musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Sunday, November 1, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (15)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (15)

Ahmad David Kholilurrahman


Sepetang Mengarak Pengantin


Menurut kebiasaan adat-istiadat dikampungku. Mengarak pengantin lekaki menuju ke rumah pengantin perempuan diadakan selepas sholat Ashar. Perhelatan ini memang dikhususkan duduk bersanding bagi kedua mempelai pengantin dikursi pelaminan dirumah mempelai pengantin perempuan.

Suara tetabuhan terbangan-kompangan sudah berbunyi bertalu-talu sehabis sholat Ashar dirumah Datuk Muk Haji Manshur. Kumpulan penabuh terbangan-kompangan yang dikepalai Muk Zaki, Lok Fahri, Paksu M. Zaki@Joko, Pak Cik Nasir, Raden Dolah, Mirwazi, Bang Cik Ja’far sudah tampil rapi dengan dandanan stelan seragam celana hitam, baju kemeja dan kopiah hitam.

Digendang kompangan itu tertulis IPG singkatan dari Ikatan Pemuda Gurun Tuo. Tinta hitam yang melumur luntur dibagian dalam kompangan itu, masih jelas terbaca dimataku. Aku dan selusin sepupuku berjulukan; Bujang Bangku Masjid (BBM) tak mau duduk terlalu jauh dari kumpulan terbangan-kompangan itu. Bebunyi tetabuhan itu menggerakkan irama serempak-serentak yang menggairahkan kehidupan.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk”.

Sejak lama, abang sepupuku yang nomor tiga, yang dikenal pandai melagak dan bergaya. Dia memiliki cita-cita terpendam, ingin membelikan seragam lengkap satu stel baju teluk belanga lengkap dengan kainnya bagi para anggota kumpulan penabuh terbangan-kompangan. Jadi, setiap yang tampil menabuh kompangan, mereka mengenakan baju teluk belanga seragam. Bak dalam sedekah kenduri Pengantin Putri Raja-Raja Melayu yang ditengoknya terpampang di almanak dirumahnya. Walau pun, kini mereka nyaris seragam berbaju kemeja, namun warna-warni yang dikenakan mereka bertujuh mirip pelangi.

Wak Nga kami sibuk berbincang dengan kawan-kawan sebayanya, sembari meletuskan gurauan yang tak pernah kering dari mulutnya. Diawali dengan anggukan menggeleng, disambung mimik muka yang kadang seperti menahan geli, menebarkan semarak tawa, tak jarang berpura-pura berpikir serius, mirip orang kantoran yang mengenakan seragam dinas sambil mengangkat gagang telepon. Sepatu coklat cap “Buaya Mengangap” yang dikenakan Wak Nga nampak mengkilap memantulkan sinar matahari petang. Bukan main, sepatu itu sudah disemirnya sejak tiga hari lalu. Campuran sisa semir lima tahun lampau yang diberi kerabatnya dari Mekkah, dicampurnya dengan arang tumbuk dan minyak rem sepeda.

Ceret-ceret kuningan besar diatas meja panjang dilaman muka rumah panggung Datuk Muk Haji Manshur itu dikelilingi tiga hidangan yang memuat cangkir-cangkir beling bermotif bunga-bunga berwarna-warni. Ramai para pengarak menikmati hidangan kopi tersedap dinegeri Jambi itu. Kalau, kau tercicipi sekali saja, dijamin kau akan ketagihan minta cangkir berikutnya. Sedangkan kaum penikmat teh tak sebanyak penggemar kopi A Tigo itu. Anak-anak kecil yang kehausan diberi secangkir teh oleh bapak-bapak mereka.

Suara tetabuhan kompangan terdengar makin semarak. Tetabuhan semakin menemukan ‘chemistry’ keterpaduan-kesepaduan irama dan rentak tingkah tabuhan diantara ketujuh penabuh itu. Setelah berpuluh-puluh kali meningkah, beriringan, naik-turun, serempak, serentak, dan ditutup dengan tamparan halus disisi bawah telinga kompangan. Suara tawa terdengar setiap kali mereka sukses menyerempakkan irama tabuhan dalam iringan yang sanggam luar biasa. Tetesan keringat membasahi baju kemeja mereka, diselip rekahan senyum terkembang dibibir mereka.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk”.

Pakaian adat Melayu Jambi dikenakan sepasang mempelai pengantin disewa langsung dari Jambi. Dan penata riasnya adalah pemilik salon kecantikan di Kampung Manggis, Kota Jambi. Aku mengetahui ini, lantaran kemarin petang, aku dan seorang sepupuku menjemput mereka menyeberang sungai Batang Tembesi dari tepian rakit-jamban Datuk Haji Hamdan dengan perahut boat dikampungku yang sejak dua hari ini disewakan untuk acara pengantinan. Mereka datang serempak dengan pihak keluarga besar kami yang bermukim di Jambi yang juga hendak menghadiri undangan sedekah kenduri pengantinan ayuk sepupuku ini.

Kami berdua kebagian mengangkut koper mereka besar dan berat bukan main. Sampai sesak napas kami berdua mengangkat bawaan mereka, menuruni tiga puluh lima anak tangga bulian tepian Datuk Haji Hamdan, kemudian menaiki lagi sekitar tiga puluh anak tangga ditepian seberang kampungku. Sesampai dirumah ayuk sepupuku itu, badan dan kaki kami terasa capai luar biasa, seperti mengangkut beban sebukit-bukau. Tak sadar kami terbaring ditarup pentas yang beralas tikar.

Pakaian lengkap pengantin adat Melayu Jambi berwarna merah tua. Bagi baju pengantin lelaki terbuat dari bahan sejenis beludru tebal. Berpotongan tanpa kerah. Mirip dengan kerah Teluk Belanga. Terdiri dari satu stel baju dan celana panjang dari bahan serupa dan warna senada, kain separuh lutut dengan sisipan keris dipinggang. Tanjak yang dikenakan dikepala pengantin lelaki. Sedangkan stelan perlengkapan baju pengantin perempuan terdiri dari stelan baju atas dan bawah, sepasang gelang kuning sebesar jempol dan dilengkapi mahkota berdaun emas, bila jatuh bergoyang terlihat ramai, meriah dan semarak. Sesuai dengan bimbingan adat Melayu yang identik dengan Islam, maka tak ada bagian bahu dan leher pengantin perempuan yang terbuka.

Sosok keempat abang sepupuku tak tampak dihadapan kumpulan penabuh terbangan-kompangan. Padahal, lima belas menit yang lalu, duduk diruang bagian luar rumah panggung kayu itu. Tapi, melalui dua adik sepupuku yang paling kecil, yang tadi duduk dipangkal tangga, bahwa kehadiran tiga gadis putri dari Jambi terlihat menaiki tangga bagian darat rumah itu. Pantas saja, mereka menghilang dari pandangan mata kami.

Aku berlagak seolah-olah kehausan meminta segelas air putih pada sepupuku yang perempuan diruang dalam. Dari arah dalam, nampak keempat abang sepupuku berbincang hangat dengan ketiga gadis itu. Aku tahu nama mereka, dari bisikan sepupuku yang perempuan yang terlihat mengulum senyum, seraya menyembunyikan tawa mereka dibalik selendang. Begitu kaum perempuan Melayu bila tertawa, mereka masih amat malu menampakkan barisan gigi mereka. Yang dominan, justru suara perempuan berbisik diruang tengah itu, melihat keempat abang sepupuku yang tanpa sepengetahuan kami turun pelan-pelan dari tangga bagian depan rumah, lalu naik melalui tangga bagian belakang rumah.

Ketiga gadis Jambi itu terlihat cantik. Apalagi mereka tampil dengan bergaya ala orang-orang kota yang menghadiri undangan pengantinan. Gaun-gaun indah sentuhan model menawan yang dikenakan mereka. bagi siapa yang menoleh sejenak, boleh berhenti setarik napas. Kelompok kaum bujangan dikampungku ramai memancing senyum. Namun, tak satu pun senyum mereka berbalas. Melainkan senyum ketiga gadis dari keluarga angkat ayuk sepupuku, semasa sekolah Guru dikota Jambi, hanya dipersiapkan pada keempat abang sepupuku saja. Tentu, ini memancing kecemburuan bujang-bujang dikampungku.

Sedapat mungkin, gadis-gadis sopan dan baik perangai menjaga adat-istiadat dikampungku. Apalagi keempat abang sepupuku petang ini, mengeluarkan gaya dan lagak tak kalah mempesona. Lengan baju kemeja mereka, sejak malam tadi disetrika dengan setrika tembaga berlobang didinding tepinya, sedangkan diruang bagian dalam, berisi bara-bara api yang ditunuh di dapur pendiangan. Kayu bakar dari batang bungur tua meletup-letup, bila permukaan bawah setrika itu digosokkan ke baju pakaian andalan abang-abang sepupuku.

Garis-garis bekas setrika dilengan baju keempat abang sepupuku terlihat runcing setajam ilalang. Celana katun kasual yang dipakainya pun, amboi membentuk bentuk tubuh yang tegap dan atletis. Kecuali abang sepupuku yang tertua, yang berbadan agak kurus dibanding ketiganya. Sedangkan abang sepupuku yang nomor empat, nampak mengenakan rompi berpadu kemeja lengan panjang. Sejak hari itu, kami Bujang Bangku Masjid, memanggilnya, “Bujang Rompi”, gelar yang ditabalkan padanya, membuat kampungku tergelak tawa semalam-suntuk.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk”.

Suara bunyi tetabuhan terbangan-kompangan itu makin senyawa, serasi berpadu. Dan anggukan kepala Muk Zaki, suatu isyarat bila diterjemahkan sebagai acungan dua jempol pada keserasian tabuhan yang dihadirkan oleh ketujuh penabuh kompangan itu. Dimuka pintu, nampak Wak Nga melonggokkan kepalanya, lalu tiba-tiba kepalanya mengangguk menyetujui iringan tabuhan yang panjang, bergelombang, naik-turun, memelan, menderas lalu ditutup dengan tepukan serentak yang mempesona. Amboi, rasanya terpukau Wak Nga kami dengan paduan ketujuh penabuh terbangan-kompangan.

Dari kamar bagian luar itu, kulihat lelaki tinggi besar, sejak akad nikah pagi tadi telah resmi menjadi suami ayuk sepupuku keluar menandakan bahwa pengantin lelaki itu sudah siap untuk diarak beramai-ramai oleh rombongan iringan penduduk kampungku menuju rumah ayuk sepupuku disebelah tengah kampung. Disampingnya duduk rombongan Kak Cak Mujib, Pak Su Zyaad, Pak Gus Najib, Paman Zamilul Faiq, Paman Khudhari, Paman Mufakhir dan kawan-kawan seumurnya. Tak ketinggalan Mang Cik Hasan Taufik pun sudah mengurai tawa. Tangan kanannya memegang rokok sebatang dan korek api.

Dibawah rumah obrolan Wak Nga terlihat semakin hangat. Segulung bungkus rokok kretek dibuangnya, sebatang rokok terakhir terselip dibibirnya sehitam arang, dan kumis pirang kemilau. Songar rambut ikal jagungnya tersisir rapi. Jika dia duduk dibangku panjang dilaman muka rumah panggung, sisir kecil berwarna merah tersembul dari saku kantong celana bagian belakang. Ingat, properti paling mustahak yang tak boleh terlupakan bagi orang panggung adalah sisir rambut, kawan!

Aku duduk dipangkal tangga rumah panggung itu. Seorang sepupuku yang lain, sibuk mencari sandalnya yang disimpan diselipan antara tiang dan lantai tadambun. Agaknya, dia merasa kehilangan sandal, sejak tadi sibuk lah dia mencari sandal yang dibeli bapaknya hari raya idul fitri lalu. Aku kasihan, melihat mukanya yang memerah, antara menahan marah dan menelan gerah udara. Tak sampai lima menit, seorang anak lelaki sebayanya mengenakan sandal itu, sambil naik ke atas rumah. Kalau tak cepat kami tahan, sudah ditinjunya anak lelaki bermuka selamba. Muka seolah tak bersalah. Seakan-akan bukan sandal sepupuku yang barusan dipakainya.

“Sabar, sabar, sabar, kawan!” Tiga kali kata sabar, aku ucapkan pada sepupuku, sambil menarik tangannya yang sudah mengacung tinju ke udara.

“Malu awak nanti, bila suasana ramai arakan pengantin ini dirusak kemarahan awak, kata sepupuku yang suka ilmu kejiwaan itu menenangkan.

“Iya, kawan, apa kata orang nanti, bila sedekah kenduri pengantin ayuk sepupu kita ini berujung perkelahian”, lagi-lagi sepupuku bertubuh gempal, kawan karibku dalam memancing dan menjala dikampungku.

Kemarahan airmukanya mereda. Sedikit senyum terkuak dari mendung wajahnya yang memerah antara menahan marah dan menelan udara gerah. Seketika aku datang menghampiri anak lelaki yang memakai sandal sepupuku yang tanpa izin tadi. Aku katakan padanya dengan lembut tapi tegas;

“Kawan, lain kali bila awak nak pakai sandal sesiapa pun, Sebaiknya izin terlebih dahulu”, Tanganku merangkul ke pundak anak itu.

“Iya, aku merasa salah, tanpa meminta izin terlebih dahulu tadi. Tapi, sungguh, aku tadi sakit perut sehingga seketika aku mesti lekas berlari ke rakit-jamban disungai. Jadi, tanpa sempat aku minta izin, sandal sepupumu itu aku pakai dulu”. Ujarnya memberi alasan.

Aku menyarankan anak itu untuk meminta maaf dan bersalaman dengan sepupuku pemilik sandal yang dipakainya. Dia pun menuruti saranku dan cepat dia menyalami sepupuku yang sudah kelihatan agak tenang selepas menahan merah muka dan menelan udara gerah. Kami pun berangkulan damai.

Rombongan pemegang bunga-bunga hias pengiring arakan pengantin sudah berkumpul ditangga. Kumpulan penabuh terbangan-kompangan sudah memukul tetabuhan dilaman bawah rumah. Dan suami ayuk sepupuku menuruni tangan beriringan dengan para pemegang bunga hias aneka warna terbuat dari kertas jagung berbatang kawan dibungkus kertas hijau lumut.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk”.


“Allahumma Shaalllliiiii.....”, iringan ucapan sholawat itu sebagai penanda dari bergeraknya iringan rombongan arakan pengantin. Dari rute yang dituju adalah ke jalan laut tepi sungai, terus ke hilir, berbelok ke arah darat, terus berbelok ke hulu langsung menuju rumah mempelai pengantin perempuan dari arah hilir.

Sepanjang jalan yang ditempuh. Beberapa kali iringan rombongan pengantin mesti berhenti, yang ditandai tetabuhan terbangan-kompangan dan sahutan sholawat tadi. Langkah kaki pun pelan-pelan pasti. Seringkali aku dan sepupuku berada paling depan, lalu berbalik menjadi rombongan iringan arakan paling belakang. Biasanya, rombongan paling depan adalah sekumpulan penabuh terbangan-kompangan yang tujuh orang itu. Dibelakangnya lapis pertama terdiri dari pemegang bunga hiasan, kemudian mempelai pengantin lelaki yang dipayungi dan diapit oleh pengapit lelaki kiri-kanannya. Dibelakang biasanya, rombongan anak-anak muda dan orang tua. Sedangkan anak-anak kecil terselip disebelah tengah dan pinggir iringan karavan pengantin.

Setibanya dilaman muka rumah pengantin perempuan. Tetabuhan kumpulan terbangan-kompangan berpadu meningkah, naik-turun, meninggi dan diakhir penutup khas serentak. Disambung suara gong bergaung-gaung:”Gung..gung..gung...gung..gung..gung...gung...gung.....”.

Sebagai isyarat bahwa siapa yang mau turun jadi sepasang pesilat yang menguji adu jurus dipersilahkan maju ke depan turun gelanggang. Seorang pendekar separuh baya membuka jurus persembahan diakhir tangkupan salam. Lalu, Muk Zaki, kepala kumpulan penabuh terbangan-kompangan, berisyarat turun gelanggang, seraya menyerahkan kompangan yang ditangannya pada Pak Su Joko.

Dia mencopotkan sandal dikakinya, seketika membuka jurus andalannya, jurus tombak dengan kedua siku tangan yang menusuk ke kanan-kiri. Urat-urat diotot tangannya berjiratan, ketika jurus andalan pembukanya tadi dibentangkan. Penutup jurus pembuka tadi dengan seuluk salam pada khalayak hadirin. Tepuk tangan membahana, menggelegarkan gelanggang persilatan.

Pada kesempatan berikutnya, sang pendekar paruh baya tadi menyambung jurusnya beberapa gerakan, lalu dilawan Muk Zaky dengan jurus terbarunya. Walau jejak langkah kaki yang sekonyong-konyong menanamkan tumit, lalu tabuhan gong semakin menghebat, bila kedua pendekar sudah dalam posisi saling adu laga, walau tak jarang hanya senggolan tangan atau tepisan pada sisi badan dan rambut belaka. Gerakan jurus ketiga yang mereka mainkan hampir serempak itu menyemburkan terbangan debu ke udara. Penonton dimuka gelanggang yang tegak melingkar, mundur beberapa langkah ke belakang. Kedua pendekar silat tradisional Melayu, nampak seperti hendak bersabung sengit. Tak jarang, tendangan kaki dan tinjuan tangan sekilas saling berkenaan, lalu disusul gerakan badan memutar sekelebat. Dedaunan kering yang sudah disapu sejak sebelum iringan arakan pengantin tiba, terserak-serak ke mana-mana. Udara melentingkan debu dari persabungan antara pendekar.

“Huuuuuiiii........suiitttttt......huuuuuiiiiiii.....suiiiiitttt.......Huuuuuuiiiiiiii”.

Suara penonton mengelilingi gelanggang memanaskan persabungan. Suara tabuhan Gong bergema-gaung, terdengar hingga dari pangkal hingga ujung kampung. Dan suara gong makin memuncak seolah ektase, apabila kedua pendekar saling jual-beli pukulan dan tendangan. Mereka terkadang membuatb atraksi penghangat suasana, dengan gerakan silat yang tak terduga. Tak jarang seperti saling mengenai, namun ditutup dengan ulukan salam ujung jari yang saling bersentuhan, walau kuda-kuda kaki tetap waspada. Lalu diakhiri dengan saling bersalaman.

Ada pendekar yang memasang wajah malu-malu kucing. Tak mau terlalu spontan demonstratif memperagakan gaya dan jurus andalan. Akhirnya, ada beberapa kawannya yang mendorong badannya masuk gelanggang silat. Baru dia mau tampil maju, sambil melepaskan sandal atau sepatunya. Namun, tak jarang, sekian lama dia mengeluarkan gerakan jurus, tak ada yang nampak meladeninya. Maka, seseorang pendekar yang lainnya, mengambil inisiatif sendiri meladeni gerakannya, atau dia mendorong lagi orang yang lain.

Begitu lah hingga tiga pasang pesilat tradisional Melayu mempertunjukkan kebolehannya. Baru kemudian, mempelai pengantin lelaki dipersilahkan menaiki tangga rumah, menuju pelaminan, tempat duduk kemuliaan, kursi bersanding “Raja dan Ratu Sehari”. Duduk bersanding kedua mempelai pengantin lelaki dan perempuan dikampungku dinamakan: “Duduk Sebandung”. Kedua mempelai ini, awalnya terlihat agak malu-malu. Lama-kelamaan akhirnya terbiasa juga jadi tontonan orang sekampung.

Ruangan tempat pelaminan itu nampak penuh sesak. Udara gerah sekali. Namun, orang-orang berdesak-desakan. Kaum bujangan dari arah pintu luar, kaum gadis memenuhi arah sebelah belakang. Keluarga besar kami kumpul tumpah-ruah, sambil mengendong anak dan cucu. Sepupuku yang gadis-gadis pun dekat ayuk sepupuku. Kilatan lampu kamera berkali-kali menyilaukan mata. Aku paling tak tahan diruangan yang panas sesak, yang bernapas saja terasa payah.

Tiba-tiba, mataku menangkap empat abang sepupuku sudah tegak berdampingan dengan tiga gadis Jambi cantik bergaun anggun itu. Gadis paling kecil diantara mereka berambut pendek ala Demi Moore itu tersenyum memandang ayuk sepupuku yang duduk dipelaminan itu. Pipi gadis berambut pendek ala film Ghost itu memerah, semerah tomat masak. Kulihat senyum-senyum kalui terkembang dari abang sepupuku yang tertua dan nomor dua. Sedangkan yang ketiga dan keempat tampak berbisik, seolah pura-pura tak melihat padaku dan sepupuku yang lain.

Setiap kali menyaksikan pengantin duduk bersanding, aku selalu diliputi pertanyaan yang tak berjawab. Kenapa mesti ada duduk bersanding? Apakah tanpa duduk bersanding kedua mempelai pengantin diperkenankan melangsungkan pernikahan? Tak pernah terbayangkan, jika suatu hari kelak, bakal duduk bersanding berdua dipelaminan pengantin. Dan siapa “Permaisuri” yang berbahagia duduk bersanding denganku kelak? Atau, bila aku bertemu jodoh dikampung lain, dirantau negeri orang, adakah yang namanya “Duduk Sebandung”?

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 1 November 2009

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home