musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Sunday, March 28, 2010

Cerpen: Mimpi-Mimpi Syair Sultan

Cerpen: Mimpi-Mimpi Syair Sultan

Ahmad David Kholilurrahman


"Adakah rindu yang tak menumpah dawat pena penyair? Lalu, memekarkan kelopak wardah semerbak wangi syuhada?"

Kata-kata itu tertancap dalam sepotong kartu pos yang kuterima dari negeri seberang laut Mediterannia petang tadi. Aku membolak-balik, meneliti nama sang pengirim yang hanya membubuh inisial huruf bertulis Arab bercetak tinta tebal; Ba-alif-Dal-ba

Ammu Ibrahim, pemilik senyum paling hangat itu menyerahkan kepadaku. Senyum yang sedikit mengurangi rasa penasaranku atas kartu pos yang melayang padaku. Jarang sekali aku menjumpai orang Mesir seperti dirinya. Jika berbicara pelan, tenang, dengan intonasi tak tergesa-gesa seperti dikejar singa. Juga memandang lawan bicara dengan takzim.

Tukang pos setia pengantar surat di Maktab al-Barid, Heliopolis memencet bel flatku di bilangan Kobba Street. Berdiri tegak dengan sisiran rambut rapi. Tangan kirinya menahan beban tas hijau lusuh terbuka kancing resluiting berisi tumpukan surat-surat dan paket kiriman. Tangan kanannya menyerahkan sepucuk kartu pos bergambar panorama sebentang jembatan kota Istanbul.

Ketika aku tekun-tunak menulis bait-bait sajak di meja kamarku yang menghadap gedung-gedung tinggi yang tampak seperti isi dalam radio tanpa tutup di meja tukang reparasi elektronik.

Radio siaran Cairo memuat kabar cuaca hari ini:"Al-Jawwu al-yaum, ya'ni Mu'tadil nahaaran, wa syadid al-buruuda laylan!"1

Setiap tahun gedung-gedung di kota tua ini rajin menumbuhkan ribuan cendawan-cendawan membentang langit. Seperti hendak menampung segala yang tumpah jadi kabar berita. Angin penghujung musim dingin menusuk tajam. Aku meraih pintu tingkap, mengatupkan rapat-rapat. Rembang petang membias terpantul jatuh di kaki gedung-gedung tua.

Aku merasa sangat betah tinggal sendirian walau dikepung kesunyian. Selepas paman dan abang-abang sepupuku pulang ke Tanah Air. Mereka telah menamatkan belajar mereka di negeri tua bangka ini. Kelima orang penghuni terdahulu memiliki perangai dan tabiat berbeda-beda.

Penghuni pertama, adalah seorang pamanku yang mengukir sejarah akademik cemerlang menjadi mahasiswa asing terbaik dari 60 orang mahasiswa asing, pada akhir abad lampau. Sekitar dua puluh tahun silam. Anak Melayu Perdana dari kampungku yang menuntut ilmu di bawah menara kembar Al-Azhar. Umurnya sudah dewasa ketika memulai belajar di Negeri Lembah Nil ini. Kecerdasan ditambah khidmah kepada orangtuanya tiada tanding, tiada sanding. Pembaca ulung yang dalam flatnya tak memiliki televisi. Hanya sebuah radio yang lebih banyak diam berbulan-bulan.

"Kalau radio ini punya mulut dan telinga. Dapat ditanyakan, berapa kali paman menyetelnya dalam setahun?". Ujarnya seraya menarik selembar kain penutup radio tua itu dari bawah katil besi tua itu.

Penghuni kedua, seorang paman yang terlihat sukar ditebak wataknya. Terlihat agak temperamental, walau sebenarnya baik. Sejak pesantren dia juga masyhur jago bahasa. Memenangkan pidato berbahasa Arab dan Inggris di Pondok Pesantren di Jawa sana. Penutur bahasa paling fasih yang pernah kudengar. Lidahnya lentur mengikuti lekak-lekuk gelombang intonasi bahasa. Penggemar body building nomor wahid ini, juga penyimak lagu paling betah.

Pelajaran pertama darinya, berbicara lah persis native speaker-nya. Kalau kau bercakap pakai bahasa Arab, bercakaplah seakan-akan kau orang Arab yang lahir dan besar di negeri-negeri gurun pasir ini. Apabila kau ngobrol cas-cis-cus bahasa Inggeris, keluarkan lah segala kemampuanmu. Seolah-olah kau adalah Tony Blair yang tengah berbicara di depan anggota The Houses of Parliament, London.

Penghuni ketiga, abang sepupuku yang sudah berumur, masih semangat menekuni belajar. Ketika orang seumurnya pergi ke kuliah, dia pergi ke sekolah Ma'had Tsanawiyah Bu'uts Al-Azhar, Abbasea. Setiap hari pergi sekolah dengan semangat meluap-luap tanpa batas. Layaknya anak-anak umur belasan tahun. Dia termasuk pembaca paling lahap yang pernah kujumpai dalam perantauanku. Pemilik gudang cerita yang unik, langka dan menggelikan perut. Pun, seorang chef pandai tiada tanding kelezatan masakannya.

Penghuni keempat, seorang sepupuku bertubuh kurus ramping. Datang ke negeri ini dalam usia tujuh belas tahun. Riwayat kesehatannya tak terlalu menggembirakan, apalagi jika cuaca memburuk tak menentu. Dia cerdas, walau belajarnya tak tahan berjam-jam. Seperti durasi belajar paman-paman dan abang sepupuku yang lainnya. Kalau suntuk dan bosan, obatnya jalan keluar atau menulis buku diarinya sambil mendengarkan lagu-lagu cinta.

Penghuni kelima, orang sekampung, walau tak memiliki pertalian nasab dekat. Namun, keberadaannya sudah jadi anggota keluarga kami di rantau orang ini. Jiwanya lembut, ringan tangan menolong orang lain. Sebelum pindah di flat tua ini, dia sudah berkali-kali pindah tempat tinggal. Terakhir diajak oleh abang sepupuku, lantaran merasa kasihan melihat kondisinya yang terlunta-lunta.

Penghuni keenam, seorang lelaki bertubuh kurus tinggi. Seorang anak yang tak memiliki tradisi belajar yang tekun. Kegemarannya mendengar berita, membaca koran, menulis dan mengarang. Lebih banyak mempelajari sesuatu secara otodidak. Minat dan kecenderungan bakatnya tak terpetakan. Misalnya, berkecenderungan lalu mengkerucut pada satu ketekunan disiplin ilmu.

***

Enam riwayat singkat dari curriculum vitae penghuni flat tua. Yang lift gedung tua itu sekotak triplek warna biru, berkaca cermin, berusia lebih dari dua puluh tahun. Sebuah pintu lift yang boleh dipanggil, menekan tombol ke bawah. Tapi, tak mampu memenuhi panggilan tombol menuju ke atas.

Seorang bawwab bernama Salem. Lelaki kampung sha'idi*3 bertubuh pendek gempal dari Qena. Berbaju gelabeyah sepanjang hari. Dia mewarisi pekerjaan bapaknya yang telah wafat sebagai penjaga gedung. Pekerjaan setia menjadi penjaga gedung tua berpintu sebanyak 64 pintu flat.

"Ya Farid, el-Hajj shaahibul as-syaggaah a'iyzak inta, nahar dah!"4 Pesan Salem kepadaku singkat dari balik biliknya bawah tangga melingkar gedung. Udara dingin menerpa wajahku.

Namaku seringkali dipanggilnya nama abang sepupuku.

"El-Haggah 'auzah eh, ya Salem?5Tanyaku memasang ekspresi dingin.

Ekspresi pengembara asing yang memang kusuka, setiap kali mata khalayak memandang sebelah jiwa kepada Ajnabi*6.

Lalu, si Bawwab baik hati sebenarnya, hendak menyambung jawab. Melihat roman muka seperti tak mudah diduga lubuknya. Dia menarik napas, agak tergeragap menjawab;

"Ana musy 'arif. El-muhim ba'da ashr inta bitinzil 'ala thul!"7

"Thayyeb, insya Allah, law ana musy nayyim!8 Balasku datar.

Aku paling segan bertamu ke rumah tuan rumah. Padahal, mendiang suaminya, Tuan Sayyed Imam adalah sosok tuan flat penyewaan yang baik. Mencari pemilik tuan flat yang baik bukan perkara mudah di negeri ini. Aku menempati flat tua ini sudah bertahun-tahun.

Setidaknya, pamanku saja bertuan rumah kepada pemilik sewa flatt Tuan Sayyed Imam, mantan perwira Paspampres Mesir ini menempati sejak dua puluh tahun silam. Flat penyewaan yang ini juga pernah ditempati paman-paman dan abang-abang sepupuku. Mereka tak pernah memiliki masalah dengan tuan rumah. Tuan rumah pun tak pernah mencampuri urusan para penyewa-penyewa flatnya. Sewa itu dibayar bukan per bulan, namun setiap setengah tahun sekali. Termasuk tagihan listrik dan gas. Betapa beruntungnya!


***

Seorang penyair asing. Musafir fakir bertualang dari satu negeri ke negeri lain. Dari satu kota ke seribu kota lainnya. Pada sepetang yang lengang, bertumpang singgah masuk gerbang kota yang dipimpin Sultan. Konon, di istana sultan tengah menjalar kabar, bahwa Sultan memimpikan bertemu seorang lelaki yang seumur hidupnya tak pernah dilihatnya, namun syair-syairnya menyeruak akrab, tergantung di atas katil bilik istananya. Syair-syair itu persis sekali dengan yang dilihatnya dalam mimpi.

Kota pelabuhan yang tumbuh berkembang mekar jadi ibukota imperium Islam yang menggetar dan menggentarkan raja-raja bangsa Eropa. Sehingga membuat mereka, mewaspadai kekuatan yang tengah menjulang di kota yang diperebutkan sejak ribuan tahun silam yang terkapit antara pertembungan pengaruh Timur dan Barat.

Tiang-tiang menara lancip Cami menjulang tegak. Kubah-kubah tersungkup basah dibasuh angin musim dingin selat Bosporus. Sebuah kota melankolik dan eksotik tercacak di benua Asia, sebagian besarnya menyatu dengan Eropa. Kapal-kapal lalu-lalang membawa perdagangan antar negara. Singgah berlabuh mengisi perbekalan di dermaga kota yang terkenal dengan hidangan makanan lezat, pun kudapan baklava bertabur manis gula.

Semua penyair dari penjuru negeri diundang ke istana sultan. Satu persatu dipersilahkan membacakan syair-syair mereka. Namun tak satu pun yang mirip dengan syair yang tergantung dipohon delima di atas katil bilik sultan yang terjalin dalam mimpinya. Dari penyair kawakan hingga penyair pemula yang baru belajar menulis syair sudah diundang semua. Tapi, tak seorang pun yang memiliki syair-syair seperti dalam mimpi Sultan.

"Jangankan persis sama, menyerempet mirip pun tak sebait dari sebarang syair pun!" Titah Sultan pada Wazir Akbarnya.

"Yang Mulia, apakah tak sebaiknya, kita panggil ahli nujum di negeri kita?" Saran Wazir Akbar pada Sultan.

"Aku pandang tak perlu ahli nujum. Dan kau tahu sejak aku naik tahta, aku tak mau melibatkan ramalan ahli nujum yang banyak khayal itu. Omongan mereka banyak tak masuk akal. Mereka kaum yang berdayung di antara dua pulau; khayal dan kenyataan.

Muka Sultan nampak tengah memikirkan perkara yang musykil. Jenggotnya lebat tergantung bak sarang lebah. Tangannya menyelat-nyelat jenggotnya. Seolah ada bulir-bulir air yang menggantung jatuh. Kening kepalanya berkerut-kerut. Lengan kanan menopang dagunya. Rungsing pikirannya menerawang perihal mimpi-mimpi yang mengganggu tidur malam. Selama sepekan ini resah gelisah menyelimuti peraduannya. Malam-malam yang menyiksa!

Seisi istana terdiam. Tak mau menambah beban pikiran Sultan yang semakin risau. Tekanan mimpi-mimpi syair yang dilihatnya dalam tidur malamnya. Sebait syair yang tergantung di pohon delima, tumbuh di atas katil biliknya yang megah.

Permaisuri menggosok bahunya. Bermaksud berbagi beban pikiran Sultan. Apalagi awal bulan baru, Sultan mengadakan pelayaran ke Alexandria. Bertemu gubernurnya yang telah memerintah kota tua bersejarah sejak jatuh ke tangan kesultanan.


Dari depan pintu bilik peraduan Sultan terdengar ketukan halus. Pengawal memberitahu bahwa Wazir Akbar hendak bertemu. Dijawab balasan batuk dehem Sultan, dengan isyarat untuk menunggu di ruang balai balairung Istana.

Tak lama berselang, Sultan menghampiri balairung diiringi permaisuri dan penasihat Istana yang selama ini tak pernah nampak. Wazir Akbar terlihat seakan membawa kabar berita penting.

Setelah duduk di atas singgananya yang megah dan mengkilau berlapis beludru merah hati ayam itu. Sultan menyilahkan semua hadirin menyampaikan maklumat.

"Ada kabar berita penting, wahai Wazir Akbar?"

Begini Tuan yang dimuliakan Allah SWT. Hamba mendapati kabar dari kurir yang biasa hamba tugaskan. Bahwa ada seorang lelaki muda, musafir fakir dari negeri bawah angin, datang beberapa hari lalu ke kota kita ini. Lelaki itu lebih suka berdiam di Jami' Sultan Hamid.

"Kalau Sultan tak berkeberatan, hamba sendiri akan menemuinya langsung. Agaknya, lelaki asing pengembara itu dapat membantu memecahkan mimpi Sultan?" Kata Wazir Akbar seraya mengisyaratkan petunjuk dari sang Sultan.

Baik lah. Aku persilahkan anak buahmu untuk menyelidiki keberadaanya. Juga supaya tak terlihat bahwa pihak Istana tak diguncang kebingungan lantaran Mimpi-Mimpi Syair Sultan. Begitu saja, aku lebih suka menyebut perihal yang menghampiri tidur malamku itu. Kalian tempuh cara seolah sesama pengembara asing dari negeri lain juga.

"Baik lah wahai Sultan, petunjuk Tuan Yang Mulia akan selalu jadi panduan kami!" Kata Wazir Akbar sambil menghaturkan takzim hormat. Telapak tangannya didekap ke dadanya.

Penasihat Istana berusia enam puluh lima tahun sedari tadi diam. Menyimak airmuka Wazir Akbar yang terlihat tunduk depan Sultan. Kedua mata mereka beradu-pandang. Wazir Akbar mengalihkan tatapan itu dengan tertunduk menyimak petunjuk Sultan.

Dia kenyang asam garam kehidupan siasat Istana. Segala yang tampak dan tersembunyi seperti tirai tipis menutup pandangan bilik jendela. Seperti sutera negeri Tiongkok yang dibawa pedagang-pedagang jalur sutera.

Penasihat Istana selalu tak mengerti dengan sikap Sultan yang menolak mimpi-mimpi syair Sultan dibawakan ke hadapan para ahli nujum. Sejak beliau naik tahta, segala yang berbau ramalan dan nujum dijauhkan dari Istana. Sultan menerima pendidikan Istana yang kental dengan ajaran para Hoja dan Haci yang dulu didatangkan mendiang Sultan sebelumnya, yaitu bapaknya Sultan sendiri.

Sultan menggemari sejarah, kartografi, astronomi dan sastra. Perpustakaan Istana bertambah besar dan berkembang pesat dengan sumbangan pribadi Sultan dalam membeli kitab-kitab terbaru Bait al-Hikme. Sultan sendiri yang mengepalai Dewan Tinggi Penyelidikan, Terjemahan dan Penulisan Bait al-Hikme.

Setidaknya, Sultan sangat kagum dengan masa-masa kesultanan Daulah Islamiyah di Baghdad, Granada, Cordova dulu. Sultan-sultan yang menggemari perbincangan perbancuhan ilmu pengetahuan dan sains-sains modern. Kapal-kapal ekspedisi yang membawa sejumlah penjelajah, ahli peta, ahli ilmu hayat yang berlayar ke negeri-negeri bawah angin, sekitar dua pekan lalu dilepas Sultan dan pembesar Istana di Pelabuhan.

***

Aku menutup halaman tiga puluh tiga dari sebuah calon novel yang aku merasa pernah berjumpa pengarangnya. Dan selama ini, tak ada penerbit yang mau bersedia menjadi pelantar karya-karyanya ke khalayak pembaca.

Lebih tepatnya novelis yang disia-siakan penerbit yang lebih memperhitungkan keuntungan pasar. Novel yang kubacakan ini, tidak termasuk kategori pemikiran para ahli pemasaran penerbitan mana pun. Jika diterbitkan, akan masuk barisan depan rak-rak bertuliskan; best seller. Yang tak tahu, bermutu atau tidak?

Dan jika kuikuti logika dunia penerbitan di negeriku yang banyak menerbitkan buku-buku sampah. Buku yang seperti curahan perasaan atau ocehan tak tentu ke mana perginya; ke hulu-hilir atau ke laut-darat. Sengaja aku tak pakai nama letak mata angin dalam kompas pencari arah sebuah kota atau negeri. Biar kau tahu, bahwa aku memang tak mau menunjukkan letak kota dan negeri itu?

Dan nahasnya nasib diidap lelaki itu tanpa kata. Tidak kepada siapa pun diceritakannya dari para pengunjung maqha*9 ramai di perempatan Korba Street, yang selalu ramai sepanjang siang hingga malam larut. Aku pun yang sesekali datang ke kedai kopi itu hanya sesekali bertemu dengannya. Kalau kesuntukan menekan hari-hariku bermukim di kota tua ini, sesekali aku pergi ke kedai kopi.

Walau banyak dakwaan yang tertuju kepada anggota perkumpulan kedai kopi yang melarat hari-harinya dengan leha-leha mengisap pipa panjang tertancap dalam botol panjang bulat Syisa*8 atau sekedar menyeruput Ahwa sadah.*10

Aku suka ke sana. Sambil duduk terhenyak di kursi kayu setengah lingkar menghadap gedung-gedung tua bergaya klasik berjajar rapi rancangan arsitek Baron Van Embain seratus tahun lampau. Lampu-lampu kuning telur menyimbah cahaya. Aku merasa disana, ada sesuatu yang kutunggu, seseorang yang tampak hendak bertamu.

Gelegar tawa dan perbincangan sepakbola tentang kedua kesebelasan ibukota yang bakal berhadapan tiga hari mendatang semakin seru. Klub Al-Ahly dan Zamalek adalah kedua seteru yang selalu meramaikan kompetisi liga sepakbola negeri pemegang juara Piala Afrika tujuh kali ini.

Kedua klub memiliki suporter fanatik. Jika perbincangan tentang sepakbola dibentang. Lupa lah segala kesusahan hidup yang membelit. Dan perbincangan tentang si kulit bundar tumbuh subur di maqha mana pun. Iya, kedai kopi yang selalu menyeduh hari-hari penggemar sepakbola. Aku sering terperangkap dalam lansekap kedai kopi ini.

Aku tak punya kaitan dengan sepakbola. Bagiku cukup ilham selarik sajak saja yang mekar dari secangkir Ahwa sadah atau Ahwa bil-halib sukkar ziyadah11 yang sering kupesan. Aku tak mau terlibat jauh dengan perbincangan sepakbola kedua kesebelasan seteru abadi.

Secangkir kopi hitam Arab itu membentangkan layar sajakku berlayar. Kapalku meniti ombak Mediterannia seperti yang kubaca dalam halaman tiga puluh tiga dari novel yang tak pernah diterbitkan penerbit mana pun. Novel itu aku temukan tergeletak di sebuah bangku pojok pinggir kedai kopi tua di perempatan Korba Street yang selalu ramai itu.

Lelaki tua tadi, mungkin lantaran buru-buru, dia terlupa meninggalkan sebuah calon novel yang belum terbit. Novel itu tengah di tanganku. Aku berpikir, bagaimana mengembalikan karangan tercecer ini? Apakah aku mesti datang setiap hari di maqha ini, sambil berharap pengarang tua itu datang mencari-cari karangannya?

Aku putuskan, bahwa aku harus menyimpannya. Akan kujaga dengan cermat. Walau aku mohon maaf, sempat terbaca pada halaman tiga puluh tiga yang ditulis dengan huruf abjad yang bermulai dari sebelah kanan penulisannya. Karangan itu aku selipkan dibalik jaket tebalku.

Di luar angin penghujung musim dingin bertiup kencang. Secangkir kopi ahwa sadah tersisa ampasnya terpelanting di meja depan jalan itu. Jalanan menggigil itu terus ramai berbancuh perbincangan bersama asap-asapsyisya yang berpuntal-puntal keluar dari mulut para pengisapnya.

Aku merapatkan jaket tebalku. Memasang topi pet hitam hadiah dari sahabatku. Dan topi pet itu juga yang disukai oleh pengarang tua itu, suatu petang tiga hari lalu dia juga mengenakan topi yang sama. Aku kadang melihat wajahku di cermin kedai kopi itu, seperti pengarang tua di masa mudanya yang sudah tertinggal jauh.

(Bersambung)

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home