelana panjang, berbaju kemeja dan berkopih hitam rapi. Biasanya, dipagi beberapa kelompok. Kelompok satu tukan kato dari pangkal sampai tengah kampung. Kelompok kedua Tukang Kato dari tengah hingga ujung kampung.

Rasanya, undangan ini tidak afdhal jika tidak disampaikan langsung. Mesti bertemu muka dengan kepala keluarga dan penghuni rumah penduduk yang diundang. Jika kebetulan mereka tengah keasyikan mengobrol dibangku toko, maka undangan itu harus dikatakan satu persatu kepada setiap orang. Adapun kalimat undangan itu seperti dibawah ini:

“Assalamu’alaikum wr wb. Datuk-datuk, wak-wak, paman-paman, kami ini diminta oleh si fulan shahibul hajah sedekah kenduri perkawinan si A dan si B, mengundang datuk-datuk, wak-wak, paman-paman untuk datang pada Malam Kumpulan pada hari sekian, tanggal sekian sehabis isya! Dimohon kehadiran dan dukungannya. Terima kasih kami ucapkan, mohon maaf jika ada kesalahan. Wassalamu’alaikum!”.

Bayangkan, kawan, beberapa ratus kali kami harus mengucapkan kalimat-kalimat undangan itu dihadapan langsung penduduk yang kami undang. Jika tidak diundang secara langsung, dikhawatirkan virus merajuk menyebar luas. Kadang, mungkin lantaran terlupa tanpa sengaja, ada satu dua orang nama yang terlewatkan diundang, namun mereka tidak mau datang ke hari H sedekah kenduri perkawinan.

Jadi, sebagai pihak yang diamanahi “Tukang Kato” harus dipilih yang sopan-santun, tenang dan runtut dalam bertutur dan juga bersikap takzim pada yang masyarakat yang mau diundang. Makanya, selusin bujang Bangku Masjid adalah langganan utama “Tukang Kato”. Termasuk Muk Muslim M.Nur dan kawan-kawannya juga dilibatkan dalam ujung tombak menyampaikan undangan secara lisan.

Padahal, pihak Sahibul Hajat atau Tuan Rumah Sedekah Kenduri Perkawinan telah datang jauh hari menyampaikan undangan pemberitahuan kepada kalangan bapak-bapak dan ibu-ibu dikampungku. Begitulah adat-istiadat bermasyarakat, sekurung-sekampung. Pandai menimang perasaan khalayak luas.

Sejak sepekan sebelum jatuh hari H. Grendak-gerending-sebuah istilah adat dikampungku yang mengacu pada serangkaian persiapan menyongsong helat perkawinan. Mulai dari kesibukan kaum ibu-ibu yang menyiapkan rerempahan bumbu masak. Sejak dari bumbu laut dan bumbu ladang. Bumbu laut adalah bumbu yang didatangkan dari seberang, alias memang melalui laut, semacam, lada, cengkih, pala, jintan, adas manis, ketumbar, kapulaga, bunga lawang, kemiri dan sebangsanya. Sedangkan bumbu ladang, seperti kunyit, serai, laos atau lengkuas, jahe, daun salam, daun peladang, daun ruku dan sejenisnya.

Adat dikampungku seperti dikampung-kampung negeri Melayu lainnya. Mungkin, dalam beberapa hal ada yang berbeda. Namun, secara garis besar, yang namanya sedekah pengantin adalah mengundang makan orang sekampung. Jadi, memang begitu besar biaya sedekah kenduri perkawinan. Boleh dikatakan, lauknya adalah seekor kerbau jantan. Jika ditaksir berat dagingnya mencapai 60-70 kilogram. Ditambah lagi puluhan ekor ayam, nangka muda, umbut kelapa, labu perenggi dan lain sebagainya.

Makanya, pada hari jum’at pagi adalah hari mengantar belanja kebutuhan untuk sedekah kenduri dari rumah mempelai pengantin lelaki ke rumah pengantin perempuan. Sejak pagi sekali sudah ramai orang berkumpul, sehabis menyantap hidangan minum pagi berupa ketan bertabur kelapa, goreng pisang, roti goreng berisi intisari kelapa gula. Kalangan masyarakat ramai kaum lelaki tua-muda sibuk menata dan menyiapkan hantaran belanja berupa ragam macam kebutuhan pokok sedekah kenduri pengantinan.

Dalam bahasa adat dikampungku, terdiri beras setalam, kelapa setali, sejinjit. Walau pun yang dihantar mencakup kebutuhan lengkap sedekah kenduri pengantinan daging, beras, tepung, minyak, gula, kopi, susu dan lain sebagainya. Seperti beras dimasukkan dalam keranjang bakul, kelapa diikat bertali-tali diselip sebatang kayu dipikul ke bahu, daging dimasukkan dalam baskom, minyak dalam dirijen plastik, gula-kopi dihamparkan dalam nampan hidangan seng dan plastik.

Aku dan sebelas saudara sepupuku yang bujang gagah itu, paling suka meramaikan sorak-sorai sepanjang jalan menuju rumah pengantin perempuan; “Ayoooo.......Ayoooo......Ayooooo, Huuuiiiiiiiii......Huiiiiiiiiiii.....Huiiiiiiiii!”

Setiap berjalan berpuluh langkah, terdengar suara sorak-sorai bersahut-sahutan. Abang sepupuku yang tertua paling suka menimpali ujung kata:“Huiiiiii”, dengan kalimat panjang sekali yang terkadang sembarangan dia ucapkan. Sampai kami, kadang sakit perut menahan tawa yang ingin meledak. Tak jarang mengundang derai-tawa para penghantar pecah berdekah-dekah. Alangkah asyiknya kemeriahan mengikuti iringan rombongan para penghantar belanja kebutuhan pokok berupa sembako ini ke rumah mempelai pengantin perempuan.

Ketika sampai ke rumah mempelai perempuan, maka segala barang-barang kebutuhan pokok untuk sedekah kenduri perkawinan itu disambut oleh pihak tuan rumah. Dikumpulkan sementara disuatu ruangan rumah, sebelum kemudian dipergunakan untuk mengangkat sedekah kenduri perkawinan. Bagi yang untuk keperluan masak-memasak lauk, kaum perempuan segera memotong daging, memarut kelapa, mengiris umbut dan nangka, menggiling cabai, menyiapkan bumbu-bumbu, dan juga tak ketinggalan adalah berceret-ceret teh dn kopi. Ingat kopi yang disajikan adalah kopi terbaik Jambi, bermutu ekspor yaitu A Tigo. Bagi siapa yang terhirup aromanya, tercicip seteguk menghilangkan suntuk dan stress berkepanjangan.

Dikampungku, walau secara khusus tak ada kedai kopi. Namun, mayoritas penduduknya adalah pengopi berat. Dalam sehari-semalam mereka boleh mengopi bercangkir-cangkir. Rokok dimulut mereka tersulut bersambung-sambung. Nyaris serupa asap perahu ketek rakit pisang yang sering melewati sungai Tembesi yang mengalir dikampungku. Beraneka-ragam lelucon dan gurauan terlontar. Walau kadang menyinggung, namun tak seorang pun yang tersengat sindiran. Gelak-tawa berderai-derai ditengah kesibukan hiruk-pikuk persiapan sedekah pengantinan.

Tarup pentas, berupa bangunan bertiang setengah lutut terbuat dari tiang kayu dan papan berdiri dimuka laman rumah pengantin. Daun-daun kelapa melingkar sebagai jendela dibagian sampingnya. Tarup pentas ini berfungsi sebagai tempat makan cadangan bagi tamu undangan, jika ruangan utama rumah panggung kayu itu tak mampu memuat undangan. Dan juga sebagai pentas bersanding pengantin pada malam harinya.

Kehadiran Wak Nga sangat penting dalam sedekah kenduri pernikahan. Apalagi ini adalah pengantinan anak-kemenakan sendiri. Dalam struktur susunan panitia pernikahan yang termaktub diselembar kartun putih, tertempel dibagian muka rumah dekat tangga. Dia menjadi seksi serbaguna. Job description adalah terlibat membantu bagian mana saja, jika dipandang segera bertindak. Bagian serbaguna bukan sembarang orang sanggup memikul amanahnya. Biasanya yang berbadan besar, tenaga kuat masuk lah bagian ini. Termasuk juga merangkap anggota kehormatan seksi keamanan.

Selembar kain handuk tersampir dilehernya. Celana hitam dan baju kaos yang menyempit ditubuhnya yang tinggi-besar. Memang, dia tampil sebagai penggerak dari aktifitas dari bagian serba guna. Jangan main-main kawan, serangkaian gurau-lelucon dan otahannya menjadi bagian tersedap dalam helat sedekah kendurian pengantin ayuk sepupuku ini. Kalau mau mencari “Selusin Hantu” Bangku Masjid itu, carilah dimana Wak Nga berada.

Kalau ketika menjelang nasi-lauk masak. Perut pun dah berbunyi keroncongan. Matahari naik sepenggalah. Menunggu tergelincir, berarti pertanda zuhur didepan mata. Semakin ramai lelucon canda tawa mengiringi cerita Wak Nga. Ekspresi mimik mukanya yang terkadang menyipit, memiris dan seolah serius melakoni sebuah pertunjukan, seketika berubah jadi derai tawa ramai. Dia adalah magnit tersendiri yang tak mampu diganti oleh siapa pun kehadirannya. Rokok kretek tanpa filter terus tersulut menerpa kumisnya yang kuning kepirangan.
Wak Nga sibuk menyalinkan nasi yang masak dalam kawah besar ditengah laman ke dalam bakul-bakul nasi. Jika ada nasi yang tersisa, ditaburinya dengan kelapa bercampur garam. Nah, berebut kerak nasi inilah salah-satu bagian kemeriahan sedekah kenduri pengantin yang ditunggu kalangan anak-anak. Tak ketinggalan ‘Selusin Hantu’ bangku Masjid itu pun ikut serta menyemarak suasana. Berlapis daun pisang, sejumput kerak nasi hangat mengepul bertabur parutan kelapa masin adalah hal yang tak terlupakan. Keasyikan seperti ini tak ada duanya, kawan!

Wak Mad Boyak alias Ahmad Tirmizi adalah sosok yang paling suka menyenangkan hati anak-anak seusia kami dengan kerak nasi hangat mengepul bertabur parutan kelapa masin. Orang dewasa pun juga ikut mencicipi kerak nasi ini. Tentu berteman secangkir kopi terbaik Jambi itu. Lumayan pengganjal sementara sebelum kesibukan menghidang makanan dibentangkan.

Menu lauk masakan kenduri sedekah pengantinan pada hari jum’at ini, biasanya adalah gulai nangka muda, gulai daging bercampur labu perenggi, sambal tumbuk. Bukan main sedapnya masakan panggung sedekahan dikampungku. Paduan rerempahan bumbu dan bahan-bahan segar tanpa awetan menciptakan kesedapan tersendiri. Kampungku dikenal masyhur sebagai gudang kuliner masakan khas Melayu Jambi yang enak dan sedap.

Jika tikar terpal tergelar ditarup pentas itu. Piring-piring lauk dan nasi sudah disajikan oleh kalangan bujang-bujang tanggung seperti Selusin Hantu Bangku Masjid. Satu hidangan berdua. Ini biasanya, dikenal istilah makan semandan. Tentang Makan Semandan ini ada ceritanya begini.

Karena ada tamu undangan kalangan luar. Maka, sebagian kecil hidangan makanan digelar untuk ala prasmanan. Atau dimulut orang kampungku dikenal Ala Prancis. Nah, ada seorang Wak dikampungku yang menganggap prasmanan ini bisa merusak selera dan semangat kebersamaan. Karena makan ala kampungku adalah sehidangan berdua, walau setiap orang disediakan pinggan nasinya berlainan. Namun, lauk-pauk yang terhidang dalam hidangan untuk porsi dua orang.

Abang sepupuku tertua. Anggota tertua kumpulan Bujang Bangku Masjid itu mencoba menengahi dengan mengatakan sama saja, antara makan ala prasmanan dan sehidangan berdua. Kalau yang ala Prancis itu prasmanan alias mengambil sendiri sajian makanan. Maka, yang sehidangan berdua namanya Prasmandan. Maksudnya, semandan, sekawan-sekanti berdua menikmati hidangan porsi dua orang tersebut. Apa yang dikatakan abang sepupuku yang politisi itu memenuhi keinginan semua pihak. Dan solusi tawaran istilah “Prasmandan” masuk dalam istilah baru dikampungku. Jika nanti, ada yang menyusun kamus bahasa Gurun Tuo, jangan lupakan istilah baru yang ajaib mampu menengahi dua pihak yang pro dan kontra dengan ala Prancis@Prasmanan.

Wak Nga yang sedari tadi diam mendengar hujah abang sepupuku, anggota tertua kumpulan Bujang Bangku Masjid mengangguk-angguk kepala. Airmukanya menerbitkan seulas senyum khas. Kalau sudah begini, berarti bakal ada komentar yang keluar dari mulutnya yang sejak tadi menghisap rokok kretek tanpa filter. Akal panjang sang politisi bujang tadi telah menyelamatkan sedekah kenduri pengantinan dari ancaman suasana tak enak hati. Dan istilah baru tadi, Prasmandan diterima menjadi khasanah baru yang merasuk kosakata dalam kamus Bahasa Gurun Tuo.

“Memang tak salah, apa yang kau usulkan masuk akal. Lagi pula ditopang hujah yang logis”. Kata Wa Nga sembari menepuk-nepuk bahu abang sepupuku itu. Jangan main-main, kata logis diujung mulutnya berbunyi tipis panjang.

“Kalau tidak, bisa rusak suasana kemeriahan sedekah kenduri pengantinan ini, gara sepotong istilah gaya makan asing yang tak terlalu akrab dikuping orang kampung kita ini”. Tukas Pak Gus Najib seraya menghirup habis kopinya.

“Dan kali ini orang politik cerdik akal itu menawarkan ide luar biasa diterima orang banyak,” Sambung Wak Hayat merapikan kopiah bertengger dikepalanya.

Kami yang duduk dibangku panjang yang dipinjam dari Madrasah Al-Fatayat sambil mengunyah kerak kelapa bertabur parutan kelapa itu menyaksikan cetusan ide kreatif cemerlang telah menawarkan win-win solution. Solusi yang memuaskan semua pihak, dan memunculkan istilah baru dalam khasanah kosakata bahasa Gurun Tuo yang kaya idiom, unik dan sangat arkais ala Melayu Jambi.

Dari tarup pentas dilaman rumah panggung itu. Kak Cak Muqsid sudah mempersilahkan para panitia yang bertungkus-lumus, memeras keringat dari pagi hingga siang untuk segera bergabung menikmati hidangan khas pada hari jum’at sedekah kenduri pengantinan; Gulai nangka muda, masak daging campur labu perenggi dan sambal tumbuk ala Nyai Zaicik yang masyhur sedap itu.

Wak Nga bersama selusin Bujang Bangku Masjid itu dah duduk berhadap-hadapan.Wak Nga duduk bersila mantap sambil tersenyum khas. Hidangan prasmandan pun terhidang didepan kami, datang mengundang selera makan yang sedari tadi perut meneriakkan pemberontakan lapar. Dalam hal ini ada pepatah berlaku; “Biduk upih pengayuh bilah, daripada nasi berlebih, biar lah perut pecah!”. Hahahahahahahahahah

(Bersambung)


Rabea Adawea, Cairo 25 Oktober 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home