musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Saturday, March 13, 2010

Cerpen: Teluk Kuari

Cerpen: Teluk Kuari

Ahmad David Kholilurrahman


Aku berdiri depan bibir sungai mengalir lembut syahdu itu. Airnya tenang riak ke tepi, ke Teluk Kuari rindu mereka tertuju. Setelah 20 hingga 30 tahun tak mengayuh perahu mudik ke hulu, ke induk rindu.

Lama nian kedua lelaki itu tertegun. Setelah berpelukan rindu, lama tak berjumpa selepas meninggalkan kampung halaman puluhan tahun silam. Di tepian rakit jamban Datuk Haji Hamdan. Akhirnya, pulang juga kedua lelaki yang kusapa dengan Pakning Adib dan Paman Syaukani.

Iya, pulang ke hulu, ke induk rindu. Seperti jema'ah ikan mudik yang menyusur arus, mudik ke induk rindu. Yang tak mempan sanggi-sesap menghalangi. Jema'ah ikan mudik bersaf-saf bergerak, bergelombang, berduyun-duyun meniti arus. Terpantul kilau putih keperakan di permukaan sepanjang rantau tepian.

Jemaah ikan mudik berbaris
mendaki arus sungai ke hulu,
menjenguk induk segala induk
menginduk tunduk segala tunduk
menunduk khusyuk segala khusyuk*1


Dua lelaki seperti jema'ah ikan mudik terselip dalam saf-saf barisan panjang. Terus menebas rintangan deras. Tamparan tebing napal, hadangan batang kayu rebah, rakit jamban melintang-pukang. Melipir tepian mudik ke induk rindu, hulu Teluk Kuari.

Pada mulut teluk tertambat hikayat Tebu Bujang, persis di tepian tebing seberang. Hikayat yang lalu-lalang menyuruk dan menyembul di laman kanak-kanakku dulu. Ketika aku duduk tertib menimba air yang masuk di tengah timba ruang perahu yang dikayuhkan abang sepupuku. Sedangkan di luan perahu bapakku dengan bentangan jala yang siap dihamburkan ke tepian landai.

Aku paling suka diajak bapakku menjala sepanjang rantau tepian. Kadang menghulu hingga mulut sungai Sirih di hulu Teluk Kuari. Tak jarang pada musim ikan mudik, kami menghadang jema'ah ikan mudik yang hijrah dari hilir mencari induknya di hulu. Dan pepasiran hilir Teluk Gilo adalah lokasi penghadangan yang paling menarik.

Setiap jala yang dihambur, memutih perak sisik-sisik ikan tersangkut dari kandul jala, rang-rang babi2 hingga pucuk tali jala. Ibarat meraup ikan-ikan di hari sabtu, zaman Nabi Musa dulu. Tanpa perlu menabur benih ikan, memberi makan dan memeliharanya dari telur hingga besar. Limpahan rezeki yang luar biasa, daging ikan sungai terasa manis jika dibikin gangan gulai yang sedap aduhai. Mertua lewat pun, kata orang tak tampak!

Ramai lah kaum ibu membuat bekasam dalam tabung tembikar dan buluh. Ikan asin, kerupuk ikan yang dijemur diatap seng rakit jamban. Aroma kuah asam cuka menyeruak dari bilik-bilik lubang angin dapur yang berasap sepanjang hari. Penganan Pempek ikan mudik tiada lawan, kawan!

Tersebut lah dalam hikayat yang tergantung di ujung bibir penduduk kampungku. Adakah yang masih ingat, perihal Hikayat Tebu Bujang yang tumbuh di bahu tebing Teluk Kuari?

Dulu seorang bujang terusir dari kampung halamannya, lalu menghanyutkan diri dengan rakit batang pisang dari hulu sungai Tembesi. Berhari-hari menempuh lekak-lekuk alur sungai. Suatu petang rakit pisangnya tersepar arus Teluk Kuari. Rakit pisang beratap sudung-sudung pelepah kelapa ini terhenti di kelok arus tengkujur.

Sekilas arus tengkujur Teluk Kuari nampak tenang, namun pusaran arus mampu memilin perahu berbobot sepuluh pikul3 sekali pun. Jika tukang kayuh tak pandai meniti arusnya, karam di Teluk Kuari adalah mimpi buruk. Teluk yang menyimpan sepasang ikan bangsawan, ikan tapa selebar tikar, yang suka berenang ke permukaan jika air tengah surut. Belum lagi buaya-buaya katak yang suka mengeram telur di pepasiran tepian seberang pada musim bertelur.

Ditengoknya selayang pandang. Alangkah indahnya pemandangan seberang. Sebahu tebing setinggi 30 meter, ditumbuhi belukar lebat, kayu bengkal, rotan berkait, aur kuning. Dibawahnya dengus arus tengkujur menumbur tebing napal keras batu. Memecah riak sungai yang berbiak-biak seperti kapak putih yang mengapak batang kayu bayur. Lembut namun memecahkan gulungan arus dari hulu.

Keesokan harinya, dirasanya penat capai surut dibadannya. Pergi lah si Bujang ke tepian sungai. Hendak mencari rakit kayu yang dapat dikayuh ke seberang. Namun, tak sebuah pun perahu lalu-lalang lewat mudik-hilir. Maksud hati nak bertumpang ke seberang.

Sahibul riwayat yang turun-temurun menuturkan, entah kutukan apa yang menimpa si Bujang terusir dari kampungnya, hanyut dari hulu berakit pisang. Apa yang ditanamnya tak pernah tumbuh berbuah elok. Tebu yang ditanam, tak setetes pun manis gula terkecap, malah sepah rasanya. Akhirnya, rumpun tebu dibiarkan tumbuh liar begitu saja. Sehingga tak seorang penduduk kampungku yang berani memampas Tebu Bujang.

Sebagai penanda tebing tepian ketika berkayuh pergi ke ladang atau Talang Umo4. Pun, pengedangan5 sejauh mata melabuh pandang. Jika menghilir berperahu sarat membawa hasil kebun, hamparkan lah pandangan ke sisi kiri pundah bahu Teluk Kuari. Niscaya sisa tanaman Tebu Bujang berkerinyut liar dipuput angin seberang. Suara burung Elang Kelok mengaok-ngaok, seperti menajamkan tubir sunyi pilu nyanyian Tebu Bujang.

*****

Sejak kedua pamanku ini pergi merantau puluhan tahun lampau. Aku tak terlalu ingat sangat, masa remaja mereka berdua. Lantaran ketika aku asyik bermain di laman kanak-kanak, mereka sudah pergi sekolah ke Jogja.

"Datuk, selalu mencita-citakan Pakningmu sekolah agama. Lantaran itu datuk kirim ke Krapyak, di Jogja sana". Bunyi suara datukku parau. Pertanda kepada nyaiku, segera bikin seduhan kopi kesukaannya.

"Biar dia jadi guru agama saja, mengajar ngaji atau madrasah di kampung kita. Yang apabila datuk tiada kelak, jadi amal jariyah bapak dapat kiriman pahala dari anak saleh. Bukankah hanya tiga macam usaha saja yang amal seseorang tak bakal terputus". Sambung datukku membubuh tunjuk-ajar kepadaku dulu.

Sepotong riwayat yang kudengar tentang mereka berdua. Ketika aku memijit betis kaki datukku setiap malam sehabis makan di depan jendela yang menghadap ke darat. Sunyi sekali waktu itu, hanya seorang datuk dan cucunya saja yang bercakap-cakap. Secangkir gelas kopi besar bertutup mengembunkan uap. Di luar jendela malam hitam sehitam kopi datukku.

Datukku memang berharap anak lelaki tertuanya pergi mengaji ilmu ugamo6. Mengikut jejak abang dari Datukku yang mengaji dua puluh satu tahun dengan Masyayeikh di Mekkah. Dalam perihal pendidikan anak-anaknya, datukku berkecenderungan menyuruh anak-anak lelakinya mengaji madrasah dan belajar ilmu-ilmu syari'ah. Sedangkan bagi anak-anak perempuannya, dia tak terlalu mendukung sekolah tinggi-tinggi. Bagi datukku, cukup tamat Sekolah Rakyat dan mengaji madrasah di kampung untuk anak-anak perempuannya.

"Apa yang nak dicari kaum perempuan. Di kampung kita ini semua cukup. Ada madrasah khusus keputrian, Madrasah al-Fatayat yang diperuntukkan bagi kaum perempuan saja. Bahkan orang-orang dari kampung jauh pun datang mengaji ke Gurun Tuo!" Balas datukku setiap kali orang bertanya padanya.

Baginya, sekolah jauh untuk anak-anak lelaki saja. Lantaran itu anak lelaki tertuanya dikirim mengaji ke tanah Jawa. Jogjakarta tujuannya. Anaknya dimasukkan ke pondok pesantren Krapyak, ketika itu diasuh KH. Ali Maksum.

Tapi, anak lelaki datukku, yang kupanggil Pakning ini malah tak betah di dunia pesantren. Tanpa sepengetahuan datukku, diam-diam dia mendaftar di sekolah menengah di kota pelajar itu. Walau, pada malam harinya tetap mengaji jadi 'santri kalong' dengan para ustadz dan kyai di Krapyak.

Bertahun-tahun berlangsung hingga tahun akhir sekolah menengahnya hampir tamat. Cita-citanya ingin kuliah di universitas negeri di kota budaya itu. Mungkin, pamanku ini mau jadi ekonom, meneruskan pengelolaan kebun karet tua milik bapaknya. Atau ibukota yang hendak dituju, mengadu nasib di kota terletak di teluk Jakarta itu.

Sedangkan Paman Syaukani yang kuingat-ingat selintas kilas. Perantauan menyeberang ke negeri semenanjung Malaysia adalah sebagai wujud 'perlawanan'. Semacam dendam sejarah yang tak pernah padam!

Api tekad itu menyala-nyala dahsyat. Membakar semangatnya untuk menunjukkan kepada pihak yang dulu memandangnya sebelah mata. Dia anak lelaki tertua dari saudara bungsu datukku. Sangat berhasrat menyambung ke sekolah tinggi. Tapi, ketika itu kondisi ekonomi orangtuanya tengah susah. Harga karet jatuh, harga rotan jatuh. Musim kemarau, balok kayu sukar dihanyutkan ke muara. Penghidupan di kampung tak terlalu menggembirakan.

Semula mereka bertiga dengan satu lagi abang sepupu mereka, akan pergi mengubah nasib ke Jogjakarta. Akhirnya, berdua dengan abang sepupunya saja, pakningku pergi juga ke Jawa. Jogjakarta adalah tujuan mereka. Jika abang sepupunya belajar di IAIN Sunan Kalijaga. Maka, Pakningku berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.

Dan harapan paman Syaukani untuk menempuh bangku perguruan tinggi pun kandas. Dendam sejarah itu menggumpal jadi tekad, menyekolahkan adik lelaki bungsunya yang kelak juga pergi mengaji jauh ke Negeri Seribu Menara, Mesir.

Bertungkus-lumus dia membanting tenaga mencari penghidupan di negeri orang. Baginya, semacam pembuktian, bahwa manusia tak boleh berlaku semena-mena pada sesamanya. Bahwa harta itu fana. Ilmu itulah yang bermanfaat sepanjang waktu.

Kedua lelaki itu bertemu di pangkal tepian rakit jamban Datuk Haji Hamdan. Keduanya tertegun menatap ke arah Teluk Kuari di hulu. Pakning Adib terbang dari Jakarta. Sedangkan Paman Syaukani tiba dari transit di Batam, selepas menempuh pelayaran feri dari Pelabuhan Situlang Laut, Johor Bahru.

Akhirnya pulang juga kedua lelaki ini. Lelaki yang merindukan mudik ke induk rindu. Hulu Teluk Kuari.

"Awak rindu nian nak berkayuh mudik ke hulu Teluk Kuari, mungkin dah dua puluh tahun dak berkayuh perahu ke Teluk Kuari." Tukas Pakning Adib.

"Saye pun dah rindukan menyicip sambal asam udang sarap7". Timpal Paman Syaukani dengan lenggok bahasa Melayu Semenanjung.

Aku berdiri depan bibir sungai mengalir lembut syahdu itu. Airnya tenang riak ke tepi, ke Teluk Kuari rindu mereka tertuju. Setelah 20 hingga 30 tahun tak mengayuh perahu mudik ke hulu, ke induk rindu.

Dan perahu karangan ini kapan waktu pun berkayuh ke hulu juga. Menuju induk hulu. Teluk Kuari yang menyimpan hikayat Tebu Bujang. Aku menutup halaman 40 dari laman kitab tua dalam lemari tua di kamarku itu.

Di luar malam pekat hitam, sehitam kopi datukku.


Cairo, 13 Maret 2010



*1 Dikutip dari sajak: Jema'ah Ikan Mudik, Ahmad David Kholilurrahman

*2 Kandul Jala, Rang-rang babi; adalah bagian bawah jala yang terlipat, diberati batu timah, berfungsi sebagai pengembang jala ketika dihamburkan

*3 Pikul: ukuran berat timbangan. Satu pikul setara 100 Kg

*4 Talang Umo: Ladang Huma. Lahan yang dibuka dari hutan rimba perawan (Rimba Tuyo)

*5 Pengedangan: Pemandangan, panorama

*6 Ugamo: Agama. Kosakata yang paling banyak dipakai orang tetua dahulu

*7 Udang Sarap: Udang kecil halus, ditangkap dengan jala sesap-sanggi (tangkul)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home