musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Wednesday, October 28, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (13)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (13)

Ahmad David Kholilurrahman


Kumbang Mencari Kembang


Tensi kesibukan menjelang hari H pernikahan makin meningkat. Masing-masing seksi dan bagian yang dikoordinir oleh kepala koordinator bekerja penuh semangat, dijiwai semangat saling tolong-menolong, diselingi lelucon segar memecahkan derai tawa, seliweran ceret-ceret besar kuningan mengepulkan uap panas kopi tersedap Jambi, tambul kue-mueh dan rokok kretek berkeliling penjuru ruangan. Wajah-wajah orang terlihat cerah-ceria. Beban kemiskinan dan kesempitan hidup sehari-hari mencair terbang entah ke mana.

Menjelang petang pun, kesibukan agak mengendur sedikit. Lantaran beberapa pekerjaan telah diselesaikan. Katakan lah pentas tarup sudah berdiri tegak, beratap terpal pemayung hujan, beralas hamparan tikar, dan dihiasi lengkungan daun kelapa. Anak-anak kecil banyak yang duduk diatas pentas-tarup kadang mereka berlari kecil dan menghentakkan kakinya. Seketika dibujuk halus oleh Wak Nga untuk berpindah laman main ke tanah disampingnya saja. Mereka pun tersenyum riang. Kehadiran riuh-rendah suara anak-anak pun tetap penting, mereka juga adalah bagian penyemarak sedekah kenduri pengantinan.

Dari tarup tempat masak nasi dan lauk dilaman belakang rumah. Kawah-kawah besar yang terbuat dari besi diangkat oleh Wak Mad Boyak, Wak Seli, Pak Ning Mizi dan Datuk Bidin ke tepi drum besi yang menampung air. Mereka sibuk membersihkan empat buah kawah besar tadi dengan sabut kelapa, mencuci dengan sabun cap tangan, membilas-bilas dengan air. Lalu dikeringkan dipinggir tarup dengan cara menelungkupkan separuh. Asap rokok kretek mengepul dari bibir mereka bertiga, seperti asap kereta api yang berhampiran.

Dikampungku yang memasak nasi sedekah kenduri pengantinan adalah kaum lelaki. Walau nanti, panggung masak lauk-pauknya, atau cheef peracik bumbunya adalah Nyai Te Cik Ima, kelak diturunkan ke anaknya Mak Cik Rafi’ah. Selain itu dikenal juga Wak Andak Minah sebagai Cheef, panggung masak langganan kenduri sedekah pengantinan. Sekian puluh kilo daging, sekian takaran racikan rerempah-bumbu, dan proses memasak diatas kawah-kawah besar, berapi kayu bakar itu dipantau mereka langsung.

Wak Nga, sebagai koordinator seksi serbaguna, juga tampil dibawah tarup masak, dengan sebilah kelaci kayu sebesar pengayuh biduk. Rambutnya ikal jagung ditutupi handuk kecil terikat rapi, baju kaos putih dan celana coklat tua. Dimana pun dia berada, lelucon segar diiringi parade gaya dan mimik wajahnya memasang adegan atau aksi tertentu adalah hidangan segar penawar lelah. Tentu saja, selusin Bujang Bangku Masjid itu terlihat juga disana. Walau, kadang tak lengkap selusin. Mungkin, dua-tiga orang sedang disuruh beli ini-itu. Atau diminta ambil peralatan dan perlengkapan lain ke rumah orang yang dipinjam.

Namun, sejak petang hari tadi, aku tak melihat keempat abang sepupuku yang besar itu. Kemana gerangan mereka berempat berada? Diutus personil termuda, dikenal Bujang DK (Dewasa Kelamin) mencari kabar dimana keberadaan empat batang hidung mereka sekarang?

Rupanya, keempat mereka sibuk berada ditangga dapur, dekat kaum perempuan yang sibuk bekerja. Kadang-kadang kaum ibu-ibu membutuhkan tenaga mereka berempat untuk membantu mengangkat daging sudah dicuci, mengangkat baskom perasan santan dan pati kelapa, bumbu-bumbu yang sudah diracik dibawa ke tarup masak. Dugaan kami mengatakan, mesti ada sebab-musabab keriangan hati mereka berempat, sehingga betah berada ditangga dapur yang dibawahnya terletak semacam toko, gudang penyimpanan barang-barang bekas dan kelapa itu.

“Ai, mana mungkin mereka berempat suka hati berada disana, kalau tak ada gadis-gadis penyemarak bunga hati mereka”, kata sepupuku yang sering diidentikkan dengan tokoh polisi oleh Wak Nga.

"Aku yakin, kalau ada empat kumbang berterbangan, niscaya ada kembang terkembang bermekaran,” Aku menimpali seraya mengucapkan kata-kata puitis.

“Boleh jadi, kawan!” Sepupuku yang berambut ikal, suka pada hal-ihwal bertalian dengan psikologi atau ilmu kejiwaan, seakan radar dimata dan kepalanya langsung mendeteksi seketika.

“Nampaknya, malam ini kita lihat bersama, jika mereka berempat tak ada disamping Wak Nga, berarti dugaan dan tebakan kita tak salah alamat.” Kata sepupuku yang bertubuh gemuk-gempal dikenal rajin menghamburkan jala ditepian rakit-jamban menguatkan dalih.

“Begini saja, kita tenang-tenang, seolah-olah tak terjadi sesuatu hal apa pun. Yang jelas sembari kita selidiki secara diam-diam,” Balas adik sepupuku yang sejak kecil, kalau bercakap, paten nian mirip orangtua. Maka, dia digelar Bujang Paten.

Kami mengangguk setuju. Sembari duduk diatas tarup pentas yang semakin pakam. Sesekali anak-anak kecil berlarian meniti jinjang lantai bergoyang-goyang. Angin petang meniup-niup daun-daun jambu biji yang tumbuh diantara rumah guru kami Buya Abdullah Manshur dan rumah Datuk Ning. Beberapa saat kami terdiam, sembari menikmati puputan angin sepoi-sepoi mengusir gelisah diwajah kami.

Menjelang maghrib, kami pulang ke rumah masing-masing untuk mandi ke sungai membersihkan badan yang berselaput keringat seharian. Dirakit-jamban Datukku, kami asyik bercakap sembari terjun berenang dibagian laut sungai. Makna bagian laut-merujuk ke arah tengah sungai Tembesi yang berarus lebih deras daripada tepian tebing sungai.

Macam-macam gaya terjun lompat indah ala anak-anak kampung kami peragakan. Gaya terjun yang paling masyhur dikampungku ada empat macam, gaya terjun tombak, gaya terjun batu, gaya terjun bahul dan gaya terjun terbalik. Terjun tombak, adalah badan dan tangan diluruskan ketika melompat terjun ke dalam sungai. Seperti tikaman tombak tercacak ke badan sungai. Gaya terjun batu, kaki disilakan, kedua tangan menahan sila kaki setelah melepas lompatan dari batang dirakit-jamban bagian paling laut. Posisi badan katuh ke sungai, memang mirip batu dicemplungkan ke air sungai. Terjun bahul, yakni posisi kedua kaki dilipat ke perut. Ketika mau terjun, maka ucapkan lah;" Bahul bah!". Riak-riak air mendesak ke atas, dan badan yang tenggelam sejenak dalam air, menciptakan sensasi dahsyat, kawan!
Sedangkan gaya terjun terbalik, adalah posisi badan seperti melakukan lompatan ke depan, sembari membalikkan badan. Bagian yang paling dahulu terkena air, adalah bagian belakang badan.

Azan maghrib berkumandang mengisi jenak-jenak udara. Terpantul ke seberang hingga pematang bukit durian datukku. Menghulu mudik ke sungai Ruan, menyeberang ke hulu sungai Ale, menghilir hingga tepian Lek Giman didekat muara sungai Gurun. Azan mendayu-dayu yang dibang-kan Datuk Yasin dari masjid tua bertiang bulian, berdinding papan kayu, bercat kuning telur menebar undangan Allah bagi hamba-Nya untuk memakmurkan sholat berjama’ah. Kami segera lekas berlarian kembali ke rumah. Mengganti pakaian berkain sarung, berbaju dan mengenakan kopiah hitam lalu menghampiri masjid tua itu menunaikan sholat maghrib.

Sehabis sholat maghrib, kami duduk mengumpul sebentar dibangku masjid yang menyajikan panorama semburat lukisan raksasa sang Maha Kuasa dilangit petang. Awan bertabur-tabur, diperciki warna kuning tembaga, pelan-pelan meredup berwarna sepia, lalu kelam, gelap biru tua melamur. Angin penghujung petang bertiup lembut sepoi-sepoi, merayakan maghrib yang ghurub diufuk barat. Subhanallah!

Terus-terang, aku paling suka duduk dibangku masjid bawah pokok manggis tegak menjulang itu. Namun sehabis maghrib ini ada ajakan makan malam dari rumah sang pengantin, mempercepat langkah kami sebagai pasukan penghidang. Setiba kami dirumah ayuk sepupuku yang pengantin ini, kami menangkap senyum kalui, iya senyum mirip ikan kalui (gurami) diwajah keempat abang-abang sepupuku.

“Oi, amboi, apakah gerangan yang berlaku pada kalian, wahai abang-abang Bujang Bangku Masjid,” ujarku tersirat dalam hati.

Keempat mereka tampil rapi dan elegan. Seakan-akan panggung ruang makan ini adalah pentas catwalk mereka ke tengah, ke dapur menyajikan piring-piring lauk-pauk. Kadang berpapasan, sembari mengumbar senyum manis yang dilontarkan ke sekumpulan dara yang sibuk membantu menyajikan lauk-pauk dalam piring.

Rupanya, segala kecurigaan dan dugaan kami tak meleset. Keempat abang sepupuku bujang-bujang randuk, apabila kami ingin mengikuti mereka, dengan isyarat mereka berempat seolah mengusir kami dengan halus. Pergi lah kalian kerjaan hal lain, biarkan abang-abang kalian yang bujang-bujang menikmati alam kesemarakan orang muda. Mereka berempat kali ini, tampak kesit dengan kami. Tak diperbolehkan ikut ke mana mereka pergi.

Semenjak kedatangan rombongan tamu undangan dari Jambi tadi siang. Mereka sudah memisahkan diri dari kami kumpulan Bujang Bangku Masjid. Kehadiran tiga gadis dara dari Jambi sudah merebut hati mereka berempat. Ketiga gadis itu adalah keluarga dari orangtua angkat ayuk sepupuku yang pengantin itu. Ketika dia sekolah guru di Jambi, emak-bapak keluarga gadis bertiga itu berbaik-hati menjadikanya keluarga sendiri. Lagi pula, kakak perempuan ketiga gadis itu adalah teman karib ayuk sepupuku itu. Jadi, bukan lah hal asing, jika ketiga gadis molek datang memenuhi undangan pengantinan ayuk sepupuku.

Keempat abang sepupuku yang menanjak alam bujang, seperti mendapat kesempatan, ketika siang tadi mereka berempat lah yang diminta untuk menjemput rombongan tamu undangan dari Jambi menyeberangi sungai dengan perahu boat. Tentu saja, ‘keempat hantu’ Bujang Bangku Masjid itu, rajin mencari perhatian ketiga gadis bergaya modis itu dengan canda-tawa, pura-pura bertanya sok akrab dan juga kerajinan luar biasa memanggul tas bawaan keluarga ketiga gadis itu.

‘Keempat Hantu’ Bujang Bangku Masjid, yang sejak siang tadi kesit dari kami. Memisahkan diri dari majelis pengotahan Wak Nga didekat tarup masak atau pentas tarup laman muka rumah panggung itu lantaran ada periang hati. Kumbang menemukan kembang-kembang ditaman bunga yang semerbak bermekaran. Ketiga gadis itu seakan, menjadi perhatian dari bujang-bujang kampungku. Tentu saja, mereka tak berani mendekati, lantaran mengidap semacam 'mentality inferior complex'. Merasa tak percaya diri. Mau bercakap dan menegur sapa, khawatir didiamkan belaka. Mau mengajak obrolan tema perkotaan, menengok wajah kota Jambi rasanya belum pernah sekali pun.

Jadi, hanya Empat Hantu Bujang Bangku Masjid itulah yang rasanya memiliki mental baja. Virus 'mentality inferior complex' seolah takut mendekati mereka. Apalagi abang sepupuku yang tertua, dengan lagak siasat khas kaum politician, bukan main kepercayaan dirinya melambung tinggi. Ditambah lagi tiga abang sepupuku yang memasang gaya tak kalah dari bintang film akhir pekan yang sering kami tonton dirumah Datuk Haji Hamdan diseberang.

Bila malam bergaya pendekar zaman dulu. Kain sarung terselempang dileher, kali ini mereka sisihkan dulu. Pakaian rapi bercelana jeans, berbaju kemeja kotak-kotak, dan songar sisiran rambut mengkilap berminyak dimalam hari. Baunya minta ampun, menyengat seisi ruangan rumah. Demi periang hati disedekah kenduri pengantinan ayuk sepupuku ini, mereka menjadi begitu tampil flamboyan dan penuh gaya. Tampang keempat abang sepupuku ini boleh tahan, walau kami bukan dari kalangan keluarga saudagar, tauke getah kaya-raya seperti dikampungku. Gaya kami rasanya tak kalah dari anak-anak saudagar getah karet itu.

Soal penampilan dan lagak sehari-hari, abang sepupuku nomor tiga itulah biang dan gudangnya. Sekilas jika dipandang, alamak, mana ada gadis tak melirik penampilan dan gayanya. Apalagi kalau keempat abang sepupuku bersekutu mencuri perhatian tiga gadis dari Jambi yang datang siang tadi, ampun gaya mereka membuai malam-malam semarak asmara bujang-gadis.

Apalagi keesokan harinya, undangan makan siang disedekah kenduri perkawinan ayuk sepupuku tambah ramai. Lazimnya adat-istiadat perkawinan dikampungku, jamuan hidangan makan siang dirumah mempelai lelaki. Karena calon mempelai pengantin lelaki orang luar, bukan orang kampungku sendiri, maka makan siang dihari sabtu ini diadakan dirumah pengantin perempuan.

Tentu saja, keempat abang sepupuku selalu mau tampil membantu angkat hidangan dari dapur ke ruang tengah atau ke atas pentas tarup dilaman muka rumah. Beribu-ribu alasan, dibuat-buat mereka, akal kumbang terbang menempel seputar kembang-kembang dari Jambi. Bukan main, lelucon gurau mereka, mencuri perhatian dari ketiga gadis molek bergaya modis itu. Aku terus-terang, suka saja jika keempat abang sepupuku mendekati ketiga gadis dari Jambi yang lebih tua dari kami itu. Terkadang, mereka berempat seperti melupakan kami yang masih bujang-bujang kecil.

Apalagi malam nanti adalah malam merias pelaminan duduk pengantin untuk keesokan harinya. Tentu semakin banyak momentum mereka semakin menggaet perhatian ketiga gadis dara dari Jambi itu. Padahal banyak gadis-gadis dara dikampungku yang tak kalah cantik. Cuma karena stempel gadis dari kota itu sudah memikat perhatian keempat abang sepupuku itu. Kami, kadang terpikir juga mengacau perhatian keempat bujang hantu bangku masjid itu.

Kami juga khawatir juga kalau mereka nanti melabrak kami dengan maki-hamun marah. Jadi, kami biarkan saja. Paling-paling sesekali waktu kami pura-pura mengambil kesibukan dekat mereka, jika mereka sadar, langsung mereka mengatakan;”Pergi lah, tadi kudengar Wak Nga mencari kalian semua,” kata abang sepupuku yang bersiasat politik halus. Artinya, itu bentuk usiran secara terselubung, agar kami tak mengusing ketenangan dan kesenangan mereka merayu tiga gadis dari Jambi.

Semakin marak-semarak mereka berempat mendekati ketiga gadis yang mukanya nyaris mirip. Iya, kecantikan kadang membuat gadis tampil nyaris mirip. Apalagi ketiga gadis ini masih satu ada pertalian darah satu dengan lainnya. Hanya yang membedakan potongan rambutnya saja. Dua orang berambut panjang sebahu, sedangkan yang satu tampil dengan potongan rambut ala Demi Moore dalam film The Ghost. Pipi gadis berambut pendek ini merah mirip tomat masak.

Aku sebenarnya, suka saja semarak muda-mudi. Asalkan mereka masih menjaga batasan sopan-santun. Sekadar lirik-melirik dan lempar gurau-tawa adalah hal biasa saja. Cuma kalau mereka sampai melalaikan tugas merias pelaminan atau ruangan tempat akad nikah dan duduk pengantin itu yang tak aku suka.

Kehadiran Muk Muslim@Muk lim dalam malam berias atau berhias pentas tarup juga sangat penting. Sosok bintang pelajar cerdas, kreatif dan baik perangai menjadi semacam penjamin, bahwa kekhawatiranku tak bakal terjadi. Keempat abang sepupuku juga sebenarnya, selain menyemarakkan malam berhias itu, juga meramaikan suasana semarak muda-mudi berhias ruang pengantinan dan tarup pentas itu. Muk lim dan kawan-kawannya juga dengan senang hati ringan tangan membantu menggunting, memasang dan menempelkan hiasan yang terbuat dari kertas jagung dijalin benang diruang tengah dan luar rumah. Sebaris ucapan:”SELAMAT DATANG, MOHON DO’A RESTU” sudah ditempelkan didinding luar pangkal tangga rumah panggung bertiang.

Dan keempat abang sepupuku semakin tekun-tunak membantu menegakkan steleng tangga, melekat-merekat lem kertas jagung ke benang, lalu menempelkannya ke pojok-pojok ruangan rumah. Pada bagian tengah hiasan dari kertas jagung warna-warni mirip sarang lebah menggantung. Bukan main, senyum-senyum ceria penuh makna terbit dari wajah keempat abang sepupuku itu. Sementara dua gadis rambut panjang sibuk memotong kertas dan membentuk pola yang sudah digambarkan disebidang kertas jagung.

Sepupuku yang perempuan pun terlihat juga dikerumunan anak-anak dara kampungku yang memang malam berhias adalah malamnya muda-mudi menampilkan kreatifitas seni mereka, berupa menghias ruang tengah dan luar, pelaminan atau tempat duduk pengantin bersanding. Kehadiran tiga anak dara dari Jambi menambah semarak malam berhias. Termasuk berempat sosok abang sepupuku, menghangatkan suasana dengan lelucon segar dan derai tawa khas mereka.

Diluar rumah panggung angin bertiup sepoi-sepoi. Rembulan malam tiga belas naik ke pucuk langit. Bintang-gemintang berkelipan, mengerdipkan mata disela lintas arakan awan-gemawan. Keempat hati Bujang Bangku Masjid dilanda semarak asmara menjalar bergetar hebat.

(Bersambung)

Rabea adawea, Cairo, 28 Oktober 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home