musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Thursday, November 5, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (17)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (17)

Ahmad David Kholilurrahman


Kesatuan Makan Dalu (KMD)


Angin malam berhembus sejuk-hangat. Langit berbintang memantulkan kerlip cahaya dikejauhan. Seraut wajah rembulan jatuh rampak, marak-semarak dibadan sungai Batang Tembesi yang mengalir lembut. Di tepian seberang, pokok-pokok kayu tegak menjulang berjajaran sepanjang tebing, mirip barisan gergasi bergandengan tangan menangkup sungai.

Dikejauhan kerlap-kerlip perahu pencari ikan sepanjang rantau tepian. Suara burung malam merentas pucuk kelapa sepanjang tebing kampungku. Suara kuau digunung menghimbau dikejauhan lubuk malam. Kepak tugang merampas dedahanan rimbun semak-belukar. Harmoni kehijauan alam merupakan corak dominan yang mewarnai kampungku.

Pementasan drama sandiwara itu berakhir sudah. Ditandai dengan para pelakon yang maju ke depan panggung, seraya menyematkan seuluk salam pada khalayak penonton. Tepuk tangan membahana mengiringi tirai-tabir layar kain yang menutup panggung seketika. Wak Nga, seketika naik panggung, langkahnya tegap ketika menginjak papan pentas tarup beratap terpal berwarna kuning genteng itu. Dengan mencondongkan badannya ke depan, raut muka yang penuh senyum simpatik, ikat pinggang yang ketat melingkar badannya tinggi besar, lalu kedua tangannya bertepuk, aplausan tepuk tangan khalayak penonton kembali bergemuruh dahsyat.

Aku dan sepupuku tegak berdiri seperti menyambut pahlawan pulang perang. Tepuk-tangan kami terdengar paling kencang, berseling suitan sepupuku yang berambut lurus landak, yang selalu jadi tokoh polisi dalam cerita-cerita Wak Nga. Keempat abang sepupuku sudah bergabung bersama kami, setelah tadi memisahkan diri, duduk mendampingi ketiga gadis dari Jambi sepanjang pementasan drama sandiwara yang membangkitkan kerinduan penduduk kampungku. Harapan mereka membuncah, agar dimasa-masa mendatang, drama sandiwara serupa kembali dibentangkan.

Rombongan mempelai pengantin telah turun panggung, balik berehat naik ke rumah. Tiga gadis dari Jambi ikut mengiringi, dan keempat abang sepupuku menempel ketat mereka. Seolah-olah pasukan pembuka jalan rombongan Presiden kembali ke Istana. Khalayak penonton bubar berpencaran teratur-tertib. Bapak-bapak terlihat mengendong anak-anaknya yang tertidur dipangkuan sepanjang pementasan tadi.

Pihak panitia sibuk merapikan sound-sistem pengeras suara. Dua orang tampak menurunkan corong pengeras suara dari dahan pokok nangka. Beberapa orang lagi mengangkut kursi-bangku yang dipinjam dari Madrasah Al-Fatayat ke atas panggung. Wak Nga rehat sejenak, menghisap dalam-dalam rokok kretek tanpa filter, beriringan seteguk kopi yang nampak setengah dicangkir yang dipegangnya. Senyum hangatnya terkembang ke arah aku dan sepupuku yang tengah sibuk membantu panitia merapikan peralatan pendukung pementasan drama sandiwara tadi.

Dari tarup masak dibelakang rumah. Dibawah sinaran sepasang cahaya lampu petromaks bergantungan. Dua orang nampak menyalin nasi gemuk@lemak dari perut periuk kawah besi ke dalam bakul besar nasi. Wangi aroma daun pandan harum tercium dari kepulan uap nasi gemuk@lemak yang tengah ditambuh dalam bakul-bakul besar terbuat dari anyaman buluh bambu. Keduanya mengangkat ke atas rumah menaiki tangga belakang. Di dapur kaum ibu-ibu sudah menyendok lauk-pauk dan sambal asam ikan teri ke dalam piring-piring sajian.

Sebentar lagi hidangan “Makan Dalu”, begitu orang kampungku menyebut hidangan penutup selepas malam pengantin duduk bersanding diatas pentas dilaman rumah panggung. Tapi, sajian hidangan terbatas bagi panitia yang bertungkus-lumus, bermandi peluh-keringat membantu terselenggara sedekah kenduri pengantinan. Ditambah keluarga dan kerabat kedua mempelai.

Aku dan selusin sepupuku yang dikenal dengan “Bujang Bangku Masjid” itu pun menikmati hidangan yang khas ini. Kami duduk bersila mantap menghadap hidangan sajian nasi gemuk@lemak, lauk sisa pengantinan tadi siang, ditambah sambal asam ikan teri, goreng kerupuk emping melinjo dan kerupuk udang. Lahap nian kami, sembari bercakap-cakap, tak jarang diselingi canda-tawa yang menghangatkan larutnya dini hari. Dalu Ari adalah waktu dini hari yang merayap sekujur kampungku.

Kesatuan Makan Dalu (KMD) adalah nama pemberian Wak Nga pada rombongan penikmat makan malam yang lahap sehabis badan lelah menyaksikan pementasan malam duduk pengantin dipentas panggung tadi. Tokoh utama KDM adalah kaum pegadang malam, yang juga duduk sembari menjaga periuk kawah besi, ceret besar kuningan, kelaci masak dari kayu yang mirip pengayuh, dan barang-barang lainnya.

Sambil berbincang-bincang sehabis menyudahi hidangan yang luar biasa lezat, ditambah selera makan kami yang menginjak masa pertumbuhan, yang begitu lahap nafsu makan. Apalagi, kami berada dalam tokoh-tokoh papan atas yang biasa menyemarakkan KDM yaitu, Wak Nga, Wak Hayat, Pak Gus Najib dan lain sebagainya. Termasuk para pelakon drama sandiwara yang berhasil mementaskan kisah yang akan terus dikenang sejarah kampungku.

“Tarikan nafsu makan jam satu malam pada hidangan KMD ini, sama dengan teriakan lapar jam satu siang!” Kata abang sepupuku yang tertua, seraya melepas tawa khas kaum politisi. Tawa yang boleh mengundang celetukan ringan segar.

“Wah, memang tak salah lagi, Adinda. Selera makan Kak Nga sama kuat dengan tarikan lapar jam satu siang”. Sambung Wak Nga, seiring gelak tawanya yang terkekeh-kekeh. Hehehehehehehehehehheheheheh

“Hal macam ini, tak ada pada hari biasa. Cuma pada waktu sedekah pengatin lah, adanya Kelompok Makan Dalu alias Ka-eM-De, bukan eL-Ka-eM-De”. Ujar Wak Hayat sembari merapikan kopiah hitamnya bertengger atas kepalanya. Lalu menjeling ke arah kami yang duduk mengumpul sekitar Wak Nga.

“Albam Auuussssss!!!”*1 Balas Pak Gus Najib menambah nasi gemuk@lemak ke dalam pinggannya.

“Meledok!!!!!”**2 Paman Hakim Bones menimpali tak kalah ramai

Gelak tawa pecah berdekah-dekah dari rombongan KMD. Buncah tawa Kak Ning Buana, Kak Cak Mujib, Pak Su Zyaad, Paman Zamilul Faiq, Bang Hasunah, Paman Hakim, Paman Mufakhir dan Kak Cik Syahir yang pernah mempopulerkan dirinya dengan sapaan “Cikgu”.

Seceret besar kopi panas mengepul-ngepul uap. Abang sepupuku yang nomor dua menundukkan mulut moncong ceret ke dalam gelas-gelas beling diatas nampan hidangan bermotif bunga-bunga. Dia mempersilahkan kepada orang-orang yang sudah makan, mengambil secangkir seduhan kopi tersedap dari Jambi itu. Tak henti, terdengar suara sendawa sehabis makan kekenyangan pada jam satu malam itu.

Kaum ibu-ibu dibantu gadis-gadis muda mencuci hidangan didapur. Suara obrolan kaum perempuan terdengar ramai. Denting gelas-piring yang tengah dicuci mereka, serupa musik klasik yang diputar dilarut malam. Sepupuku yang perempuan terselip dalam kumpulan yang meramaikan majelis kaum ibu-ibu didapur dan ruang belakang rumah. Pun, tiga gadis dari Jambi duduk dekat mereka, sesekali mata mereka melirik ke arah empat abang sepupuku yang duduk didepan pintu bersetentangan pandangan.

Senyum-senyum simpul terkembang dibibir keempat abang sepupuku duduk sambil memegang gelas kopi ditangan kanan, asap-asap rokok kretek tak berhenti melingkar dimulut mereka. Wak Nga terlibat obrolan dengan para pelakon drama sandiwara yang tak sudah-sudah menyangka betapa besar apresiasi khalayak dan kerinduan kampungku akan pertunjukan seni modern alternatif. Selain kesenian Danah Gambus, yaitu kesenian Melayu yang menerima bancuhan percampuran irama gambus Arab, gendang India dan irama Melayu yang mendayu-dayu.

“Aduhai, adakah zaman jamil itu kembali lagi kita saksikan lagi!”. Ujarku pada sepupuku yang selusin itu. Dua-tiga orang dari mereka nampak terserang kantuk.

Sejak kanak-kanak dikampungku. Aku bukan penggemar musik dangdut. Makanya, kegembiraanku meluap-luap, jika ada sedekah kenduri pengantinan yang akan membentangkan kesenian musik Danah Gambus. Aku suka lenggak-lengok sepasang pedanah yang serentak-seirama mengangkat kaki dan berbalik arah seraya memutar badan serempak. Bahu kanan-kiri sepasang pedanah, ketika memutar badan sambil mengangkat kaki adalah puncak dari pertunjukan danah gambus yang memukau.

Sepasang pemain danah gambus terkenal dizaman bapakku masih bujangan dulu, adalah Wak Cik Fakhrurazi dan Wak Sya’rani. Kedua orang pemain danah gambus ulung dikampungku. Mereka berdua tampil parlente, berkain sarung yang dikecak ikat rapi. Apalagi keduanya memiliki tinggi badan yang tak jauh beda. Penampilan mereka berdua dalam kesenian musik Danah Gambus sangat dialu-alukan penggemar Danah Gambus.

Tapi, biar pun tak dibentangkan musik Danah Gambus, namun drama sandiwara yang dipentaskan beberapa jam lalu telah membuat kampungku tak tidur semalam suntuk. Dalam umur kanak-kanak itu, mataku tersangkut dimulut cerita Wak Nga.

Deram gelak-tawa majelis pengotahan yang dipandu pencerita ulung dikampungku itu adalah pernak-pernik dari potret semangat saling tolong-menolong yang tak memudar. Bahkan kenduri sedekah pengantinan adalah bukti bahwa keakraban perkerabatan keluarga sekurung-sekampung terus tersimpul erat.

Walau ketiga gadis dari Jambi itu sudah masuk ke ruangan depan bersama rombongan ayuk sepupuku yang perempuan. Keempat abang sepupuku ini tak beranjak sedikit pun dari muara pintu. Seolah kantuk takut menekan kantung mata mereka. Suguhan kopi itu sangat mujarab mengusir mata kantuk hingga subuh hari.

Aku dan sepupuku yang lain beranjak ke ruang kamar bagian belakang. Kami menggelar tikar, lalu baring berjejeran mirip ikan sardin dalam kaleng. Tak lama kemudian, terdengar langkah empat abang sepupuku menggangu keasyikan kami mengobrol dengan gelitikan menggelikan perut.

“Badan boleh lelah semalaman, tapi hati tumbuh berbunga-bunga siang-malam”. Kata abang sepupuku yang tertua sambil meraih bantal dari sepupuku yang berambut lurus duri landak, sejak setengah jam yang lalu pulas dibuai alam mimpi.

“Betul nian, Tedud!”, kata abang sepupuku yang ketiga, meraih gulungan tikar disudut ruangan paling timur. Dia langsung menggelar tikar untuk mereka berempat.

”Kalau tak penuh ke pucuk, penuh ke bawah. Tengah-tengah ditebuk kumbang”. Kata Abang sepupuku yang nomor dua menyitir pepatah Melayu itu, jari telunjuk dan ibu jari kanannya memutar gulungan kertas, masuk ke lubang telinga kanannya. Kepalanya miring-miring, matanya memejam-mejam.

“Apa maksudnya dan kaitannya dengan kita berempat ini, Ning?” Tanya abang sepupuku yang keempat.

“Artinya, kalau kau tak dapat menggaet ketiga gadis dari Jambi tadi, kau gaet saja yang paling bungsu diantara mereka, paham?”, Jelas abang sepupuku yang politisi itu dalam posisi baring miring telungkup, tangan sebelah kanannya menyangga kepalanya.

“Iya, iya, iya!” Angguknya seraya tersenyum simpul.

Tentu diantara kita berempat ada etikanya. Yang muda hormati yang tua. Yang muda memberi kesempatan pada yang tua, wahai adindaku, sambung abang sepupuku yang nomor dua. Tangannya masih memegang pengorek kuping dari gulungan kertas tadi.

Biarkan kedua gadis yang sulung dan menengah itu, biar kami berdua yang memacarinya. Sedangkan kamu berdua, kami beri kesempatan pada yang paling bungsu diantara mereka bertiga. Tentu kalian harus pandai menjaga perasaan gadis paling muda itu, pemilik potongan rambut pendek ala Demi Moore itu.

“Oooooohhhhhh, alamak! Kita berdua pula, agaknya yang disuruh berebut”. Kata abang sepupuku yang dikenal pandai melagak gaya itu.

“Kalau macam itu caranya, biar lah kelak waktu yang berbicara, apakah diantara kita berempat ini, adakah yang kelak, memang serius bertaut asmara dengan ketiga gadis dari Jambi itu? Atau,...”. Sengaja abang sepupuku yang tertua menggantung kalimatnya.

“Atau apa? Tanya abang sepupuku yang nomor empat penasaran bukan main.

“Kita berempat bakal kepunan talau.*3 Artinya siap-siap gigit jari belaka!”. Kata Abang sepupuku tertua seraya membalik badannya.

“Ayo, kita sholat subuh dulu, sudah itu baru tidur!”. Ajaknya pada keempat abang sepupuku ini. Dan kami berdelapan orang telah terlelap dalam kenikmatan tidur sehabis kelelahan semalam suntuk itu pun dibangunkannya.

Kami semua bangun, tentu ada yang seketika langsung bangun. Ada juga yang berkali-kali dibangunkan tetap mendengkur keras. Suara dengkurannya terdengar sampai tiga pematang.

Dari corong pengeras suara masjid tua itu azan Wak Yasin berkumandang syahdu. Embun jatuh bak anting-anting menggelantung ditelinga dedaunan. Dan kabut tebal putih membungkus pandangan mata ke Batang Sungai yang mengalir lembut tak henti-hentinya bertasbih dari hulu ke hilir. Kesiur angin tak jemu bertahmid ke delapan penjuru mata angin. Diteruskan ke empat mata penjuru angin kampungku; Hulu-Hilir-Laut-Darat. Dua puluh empat kaki dari selusin Bujang Bangku Masjid melangkah memburu hidangan keberkahan subuh.

(Bersambung)


Rabea Adawea, Cairo 5 November 2009

*)Ungkapan terperanjat dan terkejut. Biasanya untuk hal-ihwal yang mengkhawatirkan dan menyeramkan.
**)Ungkapan yang menimpali obrolan yang semakin sedap-dahsyat.
***) Apes, gigit jari.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home