musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Wednesday, February 25, 2009

Tentang Dua Cerpenku di Sriti.com

Tentang Dua Cerpenku di Sriti.com

]Tak sengaja kutemukan dua cerpenku yang dimuat Batam Pos. Kembali dibadikan www.sriti.com dalam situs kumpulan sastra Indonesia terkini.

1. Cerpen: Biduk Sayak

http://www.sriti.com/story_view.php?key=2336

Mengisahkan tentang kepulangan seorang bujang perantau. Tiba-tiba dikampungnya sibuk hendak menghelat Biduk sayak adalah salah-satu bentuk kesenian panggung Melayu Jambi yang dah lama menghilang.

Tentang wak Dolah, seniman sejati biduk sayak yang hidupnya menggeluti kesenian satu ini. Mahir melemparkan pantun, menggesek semacam biola. Kepribadiannya sederhana, bersahaja, hangat, namun dikepung kemuraman pada nasib kesenian yang sangat dicintainya.

Hujan membuyar gairah khalayak menyimak pembentangan pantun dan gesekan biola khas Melayu wak Dolah. Percakapan mereka ditengah hujan lebat yang membungkus kampung. Dan subuhnya, sebuah peristiwa tragis menimpa sang seniman ketika hendak menuju masjid; ditusuk seseorang yang tak dikenal.

2. Cerpen: Risalah Cinta untuk Layla

http://www.sriti.com/story_view.php?key=2713

Semacam prosa liris seorang lelaki Musafir Fakir. Perindu ulung dibuayan fikir. Melalui 'risalah' yang ditulisnya di serambi Jami', pinggir bazaar kota asing yang ditumpangnya bersinggah. Dari jalan samping Jami' itulah, musafir fakir bertentang-pandang dengan Layla, putri Tuan Terhormat.

Entah angin apa yang membawa Musafir Fakir singgah bertumpang semalam-dua malam dikota Layla. Beratnya perjalanan jua, dan tuntunan takdir yang menghantarnya singgah merehatkan litak diserambi Jami'. Lalu, kota itu seolah mengobati kelelahannya, hingga mengenal sosok gadis memikat hatinya.

Bunga cinta yang sempat mekar dihati mereka berdua. Tiba-tiba ditampar angin keras tentangan puak Layla. Dan gadis itu seolah tak berani merempuh badai hebat. Tapi, bukan itu yang disampaikan Musafir Fakir melalui 'risalahnya', tapi perihal betapa ganasnya fitnah diujung lidah. Dalam penutup risalahnya dia menulis:"Sesungguhnya cinta tak mengenal bangsa. Tak pernah memilih nasab. Tak pula mengukur roman airmuka!"

Selamat menyimak-nikmat, wahai pembaca budiman!

Wassalam,

Rabea Adawea, Cairo, 25 Februari 2009

Ahmad David Kholilurrahman

Wednesday, February 18, 2009

Allahu Yarhamha Mak Cak Megawati binti H. Abu Bakar Ja'far

Allahu Yarhamha
Mak Cak Megawati binti H. Abu Bakar

Malam rabu tadi (18/02/2009), mataku susah sekali terpejam. Sudah kurebah badan dalam gulungan selimut tebal. Diluar, musim dingin sejuk menusuk dahsyat. Kaca jendela mengembun. Angin bertiup kencang, walau tak mengirim gulungan debu coklat pekat. Seperti pekan lalu, gumpalan debu memedihkan pupil mata menyelimuti langit Cairo dari pagi hingga petang.

Kurapal doa tidur, tiga surah al-Qur’an. Kubasuh bibir dengan zikir, mengingat lakuku selama dua puluh empat jam lalu. Aku merasa begitu hampa sekali. Menulis-mengarang seakan hanya memuas dahaga belaka. Tapi, setelah itu kebahagiaan jenis apa yang kukecap, keriangan macam mana yang kurasa?

Resah nian. Kelindan pikiran melintas tanpa henti. Berkeliaran keluar-masuk memenuhi ruang benak. Apakah aku mesti bangun menyisihkan selimut, meninggalkan kehangatan peraduan? Menulis-mengarang menyelesaikan esai sebagai hadiah buat sahabatku yang menikah sepekan lalu di negeri Tumasik (Singapore). Atau menyungkupkan sujudku ditengah malam gulita. Sementara kawan-kawan terlelap pulas dibawah selimut tebal.

Biasanya, kalau seperti ini, ilham memenuhi ruang imajinasiku. Bahkan pada waktu macam ini, aku menemui puncak resa (mood). Kerap-kali, serangkaian kreatifitasku terlahir dalam himpitan waktu, keterbatasan sarana, juga kepungan rindu-dendam entah pada apa dan siapa.

Kulayang pesan singkat pada seorang kawanku yang ‘bertunak’ menikah dengan salah-satu putri pimpinan pesantren disalah-satu kota di Timur pulau Jawa. Aku kadang rindu dengan nasehatnya, lalu kutulis seperti ini:

Assalam. Beri daku nasehat, kawanku! Penaku seolah hampa. Layla memenjaraku dalam kotanya, aku semakin terasing sekali. Wassalam”.

Tak sekerijap mata, HP ku menyuluh cahaya, terhidang balasan:
Aku harap layla terus mencintaiku, disaat cintaku telah memudar padanya”.

Aku ingat beberapa tahun lampau. Pernah suatu waktu, ketika dia masih menuntut ilmu di Al-Azhar, Cairo. Selepas bertandang ke kediamanku, dia meninggalkan selembar corat-coret diatas meja belajarku, ketika pulang dari luar flatt, aku menemui goresan memecut semangatku untuk terus menulis, dia melihat bakat luar biasa dalam huruf-hurufku.

Kucoba rehat memejamkan mata. Menjinjit alam pikiran pelan ke serambi tidur malamku. Aku dengar seperti suara orang mengingau. Kubangun kawan sebelahku. Katanya tak mengigau. Sebab, malam sebelumnya, aku terbangun mendengar suara orang seperti nazak. Astaghfirullah, ucapku. Suara kawanku yang mungkin mengigau itu lalu terdiam. Rupanya seorang kawan sampingku mendengar suara yang sama. Hanya saja, dia diam disangka semua penghuni kamar terlelap tidur.

Tiba-tiba tanganku meraih HP terletak dipangkal kepalaku. Sambil kabur mata, aku menerima kabar duka tentang Mak Cak dari adikku dikampung:

Asslm. Pagi ko jam 6 kurang makcak menghembuskan nafas terakhirnya lantaran sakit biasonyo. Tubuh mak cak yang ringkih, kurus-kering, disinar mata yang hampir redup. 2 hari lalu saya ke Jambi”.

Inna lillahi wa inna Ilaihi Raji’un!

Lalu kubalas sms adikku:”Sapo yang di Jambi ngadapnyo. Semoga keluargo semua bersabar dan ikhlas. Allahumma firglaha warhamha wa’afiha wa’fuanha”.

Juga kuucapkan ta’ziah pada anak-anak mak cak, yang dah kuanggap seperti saudara-saudariku sendiri. Juga pada kedua pamanku, seorang di Jakarta, satu lagi dipelosok timur Jambi diperusahaan kayu raksasa Tungkal Ulu.

Siapakah Mak Cak yang termaktub dalam kabar duka itu? Dia lah ayuk tertua dari emakku. Bagiku seperti ibuku sendiri. Kasih-sayangnya sedari kecil menangkup anak-kemenakannya. Sejak dikampung dulu, dalam kondisi kehidupan susah, mak cak dengan suaminya yang kupanggil uwak, adalah dua sosok yang mengasuhku dengan limpahan kekayaan hati.

Dia hadir membimbing adik-adiknya, termasuk emakku. Itulah kesyukuran yang tak pernah aku lupa luahkan pada Allah. Suasana kekeluargaan terjalin begitu hangat-akrab. Aku yakin, selain payung Datuk dan Nyaiku, peran mak cak dihadapan emak, paman dan bibi begitu besar.

Dia sudah jatuh sakit beberapa bulan sebelum aku pulang liburan musim panas tahun lampau. Diantara penjemput ada Datuk, nyai, emak, bapak, bibi, paman beserta anak-istrinya, dua adikku dan abang sepupu. Satu mobil kijang ditambah dua sepeda motor menjemputku. Namun, tak kutemukan sosok mak cak, ayuk tertua emakku.

Dirumah datuk, aku terkejut melihat sosoknya yang dulu gemuk berisi, berubah bertubuh ringkih, kurus-kering, cahaya mata memucat. Deraan penyakit menggerogoti tubuhnya. Kucium kedua tangannya, dia menciumku. Dia menangis ketika memeluk tubuhku. Seorang anak-kemenakan yang jadi musafir fakir menuntut ilmu berbilang tahun dinegeri asing.

Aku hadirkan keriangan dan keluarkan oleh-oleh. Kubentang cerita-cerita perjalananku dari negeri jauh. Selama beberapa hari kulihat agak enak perasaanya. Makannya dah mulai selera, meski belum lahap nian. Wajahnya pun lebih bercahaya. Pada emakku kukatakan, semoga mak cak lekas sehat kembali. Aku rindu hidangan masakannya. Seduhan kopi ternikmat yang dibuatnya. Alhamdulillah, anak-anaknya merawat mak cak penuh telaten.

Abang sepupuku anak kedua Mak Cak sengaja memutuskan berhenti kerja di Malaysia. Setelah bertahun-tahun membanting-tulang sedari usia muda. Belum lagi genap umur dua puluh, dia dah merantau sebelum bapaknya wafat. Selepas itu dia menanggung beban kehidupan keluarga sejak sebelas tahun silam.

Tanggung-jawabnya berat ukuran bujangan seusianya. Mencari nafkah, mengongkosi emak, kedua adik perempuan dan abangnya yang ketika itu masih menganggur. Aku kasihan melihat abang sepupuku ini, dalam umur tiga puluhan, roman wajahnya seperti menanggung beban serumah-layang. Kulihat kadang dia duduk termenung, sembari menyeruput kopi dan menghembus rokok filternya. Bapak dah wafat ke alam baka. Emak tengah sakit keras. Abang-adiknya satu pun belum berkeluarga.

Kadang-kadang, kami bercakap hingga jauh dini hari. Ditengah bungkusan gelap-gulita malam. Listrik di Jambi paling kurang mati tiga jam dalam sehari. Banyak hal kami otahkan. Maklum, aku dah bertahun-tahun tak pernah pulang kampung. Aku bertemu abang sepupuku di Kuala Lumpur sebelum merantau ke Mesir. Aku transit tiga hari empat malam dinegeri sekandung Melayu itu.

Setahun sebelum aku pulang liburan musim panas tahun lepas. Dia menawarku singgah di Malaysia dulu. Nanti, kita pulang serempak ke Jambi. Abang sepupuku ini baik hati. Tak tega melihat orang lain menderita. Tak jarang dia meluahkan isi-hatinya padaku. Melalui pendekatan sedikit ilmu agama, aku coba membantu memecahkan persoalan yang ditanggungnya.

Menjelang dua bulan sebelum kepulanganku, dia sudah pulang duluan. Lantaran emaknya sakit keras. Dia mau dekat berkhidmah pada emaknya. Merawat dan memantau langsung pengobatannya. Aku jatuh iba padanya. Tapi, jiwa abang sepupuku ini begitu kuat-tegar. Mungkin, sudah terbiasa sejak lagi berumur bujang kecil sudah menanggung beban maha berat. Terus-terang, aku banyak belajar dari semangatnya.

Setibaku di kota Jambi. Lima hari aku habiskan sebelum menuju kampung halamanku, Gurun Tuo. Aku sengaja mau menghibur hati mak cak. Kupikir, boleh jadi kedatanganku sedikit memberi pengaruh pada proses penyembuhan penyakitnya. Tubuhnya mesti beristirahat total. Tak diperbolehkan menanggung pekerjaan berat menyita tenaga dan pikiran. Aku bersyukur, semua anak kemenakan dan keluargaku memperhatikannya.

Jam satu siang WIB tadi (18/02/2009) jenazahnya tiba dikampungku. Sesampai dimandikan, dikafankan. Di sholat dan dikuburkan menjelang jam tiga petang tadi.

Terngiang-ngiang ucapannya ditelingaku, ketika memelukku hendak berangkat ke Cairo lagi awal november tahun lalu. Mungkin, ini akhir kali, katanya. Aku menengok matanya meleleh serupa mata datukku yang uzur dimakan usia tua. Kedua orang ini mengucurkan airmata paling dahsyat. Aku jawab:”Insya Allah, mak cak lekas sehat lagi! Berdoalah terus memohon kesembuhan pada Allah SWT".

Tentang mak cak. Dia lah sosok kedua selepas kedua orangtuaku yang menaruh kasih-sayang berlimpah padaku. Tiga tahun lamanya, dia merawat dan menjagaku ketika aku bersekolah menengah pertama di kota Jambi awal sembilan puluhan. Emak dan bapakku menitipku dirumah datukku di Jambi. Sedangkan yang menempati rumah itu, mak cak sekeluarga, paman dan sesekali datang datuk-nyaiku dari kampung.

Setiap pagi, mak cak yang menyiapkan minuman pagi, nasi goreng dan secangkir teh. Merawatku seperti merawat anak-anaknya yang lain. Semua anak-kemenakan pernah merasa asuhan ‘hangat’ tangannya. Juga adik-adik sepupuku yang ditinggal mati emaknya. Sepupu-sepupuku yang kecil-kecil ditinggal kerja emak-bapaknya.

Jadi, mana lah aku lupa jasa baiknya. Semoga Allah balas dengan naungan rahmat dan cucuran maghfirah-Nya pada mak cak tercinta. Aku mesti banyak-banyak baca doa tastbit, sebagaimana yang diajarkan Rasulullah SAW bagi yang wafat. “Allahumma firglaha warhamha wa’afiha wa’fuanha....”. Wallahu A’lam

Rabea Adawea, Cairo, 18 Februari 2009

Tuesday, February 10, 2009

Layla, Aku Singgah Sejenak di Dubai


Seorang kawanku membaca sebuah tulisanku. Tulisan singkat ini kubuat ditengah hiruk-pikuk manusia di Dubai International Airport. Ketika itu, aku menikmati liburan ke 'tanah-air'; Jambi tercinta, pada bulan Juli-November tahun 2008.

Ditengah galauan 'manusia transit' di bandar jasa dan dagang terbesar di Timur-Tengah itu. Aku menyempatkan diri menulis. Padahal ditulis selepas lelah antrean dengan bule depan fasilitas internet gratis.

Maklum, perjalanan musafir fakir, mana lah ada 'bekal' HP canggih, apalagi laptop! Jadi, dalam keterbatasan fasilitas, diwaktu sempit juga ditengah galauan khalayak ramai, justru kutuangkan luahan hati ini.

Bukan salahku, kalau dibelakang hari, ada pembacaku yang menyimak-nikmat tulisanku. Lalu, memiliki apresiasi seperti dibawah ini: (Cetak miring dariku)

nilai sastranya amat berbobot, di tulis dalam waktu yang singkat menunjukkan bahwa muatan ilmu dan wawasan yang melimpah serta kekayaan kosa kata yang dimiliki penulis, keindahan kata yang ada menarik perhatian dan manis di lidah ketika di baca,,,
ungakapan pujian ini bukan basa-basi namun dari kekaguman dan fakta akan kehebatan nilai sastra...sehingga penulis mampu menyihir pembaca dengan keindahan bahasanya... .
andai penulis bersedia menurunkan ilmunya, tentu ini amat berharga bagi pecinta sastra di banding sekantung emas mutiara yang di berikan secara cuma-cuma...
..

Adapun Esai singkatku, seperti inilah wujudnya:

Layla, Aku Singgah Sejenak di Dubai!

Ahmad David Kholilurrahman

Assalamu'alaikum

Wahai Layla,

Musafir fakir itu tengah bersafar. Kini aku tengah 'singgah' sejenak di Dubai. Kota kaum pendatang dan pekerja asing di jantung teluk. Mereka seperti rama-rama sehabis hujan membasuh malam sejuk.

Aku akan pulang ke matarindu Ibu. Setelah bertahun-tahun menabung rindu. Menghirup harum kasih-sayang tangan Ibu. Pun, aku akan balek kampung ke Gurun, negeriku Jambi. Setelah merantau bertahun-tahun ke negeri jauh.

Aku mau menulis rindu sajak-sajak pengembaraan, menuntaskan catatan perjalanan, mengarang cerpen dan (bermimpi) menulis novel sulungku.

Bagaimana rupamu, Layla, adakah serupa cuaca sehabis hujan negeri tropika?

Aku akan kembali lagi ke negerimu, Layla. Tak bakal aku dapat melupakan negerimu yang kuanggap 'tanah-air' keduaku. Petang tadi, matahari hangat negeri Piramida melepas perjalananku pulang kampung.

Bersabarlah, menunggu kisah-kisah perjalananku, ya Layla. Setelah aku seperti dilanda kemarau panjang, secercah senyummu kuingat rapat-rapat di lorong-lorong kotamu.

Aku akan kisahkan padamu nanti dipinggir sungai Nil, seperti yang sering kuadukan setiap-kali aku diterkam suntuk dikotamu.

Aku tak dapat membayangkan; tanah-air, tumpah-darahku. Juga airmuka Ibu, bapak dan saudara-saudaraku bertemuku nanti.

Wahai Layla, jaga dirimu baik-baik. Sungguh, aku juga terus merindu senyum gadis negeri padang pasir!

Wassalam,

Dubai International Airport, 12 Juli 2008 jam 1.30 malam

Musafir Fakir

Monday, February 9, 2009

Sajak: Rumah Pengasingan

Sajak: Rumah Pengasingan

Ahmad david Kholilurrahman

Rumahku negeri pengasingan
Sajakku kemah pengungsian
Sekeping roti sarapan pagi,
Sisa gandum tahun lampau

Tangan angin ketam putik zaitun
Semerbak darah Gaza;
adalah manis ceri, harum jeruk, wangi yasmin

Ranum senyum syuhada’ semengkal kurma
Ditampung tujuh danau kesedihan

Jelaga hitam abadi dikotamu,
Benteng kokoh ditelapak kakimu,
Rumah berteduh anak-anak kemerdekaan
Taman bersunyi musafir fakir

Jika angin tualang meniup kemahku,
Kubawa kau pergi menunggang kuda perang

Kafiyyeh hadiah darimu, juga separuh rinduku
Separuhnya lagi kutitip dipelupuk matarindu Ibu

Heliopolis, Cairo, 9 Februari 2009

Sunday, February 8, 2009

Sajak: Subuh di Gaza


Sajak: Subuh di Gaza

Ahmad David Kholilurrahman

1/
Dipuing perang, kubah masjid telungkup,
Fajar shadiq memijar murup
Azan subuh menyeru jauh sesayup
Tangis gerimis membasuh kuyup

2/
Semalam kumbang tempur menabur api
Dinding sekolah rubuh, berbalut perban jerami
Jalanan kota lunglai bertelekan tongkat besi
Rumah sakit pucat pasi, menyeka keringat basi

3/
Shalat jua menegak benteng kaki-kaki beku,
Takbiratul ihram melebus mihrab teduh
Ayat-ayat suci gumam bibir bisu,
Raka’at menderu ke pintu langit ke tujuh

4/
Tunak tuma’ninah doa tanah tumpah-darah,
Khusyuk rukuk menyusun tulang rusuk,
Dua puluh tiga hari berdarah,
Teresuk airmata Gaza, memeluk suluk

Heliopolis, Cairo, 8 Januari 2008

Friday, February 6, 2009

Sajak: Lidahmu, Salju Davos Terbakar


Sajak: Lidahmu, Salju Davos Terbakar

-Recep Tayyip Erdogan

Ahmad David Kholilurrahman

Dibeku salju davos, matadunia meleleh
Galauan penguasa-saudagar terbelalak

Kilat jantan membakar roman tampanmu,

Dibeku salju davos, telingadunia tersuruk badai
Serupa tangis Gaza terleceh,

Pedang lidah tuan tetak airmuka pembunuh

Dibeku salju davos, kakidunia terpacak
Tuan gagah-berani keluar majelis

Pulang ke tumpah-darah, dengan kepala tegak,
Bersambut kelepak tepuk-tangan menggelegak

Berabad-abad tunggu Al-Faruq buka kunci Al-Quds,
Gemerincing kuda Shalahuddin, angin utara berhembus

Seperti setetes embun ditangkai daun zaitun

Dibeku salju davos, hidungdunia berselekeh
Tak seorang pun yang berani terkekeh

Raja-raja itu serigala berbulu domba,
Tertawan gemetaran takut jatuh dari menara Babel

Heliopolis, Cairo, 6 Februari 2009