musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Friday, October 30, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (14)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (14)


Ahmad David Kholilurrahman


Gunung Sirih, Gunung Pinang dan Gunung Ringgit


Setekun jahit serindit memucuk kelapa
khidmat daku serah terima perabayan

Gunung ringgit, gunung pinang, gunung sirih*


Dalam adat-istiadat sedekah kenduri perkawinan dikampungku dikenal tiga gunung-gunungan penyerta arakan pengantin lelaki menuju rumah pengantin perempuan. Tiga gunung-gunungan itu yakni Gunung Sirih, Gunung Pinang dan Gunung Ringgit. Selain bunga-bungaan dari kertas jagung yang dililit pada kawat yang dibungkus berwarna-warni disertai permen gula-gula untuk anak-anak kecil.

Ketiga gunung tadi terbuat dari kayu yang ditusuk bambu. Buah pinang kuning dan hijau bercampur melekati kayu yang dibungkus kain dan dialasi baki. Sedangkan gunung sirih juga berupa kayu yang dilingkari kawat, diselipi dedaunan sirih hijau. Adapun gunung ringgit, adalah seulas kain yang dilingkari pada kartun, uang ringgit berlubang tengah ditempeli dengan lem perekat pada kain hitam bergulung melingkar. Uang ringgit itu biasa dipinjam dari koleksi milik Nyai Te Cik Ima, panggung masak tersohor dikampungku.

Serah-terima perabayan adalah helat sebelum akad nikah antara mempelai lelaki dan perempuan diikatkan dalam buhul pernikahan. Barang-barang yang diserahkan pihak yang mewakili lelaki kepada pihak mempelai perempuan itu biasanya adalah datuk-datuk atau tokoh adat terpandang. Sebab, marwah keluarga ketika helat pernikahan ini juga sama-sama dijaga oleh kebijaksanaan dalam bersambut pantun kelak. Barang-barang bawaan berupa hantaran ini berupa seperangkat alat sholat, mushaf al-Qur’an, sajadah, telekung-mukenah, alat-alat perhiasan berupa cincin dan gelang. Pakaian mempelai wanita, sepatu, tas. Alat-alat kosmetika; bedak, pupur, parfum, celak mata, lotion pelembab dan perawatan wajah.

Sejak pagi hari, suara gendang-kompangan terdengar bertalu-talu dari rumah mempelai pengantin lelaki. Karena calon suami ayuk sepupuku ini orang luar kampungku. Maka dia menumpang berlarak dari rumah Datuk Muk Manshur, dekat masjid tua itu.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk."

Kompangan dari kulit sapi dan dencingan logam bertalu-talu. Kumpulan penabuh terbangan-yaitu gendang kompangan ini terdiri dari tujuh sampai delapan orang. Yang dikepalai oleh Muk Zaki, Lok Fahri, Paksu M. Zaki@Joko, Pak Cik Nasir, Raden Dolah, Mirwazi, Bang Cik Ja’far, Zamakhsari dan lain-lainnya. Wajah-wajah cerah-ceria penabuh terbangan sontak-semarak. Senyum-senyum terkembang sembari tekun menabuh kompangan mengatur serempak bunyi dan iramanya.

Anak-anak kecil sibuk meramaikan semarak sedekah pengantinan dengan baju-baju rapi dan wajah baru mandi pagi digandeng orang-orang tua mereka. Mereka sibuk berkumpul ditangga dan laman rumah. Kalau, tak ada anak-anak kecil, suasana sedekah pengantinan juga terasa kurang afdhal. Begitulah yang berlaku dimasyarakat kami Melayu Jambi, bahwa perhelatan sedekah kenduri perkawinan adalah kemeriahan sekurung-sekampung. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Dibawah rumah, meja-meja panjang yang dipinjam dari Madrasah Al-Fatayat menyajikan ceret-ceret besar berisi kopi panas A tigo dan teh. Biasanya, ceret kopi itu lah sasaran utama para rombongan pengarak pengantinan. Penggemar minum kopi adalah jumlah mayoritas terbesar dikampungku. Jangan tanya, dalam sebulan mereka biasa menghabiskan berapa kilogram stok kopi yang dijual di toko-toko saudagar atau tauke getah karet dikampungku. Yang jelas, kalangan saudagar membeli kopi terbaik itu berkaleng-kaleng besar. Penikmat minum kopi pagi diperhelatan mengarak pengantin berteman hembusan asap rokok kretek dan perbualan hangat meledakkan derai-tawa.

Kulihat, Wak Nga pun tampil necis dan rapi luar biasa. Celana hitam dan baju kemeja putih lengan panjang disetrika licin sekali. Rambut kuning ikal jagungnya ditutupi kopiah hitam cap Haji Iming. Kopiah andalan yang dipakai untuk hari-hari besar semacam hari raya Idul Fitri, Idul Adha, sholat Jum’at dan undangan sedekah pengantinan. Jangan main-main, kopiah hitam terawat baik, walau dibelinya tiga tahun lampau.

Dia selalu menjadi pusat keramaian gelak-tawa. Mimik airmukanya terkadang bersungut-sungut, ketika memperagakan keseriusan, lalu pelan-pelan mencair menjadi derai hujan tawa. Dan jangan kau cari dimajelis penabuh gendang-kompangan. Bukan disitu maqam-nya. Tingkatannya ada di bawah rumah, dekat meja dan kursi panjang yang dipinjam dari Madrasah Al-Fatayat yang tersaji hidangan ceret-ceret kuning besar berisi kopi dan teh.

Wak Nga adalah penyemarak sedekah pengantinan paling piawai dikampungku, kawan! Sosok entartainer paling semarak ini, pandai meriuh-rendahkan suasana dengan gaya-gaya seperti MC kondang ibukota Koes Hendratmo yang membawa acara “Berpacu Dalam Melodi” yang suka sekali ditontonnya dalam siaran Televisi Nasional dirumah saudagar tauke getah karet dikampungku. Wak Nga dijadwalkan tampil keesokan malamnya memandu sebuah perhelatan ahad malam senin.

Satu jam lebih kumpulan penabuh gendang-kompangan secara berirama menabuh gendang berdencing logam dan gendang tanpa dencing. Suara-suara tabuhan menandakan bahwa tak berapa lama lagi pengantin lelaki tampil rapi berjas hitam, berkain sarung dan berkopiah hitam. Senyum cerah, secerah matahari pagi terkembang diwajahnya. Postur tinggi besar, tampil seperti Raja-raja dizaman dahulu.

Dibangku Masjid depan masjid tua itu, ramai juga rombongan pengarak pengantinan duduk mengobrol. Asap-asap rokok kretek melingkar biru, serupa gulungan asap panduk, ketika ladang-talang dibakar dimusim kemarau. Lalu-lalang obrolan berseliweran, dari hal-ihwal biasa sehari-hari sampai kejadian luar biasa di luar negeri. Makanya, ada ungkapan:”Jangan pinjam kata pada orang Melayu, nanti beranak-pinak, bercucu-cicit jadi cerita”.

Aku dan sepupuku yang selusin dikenal sebagai “Bujang Bangku Masjid” telah hadir sejak pagi buta. Maklum, yang sedekah kenduri pengantinan ayuk sepupu kami menjadi tanggung-jawab kami membantunya. Makanya, sejak dua malam sebelum hari H pernikahan ini, kami tidur dirumah mempelai pengantin perempuan. Tidur bergolekan berkain sarung dengan kawan-kawan sebaya. Karena yang namanya menyiapkan sedekah kenduri pengantinan adalah terlibat secara penuh. Dan ada saja, tugas yang kami kerjakan, kalau tak mengambil air disumur, iya mengangkat kayu puntung bakar ke bawah tarup masak dibelakang rumah. Belum lagi disuruh oleh bagian penghias ruangan beli keperluan ini-itu.

Tapi, sungguh suasana marak-semarak meriah sedekah kenduri pengantinan selalu kurindu ketika aku merantau jauh ke negeri orang. Aku selalu mengenang adat-istiadat Melayu Jambi kental, semangat tolong-menolong dan perasaan senasib-sepenanggungan menjadikan kami rukun sepakat dalam bimbingan kaum Tuo Tengganai, Alim-Ulama dan Cerdik-Pandai.

Aku menangkap marak-semarak lain diwajah keempat abang sepupuku yang telah bergabung dengan kami. Setelah kemarin kami selalu diusir secara halus, setiap kali aku dan sepupuku yang lain datang mendekat. Seakan-akan, kehadiran kami dianggap merusak rencana mereka yang tengah jatuh hati pada ketiga gadis dari Jambi yang datang hari kemarin. Dan semakin, kami diusir secara isyarat, semakin gila kami mendekat. Hahahahahhaha

Abang sepupuku yang tertua dan kedua terlihat duduk dibangku panjang dekat majelis Wak Nga. Namun yang ketiga dan keempat tak terlihat batang hidungnya. Tak lama kemudian, abang sepupuku yang ketiga dan keempat sudah ikut bergabung sembari menuangkan gelas-gelas kecil beling bercorak bunga. Dua tiga kali hirup, kopi tersedap yang boleh melupakan himpitan beban kehidupan lesap ke dalam kerongkongan mereka berempat. Dituang kembali, sambil melirik Wak Nga yang tengah menjentikkan jemarinya ke kopiah hitam tergenggam ditangan kirinya.

Bukan main gaya penampilan keempat abang sepupuku. Segak dan lagak. Tampang mereka berempat boleh tahan lah. Kurasa, mana ada anak dara yang tengah bersolek pada perhelatan pengantinan ayuk sepupuku yang tak suka pada mereka. Dan hal itu juga, diam-diam menular pada aku dan sepupuku yang sebaya. Kami selalu mau tampil segak dan lagak. Walau, kami sadar bahwa orangtua kami bukan lah kalangan saudagar kaya-raya. Namun, soal gaya penampilan, kami boleh tahan lah.

Mempelai pengantin lelaki menuruni tangga, seraya diiringin tabuhan terbangan kompangan yang dibawa oleh Muk Zaki dan kawan-kawan. Raden Dolah terselip dalam kumpulan penabuh kompangan berbaju batik hitam, bercelana hijau lumut dengan kopiah hitam bertengger dikepalanya yang berpotongan cepak ala polisi itu.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk."

Tetabuhan khas dipangkal tangga mengawali dari iringan arakan pengantin lelaki menuju rumah pengantin perempuan di bagian tengah kampungku.

“Allahummma Shallliiiii...”. Iringan sholawat dan lagu-lagu kasidah berbahasa Arab memantik tetabuhan terbangan kompangan. Kadang-kadang ucapan terdengar seimbas-pintas dilumat angin. Menurut cerita yang beredar, lagu-lagu khusus pengiring kumpulan tabuhan terbangan-kompangan ini sudah dihapal turun-temurun. Cuma ada abang sepupuku yang lebih tua, yang pernah mondok pesantren ingin meneliti kalimat-kalimat berbahasa Arab yang dilafalkan oleh kumpulan penabuh terbangan-kompangan.

Maklum, Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah dan rumah-rumah pengajian Al-Qur’an dikampungku dikenal luas di seantero Jambi sebagai perigi ilmu, tempat orang dari ulu dan hilir datang mengaji mengaju tanya dan menunggu surahan dari mulut datuk-buyut kami. Dulu orang-orang dari uluan, seperti Tabir, Air Liki, Lamban Segatal, Sepintun, Lubuk Napal, Kasang Melintang dan Pangkal Bulian mengirim anak-anak mereka datang mengaji agama ke kampungku. Begitu juga orang-orang dari wilayah peiliran, seperti Rantau Kapas dan kampung sekitarnya berduyun-duyun datang mengaji.

Rombongan arakan mempelai pengantin lelaki berpayung, disampingnya diapit oleh dua orang abang sepupuku yang lebih tua lagi dan pemegang bunga-bunga kertas jagung, permen gula-gula berjuntaian. Didepannya barang-barang properti parabayan seperti yang kusebutkan diatas tadi. Diusung gunung-gunung Sirih, Pinang dan Ringgit yang dipegang oleh orang dewasa.

Aku paling suka mengamati iringan rombongan arakan pengantinan. Walau aku tak memegang kamera, aku merasa mataku sedari kecil sudah menyimak dan merekam secara cermat komposisi dan defile parade rombongan arakan pengantin mempelai lelaki yang menyita perhatian mata-hidung orang sekampung. Apalagi tabuhan terbangan-kompangan terdengar dari kejauhan, sebagai isyarat dari isytihar, pemberitahuan pernikahan yang disyari’atkan oleh agama Islam kepada khalayak ramai.

Dan iringan rombongan mempelai pengantinan ini sudah menempuh jalan laut. Jalan yang berhampiran dengan tepian sungai dikampungku. Dari seberang rumah Datuk Haji Hamdan pun, rombongan iringan arakan pengantin lelaki ini dapat terlihat jelas. Kulihat, dari bilik jendela rumah-rumah panggung yang dilewati rombongan, kepala perempuan bertengkuluk menjenguk ke luar. Mereka sebentar lag juga, segera bergabung menuju rumah mempelai pengantin perempuan.

Sesampai ditangga luar rumah Guru kami Buya Abdullah Manshur. Kulihat kaum Tuo-Tengganai, Alim-Ulama dan Cerdik-Pandai sudah memenuhi ruangan rumah bagian depan. Para Datuk-datuk, Wak-wak dan Paman-pamanku sudah hadir sejak tadi dengan pakaian rapi. Begitu juga dengan perangkat desa dan tokoh-tokoh masyarakat menyemut ramai.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk."

Tetabuhan kumpulan terbangan-kompangan masih meriuh-rendah, marak-semarak melontarkan sontak kemeriahan. Kepala para penabuh terbangan-kompangan memiring ke kiri dan kanan, memiringkan letak kopiah. Lalu dengan tabuhan pengakhiran, mereka mengisyaratkan bagi rombongan pengantin lelaki untuk menaiki tangga. Diiringi abang-abang sepupuku yang lebih tua mendampingi calon suami ayuk sepupuku ini.

Para pembawa parabayan, gunung sirih, pinang dan ringgit serta bunga-bunga kertas menghantarkan ke ruang bagian depan rumah panggung itu. Kaum muda sibuk berkumpul dibawah rumah, termasuk juga Wak Nga kami tadi. Dan dia selalu tampil enerjik, penuh semangat dan humoris. Dilaman yang terbentang tarup-pentas itu pun, khalayak undangan duduk melepas capai setelah ikut mengarak rombongan arakan mempelai pengantin lelaki ke rumah ayuk sepupuku yang mempelai pengantin perempuan.

Calon suami ayuk sepupuku ini duduk takzim diatas kasur kecil beralas karpet hambal. Didepannya meja kecil-rendah berlapiskan kain beludru. Dihadapannya duduk calon mertuanya, Guru kami Buya Abdullah Manshur yang mengenakan pakaian Gamis putih, bersal corak merah-putih, dan igal hitam dikepalanya, akan langsung menikah anak perempuan tertuanya ini dengan lelaki dari tanah Jawa yang juga berprofesi Guru. Disekelilingnya duduk datuk-datuk, wak-wak dan paman-pamanku yang berjumlah puluhan orang. Begitu juga kaum Tuo-Tengganai, Alim-Ulama dan Cerdik-Pandai.

Pembawa Acara, yaitu Pak Su Mushadiq sudah mempersilahkan tetamu undangan untuk mengisi ruangan dan sebentar lagi serangkaian acara akad-nikah akan dilangsungkan. Sebelum ijab-kabul dibuhulkan, biduk rumah-tangga terkumpul. Para hadirin terdiri dari tuo-tengganai, alim-ulama, dan cerdik-pandai sudah mengisi ruangan yang telah disediakan. Setelah acara secara resmi dimulai, dibuka dengan sepatah-kata pembawa acara, dan pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan oleh Bang Cik Ja’far Sya’rani terdengar khusyuk.

Sebelum ijab-kabul membuhul,
biduk rumah-tangga terkumpul
Terbentang laman suruh-tegah orangtua
Terulang tegur-sapa pameman pamanda**


Kemudian sambutan dari pihak mempelai perempuan yang biasanya diwakili oleh Kepala Desa Gurun Seberang, Datuk M. Syafi’ie menyampaikan sepatah-dua patah kata, diselipi pepatah-petitih. Kemudian sambutan dari mempelai lelaki yang diwakili Kepala Desa Gurun Tuo Simpang, Datuk Haji Muhammad Hamdan, dengan harapan semoga terjalin pernikahan ini sebagai pertemuan jodoh. Dan pernikahan adalah proses saling mengenal antara kehidupan berpuak-berkaum, juga berbangsa.

Maka setelah itu adalah mata acara serah-terima Perabayan yang diserahkan pihak yang mewakili mempelai lelaki kepada pihak yang mewakili mempelai perempuan. Ditutup dengan mengunyah daun sirih yang terletak dalam kotak keemasan.

Suasana berlangsung khidmat dan takzim. Ketika menjelang acara akad-nikah, maka inilah saat yang paling mendebarkan bagi kedua mempelai calon suami-istri. Kutengok, ayuk sepupuku duduk menunduk dalam majelis itu. Lalu, Guru kami, Buya Abdullah Manshur duduk tenang. Beliau yang juga wali nikah dari mempelai perempuan, selain dikenal sebagai Ulama, juga Penghulu atau Kadi yang menikahkan orang-orang dikampungku.

Beliau menggenggam mikrofon, bersuara lantang memimpin langsung proses ijab-kabul akad-nikah. Setelah akad nikah itu dinyatakan sah dengan persaksian. Airmata bahagia dan haru menetes dikedua sungai airmata ayuk sepupuku. Sedangkan suaminya, yang baru saja disahkan menjadi pendamping hidupnya menyeka sapu tangan dikeningnya. Dalam ruangan yang ketika ijab-kabul dilangsungkan hening seketika, lalu menjelma senyum bahagia terkembang. Melalui mulut corong pengeras suara yang tergantung diloteng rumah, terdengar suara doa:”Baarakallahu Lakuma wa Baaraka 'Alaikuma wa Jam’a Bainahuma fi Khairin.”

Acara selanjutnya adalah nasehat perkawinan yang disampaikan oleh Pamanku Kasyfun Nadzir Rasyid. Ulama muda ini adalah teladan kampungku yang menimba ilmu di Al-Azhar, Mesir. Nasehat-nasehatnya diuraikannya dengan bahasa yang jernih dan bernas. Beliau juga mendedahkan perihal hak dan kewajiban berumah-tangga. Dengan menyitir Surah Ar-Ruum ayat 21, dia mengulas tafsirnya seputar intisari kehidupan pernikahan yang disyari'ahkan Allah pada umat manusia. Diiringi dengan mengutip hadits Rasulullah, anjuran bagi kaum pemuda-pemudi untuk segera menikah dan membentuk rumah tangga yang Sakinah Mawaddah wa Rahmah.

Doa kesyukuran pernikahan dibacakan oleh Guru kami Wak Hasan Utsman dengan penuh khusyuk dan syahdu. Suara-suaranya yang jernih seperti telaga ditengah hutan. Makhraj huruf dari doa yang dilafalkannya begitu pas dan sesuai dengan tuntunan doa Rasulullah. Lalu, suara amin, amin, amin terdengar berulang-ulang kali menggema ke langit. Sebagai ungkapan kesyukuran atas pernikahan yang dinaungi ridha Allah Subhanallah Wa Ta’ala.

Setelah Pak Su Mushadiq menutup acara dengan pembacaan Hamdalah dan doa Kaffaratul Majlis. Maka, pasukan penghidang bujang-bujang, termasuk selusin Bujang Bangku Masjid mulai sibuk menyusun piring dalam hidangan seng berwarna putih, bermotif bunga-bungaan. Lalu, menghidangkan pada saf makan pertama, yang biasanya diperuntukkan kalangan Tuo Tengganai, Alim-Ulama, Cerdik-Pandai dan tetamu undangan luar kampung. Saf kedua, bagi yang kaum muda yang berkeluarga. Dan saf ketiga, adalah rombongan kaum bujang, termasuk "Selusin Hantu" Bangku Masjid itu. Satu hidangan diperuntukkan dua porsi lengkap dengan dua piring nasi minyak ala Gurun mengepul panas, lauk-pauknya; Rendang, opor ayam, masak itam hati, masak kacang, acar atau zelatah plus sambal tumbuk. Alhamdulilah, sungguh lezat, kawan!

Ketika menghidang sajian sedekah kenduri yang hidangannya diangkat dari dapur ke ruang tengah, ruang luar dan pentas ditarup itulah suasana begitu marak-semarak. Apalagi keempat abang sepupuku, mengambil kesempatan dalam kesempitan menggoda tiga anak dara dari Jambi yang molek-cantik itu. Kami cuma memandang dari kejauhan, sebab, kalau ingin mendekat ikut meramaikan, jelingan mata keempat abang sepupuku minta ampun. Seperti jelingan kucing gerong yang hendak menangkap tikus. Kami semua yang adik-adik ini merasa takut dilahap mereka yang tengah dilanda semarak getar-getar asmara muda. Lebih baik kami, mengganggu keasyikan mereka sesekali, sembari mendengar majelis pengotahan Wak Nga dipentas tarup dilaman muka rumah panggung Melayu itu.

Empat buah kuali kawah besar nasi minyak khas Gurun Tuo adalah dimasak oleh Wak Mad Boyak, Wak Seli, Pak Ning Mizi dan Datuk Bidin. Citarasa nasi minyak mengepulkan aroma rerempahan nasi Minyak khas Arab, tercium semerbak aroma kapulaga, cengkih, kulit kayu manis, jintan, lada dan lain menyeruak ke hidung. Terus-terang, sedari kecil dulu, aku lebih suka suguhan hidangan nasi minyak daripada nasi putih dalam perhelatan sedekah kenduri perkawinan dikampungku. Ada sebagian orangtua yang terkena darah tinggi, menghindarkan diri menyantap nasi minyak yang super lezat ini. Bagi mereka penderita hypertensi dihidangkan nasi putih yang sengaja dimasak dalam satu kuali kawah masak lain.

Nasi Minyak dan jenis masakan lainnya adalah kuliner khas Gurun Tuo turun-temurun. Perpaduan citarasa kuliner yang unik, Melayu dan Arab bersepadu dalam hidangan semandan berdua. Mengundang selera makan kaum bujang untuk terus bertambuh pinggan juga. Dan salah-satu trik dan tips menikmati hidangan makanan kenduri sedekah pengantinan secara lahap-nikmat, kata abang sepupuku yang politisi itu ketika kami makan serempak pada giliran saf ketiga adalah; Kamu nikmati saja pinggan nasi minyakmu dan jangan sesekali melihat ke pinggan orang lain! Hahahahahahaha

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 29 Oktober 2009

*Keempat bait-bait diatas, dikutip dari Sajak: Jahit Serindit, Ahmad David Kholilurrahman

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home