musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Saturday, November 7, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (18)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (18)

Ahmad David Kholilurrahman


Tepian Bujang


Semburat matahari merajuk jatuh dihulu langit seberang. Kapas-kapas awan berarakan beriringan. Seperti iringan mengarak pengantin cahaya pulang ke ufuk barat. Goresan warna kuning tembaga menyepuh langit petang. Sepasang elang kelok terbang diseberang, merentas pucuk pohon mangga. Barisan kelelawar membercaki hitam. Mencari santapan kebun-kebun buah-buahan yang ditinggal pemiliknya dimalam hari. Dari arah hulu, awan berkumpul, berpadu membentuk ‘gunung-gunung air’. Kata orang-orang tua dikampungku: isyarat hujan akan turun di hulu.

Berjarak sepelemparan batu dari bangku masjid tua itu terdapat tebing tepian pemandian. Tempatku turun-naik jika hendak pergi ke rakit-jamban disungai Batang Tembesi yang mengalir tenang. Enam anak tangga dari kayu bulian berbentuk bulat terpaku kuat. Gantungan susuran tangga menukik ke bawah. Setiba ditepian bertebing datar, terlintang sebatang kayu diatas tanah. Jika musim banjir tahunan datang bertandang, sebatang kayu melintang dari arah darat ke laut tepian itu berfungsi sebagai titian laluan penghubung dari daratan tepian ke rakit-jamban.

Setelah menuruni enam anak tangga kayu bulian bulat yang dipaku menancap kukuh ke tebing tepian. Sekilas nampak, seperti tangga yang disampirkan ke pundak tebing tepian pemandian. Sebidang tanah datar yang tumbuh liar rerumputan dan daun peladang kambing. Daun berbunga putih hitam kecil ini, adalah umpan pancing ikan lampam paling jitu pada waktu air tengah surut. Tak jarang sebagai laman pakaian atau kain yang dikelantangkan seusai dicuci dan dipukul dengan sebatang kayu bulat.

Kelantangan*, adalah cara menjemur sejenis kain atau tirai gorden rumah yang berukuran besar setelah direndam dalam bak besar, dipukul dengan sebatang kayu untuk menghilang noda debu kotor yang melekat, lalu dibilas dengan air sungai kemudian dijemur. Jika telah kering, keesokan harinya, akan dicuci lebih bersih dengan sabun dan penghilang noda kotoran, lalu dijemur pada seutas kawat tali jemuran.

Setelah melewati sebidang tanah datar tadi. Turunlah sekitar sepuluh meter ke arah bawah tebing-tepian. Sekeping papan bulian terbentang antara tebing tepian dengan batang rakit-jamban sebagai jembatan penghubung.

Rakit-jamban yang tersusun dari delapan batang gelondongan kayu balok mengapung disungai ditambat dengan seikat tali kawat baja yang dililitkan pada sebatang pohon mangga yang berada dihulunya. Dibawah rakit-jamban, terbenam dua-tiga batang kayu pengapul yang berfungsi mengapungkan rakit jamban berdinding kayu, beratap seng.

Rakit-jamban itu mirip rumah terapung disungai. Rakit-jamban berukuran besar dengan panjang 30 meter x 15 meter memiliki sepasang WC alami, ruang gudang penyimpanan getah karet, dan sepasang kamar mandi dibagian kepala dan buntut jamban. Biasanya, yang depan kamar mandi bagi kaum lelaki. Sedangkan kamar mandi dibagian buntut rakit-jamban dikhususkan untuk kaum perempuan. Begitulah adat-istiadat Melayu dikampungku mengajarkan adab sopan-santun. Hingga ke rakit-jamban tetap dibuatkan ruangan mandi-cuci terpisah bagi kaum lelaki dan perempuan.

Jika matahari terik menyengat. Atap seng rakit-jamban menghantarkan panas luar-biasa. Angin dari arah laut rakit-jamban mengusap anak rambutku yang jatuh tergerai. Kilau terik memancarkan kaki-kaki cahaya fatamorgana diatas atap seng rakit-jamban. Bayangan cahaya garis-garis tak lurus jatuh diarus sungai mengalir tenang. Kecibur ikan-ikan bangsawan sejenis sengarat dan lampam diluan rakit jamban membuyarkan keasyikanku memancing ikan semuruk dan seluang disela-sela rakit jamban. Aku dan sepupuku membikin kail pancing dari sebilah buluh-bambu tua yang diraut halus. Pada ujungnya diikat tali pancing berpemberat timah jala yang dipotong kecil. Berumpan nasi atau cacing, lalu dilabuhkan disela-sela batang rakit jamban.

Ikan-ikan kecil seukuran telunjuk orang dewasa sejenis seluang dan semuruk adalah penyantap umpan pancing kami. Setiap kali terasa sentilan dimata pancing, lekas-lekas kali pancing diangkat, seekor ikan seluang atau semuruk menggeliat, meloncat-loncat terkapar. Tangan kiri kami menangkap kepalanya, lalu secara perlahan melepaskan mata pancing dari mulut ikan yang malang yang beruntung melahap umpan nasi pada mata kail pancing. Selembar daun lidi kelapa diraut pangkal daunnya, cuma menyisakan daun bagian ujungnya saja. Ikan-ikan malang yang beruntung melahap sebutir umpan nasi itu, tersusun-gantung dikarangan selembar daun kelapa.

Bagi orang Melayu, kelapa adalah simbol serbaguna dalam falsafah kehidupan yang sering dipakai dalam idiom sehari-hari. Untuk menyatakan tinggi sesuatu, tak jarang dikaitkan dengan ukuran setinggi pucuk kelapa. Untuk mensifatkan semangat tolong-menolong dalam kehidupan bermasyarakat, mereka menyebut bak ikatan sapu lidi kelapa. Semboyan sakti:”Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Terilhami dari sapu lidi kelapa. Untuk menyatakan seseorang yang susah payah berusaha, bertungkus-lumus, lalu keberhasilannya dinikmati oleh orang lain. Dinyatakan dengan ungkapan:”Bak kelapa condong tumbuh ditepian!”

Dan hampir sepanjang tepian pemandian dikampungku tumbuh barisan batang-batang kelapa yang tegak tinggi menjulang dari hulu hingga hilir. Berselang-seling dengan pohon-pohon mangga, rambutan, manggis dan jambu air. Sepanjang delta sungai yang landai, penduduk kampungku membuat kebun pasir berpagar kayu dan bambu. Dalam kebun itu ditanam sayur-sayuran seperti pucuk ubi kayu, kacang panjang, labu perenggi dan siam, kundur, kesik-katolo dan mentimun.

Guru kami Wak Gus Damiri, termasuk sosok yang rajin bercocok-tanam. Dikebun pasirnya ditepian sungai, dia menanam sayur-sayuran. Bahkan dari penghasilan kebun pasir yang ditabungnya, beliau sanggup membangun rumah panggung kayu diseberang kampungku. Keberkahan dari Allah mendatangi kampungku, ketika rumah-rumah pengajian dan sekolah Madrasah ramai didatangi para penuntut ilmu dari kampung tetangga, bahkan dari kampung-kampung jauh di huluan dan di pehiliran. Seperti janji Allah SWT pada hamba-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raf 96, menitahkan:”Sekiranya penduduk suatu negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan. Sebab itu Kami siksa mereka disebabkan usahanya itu”.

Keberkahan hidup tercermin dari rasa cukup akan nikmat Allah yang diterima. Jauh dari penyakit zalim, khianat, loba dan kikir. Bagi kaum fakir-miskin, merasa bahagia dengan kehidupannya. Sedangkan kaum kaya-raya tak lupa menyedekahkan sebagian hartanya. Menunaikan hak-hak fakir-miskin dalam tumpukan hartanya. Bagi tuo-tengganai memberi contoh teladan dengan bimbingan kebijaksanaan yang telah kenyang asam garam kehidupan. Bagi alim-ulama ikhlas mengucurkan tunjuk-ajar dan panduan akhlaknya bagi kalangan awam. Bagi kaum cerdik-pandai rajin selidik mengurai rintangan masyarakat. Bagi kaum muda-belia berwajah cerah menyingsingkan lengan, belajar memikul tanggung-jawab yang kelak akan diamanahkan dipundak kekar mereka.

Dari bangku masjid, berselempang handuk dileher, sembari memegang timba kecil berisi sabun dan gosok gigi, aku duduk melabuh pandangan jauh ke seberang. Dari arah darat terdengar langkah kaki menyusur setapak jalan samping masjid tua. Abang sepupuku tertua muncul dengan seragam serupa; selempang handuk dileher, berkain sarung, baju kaos putih. Senyum simpulnya terpasang diwajahnya. Tak lama kemudian, datang abang-abang sepupuku yang tiga orang dengan penampilan yang sama. Mereka duduk disampingku, memandang ke arah seberang.

Dirakit jamban datukku yang bergerak ke hulu-hilir dibawah arus tenang sungai. Dibagian dinding yang menghadap badan sungai tertulis sebaris nama pamanku dengan cat warna biru tua: ADIB Ai-ICHSAN. Bagi perahu dan motor yang hendak berlabuh merapat, dengan sangat mudah rakit-jamban datukku ditandai dengan tulisan nama anak lelaki tertuanya. Dan tulisan itu bertahan bertahun-tahun hingga suatu malam kelak, ketika gelap buta membungkus rapat kampungku, rakit jamban itu dihantam karangan balok dari hulu yang terlepas ikatan, lalu menghanyutkan rakit-jamban penuh kenangan masa kecilku itu.

Kami duduk berdampingan. Senyap terdiam. Aku menundukkan kepala meraih sebatang lidi, menggores-gores tanah, menuliskan sembarangan nama dan kota-kota dunia. Sejak kecil aku selalu terobsesi pergi merantau ke kota-kota yang kudengar dari radio tua bapakku yang bersuara soak-parau kehabisan baterai, siaran berita BBC yang dipancarkan langsung dari London. Nama London yang disebutkan penyiar Inke Maris terdengar; L-A-N-D-E-N didaun telingaku. Sehabis makan malam, aku suka duduk mendengar siaran berita terkini dari penjuru dunia. Dan nama-nama kota yang disebutkan pada setiap awal tajuk berita tertancap lekat dibenakku.

“Tahukah kalian semua, wahai adik-adikku gagah-tampan, kalau di Tepian Bujang ini terkubur tumpukan harta karun yang tak seorang pun dapat mengambilnya, kecuali dia berniat memang tak mewariskan pada siapa pun?” Tanya abang sepupuku paling tua memecah kesenyapan. Tangannya merapikan ujung handuknya yang jatuh menjuntai ke tanah.

“Tentu kami tidak pernah mendengar perihal demikian, wahai kanda”. Kata abang sepupuku yang nomor empat menimpali ringan. Sapaan Kanda, serupa suara pelakon drama radio yang rajin didengarkannya setiap petang.

“Harta karun seperti apa yang tertanam di Tepian Bujang ini, Tedud?” Abang sepupuku yang nomor dua memalingkan wajahnya. Serius membaca gerangan diotak benak sang pelempar tanya.

“Dan ini, mungkin bukan mimpi utopia kaum politisi khan”, sambung abang sepupuku nomor tiga, sembari tegak membuhulkan ikatan kain sarungnya. Entah dimana dia dapat kata “Utopia”. Setahuku ada nama negeri yang mirip kata yang disebut abang sepupuku nomor empat. Yaitu Ethiopia, negeri yang menjadi tujuan hijrah pertama sahabat Rasulullah. Abbesenia, nama lainnya.

“Bukan, bukan, bukan mimpi dan bukan pula utopia. Namun, adalah kenyataan yang terkadang jarang kita sadari. Harta karun itu nampak pada musim air surut.” Ucap abang sepupuku yang berjiwa politisi itu menyentil benak penasaran kami tadi.

“Saya tahu, apa yang dimaksud dengan “harta karun” di Tepian Bujang?” kataku yang sedari tadi mencerap arah pembicaraan yang terlontar, walau asyik menggores nama-nama kota dunia yang kutuliskan ditanah, dimuka laman masjid tua itu.

“Ayo, beritahukan pada mereka bertiga, jika kau memang tahu nian!” Tantang abang sepupuku paling tua. Senyum kecil mengembang dibibirnya.

“Harta karun yang terkubur di tepian pemandian itu adalah kayu-kayu bulian yang dulu dikumpulkan oleh Buyut Ja’far Shoefie, semula ditumpuknya untuk ramuan bahan baku rumah, namun lama-kelamaan tertimbun lumpur banjir, terkubur dalam tanah puluhan tahun”. Kataku panjang lebar menerangkan kepada mereka berempat.

“Dari mana kau tahu, wahai adinda?” Tanya abang sepupuku nomor dua. Tentu bukan dari siaran BBC London yang suka kau dengar setiap malam itu khan?” Katanya sambil tersenyum ke arah abang sepupuku paling tua.

“Bukan, dan tentu saja Inke Maris tak bakal membaca siaran berita tentang “harta-karun” di Tepian Bujang yang kita bahas petang ini.” Sambungku tak kalah tangkas menjawab pertanyaan tadi.

Ketiga abang sepupuku yang lain menggeleng-geleng kepala. Diatas pucuk manggis, seekor punai betina bertengger. Suaranya memecah pembicaraan kami berlima. Dan jika ada ketapel ditangan, tentu bakal ada diantara kami yang membidik burung punai menawan itu. Jauh sebelum kami tahu, bahwa dalam pelajaran fiqh di kitab Bulugh al-Maram, ada Bab yang melarang memburu binatang buruan dengan ketapel.

Dulu aku pernah memiliki seekor punai hasil ketapel Kulup Syahid yang diberikannya padaku. Kulup Syahid ini adalah salah-satu murid bapakku di SD No 53/VI diseberang kampungku. Dia termasuk pemburu burung-burung paling piawai. Dari memikat burung pialing hingga burung pipit kecil pun dibidik ketapelnya yang sepanjang hari tergantung dilehernya. Salah-satu janjinya padaku adalah memberi burung punai, jika dia berhasil mendapatkan buruan tersebut. Ketika masa aku rajin mengikuti bapakku pergi ke sekolah dasar tertua dikampungku. Burung punai pemberiannya itu, bertahan hidup dua hari saja. Pada pagi ketiga, kulihat burung dalam sangkar itu mati tak berdaya. Mungkin, menahan sakit dari lontaran batu ketapel si Kulup.

“Apa benar ada “harta karun” yang disebutkan adik kita ini, yang Tedud maksud?” Tanya abang sepupuku nomor empat menggerakkan alis matanya. Seolah menunggu jawaban dari sang Politisi yang kadang memancing kontroversi.

“Hehehehehhehehehhe,” senyum terkekeh dimulutnya kali ini.

“Harta karun yang disebutkan oleh adik kita tadi, memang tak salah. Juga belum tentu benar yang kumaksud dalam pertanyaan awal tadi. Kalimatnya santai, pelan dan wajahnya berubah serius. Garis-garis keningnya menyiratkan bahwa, kami berempat belum menjangkau maksud pembicaraannya.

Aku yang merasa jawaban yang kukemukakan tadi. Bukan itu yang dimaksudnya. Walaupun, dia menyatakan dengan kalimat bersayap;”memang tak salah”. Namun, belum tentu sesuai dengan arah pertanyaan yang dimaksud. Dalam hati aku menebak, jangan-jangan dia hanya mempermainkan kami saja. Maklum, orang yang berjiwa politisi, pandai beretorika dengan bualan sekali pun. Tapi, melihat wajah serius yang tersirat pada airmukanya, rasanya aku harus menepis jauh-jauh rasa purbasangka itu.

Setelah melihat kami seperti tak bakal menduga isi pembicaraan yang dicetuskannya tadi. Abang sepupuku paling tua ini bangkit dari duduk disekeping papan bulian tua dilaman muka masjid tua itu, seraya menyingsingkan gulungan kain sarungnya. Sebelah tangannya berkecak pinggang, membalikkan badannya memunggungi sungai, menghadap serius ke arah kami berempat.

Tahukah wahai adindaku yang bertampang gagah-tampan. Sesungguhnya harta karun yang kumaksud bukan lah dalam wujud material. Namun, harta karun berwujud simbolik belaka. Lambang dari perwatakan sosok sang Datuk-Buyut kita itu. Bahwa harta karun itu adalah “kebesaran jiwa” dari Pesirah Ja’far bin Shoefie itu sendiri. Warisan pandangan hidup itu, sedikitnya melekat pada anak-anaknya yang hidup sepakat. Menjaga tegak marwah wibawa keluarga dengan akhlak, ilmu dan amal kebajikan. Jika ada permasalahan, dimusyawarahkan dan diputuskan secara kekeluargaan.

Padahal Buyutku dari pihak emakku yang pernah jadi Pesirah di zaman Belanda itu bukan lah lulusan sekolah kaum bangsawan. Namun, kebesaran jiwa itu adalah pancaran didikan bapaknya yang telah memiliki inisiatif mencerahkan. Mengajak orang-orang dizaman itu, yang karam tenggelam mengadu ayam dan mengasah ilmu hitam mengaji kitab perukunan. Kitab bertulis Arab Melayu yang mengajarkan rukun-rukun Iman dan Islam dan tatacara praktek ibadah mendekatkan diri kepada Allah Subhanallah Ta'ala.

“Ingat harta karun itu tak bisa diambil siapa pun, kecuali dia berniat mau mengambil atau mencari sendiri dalam tingkah-laku kehidupannya”. Abang sepupuku menutup orasi politiknya, lalu mengambil timba sabun. Siap-siap berjalan turun ke arah tebing tepian pemandian yang lebih terkenal dengan Tepian Bujang. Sebab, sekurang-kurangnya selusin bujang kerap mandi berenang macam rombongan itik-angsa.

Kami berempat bangkit-bingkas dari Bangku Masjid tua itu. Berjalan beriringan dibelakangnya. Dari rakit jamban datukku itu, aku mendengar suara kikik-tawa sepupu-sepupuku yang lain yang berubah menjadi “hantu air” dengan mata memerah, napas tersengal-sengal, badan mengkilat ditimpa matahari petang. Akibat berjam-jam mandi berenang di sungai yang mengalir tenang itu.

Dari arah luan rakit-jamban. Diatas atap seng, seorang sepupuku melompat terjun ke badan sungai. Suara dentuman badannya yang jatuh ke sungai, memicu adrenalin sepupuku yang lain untuk ikut-ikutan memperagakan gaya terjun serupa. Gelembung-gelembung air menerjang ke atas. Disusul rambut kepalanya yang muncul ke permukaan sungai. Sensasi dahsyat yang tercipta, seperti terjun dari pohon manggis diatas bangku Masjid ketika musim banjir tahunan bertandang ke kampungku.

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 7 November 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home