musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Saturday, November 14, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (19)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (19)

Ahmad David Kholilurrahman


Gurun Bertuah


Dari Tepian Bujang yang memendam ‘harta karun’ kayu bulian peninggalan buyutku yang telah dibagi rata pada anak-anaknya kelak, setelah puluhan tahun tertimbun-limbus lumpur dan tanah tepian pemandian. Aku menemukan jejak-jejak tentang sejarah Gurun Tuo, yang seolah sengaja ditinggalkan oleh leluhurku dahulu, agar ada suatu ketika kelak, ada anak zuriatnya yang mau menceritakan dan menuliskannya.

Aku juga menerima pengajian agama di Masjid dan Madrasah dari Guru kami, Buya Abdullah Manshur di Masjid Az-Zahir itu. Biasanya, selepas pengajian subuh, beliau biasa duduk berbincang dengan tetua kampungku diserambi Masjid tua. Aku suka mendengar penuturan cerita-cerita sejarah yang kerap-kali diselipnya dalam perbincangan menjelang matahari terbit di ufuk timur.

Sosok Alim jenius luar biasa yang pernah kukenal sepanjang pengembaraanku menuntut ilmu, ke banyak guru, ke banyak negeri. Seorang otodidak tulen dan pembaca ulung. Beliau tak pernah menerima pendidikan setingkat diploma atau sarjana dari Universitas mana pun. Bapaknya adalah Guru Haji Manshur Ja’far yang menuntut ilmu pada Masyayeikh di Bilad al-Haramain. Bermukim di Mekkah selama 21 tahun lamanya. Kedua anaknya lahir di tanah suci itu. Salah-satunya adalah anak sulungnya, guru kami Buya Abdullah Manshur. Beliau beserta adiknya dibawa kedua orangtuanya ‘turun’ kembali ke Jambi pada usia 7 tahun.

Disamping mengajar pengajian di Masjid Az-Zahir, beliau juga mudir madrasah khusus kaum perempuan dikampungku, yakni Madrasah al-Fatayat. Dulu madrasah kaum lelaki dan perempuan terpisah. Madrasah at-Tsaqafah al-Islamiyah diperuntukkan bagi kaum lelaki terletak diseberang kampungku, yang didirikan datukku KH. Nawawi Ahmad yang lebih akrab dipanggil Guru Mudir. Yang kemudian nanti dilanjutkan murid-muridnya, guru kami Wak Gus Damiri dan Wak Hasan Utsman.

Dua ratus tahun sebelum orang-orang membuka kampungku, dulu mereka bermukim di kawasan Pondok Tinggi. Yang berjarak beberapa kilometer dibelakang kampungku. Sisa peninggalan kampung asal yang ditinggalkan penduduknya yang membuka kawasan pemukiman baru yang kemudian har dikenal dengan Gurun Tuo, menjelma menjadi hutan kembali. Walau peninggalan kebun-kebun buah-buahan dan tiang-tiang rumah yang terkubur dalam semak belukar berbalut lumut masih dapat disaksikan.

Kampung baru dipinggir sungai Batang Tembesi dinamakan Gurun Tuo. Namanya yang unik dan terasa asing diberikan pada nama-nama kampung di negeri Jambi. Gurun bukan lah padang pasir, atau tanah luas tandus gersang, sebagaimana lazim bayangan kita pada gurun sahara luas di Jazirah Arabiah atau Afrika sana. Gurun adalah nama sejenis rumput berdaun panjang kecil yang banyak tumbuh liar di Sungai Gurun. Anak sungai batang Tembesi yang juga bernama Gurun ini terletak di hilir, berjarak sekitar dua kilometer dari pemukiman baru yang dibuka penduduk yang dulu berdiam di Pondok Tinggi. Sedangkan nama Tuo, merupakan bentuk derivatif dari Bertuah (Batuah). Bertuah memang maknanya mengandung tuah. Lama-kelamaan kata kampungku yang terdiri dari dua kata, nama benda dan kata sifat ini, yaitu Gurun Bertuah (Batuah) ini mengalami perubahan penyusutan kata sifatnya menjadi Gurun Tua.

Bukti, bahwa Gurun Tua yang asal katanya Tua, bukan dalam pengertian kategori dari periodesasi umur atau usia muda-tua itu adalah stempel Pesirah Buyutku Ja’far Shoefie yang termaktub: GURUN TUA. Jadi, dari sini bisa ditarik sejarah bahwa kata Tuo dibelakang kata Gurun nama bagi kampungku memang asalnya dari kata sifat Bertuah (Batuah).

Banyak versi cerita yang beredar. Mengatakan dulu ada penduduk kampung di selatan wilayah Sarolangun hendak menyerang kampungku Gurun Bertuah (Batuah). Namun, mereka gagal menaklukkan kampungku ini. Ada cerita juga yang menyatakan bahwa rumput Gurun memang memiliki tuah sebagai obat-obatan yang dapat menyembuhkan penyakit.

Sebagaimana lazimnya dilidah masyarakat Melayu Jambi menyebut kata-kata yang berakhiran huruf A berubah menjadi O. Maka, nama kampungku Gurun Tua ini pun mengalami perubahan penyebutan menjadi Gurun Tuo. Namun, jelas kata Tuo bukanlah bertalian dengan hal-ihwal penyebutan usia atau umur seseorang atau sesuatu benda apa pun. Jadi, jika ada suatu kampung tetangga yang menisbatkan kata Muda dibelakang nama Gurun itu tak ada kaitan sama sekali dengan kata Tua berasal dari kata Bertuah (Batuah). Paling kaitannya, penduduk kampung tetangga itu sebagian berasal dari kampungku.

Tapak awal pemukiman baru yang dibuka dikampungku adalah dikampung hilir. Menurut riwayat cerita yang kudengarkan langsung dari Datukku Haji Abu Bakar Ja’far, bahwa rumah-rumah tua dikampung hilir adalah kampung awal dari Gurun Tuo. Hulu kampung adalah Masjid Az-Zahir. Yang dulunya adalah wilayah pekuburan penduduk kampung ratusan tahun lampau. Semakin ke hulu adalah merupakan kawasan perkebunan penduduk.

Melalui guru kami Buya Abdullah Manshur, dipangkal tangga rumah bapaknya Guru Haji Manshur Ja’far dulu ada nisan anak kecil yang kelak dipindahkannya. Masa aku kanak-kanak dulu, masih ada nisan kayu bulian yang tertanam disekitar masjid tua itu. Bahkan ketika aku pernah membantu abang-abang sepupuku yang lebih tua membungkus tiang masjid dengan polesan pasir, batu dan semen, aku menyaksikan bekas nisan-nisan tua yang terpacak.

Dan rumah bapak buyutku Shoefie Tengkin itu dulu dikawasan rumah-rumah tua dikampung hilir. Jadi, ketika kuceritakan pada bagian sebelumnya, bagaimana bapaknya buyutku ini mengajak orang-orang dizamannya yang tenggelam keasyikan mengadu ayam dan menuntut ilmu hitam mengenal Allah dan memurnikan akidah tauhid mereka. Kitab perukunan yang digenggamnya, dan surau tua lah yang tujunya untuk mengajarkan pengajaran Islam pada penduduk kampungku.

Salah-seorang anaknya Ahmad Shoefie, yang merupakan buyut dari pihak bapakku dikirimnya langsung menuntut ilmu di Mekkah. Berguru langsung dengan Masyayeikh Bilad al-Haramain. Buyutku Ahmad Shoefie ini dikenal alim cerdas yang menggemparkan se antero negeri Jambi. Hanya mengaji tiga tahun di Mekkah, tersohor dengan pengetahuannya keislamannya yang luas. Salah-satu disiplin ilmu Islam yang dikuasainya adalah ilmu falak (astronomi). Yang kelak diajarkannya pada murid-muridnya, namun hanya lekat pada guru kami Buya Abdullah Manshur. Ilmu Falak adalah ilmu eksakta (ilmu pasti). Jadi, memang orang-orang yang memiliki kecerdasan ekstra yang dapat menguasainya.

Guru ilmu Falak buyutku di Mekkah adalah Syeikh Mukhtar al-Bughuri (Bogor). Mukhtar muda adalah anak seorang pejabat pribumi dizaman Belanda. Semula Tuan Mukhtar muda tamatan sekolah menengah pendidikan Belanda ini dikirim belajar di negeri Belanda. Bersama kawan-kawannya dia menumpang kapal yang berlayar ke Negeri Kincir Angin. Rute pelayaran yang ditempuh dari Batavia ketika itu, biasanya transit di Singapura, Sabang, sebelum masuk samudera Hindia, berlabuh di Ceylon (Srilanka) menaik-turun penumpang dan mengisi perbekalan makanan dan air tawar, melewati India, masuk laut Arab singgah berlabuh di Jeddah beberapa hari. Sebelum nanti meniti Terusan Suez (Suez Canal) menebuk ke laut Mediterrania hingga masuk negeri-negeri Eropa.

Nah, sesampai di Jeddah, Tuan Mukhtar muda ini tiba-tiba berubah tujuan. Hatinya tergerak hendak mendalami ilmu Islam saja di Bilad al-Haramain. Pada kawan-kawannya seperjalanan, dia menitipkan pesan:

“Sekiranya nanti, setiba kalian di negeri Belanda, beritahu saja pada orangtuaku bahwa aku juga telah sampai disana. Nanti, kukirim surat-surat dari Mekkah ke Belanda. Kalian ganti saja amplopnya berstempel cap Pos Holland. Tolong kalian kirimkan ke tanah-air”. Begitu ucap Tuan Mukhtar muda pada kawan-kawannya ketika melepas mereka melanjutkan pelayaran ke Negeri Kincir Angin.

“Aku mau belajar di Mekkah dengan Masyayeikh Bilad al-Haramain saja!” Katanya mantap penuh keyakinan. Cahaya terang hidayah thalab-ul ilmi telah menuntun Tuan Mukhtar muda, putra seorang pejabat pribumi di Bogor telah mengubah 'haluan' dari Leiden ke Mekkah.

Dari Syeikh Mukhtar al-Bughuri yang terkenal Alim dan pakar ilmu falak inilah Buyutku Haji Ahmad Shoefie belajar ilmu falak. Kelak ketika Datuk Muk Haji Manshur belajar di Mekkah, beliau bertemu langsung dengan guru dari pamannya ini. Begitu riwayat cerita yang kudengarkan langsung dari guru kami Abdullah Manshur, selepas maghrib di Masjid tua itu, ketika aku pulang kampung setahun lampau.

Kembali ke kampungku yang sejak dulu terkenal memiliki tradisi pengajaran ilmu-ilmu keislaman. Ditandai dengan banyaknya keluarga besarku yang belajar menyambung pengajian ke Mekkah dengan Masyayeikh Bilad al-Haramain, seperti Syeikh Khatib al-Minangkabawi, Syeikh Yasin al-Padani, Syeikh Daud al-Fathani, Syeikh Abdus Shamad Al-Palimbani, Syeikh Mukhtar al-Bughuri yang kebanyakan berasal dari negeri-negeri Melayu (Jawi).

Sekembali buyutku ke kampungku di Gurun Tuo, Jambi. Dikampungku dia membuka pengajian di Masjid tua yang dibuka pemakaiannya dimulai pada tahun 1925. Beliau aktif menyebarkan dakwah Islam ke wilayah pedalaman di hulu sungai Batang Tembesi. Lubuk Kepayang, Air Hitam, Jernih dan sekitarnya merupakan wilayah binaan dakwahnya. Bahkan, tak sedikit penduduk sana yang semula memeluk agama animisme (pagan) masuk Islam dibawah bimbingan tangannya.

Cerita yang aku dengar tentang sosok Buyutku, Guru Haji Ahmad Shoefie ini, adalah sikapnya yang ramah dan hangat. Semasa kecil dulu, aku mendapati potret berwarna kuning memudar, aku menemukan sosok buyutku yang mengenakan kopiah haji, berbaju teluk belanga putih, berkalung sorban putih. Sorot matanya memancar teduh dan bersahaja. Diantara cucu-cucunya; Bapakku dan paman Kasyfun Nadzir yang paling disayanginya.

“Kalau buyutmu itu pergi silaturahim ke rumah saudarinya, emak dari Datuk Haji Hamdan di seberang. Beliau suka membawakan roti biskuit Marie. Untuk bibi-bibimu (bibi Dayah dan bibi Hikmah), dia berikan bungkusan yang telah dia buka, sisa yang dimakannya. Sedangkan untuk Paman, khusus bungkusan roti biskuit Marie yang masih terkemas rapi.

Paman sering berpikir;"Kenapo Buyutmu seringkali sinding* pada paman dan bibi-bibimu?”. Begitu cerita Paman Kasyfun Nadzir padaku suatu ketika.

Diantara anak-kemenakan buyutku yang mengikuti jejaknya belajar ke Mekkah pada Masyayeikh Bilad al-Haramain adalah Datukku KH. Nawawi Ahmad dan ponakannya Haji Manshur Ja’far sampai berpuluh tahun. Datukku bermukim di Mekkah sampai 17 tahun lamanya. Pada usia enam belas tahun, ketika dia menunaikan haji tahun pertamanya umurnya belum akil baligh. Baru pada tahun depannya, dia menyempurnakan rukun Islam yang kelima itu. Sedangkan Datuk Muk Haji Manshur Ja’far bermukim di Mekkah selama 21 tahun. Kedua anak lelakinya lahir di Mekkah. Yakni guru-guru kami tadi, Buya Abdullah Manshur dan Wakte Ahmad Kautsari Manshur. Wakte Ahmad ini, kelak pindah ke Kuala Lumpur, Malaysia menjadi da’i dan guru agama disana. Ketika umurku empat tahun, dia pergi ke Malaysia memboyong keluarganya.

Kisah tentang Keramat Guru Ahmad terdengar ditelingaku sejak kecil. Karamah adalah anugerah Allah yang diberikan pada hamba-hamba yang saleh. Jadi, karamah atau keramat dimulut orang Melayu, bukan lah sesuatu yang dapat diusahakan seperti kasab, mata pencaharian yang memang mesti diusahakan, kalau mau mendatangkan penghasilan.

Cerita ini berkisar tentang suatu peristiwa yang hampir menimpa buyutku akibat muslihat jahat seorang lelaki yang tak suka pada dakwah Islamiyah yang disiarkan ke serata pelosok pedalaman Jambi. Ketika buyutku Ahmad Shoefie tengah berdakwah dikampung dilain yang mesti ditempuhnya dengan berkayuh biduk selama seharian. Biasanya, dia berada disana untuk masa beberapa hari, tak jarang berpindah dari satu kampung ke kampung lain. Sesuai dengan undangan pengajian yang diminta oleh penduduk sana. Suatu hari, orang ini bermaksud hendak menyerahkan hadiah berupa sebotol madu asli hutan yang diambil dari sarang lebah dipuncak kayu-kayu sialang tinggi.

“Guru, ini ada hadiah sebotol madu hutan asli dariku. Silakan guru cicipi langsung madu asli ini setetes dua tetes.” Kata lelaki itu pada Buyutku. Sambil menyerahkan sebotol madu hutan asli kental.

Di zaman itu, sebagai bentuk penghormatan pada ilmu dan guru, biasa penduduk kampung memberi guru dengan ransum makanan dan pakaian. Bagi yang berkebun-ladang, memberi beras, ketan, ubi kayu dan sayur-sayuran. Bagi yang berburu ke hutan, biasa bersedekah daging Kijang dan Rusa kepada Buyutku. Bagi yang menangkap ikan, seringkali mereka memberi ikan-ikan jenis bangsawan beratnya lebih satu kilogram.

Buyutku tak menaruh kecurigaan apa pun. Sebagaimana jiwa orang Alim saleh yang selalu mengedepankan Husnudzan pada apa pun dan siapa pun. Termasuk kepada lelaki yang berbaik hati yang memberinya hadiah berupa sebotol madu hutan asli itu. Botol madu itu pun diterimanya, dan hendak diterai cicip madu itu barang setetes dua tetes sebagaiman pinta lelaki tadi. Buyutku pun menghargai kebaikan orang langsung dengan perbuatan menyenangkan hati lelaki tadi yang memintanya mencicipi madu tersebut.

Ketika tutup botol madu itu dibuka. Seketika botol madu dari beling kaca itu pecah bagian bawah botol itu. Dari dalam botol itu nampak bulu anjing yang dicampurkan dalam madu yang barusan dihadiahkan tadi. Seketika buyutku memandang kepada lelaki tadi, seraya memperlihatkan bulu-bulu anjing yang mengendap didasar botol. Muka lelaki itu pucat pias ketakutan. Tiba-tiba, dia bertekuk lutut, mencium tangan dan kaki buyutku. Seraya memohon maaf atas muslihat jahatnya.

Buyutku tak menaruh dendam sedikit pun. Lelaki itu dimaafkannya, bahkan menjadi jema’ah pengajian yang disurah dan disyarahkan diserata kampung-kampung pedalaman Melayu Jambi itu. Dia hanya berpesan, jangan sesekali berniat mencelakakan orang lain dengan muslihat jahat dan tipuan licik. Boleh saja orang itu tak tahu, tapi Allah Maha Mengetahui. Perlindungan Allah telah menolong buyutku dari terminum madu yang bercampur bulu-bulu anjing tadi.

Sejak peristiwa tersebut. Orang menyangka buyutku keramat. Padahal Keramat atau Karamah, semata-mata hanya bentuk perlindungan Allah bagi hamba-hamba yang saleh. Bukan sesuatu hal yang dapat diusahakan, atau dicari atau dikehendaki dengan mengamalkan bacaan tertentu, atau hasil menuntut ilmu tertentu. Sebagaimana keyakinan yang melekat kuat di masyarakat kita.

Sosok alim saleh memiliki keluasan ilmu dan kebijaksaan hidup ini juga yang menjadikan masyarakat menaruh hormat dan segan pada buyutku. Ketika pernah terjadi peristiwa pertumpahan darah yang merenggut nyawa dikampungku berpuluh-puluh tahun lampau. Buyutku inilah yang menenangkan dan menyambut bapak dari korban pertumpahan darah. Padahal penduduk kampungku sudah dibungkus kekhawatiran bahwa lelaki itu bakal mengamuk. Namun, sepulang dari talang-umo, dijemput orang-orang yang mengajak lelaki itu pulang ke kampung dengan berperahu.

Sesampai ditebing tepian rakit-jamban lelaki, bapak dari korban tersebut. Buyutku inilah yang pertama kali menyambutnya. Lelaki yang disangka bakal mengamuk ini, malah menjadi begitu tenang dan damai dalam sambutan buyutku sosok alim saleh ini. Buyutku lah yang membimbingnya pulang ke rumah. Hal-hal yang sempat ditakutkan terjadi, semisalnya, dikhawatirkan mengamuk menuntut balas tak terjadi. Begitu cara orang-orang Alim saleh menghadapi sebuah peristiwa yang mengerikan.

Dari potret tua berwarna sepia, aku menangkap sosok seraut wajah teduh berwibawa, mengenakan kopiah putih, berbaju teluk belanga putih dan berkalung sorban syal putih yang kutemukan dalam lemari kayu jati tua dirumah datuk sebelah bapakku tadi. Buyutku ini juga dikenal sosok penting dalam penyiaran dakwah Islam di tanah Jambi. Terutama diwilayah pedalaman Jambi yang ditempuh dengan berkayuh biduk perahu. Entah berapa banyak orang yang mengucapkan kalimah syahadatain dihadapannya.

Dimataku, sosok buyutku ini, tak ubahnya, salah-satu tiang bulian dari empat tiang utama setinggi 40 meter yang menyangga kuat-kukuh tegaknya masjid tua dikampungku Gurun Tuo.

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 14 November 2009

*Sinding; Berlaku tak sama dengan kedua belah pihak.

1 Comments:

At April 23, 2015 at 5:22 AM , Blogger Kang Aldie said...

Masya Allah.. Lahumul faatihah!

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home