musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Tuesday, March 23, 2010

Cerpen: Lam-lum Naik Tangga

Cerpen: Lam-lum Naik Tangga

Ahmad David Kholilurrahman


"Lam-lum naek tanggo, aek dalam nak jadi rajo!"*1

Aku tercekat menengok seekor lam-lum*2yang mengkerut di dalam kaleng bekas susu kental manis. Sudah dua hari, aku memungut sepasang lam-lum di batang-batang pohon karet yang kulalui dalam jalur merawang*3 kemarin petang. Tersimpan rapat dalam laci lemari, dekat meja makan di dapur.

Semula kami nak memantau permukaan air yang kembali naik 3,5 cm. Papan pengukur yang dibuatkan Buya Abdullah Shoefie sejak empat hari lalu menunjukkan pertambahan volume air banjir terus naik dahsyat.

Dalam catatan yang digoreskan dalam buku pemantauan banjir yang dibuat oleh guru kami ini yang super teliti dan detail. Terhitung sejak ahad siang, air sulung sungai batang Tembesi bertemu-muka dengan air rawang*4 pada jam 12.35 WIB.

Dari tiga titik pemantauan yang diamati beliau. Bahwa, banjir besar akan merendam kampung kami setidaknya dalam sepekan ke depan. Curah hujan yang lebat turun tiada henti. Walau, gerimis kecil mengundang para penghuni rumah panggung yang berjumlah hampir tiga ratus tiga puluh lima untuk segera memeriksa logistik dapurnya.

Diperkirakan selama sepekan ke depan. Segala pekerjaan mata pencaharian motong parah*5 di kebun-kebun karet yang terendam terhenti total. Sementara Tauke saudagar getah karet bakal menerima kerugian sebesar 10 ton getah selama banjir datang bertandang ke kampung. Dan itu bukan persoalan sepele, artinya ada sekitar seratus mulut yang kepunan menikmati hasil timbangan getah itu.

Belum lagi perdagangan yang terhenti. Dan yang paling berkuasa pada musim banjir ini adalah 'kenderaan air' perahu lah yang menjelma jembatan penghubung ke mana pun hendak pergi.

Dari jauh hari. Aku sudah membayangkan, perahu yang kukayuh menyusuri lorong-lorong kampung yang direndam banjir ini seperti kota Venecia di Italia sana. Perahu yang kukayuh dalam merawang, bak gondola yang membawa turis-turis plesiran keliling kampung. Jalan-jalan antara rumah panggung berjumlah tiga ratus tiga puluh lima itu, menjelma kanal-kanal yang ditelusuri puluhan gondola tiada henti. Kecipak pengayuh berdayung. Tempias bebayang cahaya matahari datang sesekali bergoyang-goyang di permukaan air.

Sampai-sampai Wak Bangsit harus memagarkan tiang rumahnya dengan sebatang kayu. Lantaran di tepian paling rendah itu, air dari batang Tembesi masuk deras tak tertahankan. Arus deras hanyut ke darat itu, jika pengemudi tak mampu mengendalikan perahunya akan direbut arus deras hanyut. Celakanya, tak jarang perahu-perahu menghantam tiang rumahnya.

"Celegaaappp, celeeguuppp, gaaappp, gupppp!" Kepala perahu yang menghantam tiang luar rumahnya, membuat Wak Bangsit yang dikenal pendiam, boleh bangkit marah melonggok kepalanya di muka jendela kaca itu.

Aku selalu menghindar berkayuh perahu arah sana. Walau jalur itu bagi kami, kanak-kanak sangat menantang. Kelihaian si pengemudi perahu, atau si tukang kayuh adalah diukur sepandai apa dia mampu mengendalikan keseimbangan luan kepala perahu dan buntut kemudinya. Tapi, kami, berusaha untuk coba-coba melewati jalur tersebut. Jika dirasakan para penghuni rumah tengah tertidur siang.

***

Kalau kemarin petang tinggi air banjir masih sebatas pinggang. Pagi ini naik sebatas perut. Cuaca gelap bermuram durja. Langit menangis terus tanpa henti. Rinai-rinai rintik hujan jatuh ke air, menciptakan ruas tempias yang tiada laranya.

Aku terpaksa berenang ke rakit jamban yang kini berhampiran dengan tepian. Ujung depan rakit jamban seperti mau mencium bibir tepian dibawah pohon kelapa jangkung.

Teringat akan kambing-kambing yang mengungsi di rakit jamban datukku lah, aku terjun dari tangga, menerobos pagar lalu berenang ke arah laut. Dekat masjid tua itu tanahnya agak tinggi. Sehingga jarang sampai dijilati lidah banjir tahunan. Kecuali pada banjir terbesar yang paling tersohor dalam sejarah di Jambi pada tahun 1955.

Aku menyimpan foto-foto dokumentasi hitam-putih banjir di Kota Jambi itu. Kiriman dari seorang kawanku yang bermukim di sebuah negeri Eropa sana. Tentu saja, tak bakal aku pertunjukkan kini. Aku tengah menyiapkan Novel Sulungku yang juga menyedut beberapa fragmen suasana tentang banjir dan tradisi Merawang di kampungku.

Konon, seorang pembacaku, seperti tak tahan, menunggu calon novel yang kugarap dengan tekun-tunak terbit jadi buku. Sebagai pengobat kerinduan mereka, khalayak pembaca, aku sengaja menyiarkan sepotong sajak dan cerpen ini.

"Lam-lum naek tanggo, aek dalam nak jadi rajo!"

Entah berapa puluh kali. Anak kecil yang kami gelar "Hantu Aek"*6 menyanyikan macam sebentuk seloka adat tu.

"Hei, budak kecil, berhenti lah kau menyanyi, menyemak kupingku saja!" Teriak Haji Dailami ketika lewat didepannya, sepulang dari mengulang pukatnya di tanah lapang seberang. Timba ruang perahunya yang kutengok sambil berkayuh tegak penuh dengan ikan kepras, seluang, lais, kapiat. Malam ini rumah haji Dailami akan berlauk gangan ikan. Senyumnya terkembang, memandang timba ruang dan tempat duduk perahunya penuh dengan tangkapan hasil jalanya.

Anak kecil itu masih juga menyanyi. Matanya merah sirah. Sejak pagi dia berendam berenang ke hulu –hilir. Ke laut-darat. Bibirnya kecut mengigil. Tapi, dia seperti tak kenal lelah.

Seketika dia menyelam. Dan timbul di hilir masjid itu. Tawanya berderai-derai menampakkan gigi depannya yang kuning berbaris. Rambutnya kesing masai, dibilas air banjir yang bercampur segala hal di kampung itu.

***

Dan rumah-rumah panggung itu adalah kaki tiang terendam. Kalau air banjir makin naik. Nah, jadilah istana terapung di kampung!

Amboi, lamunanku terbuyar sejak dari Jambi tadi. Aku menyempatkan pulang ke kampung ditengah banjir memeram sembilu. Iya, sembilu yang mengoyak rinduku berbilang tahun. Iya, aku punya rindu kepada gadis-gadis Melayu yang kecik-molek. Begitu ungkapan orang Melayu menggambarkan gadis yang cantik ideal.

Aku rindu mencicipi buah duku dan rambai. Ketika banjir dulu, kami memenuhi timba ruang dengan kedua jenis buah-buahan manis dan asam itu. Tentu, rinduku kepada gadis Melayu serupa adukan rasa duku dan rambai. Manis dan masam.

Duku dan rambai di timba ruang* 7

Aku terbang dari Kuala Lumpur ke Jambi. Setelah mengikuti undangan pertemuan kesusasteraan Melayu sedunia. Di gedung PWTC yang megah menjulang itu. Pertemuan ini mengambil Tema: Pengiktirafan Tamadun Melayu ke Atlas Kesusasteraan Dunia. Yang dihadiri ratusan kaum sasterawan, penulis, pengarang Melayu antar bangsa. Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Thailand, Kamboja hingga ke Afrika Selatan. Perdana Menteri sendiri yang membuka perhelatan bertaraf antar bangsa ini sekaligus menubuhkan persatuan pengarang dan sasterawan Dunia Melayu Sedunia.

Tentu, di majelis tersebut, aku bertemu dengan banyak kawan-kawan sastrawan dan pengarang Melayu yang selama ini kukenal lewat pertukaran karangan dan karya-karya saja. Dari negeri semenanjung itu ada SN. Samad Said, Datin Asima Abdul Latif, Dato' Kemala, Phd, dan Puan Zainon Ismail, Phd. Ada peneliti kebudayaan Melayu, Bang Amin Sweeney dan istrinya Kak Sastri Amin Sweeney dari (Pusat Bahasa, Jakarta).

Utusan dari Riau berjumpa wajah dengan Elmustian Rahman, Phd dan pak Rida K. Liamsi, tokoh pers terkemuka Riau dan sasterawan terbilang, penulis Novel Bulang Cahaya. Dari Riau Kepulauan, aku menaut tali silaturrahim dengan Teja Alhab, Husnizar Hood, Hasan Aspahani, Hendri Anak Rahman, Ramon Damora, Samson Rambah Pasir.

Juga sempat berkenalan dengan sasterawan Afrika Selatan, Sallem Abubakar, keturunan dari Syekh Yusuf al-Mengkasari yang diakui sebagai pahlawan di negeri Nelson Mandela sana.

Kesempatan ini aku pergunakan untuk mengunjungi paman-paman dan sanak-keluarga yang bermukim di Kuala Lumpur. Setelah bertahun-tahun aku tak pulang ke rantau Melayu.

Dari pematang bukit rumah Abdurrazak. Menumpang perahu ke seberang. Aku seakan kembali ke masa dua puluh lima tahun silam. Terkenang kepada kawan-kawanku semua yang kini dah membina rumah tangga. Mereka yang menghirup zat dan uap kampung. Senyum yang tiada putus, walau air banjir hampir merampus.

Negeri kami akan memilih raja baru. Pada pemilihan langsung yang dua bulan lagi. Raja baru itu datang ketika banjir merendam kampung. Ada empat pasang raja yang nak bersaing naik tahta. Tapi tak seorang pun yang menampakkan batang hidungnya meninjau banjir di kampungku. Mereka lebih memilih mengurus hajatan lain. Yang dirasakan mereka lebih mustahak.

Dan dengus ingus arus ditengah sungai terus-menerus tanpa putus. Mengabarkan warkah banjir setidaknya menggenang kenangan kampung.

Sepatah pesan yang dulu kuingat dari datuk elok Haji Utsman Ja'far di masa kanak-kanakku dulu:"Kalau lah air sungai batang Tembesi bertemu air rawang, alamat lah banjir akan menggenang!".

Ketika sampai di seberang. Masuk dari arah hilir jalan setapak babat. Di lapangan Madrasah dan Sekolah Dasar. Aku masih mendengar sayup-sayup suara si budak kecil 'hantu aek' menggumamkan nyanyian yang membikin marah Haji Dailami dulu.

"Lam-lum naik tanggo, Aek dalam nak jadi rajo!"

Cairo, 23 Maret 2010


Catatan:

1. Sebaris ungkapan idiom Melayu Jambi yang kukarang sendiri.

2. Lam-lum; Kulum-kulum. Binatang kecil sejenis ulat yang suka bergelung. Binatang yang menyemarakkan banjir selain geruneng.

3. Merawang: Tradisi berperahu keliling serata kampung secara beramai-ramai atau sendiri ketika banjir merendam kampung.

4. Air Rawang: Air hujan yang menggenang belakang kampung. Biasanya, air rawang ini disiratkan seperti 'perempuan' yang menunggu 'suaminya' yaitu air sungai batang Tembesi. Apabila terjadi pertemuan keduanya, pertanda banjir merendam kampung.

5. Motong Parah: Menyadap/menoreh getah pohon karet.

6. Hantu Aek: Hantu Air. Ungkapan kepada anak-anak kecil yang suka mandi berenang menyelam di sungai berjam-jam. Konon, memang ada makhluk penghuni sungai yang disebut penduduk Melayu Jambi; Hantu Aek.

7. Penggalan dari bait sajak: Rempan Tersepar Rindu, Ahmad David Kholilurrahman.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home