musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Wednesday, November 4, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (16)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (16)

Ahmad David Kholilurrahman


Drama Sandiwara dari Negeri Padang Pasir


Aroma padang pasir bertiup semerbak dikampungku. Lagu-lagu kasidah Ummi Koltsoum, mengiringi latihan sandiwara yang akan dibentangkan pada ahad malam duduk bersanding ayuk sepupuku dengan suaminya. Sandiwara ini adalah membentangkan sepenggal kisah dari Khalifah Umar Bin Khattab. Ide ini tercetus dari keinginan menghadirkan hiburan seni tersendiri, dan dibulatkan dalam musyawarah diantara calon pelakon-pelakonnya yaitu; Bang Khaliq Hasunah, Paman Zamilul Faiq, Kak Cak Mujib, Pak Su Zyaad.

Mereka mengadakan latihan tertutup di gedung Sekolah Dasar terbuat dari kayu, bergaya rumah panggung setengah tiang. Tepat, disebelah darat rumahku. Mereka sangat berhati-hati menjaga rahasia, agar isi pementasan sandiwara nanti tidak bocor dimulut penduduk kampungku yang memiliki tiga bakat sekaligus; komentator, reporter dan pengamat. Hal yang ditengoknya sekilas tampak biasa-biasa saja, namun boleh jadi luar biasa dimulut penduduk kampungku. Dan, jika isi sandiwara ini tersiar luas, sebelum ditampilkan, alangkah basinya kisah yang nanti hendak dibentangkan pada malam puncak perhelatan duduk bersanding kedua mempelai pengantin dipentas tarup dilaman muka rumah panggung itu pada Ahad malam.

Jadi, sebagai langkah prevantif. Para calon pelakon drama sandiwara itu memilih bungkam diam seribu bahasa. Setiap kali ditanya, apakah yang mereka rapatkan setiap malam? Mereka hanya menggeleng-geleng kepala. Mereka memilih tutup mulut. Jangankan terdengar ditelinga emak-bapak dan saudara-saudari mereka, dari telinga semut pun mereka sembunyikan rapat-rapat.

Hanya saja secara sempat terdengar kabar, bahwa mereka hendak menampilkan sesuatu yang sudah lama lesap menghilang dari panggung pertunjukkan dikampungku. Setidak-tidaknya, setelah drama sandiwara yang pernah disutradarai oleh Almarhum Abdul Latif dulu. Diantara drama sandiwara yang paling tersohor, disutradarai guru sekaligus seniman dikampungku itu, berjudul “Lima Menit Saja”. Judul drama sandiwara itu tertulis dipapan tulis kapur.

Malam ini bukan judul drama sandiwara itu yang hendak ditampilkan. Tapi, drama sandiwara lain yang menyedut sepenggal kisah dari Khalifah Umar bin Khattab. Dan aroma padang pasir bertiup semerbak dikampungku. Ucapan dan kosakata Arab, Ahlan wa Sahlan, Ana dan Anta, Qahwa, Syai, serta bermacam atribut pakaian gamis putih, kopiah putih, syal putih serta panorama setting kehidupan Madinah empat belas abad lampau hidup dimalam itu. Lagu-lagu kasidah Ummi Koltsoum, penyanyi kondang dari Mesir, bergelar al-Kawkab as-Syarq (Bintang Kejora) itu diputar sejak maghrib menjauh luruh.

Pada malam itu, aku juga akan naik panggung mewakili kawan sekelasku menyerahkan sebingkis kado berisi setengah lusin gelas beling. Aku ingat, betapa sibuknya, aku mematut-matut diri depan cermin, mengatur lagak dan cara menyerahkan bingkisan kado kelasku itu kepada ibu guru kami yang jadi mempelai pengantin malam itu. Kakak kelasku yang lain, juga menyerahkan bingkisan kado kepada ayuk sepupuku yang duduk bersanding malam itu.

Sejak petang tarup pentas yang menghadap ke arah hilir itu, sudah ditata-rias oleh kaum muda-mudi kampungku. Sepasang kursi tempat duduk “Raja dan Ratu Sehari-Semalam” diatas sekotak papan lebih tinggi selangkah dari lantai pentas tarup, dekorasi dinding dipasang selembar kain putih berajut hiasan dedaunan dan bunga-bunga plastik. Juga pernak-pernik dekorasi khas pengantin bersanding. Juntaian aksesoris terbuat dari kertas jagung merajut meriah dari sudut satu ke sudut yang lainnya. Ditengah-tengah pentas tarup, tergantung hiasan seperti sarang lebah terjuntai terbuat dari kertas jagung berwarna putih berseling merah jambu.

Anak-anak kecil sibuk berlarian dan duduk berkelompok memenuhi laman dimuka rumah panggung ayuk sepupuku itu. Mereka sibuk mengunyah permen gula-gula aneka rasa, gipang manis berwarna putih-coklat atau permen cicak. Anak-anak kecil adalah bagian dari kemeriahan suatu perhelatan sedekah kenduri pengantinan. Dan, alam masa kanak-kanak, apa yang mereka saksikan akan menjadi sebentuk ingatan yang kelak melekat kuat dibenak mereka. Jika ditampilkan hiburan yang mendidik, tentu membantu perkembangan kognitif kejiwaan anak-anak. Dan setidaknya, dalam drama sandiwara yang belum pernah disaksikan anak-anak seumur hidup mereka, yang sudah bertahun-tahun lesap menghilang dikampungku, pada malam itu diharapkan terbentangnya pertunjukan yang menghibur dan mendidik.

Serangkaian pertunjukan malam itu dipandu langsung oleh Master Ceremony kondang dikampungku. Sosok pencerita ulung dan bintang panggung tersohor, tak lain tak bukan adalah Wak Nga kami. Malam itu, dia tampil necis sekali. Mengenakan celana hitam, baju kemeja coklat berkerah lebar, sepatu cap “Buaya Mengangap” mengkilat tertimpa cahaya lampu dan blitz kamera yang membidik Mempelai Pengantin duduk bersanding dipanggung pentas. Songar rambut ikal jagungnya tersisir rapi. Aroma minyak rambut tercium harum ke hidung kami.

Dan pembawa acara kondang ini, adalah pemilik improvisasi gerak dan gaya dipanggung paling ulung. Gaya dan geraknya mampu meniru lagak pembawa acara terkenal di Televisi Nasional. Aksentuasi bicara dan mimik mukanya diatas panggung kerap mengundang tawa seisi kampung. Kadang sampai sakit perut dibuat gaya penampilan dan lakon spontannya. Tanpa kehadiran Wak Nga yang memandu suatu acara dimalam pengantin duduk bersanding, dijamin kemeriahan dan kesemarakan terasa bak sayur kurang garam. Dan panggung itu, adalah habitatnya yang paling akrab, selain pelayaran cerita-cerita yang singgah dan bertolak dari pelabuhan mulutnya.

Tentu, dua belas “Bujang Bangku Masjid” duduk dibangku paling muka. Jika Wak Nga sudah memegang mikrofon ditangan, sedetik pun mata mereka tak berkedip. Persis, serupa mulut mereka yang tergantung, ketika Wak Nga membentangkan cerita-ceritanya.Untaian kata-kata Wak Nga tersusun rapi dan runtut. Ibarat sajak-sajak Pujangga Baru, terkadang berbancuh istilah modern yang banyak si-si diakhir kalimat yang diucapkannya tampak hebat memukau khalayak penonton. Intonasi suaranya yang kadang lantang, mengalun-ngalun merendah, memberat, bergetar dan memelas. Khalayak segera hapal, bahwa itulah daya tarik utama dari sosok Wak Nga

Biasanya, ketika orang sibuk mempersiapkan perangkat sound-sistem sejak maghrib. Dua tiga orang yang bertanggung-jawab pada perlengkapan, sibuk menyiapkan dan mengatur volume suara yang terdengar pas ditelinga. Sepasang corong mikrofon terpasang diatas dahan pohon nangka yang menghadap ke hulu dan dipapan cipiyau atap rumah menghadap ke arah hilir. Sehingga para penonton dari kedua penjuru dapat mendengar jelas suara yang keluar dari kedua corong mikrofon.Tarup pentas sebagai panggung pengantin duduk bersanding sudah disterilkan dari anak-anak kecil yang suka menjajal lantai papan sebagai arena berlari.

Cahaya terang lampu petromak nampak terang ditangga depan. Tak lama berselang, terlihat mempelai pengantin perempuan menuruni anak tangga dengan pelan-pelan, ditintin oleh penata rias pengantin yang dicarter dari salon Kampung Manggis, Kota Jambi. Diiringi tiga sepupuku yang perempuan lainnya. Seorang pembawa kipas dan seorang lagi memegang gulungan ekor gaun pengantin putih yang dikenakan ayuk sepupuku itu. Sedangkan suaminya yang tinggi-besar mengenakan setelan jas hitam bersarung tangan putih didampingi abang-abang sepupuku yang jauh lebih besar. Iringan sepasang mempelai ini menyeruak penonton, lalu menaiki tangga tarup pentas dan duduk dikursi pelaminan bertabur hiasan didominasi warna putih. Dan acara malam itu segera dimulai.

“Assalamu’alaikum”, ucapan salam pembuka oleh MC kondang itu menandai acara segera berjalan. Suara ramai khalayak penonton yang menyemut depan panggung pentas itu menjawab salam serempak.

Dari saku kantong baju kemeja coklat berkerah lebar itu, Wak Nga merogoh secarik kertas kecil, yang memuat senarai susunan dan urutan tertib mata acara. Pena perak bermerek “Hero” terselip disaku bajunya. Jangan main-main, pena itu adalah bagian dari properti penampilan panggungnya. Lagi pula, pena itu adalah pemberian dari sepupunya yang mudik hari raya tahun lalu.

“Saudara-saudari, para penyimak dan pemirsa budiman. Izinkan lah saya mengucapkan kesyukuran ke hadirat Allah Subhanallahu Ta’ala atas rahmat-Nya yang tak terhingga. Salam kita sampaikan kepada junjungan alam, Nabi Muhammad SAW”, ujar Wak Nga lantang.

Tentu dalam setiap acara yang dibawakannya, mana boleh tertinggal lupa ucapan kesyukuran diawal kata-kata. Padaku, Wak Nga pernah mengungkapkan kelirihan hatinya, melihat seorang pembawa acara yang lebih muda, seringkali bahkan sengaja melupakan ucapan salam dan untaian puja-puji kesyukuran. Bahkan ucapan Salam diganti dengan “Selamat Malam”.

“Baik lah Tuan dan Puan sekalian, perkenankan hamba akan membacakan senarai susunan dan urutan tertib mata acara malam ini”. Kata Wak Nga sambil mengulum senyum hangatnya, dan anggukan khasnya, sembari menjatuh kepala ke samping kiri dan kanan. Gaya bicaranya, mirip para penyiar radio dari negeri semenanjung seberang.

Khalayak hadirin melemparkan senyum-senyum kecil. Selusin bujang-bujang Bangku Masjid tegak bertepuk tangan. Hadirin turut bergemuruh. Gairah acara mulai nampak bangkit. Dan Wak Nga membalas senyum mereka, dengan ucapan terima kasih, terima kasih, terima kasih.

Bakat pemandu atau pembawa acara itu tak dimiliki sembarang orang. Ada yang gila ingin sering tampil memegang mikrofon. Namun, setiap kali dia memegang mikrofon, susunan kata-katanya tak menentu. Dan orang merasa lekas bosan dan jengah melihatnya. Ada yang suka menampilkan diri, mengambil kesempatan ingin jadi pusat perhatian, namun selalu gagal menjadi pembawa acara atau orator ulung.

Sebaliknya, ditangan Wak Nga, mikrofon itu menjadi begitu jinak. Susunan kata-katanya runtut, teratur dan menarik, sekali pun tak pernah menempuh pendidikannya tinggi, tapi mengalahkan sarjana yang terkadang gemetaran dan tak tahu cara menghentikan pidato sambutannya.

Setelah rangkaian kata-kata sambutan yang disampaikan pihak yang mewakili Tuan Rumah yang menghantarkan terima kasih sebesar-besarnya pada semua pihak yang terlibat membantu terselengaranya perhelatan sedekah kenduri pengantinan sejak dari awal hingga akhir. Semoga mendapat ridha Allah SWT. Begitu juga ucapan tahniah selamat menempuh hidup baru, memetik kebahagiaan suami-istri abadi menuju terbentuknya keluarga Sakinah Mawaddah wa Rahmah. Begitu juga kata sambutan dari Kepala Desa yang mengajak para khalayak penonton untuk tertib dan menjaga keamanan dan kenyamanan kelangsungan acara malam ini. Diakhir sambutannya, tak lupa ucapan selamat kepada sepasang mempelai pengantin beserta keluarga besarnya.

“Selanjutnya, kita akan menyaksikan penampilan tari Serampang Dua Belas yang akan dipersembahkan oleh murid-murid kelas 6 SD 53/VI. Sebagai bentuk kado untuk ibu guru mereka yang jadi mempelai pengantin perempuan malam ini. Mari lah kita simak bersama-sama sebuah kreasi tari yang diangkat dari warisan budaya Melayu. Seperti kata Hang Tuah:”Tak kan Melayu Hilang di Bumi”, tutup Wak Nga mengutip sebaris pesan Wira Pendekar dunia Melayu tersebut.

Tepuk-tangan menggelegar digelanggang panggung pementasan tari itu. Dua orang ayuk sepupuku termasuk dalam rombongan penari yang lemah-gemulai itu. Mereka begitu semangat menampilkan tarian Serampang Dua Belas itu. Apalagi, mereka telah berlatih selama dua pekan lebih. Kostum penari serasi dengan kain selendang yang terikat dibadan mereka, menambah kemeriahan tarian Melayu yang dipersembahkan untuk ibu guru mereka yang jadi pengantin bahagia malam itu.

Tanpa aku sadari, keempat abangku yang tadi duduk bersamaku dan sepupuku yang lain, tak lagi disamping kami. Lalu, dari arah panggung sebelah utara, aku nampak mereka bertiga duduk mengerubungi tiga gadis dari Jambi yang duduk bersama rombongan ayuk-ayuk sepupuku.

“Amboi, ke situ rupanya gerangan empat Tuan budiman, ya? Bisikku dalam hati.

Kami memandang mereka dengan ekor mata setajam elang kelik. Keempat hantu itu, mengulum senyum simpul penuh makna. Ketiga gadis-gadis dari Jambi yang molek itu tersipu-sipu malu. Alamak, benang-benang asmara tersulam diantara mereka. Orang yang jatuh cinta, terlihat macam Majnun mencari Layla. Serasa dunia hanya milik mereka saja.

Tak lama setelah penari Serampang Dua Belas menyelesaikan penampilan mereka yang mengundang aplaus tepuk-tangan. Terutama dari kaum bujangan dari bawah tiang dan depan toko tua yang sudah lama tutup itu. Ada satu-dua yang bersuit-suit, tapi apalah artinya, suitan itu tertelan tepuk-tangan khalayak hadirin. Kulihat rombongan ibu-ibu guru kami yang lain tersenyum bangga dengan penampilan anak-anak didiknya.

Kemudian ada penampilan tarian modern diiringi lagu “Penari Ular” yang dinyanyikan Ita Purnamasari. Ketiga sepupuku yang perempuan tampil membawakan tarian yang dikreasi dengan iringan lagu yang naik-daun ketika itu. Panggung pentas serasa terhentak, ketika mereka menampilkan gerak tari yang berpadu serasi seiring irama. Kembali tepuk tangan membahana. Dari jendela-jendela rumah panggung sekitar panggung, tampak kepala kaum perempuan berselendang menjenguk keluar.

Kemudian MC kondang dikampungku itu menyebutkan bahwa acara selanjutnya adalah khusus penyerahan bingkisan Kado. Setiap yang ingin menyampaikan Kado harus menyetor nama-namanya, sebelum nanti dipanggil naik pentas tarup. Dan ini juga demi kelancaran dan ketertiban acara. Aku termasuk diantara pengantar kado yang naik ke atas pentas, sembari membawa sebingkis kota kado yang sudah kupegang selama setengah jam. Rasanya, tanganku terasa gemetaran, apalagi naik panggung nanti adalah pengalaman pertamaku. Dan untuk momen itulah aku melagak berjam-jam didepan kaca cermin. Penyerahan kado ini memakan waktu empat puluh lima menit. Tumpukan kado memenuhi panggung sebelah kanan, diatur oleh pihak panitia. Biasanya, penyerahan kado diiringi kesempatan bagi siapa yang ingin mengucapkan selamat, terkadang dengan selipan amplop.

“Selanjutnya, kata Wak Nga, sengaja jeda sejenak, seakan mengusik keinginan-tahu khalayak penyimak. Kita akan menyaksikan acara yang paling dinanti-nantikan. Pertunjukan yang sudah lama lesap menghilang dari panggung acara pengantinan dikampung kita. Bukan acara joget iringan biduanita yang menggoda iman. Bukan, bukan, bukan itu yang hendak kami tampilkan. Namun, adalah pertunjukan sebuah drama sandiwara yang menggetarkan, yang membentang sebuah kisah nyata dari negeri padang pasir, kisah teladan dari Khalifah Umar bin Khattab yang dikenal sebagai sosok berani, tegad, bijaksana namun mudah tersentuh hatinya dengan kebenaran. Untuk itu, langsung dibawakan Adinda Anis sebagai penghantar drama-sandiwara”. Kalimat-kalimat Wak Nga mengusik penasaran khalayak hadirin.

Bicik Anis naik ke atas panggung. Dia mengenakan selendang putih, berbaju kurung. Dia langsung memegang kemudi pembentangan Drama Sandiwara sebagai penghantar cerita drama sandiwara yang terdiri dari tiga babak itu. Adapun para pelakonnya adalah sebagai berikut. Sebagai Khalifah Umar bin Khattab adalah Khaliq Hasunah. Sahabat Utsman bin Affan adalah M. Zyaad Shoefie, sebagai sahabat Ali Bin Abi Thalib adalah M. Syahir Hasan. Sebagai Sahabat lain, kali ini tak disebutkan namanya, adalah Abdul Mujib Hanafi. Sebagai Algojo adalah Zamilul Faiq dan sebagai perempuan adalah Hanafi. Mereka semua diminta menampilkan diri ke depan panggung. Penampilan algojo berbadan pendek kekar, berambut uban dan tampang kukuh-tegas tanpa senyum itu membuat panggung itu bergetar oleh timpalan gelak-tawa penonton.

“Cerita drama sandiwara itu berkisar tentang Khalifah Umar bin Khattab di Madinah. Babak pertama akan menampilkan suasana sang Khalifah beserta sahabat-sahabatnya tengah berbicara duduk melingkar bermusyawarah tentang masalah keumatan”. Kata Bicik Anis, sambil berjalan turun panggung.

Lagu Thala'al Badru 'Alaina, juga lagu-lagu Ummi Kaltsoum, seperti Inta Omry dan Al-Athlaal berdurasi panjang menngiringi sedari awal terdengar semakin kencang, lalu sayup-sayup melamat. Setting pangung bertukar layar sehelai tirai kain berwarna putih. Dibelakangnya terlukis pemandangan pohon kurma, padang pasir, onta dan burung-burung terbang dilangit biru diselembar kain berwarna hitam. Kiri-kanan panggung juga bertutup kain panjang. Penonton serasa diajak mengendarai mesin waktu ke Negeri padang pasir jauh diseberang.

Sang Khalifah Umar diperankan Bang Hasunah, sahabat Utsman bin Affan yang diperankan Pak Su Zyaad, Sahabat Ali bin Abi Thalib yang lain dimainkan Kak Cik Syahir dan satu sahabat lainnya dibawakan Kak Cak Mujib. Mereka duduk melingkar mengenakan gamis putih dan syal menutupi kepala. Khusyuk tekun seperti suasana sehabis subuh di masjid menjelang matahari terbit.

“Ya Khalifah, kata sahabat Usman bin ‘Affan mengajukan tanya, kemarin petang ada kaum muslimin yang mau bertanya tentang hukum duduk suatu persoalan yang menimpa umat. Sebaiknya, bagaimana hemat pendapat ya Amirul Mukminin. Kata Pak Su Zyaad, sambil memfasihkan huruf P jadi huruf Fa’ dengan suara agak sengau.

“Baik lah, wahai sahabatku Utsman menantu Rasulullah, waktuku terbuka dua puluh empat jam untuk melayani umat. Aku suka pergi sendiri ditengah malam, sambil mendengar keluhan rakyatku dengan mata-telingaku langsung. Pada malam sebelumnya, aku mendengar seorang Ibu yang meminta anak gadisnya mencampurkan susu perahan kambing mereka dengan air. Lalu, anak itu menjawab perkataan ibunya.

“Wahai Ummi, orang memang tidak bakal tahu, apa yang kita lakukan dengan perahan susu kambing dibejana yang bakal kita jual besok pagi. Namun, Allah Subhanallah Ta’ala Maha Melihat”. Ujar anak gadis sang Ibu.

Jawaban sang anak Gadis itu membuat sang Khalifah mengucurkan airmata menyimak langsung kejujuran yang tumbuh ditengah keluarga miskin. Dan kelak, anak perempuan Ibu miskin tadi, dia nikahkan dengan anak lelakinya.

Begitu juga ketika ditengah malam gelap gulita. Di pinggiran kota Madinah. Khalifah yang berjalan seorang diri itu, tanpa pengawal seorang pun. Melihat seorang Ibu tengah mengasuh tidur anak-anaknya, kelihatan sedang menanak sesuatu dalam periuk belanganya.

“Ummi, perutku lapar sekali. Mataku tak mau tertidur sepicing pun, kapan bubur gandum yang Ummi tanak itu masak?” Tanya sang anak dengan memelas, seraya memegang perut yang diserang lapar melilit.

“Tidurlah, wahai anakku, sebentar lagi, gandum yang Ummi tanak akan masak. Nanti, Ummi bangunkan kalian semua ya!” Jawab ibu lembut menghibur anak-anaknya.

Khalifah Umar bin Khattab tahu, periuk belanga yang merebus sesuatu sekedar usaha seorang Ibu yang menghibur anak-anaknya melawan lapar. Dari pertanyaan sang Khalifah pada Ibu itu, beliau tahu, bahwa Ibu itu merebus batu dalam periuk belanganya untuk menghibur kelaparan anak-anaknya tercinta. Sang Khalifah yang dikenal jagoan pemberani itu mengucurkan airmatanya. Dia sendirian kembali ke gudang “Baitul Maal”, memanggul sekarung gandum ke pinggiran kota Madinah dimalam gelap-gulita, lalu memberikan kepada sang Ibu tadi.

“Ya Ali bin Abi Thalib, wahai anak paman Rasulullah. Adakah nasehatmu yang bijaksana itu padaku?” Tanya sang Khalifah yang diperankan Bang Hasunah. Seraya memegang jenggot cambangnya yang lebat, dan merapikan syal dikepalanya. Satu gerakan dalam lakon ini setidaknya membawa mata-telinga penonton terlempar jauh ke potret generasi terbaik ummat.

Cerita-cerita dibawakan dalam gerak, lakon dan penuturan keempat pelakon drama sandiwara itu berhasil menghantarkan mata dan telinga penonton pada kisah teladan yang dicatat tinta emas sejarah sejak empat belas abad lampau. Secara tak langsung menyindir telak, saudagar tauke getah karet dikampungku yang kebanyakan mengidap penyakit kikir bin pelit. Kulihat tak sedikit para saudagar ikut menonton duduk terdiam. Mereka serasa dibasuh oleh babak pertama drama sandiwara itu.

Sahabat-sahabat khalifah tadi satu persatu pergi, setelah khalifah menutup majelis musyawarahnya. Musik pengiring pelan-pelan sayup berhenti. Panggung seketika ditutup kain putih. Tepuk-tangan pecah membahana dari depan dan samping panggung. Dari jendela rumah panggung dan bawah rumah samping tiang-tiang bulian tepuk tangan beriringan.

Lalu Bicik Anis muncul lagi depan panggung yang ditutup tabir tirai putih. “Babak kedua adalah sepenggal kisah Khalifah Umar bin Khattab bermain bersama anak-anaknya”. Hantar Bicik Anis lembut mengiringi selubung tirai tabir panggung yang ditarik pelan-pelan. Musik-musik aroma padang pasir mengalun lembut, terdengar Yaaaalinnnnnn, yaaalinnnnnn, yaaaalinnnnnnnnnn. Itu suara dari pendengar Ummi Koltsoum yang tertinggal dalam corong speaker pengeras suara.

Diatas sehelai tikar terjalin dari rajutan daun kurma. Nampak sang Khalifah tengah duduk bermain dan bersendau-gurau dengan anak-anaknya. Kak Cak Mujib berubah menjadi anak kecil, baring bermanja-manja dipangkuan bapaknya yang khalifah. Sang Khalifah duduk sembari menatap anak-anaknya yang lain. Kali ini tidak banyak dialog yang tercetus, sesekali terdengar suara anaknya yang mengadu dan bercakap dengan ayahanda yang dikenal “Singa Pemberani”, menjelma sosok lembut hati, pengasih dengan kalangan anak-anak.

Pada adegan ini, penonton tersenyum hangat. Melihat Kak Cak Mujib yang tadi ikut memerankan sahabat-sahabat Khalifah, lalu berubah wujud menjadi anak sang Khalifah. Dia nampak bermanja-manja dipaha bang Hasunah yang riang-gembira bermain bersama anak-anaknya. Kasih-sayang terlukis dari kehangatan canda-gurau mereka yang terbentang diatas panggung itu.

Kutengok Wak Nga yang duduk dekat kami depan panggung itu, tersenyum hangat. Sambil menoleh padaku dan sepupuku yang lain, dia berkomentar:”Kalau seorang Ayahanda memiliki jiwa lembut dan pengasih pada anak-anaknya, tentu anak-anak akan tumbuh menjadi sosok bersahabat”.

“Sruuuuppppp”, suara seteguk cangkir kopi paling sedap dari Negeri Jambi mengaliri kerongkongannya. Lalu, jemarinya memilin-milin sebatang rokok kretek tanpa filter yang segera disulutnya. Asap kebiru-biruan melingkar-lingkar menerpa kumisnya yang kuning kemilau dan rambut ikal jagungnya.

Kain tirai panggung kembali tertutup. Durasi waktu setiap babak berkisar sekitar 20 menit penampilan adegan penggalan kisah Khalifah Umar bin Khattab. Tak lama kemudian, Bicik Anis menghantarkan pada babak ketiga dari drama sandiwara dimalam pengantin ayuk sepupuku ini.

Tak lama setelah tirai kain tabir panggung terbuka. Tiba-tiba Hanafi yang mengenakan berpakaian perempuan sambil membawa sosok bayi berbedong, saraya menjerit tangis bayi;

“Ngeyaaaakkkkk, ngeyaaaakkkkk, ngeyaaaakkkkk, ngeyaaaakkkk!!!!!!”.

Suara Hanafi yang memerankan gadis sambil membawa bayi ke hadapan Khalifah Umar yang tengah duduk dalam majelis bersama sahabat-sahabatnya. Seketika membuat orang terperanjat, lalu sang Khalifah bertanya:”Gerangan apakah yang telah terjadi?”

Lalu, sang perempuan yang diperankan Hanafi tadi menuturkan cerita bahwa bayi yang dibawa ke depan Khalifah ini adalah terlahir dari hubungannya dengan anak sang Khalifah. Lalu, dengan penuh ketegasan, beliau meminta salah seorang sahabatnya untuk memanggil sang anak yang disayang itu. Anak khalifah yang diperankan Kak Cak Mujib, datang dengan roman muka ketakutan luar biasa. Pucat pasi terekam diwajahnya.

Setelah anak khalifah tadi diintrogasi langsung oleh sang Ayahanda. Dia mengaku telah menjalin hubungan dengan gadis tadi sehingga beroleh bayi. Diperkuat dengan kesaksian yang melihat langsung hal tersebut. Lalu wibawa hukum wajib ditegakkan, sekalipun yang berbuat adalah anak sang Khalifah. Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda:”Sekiranya putriku Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan kupotong tangannya”. Kata sang Khalifah dengan suara bergetar. Penonton terdiam. Terperanjat. Menahan napas, sambil mengeluskan dada. Musik-musik pengiring terhenti sejenak, lalu muncul nada irama murung mencengkam berdebar-debar menantikan hasil persidangan.

Setelah mendengar pengakuan langsung dari anaknya. Khalifah memutuskan bahwa sang Anak harus didera hukuman sebatan. Selanjutnya, dari arah belakang panggung muncul sang Algojo yang diperankan paman Zamilul Faiq membawa cemeti, berjalan dengan langkah tegap, memasang muka tegas tanpa senyum. Algojo mengenakan celana panjang hitam longgar berikat tali panjang. Cahaya lampu yang menimpa wajah tanpa senyum, walau didalam hatinya susah bukan main menahan senyum tawa yang hendak meledak dimulutnya. Rambut putih ubannya berkilau mengesankan sosok yang sudah banyak makan asam kehidupan.

Kak Cak Mujib diseret langsung oleh sang Khalifah didudukkan diatas kursi. Khalifah memerintahkan sang Algojo untuk mendera punggung anaknya. Kak Cak Mujib membuka bajunya dan menghadapkan punggung badannya ke arah penonton. Sang algojo berbadan gempal, pendek kekar berwajah bengis tanpa senyum, seketika mengayunkan cemeti yang dicelupnya dalam ember berisi obat luka.

Setiap deraan cemeti panjang menerbitkan merah luka dipunggung badan Kak Cak Mujib. Mandi darah sekujur punggung badannya, berseling teriakan aduiiiiiiii, aduiiiiiiiii, aduiiiiiiiiiiiiiiiii, ampun mak, ampun mak, ampun mak!!!!

Khalifah sedikit pun tak bergeming, meringankan hukuman yang menimpa anaknya. Bagi beliau, keadilan hukum harus ditegakkan sekali pun yang berbuat adalah anaknya sendiri. Penegakan keadilan hukum yang diperankan dalam drama sandiwara malam itu, adalah sindiran telak yang memukul wajah para penguasa negeriku yang otoriter dan tirani korup.

Algojo itu tanpa lelah mendera punggung badan anak sang Khalifah hingga delapan puluh kali. Tapi, setiap sebatan cemeti bercelup air yang dibubuhi obat luka merah darah dalam ember itu memercik penonton depan panggung. Suara gaduh riuh penonton menghindar tempiasan hujan darah dari sebatan cemeti algojo. Selusin bujang-bujang Bangku Masjid lari menghindar. Tawa penonton menggelegar membahana terdengar dari pangkal hingga ujung kampung. Dan pertunjukan drama sandiwara yang sudah lama sekali tak pernah ditampilkan, membuat kampungku tak mau tidur semalam suntuk.

Perutku dan selusin sepupuku dilanda lapar hebat. Mirip anak-anak perempuan miskin yang merebus batu dizaman Khalifah Umar bin Khattab tadi. Dan Wak Nga pun mengisyaratkan hal serupa. Namun, jangan khawatir, bakal ada jamuan hidangan bagi KDM (Kesatuan Makan Dalu)!!! Hahahahahahahaha

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo 4 Oktober 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home