musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Friday, October 30, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (14)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (14)


Ahmad David Kholilurrahman


Gunung Sirih, Gunung Pinang dan Gunung Ringgit


Setekun jahit serindit memucuk kelapa
khidmat daku serah terima perabayan

Gunung ringgit, gunung pinang, gunung sirih*


Dalam adat-istiadat sedekah kenduri perkawinan dikampungku dikenal tiga gunung-gunungan penyerta arakan pengantin lelaki menuju rumah pengantin perempuan. Tiga gunung-gunungan itu yakni Gunung Sirih, Gunung Pinang dan Gunung Ringgit. Selain bunga-bungaan dari kertas jagung yang dililit pada kawat yang dibungkus berwarna-warni disertai permen gula-gula untuk anak-anak kecil.

Ketiga gunung tadi terbuat dari kayu yang ditusuk bambu. Buah pinang kuning dan hijau bercampur melekati kayu yang dibungkus kain dan dialasi baki. Sedangkan gunung sirih juga berupa kayu yang dilingkari kawat, diselipi dedaunan sirih hijau. Adapun gunung ringgit, adalah seulas kain yang dilingkari pada kartun, uang ringgit berlubang tengah ditempeli dengan lem perekat pada kain hitam bergulung melingkar. Uang ringgit itu biasa dipinjam dari koleksi milik Nyai Te Cik Ima, panggung masak tersohor dikampungku.

Serah-terima perabayan adalah helat sebelum akad nikah antara mempelai lelaki dan perempuan diikatkan dalam buhul pernikahan. Barang-barang yang diserahkan pihak yang mewakili lelaki kepada pihak mempelai perempuan itu biasanya adalah datuk-datuk atau tokoh adat terpandang. Sebab, marwah keluarga ketika helat pernikahan ini juga sama-sama dijaga oleh kebijaksanaan dalam bersambut pantun kelak. Barang-barang bawaan berupa hantaran ini berupa seperangkat alat sholat, mushaf al-Qur’an, sajadah, telekung-mukenah, alat-alat perhiasan berupa cincin dan gelang. Pakaian mempelai wanita, sepatu, tas. Alat-alat kosmetika; bedak, pupur, parfum, celak mata, lotion pelembab dan perawatan wajah.

Sejak pagi hari, suara gendang-kompangan terdengar bertalu-talu dari rumah mempelai pengantin lelaki. Karena calon suami ayuk sepupuku ini orang luar kampungku. Maka dia menumpang berlarak dari rumah Datuk Muk Manshur, dekat masjid tua itu.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk."

Kompangan dari kulit sapi dan dencingan logam bertalu-talu. Kumpulan penabuh terbangan-yaitu gendang kompangan ini terdiri dari tujuh sampai delapan orang. Yang dikepalai oleh Muk Zaki, Lok Fahri, Paksu M. Zaki@Joko, Pak Cik Nasir, Raden Dolah, Mirwazi, Bang Cik Ja’far, Zamakhsari dan lain-lainnya. Wajah-wajah cerah-ceria penabuh terbangan sontak-semarak. Senyum-senyum terkembang sembari tekun menabuh kompangan mengatur serempak bunyi dan iramanya.

Anak-anak kecil sibuk meramaikan semarak sedekah pengantinan dengan baju-baju rapi dan wajah baru mandi pagi digandeng orang-orang tua mereka. Mereka sibuk berkumpul ditangga dan laman rumah. Kalau, tak ada anak-anak kecil, suasana sedekah pengantinan juga terasa kurang afdhal. Begitulah yang berlaku dimasyarakat kami Melayu Jambi, bahwa perhelatan sedekah kenduri perkawinan adalah kemeriahan sekurung-sekampung. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Dibawah rumah, meja-meja panjang yang dipinjam dari Madrasah Al-Fatayat menyajikan ceret-ceret besar berisi kopi panas A tigo dan teh. Biasanya, ceret kopi itu lah sasaran utama para rombongan pengarak pengantinan. Penggemar minum kopi adalah jumlah mayoritas terbesar dikampungku. Jangan tanya, dalam sebulan mereka biasa menghabiskan berapa kilogram stok kopi yang dijual di toko-toko saudagar atau tauke getah karet dikampungku. Yang jelas, kalangan saudagar membeli kopi terbaik itu berkaleng-kaleng besar. Penikmat minum kopi pagi diperhelatan mengarak pengantin berteman hembusan asap rokok kretek dan perbualan hangat meledakkan derai-tawa.

Kulihat, Wak Nga pun tampil necis dan rapi luar biasa. Celana hitam dan baju kemeja putih lengan panjang disetrika licin sekali. Rambut kuning ikal jagungnya ditutupi kopiah hitam cap Haji Iming. Kopiah andalan yang dipakai untuk hari-hari besar semacam hari raya Idul Fitri, Idul Adha, sholat Jum’at dan undangan sedekah pengantinan. Jangan main-main, kopiah hitam terawat baik, walau dibelinya tiga tahun lampau.

Dia selalu menjadi pusat keramaian gelak-tawa. Mimik airmukanya terkadang bersungut-sungut, ketika memperagakan keseriusan, lalu pelan-pelan mencair menjadi derai hujan tawa. Dan jangan kau cari dimajelis penabuh gendang-kompangan. Bukan disitu maqam-nya. Tingkatannya ada di bawah rumah, dekat meja dan kursi panjang yang dipinjam dari Madrasah Al-Fatayat yang tersaji hidangan ceret-ceret kuning besar berisi kopi dan teh.

Wak Nga adalah penyemarak sedekah pengantinan paling piawai dikampungku, kawan! Sosok entartainer paling semarak ini, pandai meriuh-rendahkan suasana dengan gaya-gaya seperti MC kondang ibukota Koes Hendratmo yang membawa acara “Berpacu Dalam Melodi” yang suka sekali ditontonnya dalam siaran Televisi Nasional dirumah saudagar tauke getah karet dikampungku. Wak Nga dijadwalkan tampil keesokan malamnya memandu sebuah perhelatan ahad malam senin.

Satu jam lebih kumpulan penabuh gendang-kompangan secara berirama menabuh gendang berdencing logam dan gendang tanpa dencing. Suara-suara tabuhan menandakan bahwa tak berapa lama lagi pengantin lelaki tampil rapi berjas hitam, berkain sarung dan berkopiah hitam. Senyum cerah, secerah matahari pagi terkembang diwajahnya. Postur tinggi besar, tampil seperti Raja-raja dizaman dahulu.

Dibangku Masjid depan masjid tua itu, ramai juga rombongan pengarak pengantinan duduk mengobrol. Asap-asap rokok kretek melingkar biru, serupa gulungan asap panduk, ketika ladang-talang dibakar dimusim kemarau. Lalu-lalang obrolan berseliweran, dari hal-ihwal biasa sehari-hari sampai kejadian luar biasa di luar negeri. Makanya, ada ungkapan:”Jangan pinjam kata pada orang Melayu, nanti beranak-pinak, bercucu-cicit jadi cerita”.

Aku dan sepupuku yang selusin dikenal sebagai “Bujang Bangku Masjid” telah hadir sejak pagi buta. Maklum, yang sedekah kenduri pengantinan ayuk sepupu kami menjadi tanggung-jawab kami membantunya. Makanya, sejak dua malam sebelum hari H pernikahan ini, kami tidur dirumah mempelai pengantin perempuan. Tidur bergolekan berkain sarung dengan kawan-kawan sebaya. Karena yang namanya menyiapkan sedekah kenduri pengantinan adalah terlibat secara penuh. Dan ada saja, tugas yang kami kerjakan, kalau tak mengambil air disumur, iya mengangkat kayu puntung bakar ke bawah tarup masak dibelakang rumah. Belum lagi disuruh oleh bagian penghias ruangan beli keperluan ini-itu.

Tapi, sungguh suasana marak-semarak meriah sedekah kenduri pengantinan selalu kurindu ketika aku merantau jauh ke negeri orang. Aku selalu mengenang adat-istiadat Melayu Jambi kental, semangat tolong-menolong dan perasaan senasib-sepenanggungan menjadikan kami rukun sepakat dalam bimbingan kaum Tuo Tengganai, Alim-Ulama dan Cerdik-Pandai.

Aku menangkap marak-semarak lain diwajah keempat abang sepupuku yang telah bergabung dengan kami. Setelah kemarin kami selalu diusir secara halus, setiap kali aku dan sepupuku yang lain datang mendekat. Seakan-akan, kehadiran kami dianggap merusak rencana mereka yang tengah jatuh hati pada ketiga gadis dari Jambi yang datang hari kemarin. Dan semakin, kami diusir secara isyarat, semakin gila kami mendekat. Hahahahahhaha

Abang sepupuku yang tertua dan kedua terlihat duduk dibangku panjang dekat majelis Wak Nga. Namun yang ketiga dan keempat tak terlihat batang hidungnya. Tak lama kemudian, abang sepupuku yang ketiga dan keempat sudah ikut bergabung sembari menuangkan gelas-gelas kecil beling bercorak bunga. Dua tiga kali hirup, kopi tersedap yang boleh melupakan himpitan beban kehidupan lesap ke dalam kerongkongan mereka berempat. Dituang kembali, sambil melirik Wak Nga yang tengah menjentikkan jemarinya ke kopiah hitam tergenggam ditangan kirinya.

Bukan main gaya penampilan keempat abang sepupuku. Segak dan lagak. Tampang mereka berempat boleh tahan lah. Kurasa, mana ada anak dara yang tengah bersolek pada perhelatan pengantinan ayuk sepupuku yang tak suka pada mereka. Dan hal itu juga, diam-diam menular pada aku dan sepupuku yang sebaya. Kami selalu mau tampil segak dan lagak. Walau, kami sadar bahwa orangtua kami bukan lah kalangan saudagar kaya-raya. Namun, soal gaya penampilan, kami boleh tahan lah.

Mempelai pengantin lelaki menuruni tangga, seraya diiringin tabuhan terbangan kompangan yang dibawa oleh Muk Zaki dan kawan-kawan. Raden Dolah terselip dalam kumpulan penabuh kompangan berbaju batik hitam, bercelana hijau lumut dengan kopiah hitam bertengger dikepalanya yang berpotongan cepak ala polisi itu.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk."

Tetabuhan khas dipangkal tangga mengawali dari iringan arakan pengantin lelaki menuju rumah pengantin perempuan di bagian tengah kampungku.

“Allahummma Shallliiiii...”. Iringan sholawat dan lagu-lagu kasidah berbahasa Arab memantik tetabuhan terbangan kompangan. Kadang-kadang ucapan terdengar seimbas-pintas dilumat angin. Menurut cerita yang beredar, lagu-lagu khusus pengiring kumpulan tabuhan terbangan-kompangan ini sudah dihapal turun-temurun. Cuma ada abang sepupuku yang lebih tua, yang pernah mondok pesantren ingin meneliti kalimat-kalimat berbahasa Arab yang dilafalkan oleh kumpulan penabuh terbangan-kompangan.

Maklum, Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah dan rumah-rumah pengajian Al-Qur’an dikampungku dikenal luas di seantero Jambi sebagai perigi ilmu, tempat orang dari ulu dan hilir datang mengaji mengaju tanya dan menunggu surahan dari mulut datuk-buyut kami. Dulu orang-orang dari uluan, seperti Tabir, Air Liki, Lamban Segatal, Sepintun, Lubuk Napal, Kasang Melintang dan Pangkal Bulian mengirim anak-anak mereka datang mengaji agama ke kampungku. Begitu juga orang-orang dari wilayah peiliran, seperti Rantau Kapas dan kampung sekitarnya berduyun-duyun datang mengaji.

Rombongan arakan mempelai pengantin lelaki berpayung, disampingnya diapit oleh dua orang abang sepupuku yang lebih tua lagi dan pemegang bunga-bunga kertas jagung, permen gula-gula berjuntaian. Didepannya barang-barang properti parabayan seperti yang kusebutkan diatas tadi. Diusung gunung-gunung Sirih, Pinang dan Ringgit yang dipegang oleh orang dewasa.

Aku paling suka mengamati iringan rombongan arakan pengantinan. Walau aku tak memegang kamera, aku merasa mataku sedari kecil sudah menyimak dan merekam secara cermat komposisi dan defile parade rombongan arakan pengantin mempelai lelaki yang menyita perhatian mata-hidung orang sekampung. Apalagi tabuhan terbangan-kompangan terdengar dari kejauhan, sebagai isyarat dari isytihar, pemberitahuan pernikahan yang disyari’atkan oleh agama Islam kepada khalayak ramai.

Dan iringan rombongan mempelai pengantinan ini sudah menempuh jalan laut. Jalan yang berhampiran dengan tepian sungai dikampungku. Dari seberang rumah Datuk Haji Hamdan pun, rombongan iringan arakan pengantin lelaki ini dapat terlihat jelas. Kulihat, dari bilik jendela rumah-rumah panggung yang dilewati rombongan, kepala perempuan bertengkuluk menjenguk ke luar. Mereka sebentar lag juga, segera bergabung menuju rumah mempelai pengantin perempuan.

Sesampai ditangga luar rumah Guru kami Buya Abdullah Manshur. Kulihat kaum Tuo-Tengganai, Alim-Ulama dan Cerdik-Pandai sudah memenuhi ruangan rumah bagian depan. Para Datuk-datuk, Wak-wak dan Paman-pamanku sudah hadir sejak tadi dengan pakaian rapi. Begitu juga dengan perangkat desa dan tokoh-tokoh masyarakat menyemut ramai.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk."

Tetabuhan kumpulan terbangan-kompangan masih meriuh-rendah, marak-semarak melontarkan sontak kemeriahan. Kepala para penabuh terbangan-kompangan memiring ke kiri dan kanan, memiringkan letak kopiah. Lalu dengan tabuhan pengakhiran, mereka mengisyaratkan bagi rombongan pengantin lelaki untuk menaiki tangga. Diiringi abang-abang sepupuku yang lebih tua mendampingi calon suami ayuk sepupuku ini.

Para pembawa parabayan, gunung sirih, pinang dan ringgit serta bunga-bunga kertas menghantarkan ke ruang bagian depan rumah panggung itu. Kaum muda sibuk berkumpul dibawah rumah, termasuk juga Wak Nga kami tadi. Dan dia selalu tampil enerjik, penuh semangat dan humoris. Dilaman yang terbentang tarup-pentas itu pun, khalayak undangan duduk melepas capai setelah ikut mengarak rombongan arakan mempelai pengantin lelaki ke rumah ayuk sepupuku yang mempelai pengantin perempuan.

Calon suami ayuk sepupuku ini duduk takzim diatas kasur kecil beralas karpet hambal. Didepannya meja kecil-rendah berlapiskan kain beludru. Dihadapannya duduk calon mertuanya, Guru kami Buya Abdullah Manshur yang mengenakan pakaian Gamis putih, bersal corak merah-putih, dan igal hitam dikepalanya, akan langsung menikah anak perempuan tertuanya ini dengan lelaki dari tanah Jawa yang juga berprofesi Guru. Disekelilingnya duduk datuk-datuk, wak-wak dan paman-pamanku yang berjumlah puluhan orang. Begitu juga kaum Tuo-Tengganai, Alim-Ulama dan Cerdik-Pandai.

Pembawa Acara, yaitu Pak Su Mushadiq sudah mempersilahkan tetamu undangan untuk mengisi ruangan dan sebentar lagi serangkaian acara akad-nikah akan dilangsungkan. Sebelum ijab-kabul dibuhulkan, biduk rumah-tangga terkumpul. Para hadirin terdiri dari tuo-tengganai, alim-ulama, dan cerdik-pandai sudah mengisi ruangan yang telah disediakan. Setelah acara secara resmi dimulai, dibuka dengan sepatah-kata pembawa acara, dan pembacaan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan oleh Bang Cik Ja’far Sya’rani terdengar khusyuk.

Sebelum ijab-kabul membuhul,
biduk rumah-tangga terkumpul
Terbentang laman suruh-tegah orangtua
Terulang tegur-sapa pameman pamanda**


Kemudian sambutan dari pihak mempelai perempuan yang biasanya diwakili oleh Kepala Desa Gurun Seberang, Datuk M. Syafi’ie menyampaikan sepatah-dua patah kata, diselipi pepatah-petitih. Kemudian sambutan dari mempelai lelaki yang diwakili Kepala Desa Gurun Tuo Simpang, Datuk Haji Muhammad Hamdan, dengan harapan semoga terjalin pernikahan ini sebagai pertemuan jodoh. Dan pernikahan adalah proses saling mengenal antara kehidupan berpuak-berkaum, juga berbangsa.

Maka setelah itu adalah mata acara serah-terima Perabayan yang diserahkan pihak yang mewakili mempelai lelaki kepada pihak yang mewakili mempelai perempuan. Ditutup dengan mengunyah daun sirih yang terletak dalam kotak keemasan.

Suasana berlangsung khidmat dan takzim. Ketika menjelang acara akad-nikah, maka inilah saat yang paling mendebarkan bagi kedua mempelai calon suami-istri. Kutengok, ayuk sepupuku duduk menunduk dalam majelis itu. Lalu, Guru kami, Buya Abdullah Manshur duduk tenang. Beliau yang juga wali nikah dari mempelai perempuan, selain dikenal sebagai Ulama, juga Penghulu atau Kadi yang menikahkan orang-orang dikampungku.

Beliau menggenggam mikrofon, bersuara lantang memimpin langsung proses ijab-kabul akad-nikah. Setelah akad nikah itu dinyatakan sah dengan persaksian. Airmata bahagia dan haru menetes dikedua sungai airmata ayuk sepupuku. Sedangkan suaminya, yang baru saja disahkan menjadi pendamping hidupnya menyeka sapu tangan dikeningnya. Dalam ruangan yang ketika ijab-kabul dilangsungkan hening seketika, lalu menjelma senyum bahagia terkembang. Melalui mulut corong pengeras suara yang tergantung diloteng rumah, terdengar suara doa:”Baarakallahu Lakuma wa Baaraka 'Alaikuma wa Jam’a Bainahuma fi Khairin.”

Acara selanjutnya adalah nasehat perkawinan yang disampaikan oleh Pamanku Kasyfun Nadzir Rasyid. Ulama muda ini adalah teladan kampungku yang menimba ilmu di Al-Azhar, Mesir. Nasehat-nasehatnya diuraikannya dengan bahasa yang jernih dan bernas. Beliau juga mendedahkan perihal hak dan kewajiban berumah-tangga. Dengan menyitir Surah Ar-Ruum ayat 21, dia mengulas tafsirnya seputar intisari kehidupan pernikahan yang disyari'ahkan Allah pada umat manusia. Diiringi dengan mengutip hadits Rasulullah, anjuran bagi kaum pemuda-pemudi untuk segera menikah dan membentuk rumah tangga yang Sakinah Mawaddah wa Rahmah.

Doa kesyukuran pernikahan dibacakan oleh Guru kami Wak Hasan Utsman dengan penuh khusyuk dan syahdu. Suara-suaranya yang jernih seperti telaga ditengah hutan. Makhraj huruf dari doa yang dilafalkannya begitu pas dan sesuai dengan tuntunan doa Rasulullah. Lalu, suara amin, amin, amin terdengar berulang-ulang kali menggema ke langit. Sebagai ungkapan kesyukuran atas pernikahan yang dinaungi ridha Allah Subhanallah Wa Ta’ala.

Setelah Pak Su Mushadiq menutup acara dengan pembacaan Hamdalah dan doa Kaffaratul Majlis. Maka, pasukan penghidang bujang-bujang, termasuk selusin Bujang Bangku Masjid mulai sibuk menyusun piring dalam hidangan seng berwarna putih, bermotif bunga-bungaan. Lalu, menghidangkan pada saf makan pertama, yang biasanya diperuntukkan kalangan Tuo Tengganai, Alim-Ulama, Cerdik-Pandai dan tetamu undangan luar kampung. Saf kedua, bagi yang kaum muda yang berkeluarga. Dan saf ketiga, adalah rombongan kaum bujang, termasuk "Selusin Hantu" Bangku Masjid itu. Satu hidangan diperuntukkan dua porsi lengkap dengan dua piring nasi minyak ala Gurun mengepul panas, lauk-pauknya; Rendang, opor ayam, masak itam hati, masak kacang, acar atau zelatah plus sambal tumbuk. Alhamdulilah, sungguh lezat, kawan!

Ketika menghidang sajian sedekah kenduri yang hidangannya diangkat dari dapur ke ruang tengah, ruang luar dan pentas ditarup itulah suasana begitu marak-semarak. Apalagi keempat abang sepupuku, mengambil kesempatan dalam kesempitan menggoda tiga anak dara dari Jambi yang molek-cantik itu. Kami cuma memandang dari kejauhan, sebab, kalau ingin mendekat ikut meramaikan, jelingan mata keempat abang sepupuku minta ampun. Seperti jelingan kucing gerong yang hendak menangkap tikus. Kami semua yang adik-adik ini merasa takut dilahap mereka yang tengah dilanda semarak getar-getar asmara muda. Lebih baik kami, mengganggu keasyikan mereka sesekali, sembari mendengar majelis pengotahan Wak Nga dipentas tarup dilaman muka rumah panggung Melayu itu.

Empat buah kuali kawah besar nasi minyak khas Gurun Tuo adalah dimasak oleh Wak Mad Boyak, Wak Seli, Pak Ning Mizi dan Datuk Bidin. Citarasa nasi minyak mengepulkan aroma rerempahan nasi Minyak khas Arab, tercium semerbak aroma kapulaga, cengkih, kulit kayu manis, jintan, lada dan lain menyeruak ke hidung. Terus-terang, sedari kecil dulu, aku lebih suka suguhan hidangan nasi minyak daripada nasi putih dalam perhelatan sedekah kenduri perkawinan dikampungku. Ada sebagian orangtua yang terkena darah tinggi, menghindarkan diri menyantap nasi minyak yang super lezat ini. Bagi mereka penderita hypertensi dihidangkan nasi putih yang sengaja dimasak dalam satu kuali kawah masak lain.

Nasi Minyak dan jenis masakan lainnya adalah kuliner khas Gurun Tuo turun-temurun. Perpaduan citarasa kuliner yang unik, Melayu dan Arab bersepadu dalam hidangan semandan berdua. Mengundang selera makan kaum bujang untuk terus bertambuh pinggan juga. Dan salah-satu trik dan tips menikmati hidangan makanan kenduri sedekah pengantinan secara lahap-nikmat, kata abang sepupuku yang politisi itu ketika kami makan serempak pada giliran saf ketiga adalah; Kamu nikmati saja pinggan nasi minyakmu dan jangan sesekali melihat ke pinggan orang lain! Hahahahahahaha

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 29 Oktober 2009

*Keempat bait-bait diatas, dikutip dari Sajak: Jahit Serindit, Ahmad David Kholilurrahman

Wednesday, October 28, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (13)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (13)

Ahmad David Kholilurrahman


Kumbang Mencari Kembang


Tensi kesibukan menjelang hari H pernikahan makin meningkat. Masing-masing seksi dan bagian yang dikoordinir oleh kepala koordinator bekerja penuh semangat, dijiwai semangat saling tolong-menolong, diselingi lelucon segar memecahkan derai tawa, seliweran ceret-ceret besar kuningan mengepulkan uap panas kopi tersedap Jambi, tambul kue-mueh dan rokok kretek berkeliling penjuru ruangan. Wajah-wajah orang terlihat cerah-ceria. Beban kemiskinan dan kesempitan hidup sehari-hari mencair terbang entah ke mana.

Menjelang petang pun, kesibukan agak mengendur sedikit. Lantaran beberapa pekerjaan telah diselesaikan. Katakan lah pentas tarup sudah berdiri tegak, beratap terpal pemayung hujan, beralas hamparan tikar, dan dihiasi lengkungan daun kelapa. Anak-anak kecil banyak yang duduk diatas pentas-tarup kadang mereka berlari kecil dan menghentakkan kakinya. Seketika dibujuk halus oleh Wak Nga untuk berpindah laman main ke tanah disampingnya saja. Mereka pun tersenyum riang. Kehadiran riuh-rendah suara anak-anak pun tetap penting, mereka juga adalah bagian penyemarak sedekah kenduri pengantinan.

Dari tarup tempat masak nasi dan lauk dilaman belakang rumah. Kawah-kawah besar yang terbuat dari besi diangkat oleh Wak Mad Boyak, Wak Seli, Pak Ning Mizi dan Datuk Bidin ke tepi drum besi yang menampung air. Mereka sibuk membersihkan empat buah kawah besar tadi dengan sabut kelapa, mencuci dengan sabun cap tangan, membilas-bilas dengan air. Lalu dikeringkan dipinggir tarup dengan cara menelungkupkan separuh. Asap rokok kretek mengepul dari bibir mereka bertiga, seperti asap kereta api yang berhampiran.

Dikampungku yang memasak nasi sedekah kenduri pengantinan adalah kaum lelaki. Walau nanti, panggung masak lauk-pauknya, atau cheef peracik bumbunya adalah Nyai Te Cik Ima, kelak diturunkan ke anaknya Mak Cik Rafi’ah. Selain itu dikenal juga Wak Andak Minah sebagai Cheef, panggung masak langganan kenduri sedekah pengantinan. Sekian puluh kilo daging, sekian takaran racikan rerempah-bumbu, dan proses memasak diatas kawah-kawah besar, berapi kayu bakar itu dipantau mereka langsung.

Wak Nga, sebagai koordinator seksi serbaguna, juga tampil dibawah tarup masak, dengan sebilah kelaci kayu sebesar pengayuh biduk. Rambutnya ikal jagung ditutupi handuk kecil terikat rapi, baju kaos putih dan celana coklat tua. Dimana pun dia berada, lelucon segar diiringi parade gaya dan mimik wajahnya memasang adegan atau aksi tertentu adalah hidangan segar penawar lelah. Tentu saja, selusin Bujang Bangku Masjid itu terlihat juga disana. Walau, kadang tak lengkap selusin. Mungkin, dua-tiga orang sedang disuruh beli ini-itu. Atau diminta ambil peralatan dan perlengkapan lain ke rumah orang yang dipinjam.

Namun, sejak petang hari tadi, aku tak melihat keempat abang sepupuku yang besar itu. Kemana gerangan mereka berempat berada? Diutus personil termuda, dikenal Bujang DK (Dewasa Kelamin) mencari kabar dimana keberadaan empat batang hidung mereka sekarang?

Rupanya, keempat mereka sibuk berada ditangga dapur, dekat kaum perempuan yang sibuk bekerja. Kadang-kadang kaum ibu-ibu membutuhkan tenaga mereka berempat untuk membantu mengangkat daging sudah dicuci, mengangkat baskom perasan santan dan pati kelapa, bumbu-bumbu yang sudah diracik dibawa ke tarup masak. Dugaan kami mengatakan, mesti ada sebab-musabab keriangan hati mereka berempat, sehingga betah berada ditangga dapur yang dibawahnya terletak semacam toko, gudang penyimpanan barang-barang bekas dan kelapa itu.

“Ai, mana mungkin mereka berempat suka hati berada disana, kalau tak ada gadis-gadis penyemarak bunga hati mereka”, kata sepupuku yang sering diidentikkan dengan tokoh polisi oleh Wak Nga.

"Aku yakin, kalau ada empat kumbang berterbangan, niscaya ada kembang terkembang bermekaran,” Aku menimpali seraya mengucapkan kata-kata puitis.

“Boleh jadi, kawan!” Sepupuku yang berambut ikal, suka pada hal-ihwal bertalian dengan psikologi atau ilmu kejiwaan, seakan radar dimata dan kepalanya langsung mendeteksi seketika.

“Nampaknya, malam ini kita lihat bersama, jika mereka berempat tak ada disamping Wak Nga, berarti dugaan dan tebakan kita tak salah alamat.” Kata sepupuku yang bertubuh gemuk-gempal dikenal rajin menghamburkan jala ditepian rakit-jamban menguatkan dalih.

“Begini saja, kita tenang-tenang, seolah-olah tak terjadi sesuatu hal apa pun. Yang jelas sembari kita selidiki secara diam-diam,” Balas adik sepupuku yang sejak kecil, kalau bercakap, paten nian mirip orangtua. Maka, dia digelar Bujang Paten.

Kami mengangguk setuju. Sembari duduk diatas tarup pentas yang semakin pakam. Sesekali anak-anak kecil berlarian meniti jinjang lantai bergoyang-goyang. Angin petang meniup-niup daun-daun jambu biji yang tumbuh diantara rumah guru kami Buya Abdullah Manshur dan rumah Datuk Ning. Beberapa saat kami terdiam, sembari menikmati puputan angin sepoi-sepoi mengusir gelisah diwajah kami.

Menjelang maghrib, kami pulang ke rumah masing-masing untuk mandi ke sungai membersihkan badan yang berselaput keringat seharian. Dirakit-jamban Datukku, kami asyik bercakap sembari terjun berenang dibagian laut sungai. Makna bagian laut-merujuk ke arah tengah sungai Tembesi yang berarus lebih deras daripada tepian tebing sungai.

Macam-macam gaya terjun lompat indah ala anak-anak kampung kami peragakan. Gaya terjun yang paling masyhur dikampungku ada empat macam, gaya terjun tombak, gaya terjun batu, gaya terjun bahul dan gaya terjun terbalik. Terjun tombak, adalah badan dan tangan diluruskan ketika melompat terjun ke dalam sungai. Seperti tikaman tombak tercacak ke badan sungai. Gaya terjun batu, kaki disilakan, kedua tangan menahan sila kaki setelah melepas lompatan dari batang dirakit-jamban bagian paling laut. Posisi badan katuh ke sungai, memang mirip batu dicemplungkan ke air sungai. Terjun bahul, yakni posisi kedua kaki dilipat ke perut. Ketika mau terjun, maka ucapkan lah;" Bahul bah!". Riak-riak air mendesak ke atas, dan badan yang tenggelam sejenak dalam air, menciptakan sensasi dahsyat, kawan!
Sedangkan gaya terjun terbalik, adalah posisi badan seperti melakukan lompatan ke depan, sembari membalikkan badan. Bagian yang paling dahulu terkena air, adalah bagian belakang badan.

Azan maghrib berkumandang mengisi jenak-jenak udara. Terpantul ke seberang hingga pematang bukit durian datukku. Menghulu mudik ke sungai Ruan, menyeberang ke hulu sungai Ale, menghilir hingga tepian Lek Giman didekat muara sungai Gurun. Azan mendayu-dayu yang dibang-kan Datuk Yasin dari masjid tua bertiang bulian, berdinding papan kayu, bercat kuning telur menebar undangan Allah bagi hamba-Nya untuk memakmurkan sholat berjama’ah. Kami segera lekas berlarian kembali ke rumah. Mengganti pakaian berkain sarung, berbaju dan mengenakan kopiah hitam lalu menghampiri masjid tua itu menunaikan sholat maghrib.

Sehabis sholat maghrib, kami duduk mengumpul sebentar dibangku masjid yang menyajikan panorama semburat lukisan raksasa sang Maha Kuasa dilangit petang. Awan bertabur-tabur, diperciki warna kuning tembaga, pelan-pelan meredup berwarna sepia, lalu kelam, gelap biru tua melamur. Angin penghujung petang bertiup lembut sepoi-sepoi, merayakan maghrib yang ghurub diufuk barat. Subhanallah!

Terus-terang, aku paling suka duduk dibangku masjid bawah pokok manggis tegak menjulang itu. Namun sehabis maghrib ini ada ajakan makan malam dari rumah sang pengantin, mempercepat langkah kami sebagai pasukan penghidang. Setiba kami dirumah ayuk sepupuku yang pengantin ini, kami menangkap senyum kalui, iya senyum mirip ikan kalui (gurami) diwajah keempat abang-abang sepupuku.

“Oi, amboi, apakah gerangan yang berlaku pada kalian, wahai abang-abang Bujang Bangku Masjid,” ujarku tersirat dalam hati.

Keempat mereka tampil rapi dan elegan. Seakan-akan panggung ruang makan ini adalah pentas catwalk mereka ke tengah, ke dapur menyajikan piring-piring lauk-pauk. Kadang berpapasan, sembari mengumbar senyum manis yang dilontarkan ke sekumpulan dara yang sibuk membantu menyajikan lauk-pauk dalam piring.

Rupanya, segala kecurigaan dan dugaan kami tak meleset. Keempat abang sepupuku bujang-bujang randuk, apabila kami ingin mengikuti mereka, dengan isyarat mereka berempat seolah mengusir kami dengan halus. Pergi lah kalian kerjaan hal lain, biarkan abang-abang kalian yang bujang-bujang menikmati alam kesemarakan orang muda. Mereka berempat kali ini, tampak kesit dengan kami. Tak diperbolehkan ikut ke mana mereka pergi.

Semenjak kedatangan rombongan tamu undangan dari Jambi tadi siang. Mereka sudah memisahkan diri dari kami kumpulan Bujang Bangku Masjid. Kehadiran tiga gadis dara dari Jambi sudah merebut hati mereka berempat. Ketiga gadis itu adalah keluarga dari orangtua angkat ayuk sepupuku yang pengantin itu. Ketika dia sekolah guru di Jambi, emak-bapak keluarga gadis bertiga itu berbaik-hati menjadikanya keluarga sendiri. Lagi pula, kakak perempuan ketiga gadis itu adalah teman karib ayuk sepupuku itu. Jadi, bukan lah hal asing, jika ketiga gadis molek datang memenuhi undangan pengantinan ayuk sepupuku.

Keempat abang sepupuku yang menanjak alam bujang, seperti mendapat kesempatan, ketika siang tadi mereka berempat lah yang diminta untuk menjemput rombongan tamu undangan dari Jambi menyeberangi sungai dengan perahu boat. Tentu saja, ‘keempat hantu’ Bujang Bangku Masjid itu, rajin mencari perhatian ketiga gadis bergaya modis itu dengan canda-tawa, pura-pura bertanya sok akrab dan juga kerajinan luar biasa memanggul tas bawaan keluarga ketiga gadis itu.

‘Keempat Hantu’ Bujang Bangku Masjid, yang sejak siang tadi kesit dari kami. Memisahkan diri dari majelis pengotahan Wak Nga didekat tarup masak atau pentas tarup laman muka rumah panggung itu lantaran ada periang hati. Kumbang menemukan kembang-kembang ditaman bunga yang semerbak bermekaran. Ketiga gadis itu seakan, menjadi perhatian dari bujang-bujang kampungku. Tentu saja, mereka tak berani mendekati, lantaran mengidap semacam 'mentality inferior complex'. Merasa tak percaya diri. Mau bercakap dan menegur sapa, khawatir didiamkan belaka. Mau mengajak obrolan tema perkotaan, menengok wajah kota Jambi rasanya belum pernah sekali pun.

Jadi, hanya Empat Hantu Bujang Bangku Masjid itulah yang rasanya memiliki mental baja. Virus 'mentality inferior complex' seolah takut mendekati mereka. Apalagi abang sepupuku yang tertua, dengan lagak siasat khas kaum politician, bukan main kepercayaan dirinya melambung tinggi. Ditambah lagi tiga abang sepupuku yang memasang gaya tak kalah dari bintang film akhir pekan yang sering kami tonton dirumah Datuk Haji Hamdan diseberang.

Bila malam bergaya pendekar zaman dulu. Kain sarung terselempang dileher, kali ini mereka sisihkan dulu. Pakaian rapi bercelana jeans, berbaju kemeja kotak-kotak, dan songar sisiran rambut mengkilap berminyak dimalam hari. Baunya minta ampun, menyengat seisi ruangan rumah. Demi periang hati disedekah kenduri pengantinan ayuk sepupuku ini, mereka menjadi begitu tampil flamboyan dan penuh gaya. Tampang keempat abang sepupuku ini boleh tahan, walau kami bukan dari kalangan keluarga saudagar, tauke getah kaya-raya seperti dikampungku. Gaya kami rasanya tak kalah dari anak-anak saudagar getah karet itu.

Soal penampilan dan lagak sehari-hari, abang sepupuku nomor tiga itulah biang dan gudangnya. Sekilas jika dipandang, alamak, mana ada gadis tak melirik penampilan dan gayanya. Apalagi kalau keempat abang sepupuku bersekutu mencuri perhatian tiga gadis dari Jambi yang datang siang tadi, ampun gaya mereka membuai malam-malam semarak asmara bujang-gadis.

Apalagi keesokan harinya, undangan makan siang disedekah kenduri perkawinan ayuk sepupuku tambah ramai. Lazimnya adat-istiadat perkawinan dikampungku, jamuan hidangan makan siang dirumah mempelai lelaki. Karena calon mempelai pengantin lelaki orang luar, bukan orang kampungku sendiri, maka makan siang dihari sabtu ini diadakan dirumah pengantin perempuan.

Tentu saja, keempat abang sepupuku selalu mau tampil membantu angkat hidangan dari dapur ke ruang tengah atau ke atas pentas tarup dilaman muka rumah. Beribu-ribu alasan, dibuat-buat mereka, akal kumbang terbang menempel seputar kembang-kembang dari Jambi. Bukan main, lelucon gurau mereka, mencuri perhatian dari ketiga gadis molek bergaya modis itu. Aku terus-terang, suka saja jika keempat abang sepupuku mendekati ketiga gadis dari Jambi yang lebih tua dari kami itu. Terkadang, mereka berempat seperti melupakan kami yang masih bujang-bujang kecil.

Apalagi malam nanti adalah malam merias pelaminan duduk pengantin untuk keesokan harinya. Tentu semakin banyak momentum mereka semakin menggaet perhatian ketiga gadis dara dari Jambi itu. Padahal banyak gadis-gadis dara dikampungku yang tak kalah cantik. Cuma karena stempel gadis dari kota itu sudah memikat perhatian keempat abang sepupuku itu. Kami, kadang terpikir juga mengacau perhatian keempat bujang hantu bangku masjid itu.

Kami juga khawatir juga kalau mereka nanti melabrak kami dengan maki-hamun marah. Jadi, kami biarkan saja. Paling-paling sesekali waktu kami pura-pura mengambil kesibukan dekat mereka, jika mereka sadar, langsung mereka mengatakan;”Pergi lah, tadi kudengar Wak Nga mencari kalian semua,” kata abang sepupuku yang bersiasat politik halus. Artinya, itu bentuk usiran secara terselubung, agar kami tak mengusing ketenangan dan kesenangan mereka merayu tiga gadis dari Jambi.

Semakin marak-semarak mereka berempat mendekati ketiga gadis yang mukanya nyaris mirip. Iya, kecantikan kadang membuat gadis tampil nyaris mirip. Apalagi ketiga gadis ini masih satu ada pertalian darah satu dengan lainnya. Hanya yang membedakan potongan rambutnya saja. Dua orang berambut panjang sebahu, sedangkan yang satu tampil dengan potongan rambut ala Demi Moore dalam film The Ghost. Pipi gadis berambut pendek ini merah mirip tomat masak.

Aku sebenarnya, suka saja semarak muda-mudi. Asalkan mereka masih menjaga batasan sopan-santun. Sekadar lirik-melirik dan lempar gurau-tawa adalah hal biasa saja. Cuma kalau mereka sampai melalaikan tugas merias pelaminan atau ruangan tempat akad nikah dan duduk pengantin itu yang tak aku suka.

Kehadiran Muk Muslim@Muk lim dalam malam berias atau berhias pentas tarup juga sangat penting. Sosok bintang pelajar cerdas, kreatif dan baik perangai menjadi semacam penjamin, bahwa kekhawatiranku tak bakal terjadi. Keempat abang sepupuku juga sebenarnya, selain menyemarakkan malam berhias itu, juga meramaikan suasana semarak muda-mudi berhias ruang pengantinan dan tarup pentas itu. Muk lim dan kawan-kawannya juga dengan senang hati ringan tangan membantu menggunting, memasang dan menempelkan hiasan yang terbuat dari kertas jagung dijalin benang diruang tengah dan luar rumah. Sebaris ucapan:”SELAMAT DATANG, MOHON DO’A RESTU” sudah ditempelkan didinding luar pangkal tangga rumah panggung bertiang.

Dan keempat abang sepupuku semakin tekun-tunak membantu menegakkan steleng tangga, melekat-merekat lem kertas jagung ke benang, lalu menempelkannya ke pojok-pojok ruangan rumah. Pada bagian tengah hiasan dari kertas jagung warna-warni mirip sarang lebah menggantung. Bukan main, senyum-senyum ceria penuh makna terbit dari wajah keempat abang sepupuku itu. Sementara dua gadis rambut panjang sibuk memotong kertas dan membentuk pola yang sudah digambarkan disebidang kertas jagung.

Sepupuku yang perempuan pun terlihat juga dikerumunan anak-anak dara kampungku yang memang malam berhias adalah malamnya muda-mudi menampilkan kreatifitas seni mereka, berupa menghias ruang tengah dan luar, pelaminan atau tempat duduk pengantin bersanding. Kehadiran tiga anak dara dari Jambi menambah semarak malam berhias. Termasuk berempat sosok abang sepupuku, menghangatkan suasana dengan lelucon segar dan derai tawa khas mereka.

Diluar rumah panggung angin bertiup sepoi-sepoi. Rembulan malam tiga belas naik ke pucuk langit. Bintang-gemintang berkelipan, mengerdipkan mata disela lintas arakan awan-gemawan. Keempat hati Bujang Bangku Masjid dilanda semarak asmara menjalar bergetar hebat.

(Bersambung)

Rabea adawea, Cairo, 28 Oktober 2009

Sunday, October 25, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (12)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (12)

Ahmad David Kholilurrahman


Sedekah Kenduri Pernikahan Ayuk Sepupuku


Menjelang sepekan hari H helat sedekah kenduri pernikahan saudari sepupuku yang juga guru sekolahku di SD 53/VI dulu. Selusin kumpulan Bujang Bangku Masjid sibuk juga membantu persiapan hajatan pernikahan tersebut. Seluruh penduduk kampungku berperan serta menolong terselenggaranya sedekah kenduri perkawinan ini.

Yang menikah ini adalah putri tertua Guru kami, Buya Abdullah Manshur. Berjodoh dengan seorang lelaki dari tanah Jawa. Mereka berdua adalah guru yang bertugas lain tempat. Calon suaminya bertugas di Bangko. Sedangkan ayuk sepupuku ini dapat tugas di SD tertua dikampungku. Bangunan Sekolah Dasar terbuat dari kayu papan beratap seng, berdiri tegak doyong. Seolah menahan beban kelapukan dimakan usia tua berpuluh tahun. Bangunannya memanjang dari Timur ke Barat. Sejajar bersambungan membentuk empat ruang kelas terpisah. Dari kelas empat sampai enam. Sedangkan kelas satu dan duanya berdiri digedung baru yang memang belakangan dibangunnya.

Ibu guru muda tamatan Sekolah Pendidikan Guru di Jambi. Begitu tamat langsung diangkat jadi Guru. Ditempatkan dikampungnya sendiri. Lama, sekali sejak zaman bapakku dan saudara-saudara sepupunya jadi Guru di tahun 1970-an. Baru kali ini lagi ada putra-putri asli kelahiran kampungku yang diangkat jadi Guru lagi. Saudari sepupuku ini adalah sosok ibu guru yang baik, pandai dan rajin mendidik kami. Aku tetap menghormatinya sebagai guru dikelas, walau diluar sekolah dia adalah kakak sepupuku sendiri. Aku dan tiga orang sepupuku yang lain pernah menjadi muridnya dikelas dua dan enam SD.

Dalam keluarga besarku kebanyakan menjadi sosok pendidik. Menekuni dunia pendidikan dengan mengajar di sekolah dasar dikampungku. Bapakku dan dua saudaranya juga guru. Sepupu-sepupu bapakku yang lain juga guru. Tentu, guru-guru yang berasal dari kampungku sendiri memiliki cara dan pendekatan yang khas terhadap anak muridnya. Karena mereka sangat memahami watak dan corak perangai penduduk kampungku. Dengan segala hormat, tanpa bermaksud meminggirkan peran guru-guru dari luar kampungku. Tapi, anak-anak tempatan kampungku yang jadi guru, tentu memiliki tanggung-jawab moral dan kultural yang lebih besar dibandingkan guru-guru dari luar daerah yang ditugaskan mengajar dikampungku.

Kesibukan menyongsong pernikahan itu berbulan-bulan sebelumnya. Cuma denyut nadi sedekah kenduri lebih kencang berdetak pada sepekan sebelum hari H. Semenjak hari H pernikahan ditetapkan jatuh pada hari dan tanggal sekian. Ada sebuah helat, namanya Kumpulan, yaitu mengumpulkan kaum ninik-mamak; tuo-tengganai, alim-ulama, cerdik-pandai dan pemuda-pemudi. Biasanya, dalam acara kumpulan di petang hari sehabis ashar atau malam hari selepas Isya ini yang diundang terbatas.

Aku paling suka mengikuti helat ini, karena dalam Kumpulan ini, kalangan tua banyak mengeluarkan pepatah-pepitih dan pantun bersambut. Apalagi dalam menentukan jatuhnya hari baik dan bulan baik kapan akan dilangsungkan pernikahan antara dua pihak ini. Istilah hari baik, bulan baik ini hanya ada dalam istilah adat. Tentu dalam Islam tidak ada yang namanya hari dan bulan tertentu yang dipandang buruk dan nahas. Agaknya, baik dalam adat, dipandang hari yang tepat semata, kapan waktunya yang pas untuk digelar perhelatan sedekah kenduri pernikahan.

Selusin dari kumpulan Bujang Bangku Masjid ini, kerapkali ditugaskan sebagai “Tukang Kato” –sebagai penyampai pesan undangan helat Kumpulan. Sejak sebelum sholat Ashar, kami tampil lagak bercelana panjang, berbaju kemeja dan berkopih hitam rapi. Biasanya, dipagi beberapa kelompok. Kelompok satu tukan kato dari pangkal sampai tengah kampung. Kelompok kedua Tukang Kato dari tengah hingga ujung kampung.

Rasanya, undangan ini tidak afdhal jika tidak disampaikan langsung. Mesti bertemu muka dengan kepala keluarga dan penghuni rumah penduduk yang diundang. Jika kebetulan mereka tengah keasyikan mengobrol dibangku toko, maka undangan itu harus dikatakan satu persatu kepada setiap orang. Adapun kalimat undangan itu seperti dibawah ini:

“Assalamu’alaikum wr wb. Datuk-datuk, wak-wak, paman-paman, kami ini diminta oleh si fulan shahibul hajah sedekah kenduri perkawinan si A dan si B, mengundang datuk-datuk, wak-wak, paman-paman untuk datang pada Malam Kumpulan pada hari sekian, tanggal sekian sehabis isya! Dimohon kehadiran dan dukungannya. Terima kasih kami ucapkan, mohon maaf jika ada kesalahan. Wassalamu’alaikum!”.

Bayangkan, kawan, beberapa ratus kali kami harus mengucapkan kalimat-kalimat undangan itu dihadapan langsung penduduk yang kami undang. Jika tidak diundang secara langsung, dikhawatirkan virus merajuk menyebar luas. Kadang, mungkin lantaran terlupa tanpa sengaja, ada satu dua orang nama yang terlewatkan diundang, namun mereka tidak mau datang ke hari H sedekah kenduri perkawinan.

Jadi, sebagai pihak yang diamanahi “Tukang Kato” harus dipilih yang sopan-santun, tenang dan runtut dalam bertutur dan juga bersikap takzim pada yang masyarakat yang mau diundang. Makanya, selusin bujang Bangku Masjid adalah langganan utama “Tukang Kato”. Termasuk Muk Muslim M.Nur dan kawan-kawannya juga dilibatkan dalam ujung tombak menyampaikan undangan secara lisan.

Padahal, pihak Sahibul Hajat atau Tuan Rumah Sedekah Kenduri Perkawinan telah datang jauh hari menyampaikan undangan pemberitahuan kepada kalangan bapak-bapak dan ibu-ibu dikampungku. Begitulah adat-istiadat bermasyarakat, sekurung-sekampung. Pandai menimang perasaan khalayak luas.

Sejak sepekan sebelum jatuh hari H. Grendak-gerending-sebuah istilah adat dikampungku yang mengacu pada serangkaian persiapan menyongsong helat perkawinan. Mulai dari kesibukan kaum ibu-ibu yang menyiapkan rerempahan bumbu masak. Sejak dari bumbu laut dan bumbu ladang. Bumbu laut adalah bumbu yang didatangkan dari seberang, alias memang melalui laut, semacam, lada, cengkih, pala, jintan, adas manis, ketumbar, kapulaga, bunga lawang, kemiri dan sebangsanya. Sedangkan bumbu ladang, seperti kunyit, serai, laos atau lengkuas, jahe, daun salam, daun peladang, daun ruku dan sejenisnya.

Adat dikampungku seperti dikampung-kampung negeri Melayu lainnya. Mungkin, dalam beberapa hal ada yang berbeda. Namun, secara garis besar, yang namanya sedekah pengantin adalah mengundang makan orang sekampung. Jadi, memang begitu besar biaya sedekah kenduri perkawinan. Boleh dikatakan, lauknya adalah seekor kerbau jantan. Jika ditaksir berat dagingnya mencapai 60-70 kilogram. Ditambah lagi puluhan ekor ayam, nangka muda, umbut kelapa, labu perenggi dan lain sebagainya.

Makanya, pada hari jum’at pagi adalah hari mengantar belanja kebutuhan untuk sedekah kenduri dari rumah mempelai pengantin lelaki ke rumah pengantin perempuan. Sejak pagi sekali sudah ramai orang berkumpul, sehabis menyantap hidangan minum pagi berupa ketan bertabur kelapa, goreng pisang, roti goreng berisi intisari kelapa gula. Kalangan masyarakat ramai kaum lelaki tua-muda sibuk menata dan menyiapkan hantaran belanja berupa ragam macam kebutuhan pokok sedekah kenduri pengantinan.

Dalam bahasa adat dikampungku, terdiri beras setalam, kelapa setali, sejinjit. Walau pun yang dihantar mencakup kebutuhan lengkap sedekah kenduri pengantinan daging, beras, tepung, minyak, gula, kopi, susu dan lain sebagainya. Seperti beras dimasukkan dalam keranjang bakul, kelapa diikat bertali-tali diselip sebatang kayu dipikul ke bahu, daging dimasukkan dalam baskom, minyak dalam dirijen plastik, gula-kopi dihamparkan dalam nampan hidangan seng dan plastik.

Aku dan sebelas saudara sepupuku yang bujang gagah itu, paling suka meramaikan sorak-sorai sepanjang jalan menuju rumah pengantin perempuan; “Ayoooo.......Ayoooo......Ayooooo, Huuuiiiiiiiii......Huiiiiiiiiiii.....Huiiiiiiiii!”

Setiap berjalan berpuluh langkah, terdengar suara sorak-sorai bersahut-sahutan. Abang sepupuku yang tertua paling suka menimpali ujung kata:“Huiiiiii”, dengan kalimat panjang sekali yang terkadang sembarangan dia ucapkan. Sampai kami, kadang sakit perut menahan tawa yang ingin meledak. Tak jarang mengundang derai-tawa para penghantar pecah berdekah-dekah. Alangkah asyiknya kemeriahan mengikuti iringan rombongan para penghantar belanja kebutuhan pokok berupa sembako ini ke rumah mempelai pengantin perempuan.

Ketika sampai ke rumah mempelai perempuan, maka segala barang-barang kebutuhan pokok untuk sedekah kenduri perkawinan itu disambut oleh pihak tuan rumah. Dikumpulkan sementara disuatu ruangan rumah, sebelum kemudian dipergunakan untuk mengangkat sedekah kenduri perkawinan. Bagi yang untuk keperluan masak-memasak lauk, kaum perempuan segera memotong daging, memarut kelapa, mengiris umbut dan nangka, menggiling cabai, menyiapkan bumbu-bumbu, dan juga tak ketinggalan adalah berceret-ceret teh dn kopi. Ingat kopi yang disajikan adalah kopi terbaik Jambi, bermutu ekspor yaitu A Tigo. Bagi siapa yang terhirup aromanya, tercicip seteguk menghilangkan suntuk dan stress berkepanjangan.

Dikampungku, walau secara khusus tak ada kedai kopi. Namun, mayoritas penduduknya adalah pengopi berat. Dalam sehari-semalam mereka boleh mengopi bercangkir-cangkir. Rokok dimulut mereka tersulut bersambung-sambung. Nyaris serupa asap perahu ketek rakit pisang yang sering melewati sungai Tembesi yang mengalir dikampungku. Beraneka-ragam lelucon dan gurauan terlontar. Walau kadang menyinggung, namun tak seorang pun yang tersengat sindiran. Gelak-tawa berderai-derai ditengah kesibukan hiruk-pikuk persiapan sedekah pengantinan.

Tarup pentas, berupa bangunan bertiang setengah lutut terbuat dari tiang kayu dan papan berdiri dimuka laman rumah pengantin. Daun-daun kelapa melingkar sebagai jendela dibagian sampingnya. Tarup pentas ini berfungsi sebagai tempat makan cadangan bagi tamu undangan, jika ruangan utama rumah panggung kayu itu tak mampu memuat undangan. Dan juga sebagai pentas bersanding pengantin pada malam harinya.

Kehadiran Wak Nga sangat penting dalam sedekah kenduri pernikahan. Apalagi ini adalah pengantinan anak-kemenakan sendiri. Dalam struktur susunan panitia pernikahan yang termaktub diselembar kartun putih, tertempel dibagian muka rumah dekat tangga. Dia menjadi seksi serbaguna. Job description adalah terlibat membantu bagian mana saja, jika dipandang segera bertindak. Bagian serbaguna bukan sembarang orang sanggup memikul amanahnya. Biasanya yang berbadan besar, tenaga kuat masuk lah bagian ini. Termasuk juga merangkap anggota kehormatan seksi keamanan.

Selembar kain handuk tersampir dilehernya. Celana hitam dan baju kaos yang menyempit ditubuhnya yang tinggi-besar. Memang, dia tampil sebagai penggerak dari aktifitas dari bagian serba guna. Jangan main-main kawan, serangkaian gurau-lelucon dan otahannya menjadi bagian tersedap dalam helat sedekah kendurian pengantin ayuk sepupuku ini. Kalau mau mencari “Selusin Hantu” Bangku Masjid itu, carilah dimana Wak Nga berada.

Kalau ketika menjelang nasi-lauk masak. Perut pun dah berbunyi keroncongan. Matahari naik sepenggalah. Menunggu tergelincir, berarti pertanda zuhur didepan mata. Semakin ramai lelucon canda tawa mengiringi cerita Wak Nga. Ekspresi mimik mukanya yang terkadang menyipit, memiris dan seolah serius melakoni sebuah pertunjukan, seketika berubah jadi derai tawa ramai. Dia adalah magnit tersendiri yang tak mampu diganti oleh siapa pun kehadirannya. Rokok kretek tanpa filter terus tersulut menerpa kumisnya yang kuning kepirangan.
Wak Nga sibuk menyalinkan nasi yang masak dalam kawah besar ditengah laman ke dalam bakul-bakul nasi. Jika ada nasi yang tersisa, ditaburinya dengan kelapa bercampur garam. Nah, berebut kerak nasi inilah salah-satu bagian kemeriahan sedekah kenduri pengantin yang ditunggu kalangan anak-anak. Tak ketinggalan ‘Selusin Hantu’ bangku Masjid itu pun ikut serta menyemarak suasana. Berlapis daun pisang, sejumput kerak nasi hangat mengepul bertabur parutan kelapa masin adalah hal yang tak terlupakan. Keasyikan seperti ini tak ada duanya, kawan!

Wak Mad Boyak alias Ahmad Tirmizi adalah sosok yang paling suka menyenangkan hati anak-anak seusia kami dengan kerak nasi hangat mengepul bertabur parutan kelapa masin. Orang dewasa pun juga ikut mencicipi kerak nasi ini. Tentu berteman secangkir kopi terbaik Jambi itu. Lumayan pengganjal sementara sebelum kesibukan menghidang makanan dibentangkan.

Menu lauk masakan kenduri sedekah pengantinan pada hari jum’at ini, biasanya adalah gulai nangka muda, gulai daging bercampur labu perenggi, sambal tumbuk. Bukan main sedapnya masakan panggung sedekahan dikampungku. Paduan rerempahan bumbu dan bahan-bahan segar tanpa awetan menciptakan kesedapan tersendiri. Kampungku dikenal masyhur sebagai gudang kuliner masakan khas Melayu Jambi yang enak dan sedap.

Jika tikar terpal tergelar ditarup pentas itu. Piring-piring lauk dan nasi sudah disajikan oleh kalangan bujang-bujang tanggung seperti Selusin Hantu Bangku Masjid. Satu hidangan berdua. Ini biasanya, dikenal istilah makan semandan. Tentang Makan Semandan ini ada ceritanya begini.

Karena ada tamu undangan kalangan luar. Maka, sebagian kecil hidangan makanan digelar untuk ala prasmanan. Atau dimulut orang kampungku dikenal Ala Prancis. Nah, ada seorang Wak dikampungku yang menganggap prasmanan ini bisa merusak selera dan semangat kebersamaan. Karena makan ala kampungku adalah sehidangan berdua, walau setiap orang disediakan pinggan nasinya berlainan. Namun, lauk-pauk yang terhidang dalam hidangan untuk porsi dua orang.

Abang sepupuku tertua. Anggota tertua kumpulan Bujang Bangku Masjid itu mencoba menengahi dengan mengatakan sama saja, antara makan ala prasmanan dan sehidangan berdua. Kalau yang ala Prancis itu prasmanan alias mengambil sendiri sajian makanan. Maka, yang sehidangan berdua namanya Prasmandan. Maksudnya, semandan, sekawan-sekanti berdua menikmati hidangan porsi dua orang tersebut. Apa yang dikatakan abang sepupuku yang politisi itu memenuhi keinginan semua pihak. Dan solusi tawaran istilah “Prasmandan” masuk dalam istilah baru dikampungku. Jika nanti, ada yang menyusun kamus bahasa Gurun Tuo, jangan lupakan istilah baru yang ajaib mampu menengahi dua pihak yang pro dan kontra dengan ala Prancis@Prasmanan.

Wak Nga yang sedari tadi diam mendengar hujah abang sepupuku, anggota tertua kumpulan Bujang Bangku Masjid mengangguk-angguk kepala. Airmukanya menerbitkan seulas senyum khas. Kalau sudah begini, berarti bakal ada komentar yang keluar dari mulutnya yang sejak tadi menghisap rokok kretek tanpa filter. Akal panjang sang politisi bujang tadi telah menyelamatkan sedekah kenduri pengantinan dari ancaman suasana tak enak hati. Dan istilah baru tadi, Prasmandan diterima menjadi khasanah baru yang merasuk kosakata dalam kamus Bahasa Gurun Tuo.

“Memang tak salah, apa yang kau usulkan masuk akal. Lagi pula ditopang hujah yang logis”. Kata Wa Nga sembari menepuk-nepuk bahu abang sepupuku itu. Jangan main-main, kata logis diujung mulutnya berbunyi tipis panjang.

“Kalau tidak, bisa rusak suasana kemeriahan sedekah kenduri pengantinan ini, gara sepotong istilah gaya makan asing yang tak terlalu akrab dikuping orang kampung kita ini”. Tukas Pak Gus Najib seraya menghirup habis kopinya.

“Dan kali ini orang politik cerdik akal itu menawarkan ide luar biasa diterima orang banyak,” Sambung Wak Hayat merapikan kopiah bertengger dikepalanya.

Kami yang duduk dibangku panjang yang dipinjam dari Madrasah Al-Fatayat sambil mengunyah kerak kelapa bertabur parutan kelapa itu menyaksikan cetusan ide kreatif cemerlang telah menawarkan win-win solution. Solusi yang memuaskan semua pihak, dan memunculkan istilah baru dalam khasanah kosakata bahasa Gurun Tuo yang kaya idiom, unik dan sangat arkais ala Melayu Jambi.

Dari tarup pentas dilaman rumah panggung itu. Kak Cak Muqsid sudah mempersilahkan para panitia yang bertungkus-lumus, memeras keringat dari pagi hingga siang untuk segera bergabung menikmati hidangan khas pada hari jum’at sedekah kenduri pengantinan; Gulai nangka muda, masak daging campur labu perenggi dan sambal tumbuk ala Nyai Zaicik yang masyhur sedap itu.

Wak Nga bersama selusin Bujang Bangku Masjid itu dah duduk berhadap-hadapan.Wak Nga duduk bersila mantap sambil tersenyum khas. Hidangan prasmandan pun terhidang didepan kami, datang mengundang selera makan yang sedari tadi perut meneriakkan pemberontakan lapar. Dalam hal ini ada pepatah berlaku; “Biduk upih pengayuh bilah, daripada nasi berlebih, biar lah perut pecah!”. Hahahahahahahahahah

(Bersambung)


Rabea Adawea, Cairo 25 Oktober 2009

Friday, October 23, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (11)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (11)

Ahmad David Kholilurrahman


Sedenting Gambus Raden Dolah


Grendak-grending. Itulah isyarat dan pertanda sedekah kenduri pernikahan akan segera dilangsungkan. Istilah adat dikampungku ini, mengacu kepada kesibukan kedua belah pihak rumah keluarga mempelai pengantin lelaki dan perempuan yang mulai sibuk berkemas-kemas menyiapkan keperluan untuk melangsungkan hajatan sedekah kenduri perkawinan.

Rumah pengantin perempuan sudah berhias sejak beberapa pekan sebelum jatuh hari H. Tentu, saja ruangan rumah dan kamar pengantin sudah dicat indah. Jenis cat yang paling cocok dengan rumah panggung Melayu Jambi ini, juga jenis cat kayu. Bukan seperti cat tembok yang gampang kering dan meresap didinding tembok rumah batu.

Pengecat rumah paling piawai dikampungku adalah Raden Dolah. Dia adalah langganan utama para Tauke dan saudagar kaya dikampungku yang mau mendandani rumahnya berlapis cat kayu. Setetes tinta cat pun tak jatuh menetes sembarangan dari kuasnya. Lelaki separuh baya ini, semula adalah anak pungut dari sebuah peperangan di zaman Jepang dulu.

Kedua orangtuanya telah lama wafat sejak dia masih bayi. Dia terselip dalam zaman perang kemerdekaan di Sumatera ketika itu. Kemudian, oleh warga kampungku, Wak Anang (jauh sebelum jadi kepala dusun kami) dipungut sebagai anak angkatnya. Kebaikan hati Wak Anang yang menganggap seperti kandungnya sendiri, juga menumbuhkan perasaan sayang dan iba hati melihat seorang anak yang tak tentu dimana emak-bapaknya. Masa kecilnya tumbuh dalam asuhan Wak Anang sekeluarga. Sosok Raden Dolah yang rajin, tekun walau terkadang susah ditebak watak hariannya menerbitkan rasa sayang orang sekampung. Dia seperti anak kampungku sendiri. Dan itu dirasakannya sampai dia berusia separuh baya. Sampai hari ini pula.

Sedari kecil, namanya Abdullah yang kemudian lebih populer dengan sebutan Raden Dolah mengaji dan belajar dikampungku. Kelak dimasa dewasanya, dia menjadi ‘anak turut’ Datuk Haji Hamdan dirumahnya, yang tepian rakit-jambannya menjadi tepian berlabuh dan bertolak warga kampungku yang mau berpergian ilir ke Jambi atau mudik ke Sarolangun.

Raden Dolah ini pun, pernah jadi ‘anak turut’ Datukku. Gelar Raden dipangkal namanya adalah pemberian dari Datukku. Ceritanya begini, suatu hari Datukku memintanya membantu pekerjaan. Dia seolah tak mau. Disuruh ini tak mau. Disuruh itu tak mau. Diajak makan pun, diam membatu.

Akhirnya Datukku timbul akal untuk membujuknya. Orang macam ini harus diberi gelar kehormatan tiada kira.

“Ayo lah Raden, sekarang kita makan siang?”, Kata Datukku pelan.

Nah, panggilan Raden ini seolah setrum listrik dahsyat yang melambungkan kepercayaan dirinya. Sugesti alami mengalir dahsyat untuk memecutnya untuk segera bergerak lincah menjalani kehidupan yang sedari kecil dimatanya seperti luka parah tak tersembuhkan. Kutub selatan dan utara medan magnit bertemu padu. Antara “Raden dan Dolah”. Gelar yang terhormat dan nama yang mulia.

Sehingga, lama kelamaan, gelar Raden Dolah melekat erat dibibir masyarakat kampungku. Dia sering diminta Datukku menjaga kebun durian Datukku di Sungai Ale. Sungai Ale adalah sepotong nama yang akrab dialam petualangan masa remaja kami. Aku pikir hanya setengah lusin dari anggota Bujang Bangku Masjid yang memiliki kenangan manis dan khusus dengan Sungai Ale.

Ketika bangun pagi. Aku buru-buru bangkit-bingkas dari katil dirumahku. Lalu, melonggok ke bawah melalui jendela ruang luar rumahku, sambil berharap Raden Dolah telah pulang membawa satu keranjang ambung durian yang dipikulnya dengan menyampir tali ambung dari kulit kayu dikening kepalanya yang berambut pendek cepak mirip polisi. Badannya yang kecil dan pendek itu seperti tegar menahan beban sekeranjang ambung durian dari kebun datukku di Sungai Ale itu. Sepatu baloknya berduri gerigi menginjak tanah, seperti langkah serdadu sehabis pulang perang. Memercikkan genangan air hujan semalam dilaman rumahku.

Tidak gampang menerka apa yang dikehendaki Raden ini. Kadang-kadang sepanjang hari dia berlaku ramah dan murah hati pada siapa pun yang memerlukan pertolongannya. Namun, pada keesokan harinya tak jarang dia duduk diam, sedikit bicara dan lebih banyak duduk tercenung seperti menahan sebeban gunung diairmukanya yang sekilas tenang-tenang, macam sungai Tembesi yang mengalir dikampungku itu. Tak banyak yang mampu menyelami lukisan getir disebatang hayatnya yang sejak kecil tak mengenal siapa ibu-bapak dan sanak-saudaranya. Jangankan mengenal siapa handai-taulan dan kaum kerabatnya, mengenal nama kampungnya, masyarakat kampungku tak banyak tahu.

Baginya, Gurun Tuo adalah kampung dan tanah-airnya kini. Dikampungku itu dia diambil sebagai anak pungut dari medan kecamuk peperangan zaman Jepang oleh Wak Anang, dipelihara dan dibesarkan dengan segala ragam tradisi kampungku. Dia mengaji pada Datuk Haji Ismail, mertua dari Guru Madrasah kami, Wak Gus Damiri. Oleh Datuk Haji Hamdan, Raden Dolah ini pun sudah dianggap sebagai bagian keluarganya sendiri. Dia memanggil Pak Cik pada Datuk Haji Hamdan. Segala keperluannya dipenuhi oleh Datuk Haji Hamdan, juga istrinya yang kupanggil Wak Ning. Saudari tertua dari Guru Madrasah kami tadi. Jadi masih saudari sepupu emakku juga.

Bahkan, Raden Dolah ini pernah tinggal berumah di rakit-jamban datukku. Aku masih ingat, diusia masih lima atau enam tahun, dia masih sempat berumah diatas rakit-jamban berdinding papan kayu, beratap seng, tersedia dapur setengah badan dari berlantai tanah, dan tempat tempat tidur kasur dibagian dalamnya. Jadi rakit-jamban ini memang seperti rumah sendiri. Makanya, aku pernah bilang, rakit-jamban ini menjadi ‘rumah keduaku’ dimasa kanak-kanak, tempat aku menghabiskan waktu membaca buku sambil asyik memancing ikan.

Cerita yang paling suka dia ceriterakan padaku adalah keberanian dirinya memanjat pohon pepaya masak ditengah pertempuran antara tentera dan pemberontakan Gestapu ditahun 1965.

Katanya, suatu hari ketika aku ikut mengungsi bersama tentera yang hendak menumpas gerakan komunis di Sumatera bagian Selatan. Aku menyelip masuk dalam barisan mereka, lalu tiba-tiba pecah pertempuran berkecamuk berjam-jam.

“Aku pun bosan menunggu dalam lubang persembunyian, sembari berharap pertempuran senjata berhenti. Lalu, pada sebuah kebun, aku melihat sebiji buah pepaya masak ranum dibatang. Terbit air liurku, apalagi sejak pagi tadi aku belum makan sebutir nasi pun”. Katanya sambil meletakkan lampu senter aluminium putih didekat tempat duduknya.

Aku nekad memberanikan diri menerobos kecamuk tembak-menembak antara dua pihak itu. Aku langsung masuk kebun dan memanjat batang pepaya yang tengah berbuah ranum menggiurkan itu. Baru saja tangan tanganku meraih dan memilin-petik buah pepaya masak-ranum, meletus bunyi peluru dan melayang berdesing disamping daun telingaku.

“Seketika aku menjatuhkan diri. Tiarap. Tak berani memandang ke belakang.” Ujar Raden Dolah terdiam sejenak menarik napas. Seolah peristiwa diujung tanduk itu berkelebat melintas dikepalanya yang pendek-cepak itu.

Kemudian disusul letusan suara senapan saling bersahut-balas. Batang pepaya itu roboh ke tanah, buah pepaya masak ranum sejangkauan tanganku. Dalam kecamuk kontak tembak-menembak itulah, kuhabiskan buah pepaya yang manis-harum luar biasa, katanya mengakhir ceritera. Sampai disini, aku tertawa tergelak-gelak. Dan setiap kali bertemu Raden Dolah, aku selalu meminta diputar-ulang kisah kenekatannya memanjat pohon pepaya ditengah kecamuk perang.

Bagiku dimasa kanak-kanak itu, bukan kisah pertempuran yang menarik diriku. Tapi, sebiji buah pepaya masak-ranum itu yang mengundang jatuh air liurku. Cuma ceritera itu pula yang paling ingin aku simak ulang, setiap kali dia datang ke rumahku. Hahahahahhahahaha

Lama dia tak pernah muncul datang bertandang ke rumah datukku. Lalu, seketika terdengar kabar dia akan pergi ke Palembang. Katanya, ingin mencari telusur jejak keluarganya disana. Cuma saja yang menjadi pikiranku ketika itu, apakah betul masih ada pihak keluarganya yang masih hidup di Palembang? Paling tidak, apakah masih ada orang yang masih hidup, tahu riwayat perihal asal-usul keluarganya? Yang jelas dia tak mungkin lahir dari batu. Hahahahahaha

Semalam sebelum keberangkatannya ke Palembang. Dia datang ke rumahku sambil menenteng gambus tua yang terbuat dari kayu. Gambus adalah kesukaannya sejak muda. Selain pemetik gambus, dia juga dikenal penabuh gendang kompangan. Terbangan-begitu mulut orang kampungku menyebut sepasukan penabuh gendang-kompangan mengarak mempelai pengantin lelaki dari rumahnya ke rumah mempelai pengantin perempuan. Dia tak pernah absen dari anggota kumpulan penabuh gendang-kompangan dikampungku setiap kali ada helat kenduri perkawinan.

Setidaknya, bakat seni tumbuh subur dalam jiwanya yang tak mudah ditebak. Lika-liku perjalanan hidupnya yang didera penderitaannya yang tak kenal siapa emak-bapaknya. Wataknya yang tak mudah diduga, mungkin, lantaran memendam kegundah-gulanaan dalam. Sedalam lubuk di Teluk Kuari, hulu kampungku. Pergolakan jiwanya yang ditikam keresahan tak berujung. Seperti arus tengkujur Teluk Gilo dihilir kampungku yang membenam perahu yang tak pandai dikemudikan. Makanya, tak semua penduduk kampungku pandai menyelami jiwanya yang tak terduga; kadang-kadang ramah, namun tak jarang bermuka masam. Duduk tercenung sepanjang siang bercelana sekutung, sebatas lutut dan baju loreng-loreng hijau.

Kesedihan yang menggantung dipelupuk matanya, kesedihan sebagai sebatang kara sejak masih kecil itu seperti lukisan berwarna sepia. Kalau disapukan pelukis ke kanvas lukisan, tentu didominasi warna kuning, coklat dan hitam. Semakin menciptakan perpaduan warna yang mengundang kesan kelam, suram dan muram. Jika dinyanyikan dimulut para pedana gambus, tentu aroma murung lagu Melayu mendayu-dayu. Kesepian yang seolah tak bertemu tepi. Jika dipantunkan dalam kesenian Biduk Sayak adalah bait-bait gundah-gulana yang boleh mengundang penyimak setia kesenian langka ini menghapuskan airmata dengan sapu tangan kesayangan.

Namun, aroma murung dan kesedihan tak bertepi. Wajah penuh penderitaan sejak masa kecil. Temparamen dan sifatnya yang tak mudah diduga, kecuali oleh beberapa orang yang sangat dihormatinya dikampungku. Jiwa yang seolah tenang-tenang saja, sesungguhnya memendam gejolak badai dilautan perasaan terdalam. Dalamnya laut, bisa diduga. Dalamnya lautan perasaan, siapa yang berani menyangka?

Beribu-ribu perasaan yang berjilin-pintin dalam lubuk hati jika diperturutkan semakin membuat jiwa terkungkung kepungan duka cita. Jika tak diobati dengan secebis bernama keriangan, walau sementara, dapat sedikit mengurangi beban yang menghimpit. Suara lembut sungai Tembesi yang mengalir syahdu, suara buah aro jatuh ke sungai di seberang Sungai Ale, kecipak-cibur ikan lampam dilaut rakit-jamban, kicau burung murai batu dipagi hari, oakan kerbau dipadang rumput petang hari, igau kuau digunung, lincah kaki kijang berlari dihutan perawan adalah hidangan alami pengobat jiwa yang ditimpa badai hujan angin gundah-gulana.

Petikan gambus yang mengalir sayup-sayup ditiup angin hingga ke seberang. Terlahir denting-denting gambus merdu-sayhdu mengalir lahir dari jemari tangan Raden Dolah. Ragam irama berbancuh, melodi ala Melayu yang mendayu-dayu, hingga irama padang pasir yang semarak mengalun-alun kemudi khayal ke Negeri Seribu Menara. Sekilas terselip petikan lirik gambus Ryaad Syimbathi, musisi terkenal yang mengaransemen lagu-lagu kasidah Ommi Koltsoum, sang biduanita kondang Mesir yang bergelar Kawkab as-Syarqi (Bintang Kejora).

Lagu-lagu Gambus ala Lembah Gurah dinyanyikannya seperti lagu Dalu Ari. Lagu yang satu ini begitu menjiwai dalam petikannya yang lembut mendayu-dayu. Aku paling suka irama lagu Dalu Ari. Bahkan ketika besar kelak, dialam perantauan menuntut ilmu di tanah Jawa. Kaset rekaman amatiran, hasil copy yang entah ke berapa kali itu, aku simpan rapi. Jika, hatiku didera rindu pada kampungku, diam-diam aku meminjam tape recorder kecil milik kawanku, sambil jaga malam di Pesantren, lagu itulah yang kuperdengarkan menghibur jiwa yang dikepung rindu.

Dimulut Raden Dolah, lantunan irama gambus lagu Dalu Ari menjelma semacam oase ditengah gurun pasir jiwanya yang bak Tak Putus dirundung Malang. Semacam penyaluran suara hatinya yang terpendam, yang tak seorang pun tahu. Kecuali Allah Subhanallah Ta’ala. Kalau pun ada beberapa orang yang dianggap pandai membaca jiwanya, itu lantaran dia tak mau mengecewakan hati tokoh-tokoh yang berbaik budi dengan dirinya. Lagu Dalu Ari terus dinyanyikannya berulang-ulang kali.

Di ruang bagian luar rumahku dalam balutan kelam buta, kerlip cahaya lentera minyak, dia melantunkan dengan sepenuh hati. Gambus tua yang banyak coretan nama dan kata-kata mutiara itu, seolah sebatang kayu balok pelampung jiwanya yang tenggelam dalam lautan kesedihan tak tertanggungkan.

“Daluuuuuuuu Ariiiiiiiiiiiiiiii, Daluuuuuuuu Ariiiiiiiiiiiiii” lengking suaranya serak parau, ditingkahi geleng kepalanya yang khas jatuh ke samping.

“Ting ting ting, ting, ting,” Petikan gambus beriringan mengaliri jenak-jenak udara malam kelam buta. Kerongkongannya tercekat, seperti hendak melontarkan suara jiwa. Tapi, apa daya, seolah tak dapat terlisankan. Seakan terhalang dinding tebal Tembok Raksasa di Negeri Tiongkok sana. Lagu itu begitu dijiwainya dengan sepenuh jiwa yang ringkih.

Secangkir kopi hangat dihadapannya lesap separuh. Ampas kopi terbaik Jambi itu berselaput dibibir gelas. Seolah ampas kopi itu juga merasakan jeritan hatinya yang terkungkung kesenduan mendalam. Mataku sudah berat mengantuk, tapi denting-denting gambus mengusir kantuk pergi jauh-jauh.

Aku pun dicengkam melankoli dahsyat. Serasa jalaran lagu Dalu Ari yang dinyanyikan dimalam yang beranjak larut, pada kampung yang berpuluh-puluh tahun haram bersimbah cahaya setrum listrik Negara. Seakan-akan ribuan kunang-kunang berpendar-pendar menerangi pertunjukan solo gambus Raden Dolah yang keesokan harinya hendak berangkat ke Palembang menyusur asal-usul keluarganya.

(Bersambung)


Rabea Adawea, Cairo, 23 Oktober 2009

Monday, October 19, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (10)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (10)

Ahmad David Kholilurrahman


Mengakap Ikan di Lebung Paya Seberang


Lebung paya adalah gudang-gudang ikan dimusim kemarau. Dikampungku, ada beberapa buah lebung paya. Lebung Kuning di Teluk Kuari di hulu kampung. Lebung Kecil di Payo Silap. Lebung Batang di Kampung Seberang. Spesies ikan air tawar hidup didalamnya, terutama yang menyukai tanah lumpur. Ikan-ikan sejenis betok, sepat, ruan (gabus), betutu dan belut adalah kalangan penghuni mayoritas lebung-lebung paya dikampungku.

Lebung-paya ini terbentuk dari ceruk tanah yang menampung limpahan air banjir yang merendam kampungku setiap tahun. Luasnya bahkan hampir tiga kali lapangan sepakbola. Setiap tahun dibulan-bulan musim penghujan, banjir kiriman dari hulu, selalu merendam kampungku. Dulu, jauh sebelum kini dibangun Bendungan Dam di Muara Limun. Jadi, sisa banjir yang merendami kampung setiap tahun, jika surut, maka air limpahan banjir tadi tergenang mengisi cerukan 'kolam raksasa' lebung-paya tadi. Spesies ikan air tawar dari sungai Tembesi juga ikut terbawa, lalu membentuk semacam 'koloni' tersendiri. Sebagian tak kembali ke habitat air sungai Batang Tembesi. Koloni ikan-ikan kaya gizi inilah yang masuk daftar menu makan penduduk kampungku.

Sepanjang rantau sungai Batang Tembesi masih menyimpan ikan-ikan. Sebelum penggunaan setrum akku menangkap ikan yang dilakukan pihak-pihak penangkap ikan tertentu. Jauh, sebelum tuba ikan merajalela, penebangan liar (Ilegal Logging) hutan rimba raya gila-gilaan, pendulangan emas marak, pembukaan korporasi kebun sawit raksasa, memakan beribu-ribu hektar lahan. Ekosistem sungai berjalan alamiah. Daur ulang alamiah ekosistem menjamin kelangsungan hidup biota dan spesies ikan dan udang didalam 'kerajaan sungai'. Ketika jenis 'Ikan-ikan bangsawan' semacam tapa, patin, kelemak, sengarat, belido, baung, lampam masih kerap dijumpai.

Jika mau makan berlauk ikan. Penduduk kampungku cukup turun sebentar ke Sungai Tembesi membawa jala atau pancing, lalu dalam waktu satu dua jam, mereka pulang dengan membawa hasil seember. Itu pun cukup menjala melipir disepanjang tebing sungai, tanpa mesti menggunakan perahu. Cukup untuk lauk-pauk menu makan tiga kali sehari. Besoknya, jika mau lagi ikan yang lebih enak, mesti menjala ke rantau tepian sungai ke hulu atau ke hilir.

Cerita-cerita dikampungku perihal ikan-ikan yang melimpah-ruah disepanjang juluran sungai Batang Tembesi bukanlah khayalan. Berpuluh-puluh tahun lampau, ketika manusia masih bersahabat erat dengan alam. Manusia belum sebuas sekarang, lebih buas dari binatang sekali pun. Menzinahi alam raya semula jadi menjadi 'petak-petak' kerajaan miliknya sendiri. Ketika kaum Sanak (Suku Anak Dalam) masih betah hidup dirumahnya di hutan rimba-raya. Mata pencaharian mereka berburu dan mencari damar-jerenang belum terganggu nafsu buas manusia yang mengaku modern.

Awal kerusakan alam berlangsung dalam skala kecil. Secara natural alam yang diciptakan Allah sebagai karunia bagi makhluk-Nya, masih sanggup mendaur-ulang secara alamiah proses pencemaran sungai dalam skala kecil tadi. Namun, lama-kelamaan kerusakan pencemaran lingkungan sungai berjalan secara sporadis, sistematis dan massif. Maka, terima lah wajah sungai yang bersedih kusut-masai, keruh, miskin ikan, dan airnya tak lagi layak dipergunakan untuk keperluan sehari-hari. Manusia yang merusaknya, maka terima lah akibat kerusakan juga menjalar hebat pada pribadi, masyarakat dan bangsa. Sungai tak bersalah, Tuan? Alam tak berdosa, Kawan!

Lama, aku tercenung dibangku masjid tua itu, pinggir Tepian Bujang yang juga masyhur itu. Aku duduk sendirian. Setelah belasan tahun dilamun alam perantauan ke negeri orang. Duduk tepekur tafakur seolah 'bercakap' dengan sahabatku sejak kecil, Batang Tembesi. Aku sangat paham kelakuannya. Jauh sebelum aku pergi menuntut ilmu ke banyak guru dan perguruan. Aku merasa bau lumpur sungai masih lekat dihidungku, moncoreng mukaku ketika main perosotan dasuran ditebing sungai, amis cacing pasir ditanganku, pancing rebo dari cabang dahan kayu kopi berpemberat botol limun seakan baru kemarin kubikin. Melepas ikan-ikan idung budak, biji durian dan lais yang memelas dari mata pancing kembar lima dari cabang-cabang kayu kopi.

Aku duduk sepanjang hari dirakit jamban datukku yang seperti 'rumah keduaku'. Membaca buku perpustakaan sekolah dasar sambil memancing ikan. Memandang ke tengah sungai yang mengalir lembut yang menyimpan 'gudang rahasia' masa kanak-kanakku. Menyimak siapa yang datang dirakit jamban Datuk Haji Hamdan ditebing tepian seberang sana. Memperhatikan perahu-boat yang mengangkut-bongkar muatan getah karet dan ransum kebutuhan sehari-hari. Perahu-perahu anak-anak sekolah yang parkir disepanjang rakit-jamban besar diseberang itu.

Rakit-jamban Datuk Dan, begitu aku memanggilnya memiliki jasa besar bagi penduduk kampungku. Dari tepian seberang sana, penduduk kampungku memulai tapak menjelajah dunia luar. Bayangkan, jika rakit-jamban itu tidak ada, dimana mau menambat tali rantai perahu jika berlabuh. Dari mana jika mau melayang menyeberang balik ke rumah, jika rakit-jamban itu tiada? Sedangkan barang-barang kebutuhan yang dibawa, kadang bukan dibawa tangan sebelah? Tentu jasa Tuan rakit-jamban dari batang-batang kayu balok yang mengapung itu menjadi saksi dari perjalanan tapak kaki penduduk kampungku mencapai dunia luar, dunia seberang.

Betul lah, kata orang Melayu dulu;"Rantau itu seberang!". Rantau memang seberang, dipandang jauh dimata kampung, berpisah bertahun-tahun dengan sanak-saudara dan kaum kerabat, juga menabung rindu dan airmata. Dalam belitan asyik-masyuk dikota-kota besar, orang-orang itu tetap merindukan kampungnya. Kampung itu adalah jejak kaki bayi yang belajar menapak jalan. Jadi, bohonglah jika ada manusia yang lupa dan melupakan kampung halamannya? Bukan lupa, mungkin lebih tepatnya malu mengaku anak kampung. Mereka, para 'pendurhaka budaya', sepertinya senasib dengan pendurhaka agama yang kebanyakan mati meragan. Jika badannya sehat, hatinya menyimpan benalu budaya yang menggerogoti hidupnya.

Seperti lebung-paya yang menyimpan gudang-gudang ikan dimusim kemarau tadi. Maka, pada kemarau tahun ini, aku dan sebelas sepupuku itu sibuk ikut orangtua kami pergi ke lebung-paya diseberang. Dibelakang rumah Datuk Haji Hamdan terhampar lapangan rumput multifungsi; Dipagi hari tempat kerbau-kerbau merumput, belalang beterbangan, petang hari menjelma stadion sepakbola, malam hari menjadi sasaran jalan babi-babi hutan masuk kampung. Jika tujuh belas agustusan menjadi medan lapangan upacara masyarakat kampung. Disebelah padang rumput luas itu terdapat lebung-paya yang ditumbuhi rumpun nipah, pandan dan kayu bungur.

Dilopak kecil, aku dan sepupuku biasa menjahili anak berudu yang kehilangan induknya. Mereka berpencaran lari ke dalam air, ketika kaki-kaki kecil kami hendak memijaknya. Pecah tawa berderai-derai, melihat berudu-berudu kecil itu. Dibawah sebatang pohon bungur yang rindang itu, kami menaruh barang-barang bawaan, berupa ember, tas memuat alat-alat menangkap ikan, juga rokok dan air minum.

Kebiasaan aku dan sepupuku asyik menonton seorang lelaki yang dikenal dengan Din Kakap yang menangkap ikan ruan (ruan) dengan alat kakapnya yang terbuat dari buluh-bambu yang dipecah kecil-halus. Pecahan bilah bambu dijalin-jirat dengan rotan. Cukup dengan menghentak-lantak alat pengakap ikan itu ke segala penjuru lebung-paya secara rambang-serampangan membidik ikan-ikan ruan sebesar lengan yang bersembunyi didasar lebung paya. Jika dirasanya pengakap itu seperti mengenai sasaran, maka pelan-pelan badan menunduk, lalu kedua tangannya sibuk mencari-cari ikan yang masuk perangkap alat pengakap ikannya.

Tangannya teracung ke udara sembari menjepit-genggam ikan ruan sebesar lengan, berarti rezekinya terhidang didepan mata. Ikan ruan yang meronta-ronta itu, dibenamnya dalam kain karung yang diikatnya dipunggung belakangnya. Nah, ini atraksi dan aksi menarik bagiku dan sepupuku yang dikenal "Bujang Bangku Masjid" itu.

Ada seorang tukang kayu di kampungku, Dumyati namanya. Ia di kenal lantaran ketokan palunya memiliki ciri khas, suara tok, tok, tok. Tok, tok, tok di telinga penduduk kampung kedengarannya seperti menyebut-nyebut nama seseorang: din kakap...din kakap…din kakap. Ini sering ditiru oleh sepupuku yang ada-ada saja ide gurauan yang melintas dalam perbincangan kami dibangku masjid tua dipinggir sungai yang mengalir lembut itu.

Tapi, hari ini, Din Kakap tak muncul. "Mungkin, sibuk pergi ke talangnya," kata Wak Seman pada bapakku yang membuka kebat-ikatan tali jalanya.

Jala itu adalah hasil jahitan sendiri. Aku melihat bapakku menjahit jala sepulang mengajar di SD seberang kampungku. Sehabis ashar, mulai dia menjahit jala bikinan sendiri. Katanya, sejak muda, dia sudah belajar menjahit jala dengan cuban jala. Cuban itu semacam alat penjahit jala dari bambu atau kayu. Tali pancing digulung dalam cuban itu, lalu seperti para pemintal benang, bapakku mulai menekuni jahit jalanya setiap petang sehabis ashar.

Aku dan sebelas sepupuku hanya memandang terbengong. "Hari ini, awak semua kepunan lah semua melihat atraksi gratis bang Din Kakap," kata abang sepupuku tertua nomor dua. Dalam kumpulan Bujang Bangku Masjid ini, dia dikenal sebagai wakil ketua dari abang sepupuku yang berlagak politisi ulung. Hahahahaha

Kak Ning Farhat, begitu aku memanggilnya memang suka sekali menangkap ikan. Pada waktu air sungai surut, musim ikan mudik, dia memungut kelapa busuk, dilubangi bagian atasnya, lalu dibenamnya buah kelapa busuk tadi didasar tepian rakit jamban. Dibiarkannya dalam barang waktu sejenak.

Tiba-tiba dia terjun ke tepian rakit jamban, menyelam buah kelapa busuk yang ditandai dengan sebatang kayu unjar, lalu muncul wajahnya dipermukaan sungai, tangan kanannya menutup lubang kecil kelapa busuk tadi. Diatas batang-batang balok rakit-jamban itu, aku dan sepupuku sebaya menyaksikan hasil tangkapannya dalam buah kelapa busuk yang dibenamnya. Ikan-ikan kecil macam semuruk-seluang melompat-lompat ketika dikeluarkan dari ruang kelapa busuk itu.

Tak apa lah, seperti kata guru kita di madrasah ats-Tsaqafah Islamiyah;"Tak ada rotan, peledas pun jadi." Begitu balas abang sepupuku yang politisi itu menyitir ungkapan Pakcik Jangayu Ahmad Thobari.

"Nah, hari ini kita selusin inilah yang jadi Din Kakap-Din Kakap baru. Kita beramai-ramai lah mengakap lebung-paya ini, siapa tahu akan berjumpa ikan ruan sebesar bantal!" Sambung abang sepupuku nomor tiga. Dalam beberapa hal, dia sangat terobsesi dengan gaya reporter pertandingan bulutangkis di radio yang menyiarkan kejuaraan All England di London.

Kelak gaya berlagak reporter atau pembawa acara di Televisi ini dibentangnya di SD dikampungku dengan dua kawannya. Botol-botol kecil kerajinan kelasnya yang dipajang disentung sekolah tua tegak doyong itu. Botol-botol kecil beragam bentuk, disusunnya diatas meja guru, tiga kursi melingkari meja itu, lalu dia bergaya seperti penyiar Televisi yang mewancarai para pejabat. Botol-botol kecil itu ibaratnya mikrofon atau tape kecil perekam milik wartawan yang rajin merubungi tokoh-tokoh terkenal ketika diwawancarai.

Jangankan kami Bujang Bangku Masjid yang genap berjumlah selusin itu. Guru-guru kami yang diam-diam mengintip depan pintu, tersenyum mengulum senyum. Rupanya, abang sepupuku yang nomor tiga ini dan dua kawan sekelasnya tak sadar, lonceng jam istirahat sudah selesai, pertanda memasuki jam pelajaran baru. Ibu guru didepan pintu hanya mengulum senyum melihat gaya kelakuaanya. Mereka bertiga buru-buru menyimpulkan serakan botol-botol kecil tadi, merapikan meja guru, mengembalikan tiga kursi yang terlanjur melingkar dan kembali duduk dibangku masing-masing.

Kami mengikuti gerak lingkar jala yang dihambur oleh orangtua. Kami merundukkan kepala seperti duduk mencangkung dalam air, lalu sibuk mengakap pinggir jala yang sengaja belum diangkat. Biasanya, ikan-ikan ruan sebesar lengan meronta-ronta, melawan jeratan jaring-jaring jala ingin lepas-bebas. Semakin ikan-ikan meronta-ronta, semakin dahsyat kami mengakap jala-jala yang dihamburkan.

"Ingat, tangkap dan pegang kepalanya kuat-kuat dengan kedua tanganmu." Begitu yang diteriakkan Datuk Muk Muhsin kali ini. Dia sebenarnya bermukim di Bengkulu, lantaran balik mengunjungi saudara-saudarinya, salah-satu saudari tuanya adalah nyaiku, emak bapakku.

Karena menjala dan mengakap lebung-paya dimusim kemarau tahun ini menyedot minat penduduk kampungku. Dia pun ikut serta mengenang masa mudanya dulu. Dia sudah berpuluh tahun merantau keluar kampungku mencari dunia baru. Bermacam kota dan provinsi sudah didatanginya. Pernah bermukim di Tanjung Karang, Rejang Lebong, Curup dan Palembang.

"Kalau mau tahu siapa kita, merantau lah ke negeri orang!" begitu kata-katanya padaku. Ketika itu aku masih sangat kecil. Tapi, hobi mendengarnya bercakap-cakap dengan bapakku dan saudara-saudaranya.

Sedari muda dia memiliki cita-cita mendirikan koperasi. Baginya koperasi yang dibicarakan dalam buku karangan bapak Proklamator Bung Hatta adalah salh-satu hasil usaha perekonomian yang mengangkat harapan ekonomi kaum pribumi. Koperasi ini pula sangat pas dengan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada pemerataan kesejahteraan ditangan rakyat. Dimata Datuk Muk Muhsin, semangat koperasi ini dipandangnya sebagai 'perlawanan' terhadap kezaliman Tauke saudagar getah karet yang sengaja mencekik leher kuli-buruhnya. Cita-citanya ini baru terwujud diakhir hayatnya di Curup. Dia didaulat kelompok tani disana, memimpin koperasi kelompok tani setempat.

Badan kami berkubang lumpur. Bau amis ikan dan lumpur berpadu lekat dibaju kami. Muka kami pun berbalut pupur lumpur. Kulihat sejak tadi dua orang adik sepupuku yang masih kecil, sibuk menangkap lintah yang merayap di pangkal pahanya. Badan lintah itu gemuk, pertanda kenyang mengisap darah kedua adik sepupuku itu. Kedua abang sepupuku, membunuh binatang penghuni lebung-paya itu diatas 'pulau kecil' tanah yang tak tenggelam ditengah lebung paya. Rokok yang disulut dimulut dua abang sepupuku, membunuh mati lintah gemuk kekenyangan.

"Rasakan kau, binatang kurang ajar!" teriak kami serempak, seraya melemparkan gelak tawa terbahak-bahak ke sekeliling lebung-paya. Suara tokek dan kodok bersahut-sahutan. Macam marah, orkestrasi musik mereka diinterupsi suara-suara 'selusin hantu' Bangku Masjid itu.

"Dasar memang bangsa lintah, kalian cuma hanya pandai mengisap darah orang!" Tukas abang sepupuku nomor empat.

"Kalau ada manusia seperti lintah, mengisap darah saja kerjanya. Berlaku zalim sewenang-wenang pada orang kecil miskin, maka kelakuanya lebih kejam dari lintah di lebung-paya ini". Kata Datuk Muk Muhsin berkhutbah sambil menghamburkan jalanya.

Saauuuuuuu, saauuuuu, saauuuuuu, kecipak bunyi hamburan jala itu berbiak bunyi. Memantul ke sebalik rumpun nipah dan pandan liar itu. Gelembung-gelembung kecil air lebung-paya tercipta, ketika jala dihamburkan para penjala ke seluruh penjuru arah.

Tiba-tiba dia mendiamkan jala sejenak. Seperti ada sentakan ikan besar terperangkap dalam jaring jalanya. Dengan isyarat telunjuk kanannya, dia menyuruh aku dan abang sepupuku tertua mengakap sekeliling jalanya. Kami berdua sibuk memutari jalanya, dia mengencang gulungan jaring jalanya pelan-pelan. Lalu, dia duduk seperti mencangkung dalam air, tangannya memiting ikan besar. Aku dan abang sepupuku tertua terperangah dengan gerakan kilatnya menerkam ikan besar.

Rokok dimulutnya masih menyala, walau kedua tangannya sibuk menerkam dan memiting ikan besar. Sepertinya tangkapannya kali ini bertemu rezeki tak terduga. Lalu, dengan cekatan kedua tangannya menangkup kepala ikan ruang sebesar betis abang sepupuku itu.

"Alhamdulillah," kata Datuk Muk Muhsin mengucapkan syukur. Insya Allah, malam nanti boleh makan panggang ikan ruan bercicah kecap cabai-bawang. Mulutnya seperti menelan-nelan makanan, membayangkan ikan yang masuk perangkap jala yang dihamburnya ke arah bumbun rumpun nipah.

Dua menit kemudian, tangannya mengangkat jala dari dalam lumpur paya lebung itu. Seraya mendekap erat ikan ruan sebesar betis abang sepupuku tertua itu ke dadanya. Dia segera menepi ke tanah tepian lebung-paya.

Ikan ruan sebesar betis abang sepupuku tertua tergeletak diatas rumput, menggelepar meronta-ronta mau meloncat ke dalam lebung-paya. Tapi, seketika tanganya menghantam kepala ikan dengan satu sentakan, ikan itu terdiam menarik napas macam orang kena penyakit sesak napas.

Dalam tradisi dikampungku, siapa yang menangkap ikan terbesar di lebung paya, dia lah yang jadi juaranya. Walau tangkapannya hanya sepuluh ekor ikan, namun jika salah-satu seekor hasil ikan tangkapannya berbobot besar. Dia dikenal sebagai juaranya mengakap ikan dilebung-paya. Hari ini yang jadi juara mengakap ikan adalah Datuk Muk Muhsin.

Kerbau-kerbau Datuk Haji Hamdan mengoak beriringan selepas puas menyantap rumput dipandang hijau luas. Kerbau-kerbau itu dipelihara dan dijaga oleh Guru madrasah kami Wak Gus Damiri. Biasanya, kopiah hitam kekuningan bertengger dikepalanya, ketika mengiring kerbau-kerbau pulang kandang.

Petang mulai menurunkan tirai-tirai kuning-keemasan dilangit barat. Dari padang rumput luas dekat kandang kerbau itu, dari bawah pohon kemang menjulang tinggi, lukisan terindah Maha Pencipta terhampar dibatas kaki langit. Burung-burung elang kelok pulang ke sarang. Rombongan kelelawar membercaki hitam langit petang.

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo 19 Oktober 2009

Saturday, October 17, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (9)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (9)

Ahmad David Kholilurrahman


Gasing Berpusing Puting Beliung

Pembuat gasing terbaik dikampungku adalah Lok Saini. Komandan perang bedil buluh kampung hulu, dizaman paman dan abang-abang sepupuku yang lebih tua. Dengan tarahan dan takukan mata parangnya, sebongkah kayu bulian tanduk atau kayu kopi disulapnya jadi gasing yang berputar menawan; pakam, halus, licin dan seimbang. Tanda gasing terbaik, ketika dialit dengan lilitan tali karung goni ketat-kencang, lalu dihumbankan jatuh berputar ke laman tanah permainan, maka liukan gasing menderu ibarat pusaran angin tornado puting beliung.

Medan permainan gasing digelar disepanjang laman rumah-rumah panggung bertiang kayu bulian itu. Dari hulu ke hilir, akan kau temukan berpuluh kumpulan permainan adu gasing. Adu gasing bukan sekedar memperlombakan mana gasing yang paling lama berpusing bak angin puting beliung. Tapi, juga gasing milik siapa yang paling kuat dan tahan adu?

Nah, jika permainan adu gasing sudah mewabah. Menjalar dahsyat memacu keasyikan para pegasing sepanjang hari melilit-memutar gasingnya dengan tali karung goni, juga melabuhkannya ke tanah berputar, berputar dan berputar bak amukan topan tornado. Meliuk-liuk ibarat penari jaipongan, menghunjam tanah berpusar menukik, memercik pepasiran tanah. Setunak-tunaknya berputar tak menghiraukan suitan pegasing yang telah memainkannya. Tanda gasing akan jeda berhenti, terlihat liukan semakin melemah, tarian gemulainya kendur, dan tiba-tiba menggeletak terkapar.

Aku memiliki sebuah gasing warisan yang terbuat dari kayu bulian. Warnanya merah kehitaman, berukuran besar dan rajin kulumuri minyak kelapa. Kalau ibaratnya manusia, gasing itulah yang berpenampilan badan besar, rajin berminyak rambut dan juga kusimpan dalam laci lemari diruang tengah rumahku. Aku menemukannya secara tak sengaja, ketika membongkar isi lemari yang memuat buku-buku bacaan dirumahku. Aku yakin, itu mungkin, gasing warisan dari paman-pamanku dulu. Jadi, setiap musim gasing mewabah dikampungku, gasing pusaka itulah yang selalu kumainkan dengan anak-anak sebayaku.

Pertama kali aku memainkan gasing itu, tangan kecilku keberatan memegang badan gasing bulian yang berat dan besar itu. Lagi pula, aku memerlukan tali karung goni yang lebih panjang untuk melilit tampuk kepala hingga leher gasing. Nah, jika tak terbiasa memakai tali yang lebih panjang, seringkali lilitan tadi bukannya malah terbuka teratur ketika gasing dihumbankan ke laman permainan. Namun, sangkut dan tersentak, gasingnya terlempar tak tentu arah. Salah-salah, menghantam kepala orang lain. Jangan kira, hantaman gasing kayu bulian dikepala, menyamai pukulan tinju singgah dikening. Rasanya, sakit luar biasa, kawan!

Apabila ada permainan adu gasing. Aku saran kau untuk menyaksikan dari luar laman permainan. Jika, kau tak mau terkena sambatan pusingan gasing yang terbang sembarangan tak tentu arah. Sebab, para pegasing-pegasing itu saling mengapak-saling menghunjam pukulan antara gasing yang satu dengan lainnya. Pemenangnya, dilihat antara gasing yang dikapak dan mengapak; mana diantara keduanya yang paling tahan atau terus berputar. Tentu saja desain gasing juga menentukan daya putar, keampuhan liukan dan keseimbangan gasing berpusing bak angin tornado puting beliung itu.

Ada tiga macam gaya mengapak adu gasing dikampungku;

Pertama, kapak tegam, yaitu miringkan badanmu, lalu ambil tenaga seperti orang mau menusuk, hantam gasingmu ke gasing lawan yang terlebih dahulu dipasang berputar, dengan cara menegam-menukikkan kepala gasing ke arah badan gasing lawan. Sehingga, gasing lawan berhenti meliuk-liuk dan jatuh tertegam ke tanah.

Kedua, kapak cedok, adalah sebuah gaya mirip sudu-sendok menyendok nasi. Tarik napas dahulu, kemudian gasingmu membidik ke arah bawah gasing lawan dengan gaya seperti mencedok. Kalau tepat sasaran, gasing lawan meloncat terbang ke udara, lalu jatuh terpelanting entah ke mana. Bagi yang memasang gasingnya sebagai pihak yang kalah, mesti siap-siap mencari gasingnya dibalik tiang atau terpelanting masuk pelimbahan. Tapi, jika meleset mengenai sasaran, kau mesti siap-siap mencari gasingmu sendiri.

Ketiga, kapak sambar (layang), gaya mengapak gasing dengan membidik gasing lawan dari arah samping atau jauh. Gasing lawan yang disambar gasing kita, mirip seperti ayam disambar elang. Gaya gasing sambar atau layang, jika tepat mengenai sasaran, maka gasing lawan melayang tanpa ampun. Tapi, jika tak mengenai, atau nyaris mengenai sasaran gasing lawan, maka kemungkinan diadu mana diantara gasing kita dan lawan yang berputar lebih lama.

Masing-masing pegasing yang bertarung memiliki jurus-jurus andalan dari ketiga gaya mengapak gasing tadi. Walau tak sedikit diantara pegasing-pegasing sanggup meladeni permainan adu gasing dengan ketiga cara tadi.

Dikampungku, Kamis Cedok sesuai nama yang tertera tadi, adalah salah-satu pegasing andal yang jago dalam gaya mencedok. Para pegasing amatiran, sepertiku mesti banyak belajar menyerap ilmunya. Lantaran itu, dia segera memintaku melilit tali karung goni dari kepala hingga bahu gasing, lalu putarkan gasingmu di tanah.

"Tengok, wahai bujang, cara mencedok gasing paling jitu!" Badannya miring, seraya mengayun gasingnya ditangan kanan, dengan dorongan gerak ke depan ke belakang, seketika gasingnya menghantam gasingku. Gasingku meloncat terbang, mengenai kandang ayam datukku yang terbuat dari papan kayu. Tergeletak tak berdaya, dipinggir kandang ayam itu.

"Kau tengok tadi, bukan? Nah, itu jurus kapak cedok paling dahsyat" Katanya bak pendekar sudah mengeluarkan jurus andalannya, mulutnya komat-kamit serupa merapal mantra. Ditelingaku dia berbisik, tahukah kau bujang, ini semata 'eksyen' belaka. Kata eksyen adalah kata paling sering diucapnya. Menurut riwayat yang kudengar dari kawan-kawannya, dia terpikat kata dahsyat itu, selepas mendengar seorang sutradara dalam sebuah film yang ditontonnya dilayar tancap masa bujangnya dulu mengucapkan kata-kata sakti itu.

Dia memiliki murid-murid dalam hal ilmu pergasingan ini. Ingat, katanya, tak semua orang bisa pandai mencedok gasing lawan, sejak dulu, aku cuma kenal beberapa orang saja yang suka gaya mencedok.

"Pelajaran kasar yang bisa kau tiru dalam perihal mencedok gasing, tengoklah cara orang menyekop tanah ketika membangun jalan aspal diseberang sana. Kau perhatikan mereka baik-baik, mana yang tak paham nanti kau tanyakan aku lagi" ujarnya pergi berlalu.

Jangan kamu tahan langkahnya, itu satu gaya khasnya, jika pegasing-pegasing amatir merujuk tanya-jawab perihal ilmu permainan gasing dikampungku. Gaya sok sibuk dan sok penting dah ditebarnya sepanjang jalan. Padahal kerjanya dirumah hanya mendengar musik-musik dangdut dari tape deck besar yang disambungnya dengan akku. Sepuluh hari sekali, dia menitipkan akku untuk dicas di Sarolangun dengan mobil angkutan Am Len.

Selain Kamis Cedok, ada juga pakar gasing yang juga pegasing andal. Namanya bang Syu'aib Tegam. Julukan Tegam melekat dibelakang namanya, sejak dia ditabalkan sebagai pemilik gaya tegam paling memukau dikampungku. Gasing siapa saja yang ditegamnya, tanpa ampun mati kutu berhenti putar, jatuh tertukik di laman permainan. Bang Syu'aib Tegam memiliki obsesi luar biasa, berharap diundang dalam Festival Permainan Tradisional Tingkat Nasional.

Lantaran kegilaanya pada dunia pergasingan. Dia memiliki koleksi gambar-gambar gasing dari seluruh nusantara. Ada buku bergambar tentang gasing yang diperoleh dari kerabatnya yang pernah kuliah di Bandung dulu. Buku yang melapuk berwarna kuning kusam itu, sudah lumat dibawanya ke mana-mana.

Setiap ada kunjungan mantri kesehatan, tim penyuluh kesehatan kecamatan, atau tim ibu penggerak PKK Kabupaten yang datang ke kampungku. Nah, buku yang memuat gambar gasing itu yang dibawanya menghadiri acara di balai desa itu. Tak jarang, dengan berani hati dia ajak pak dokter yang tengah istirahat sehabis mengobati masyarakat secara gratis, mantri kesehatan yang penat habis menyuntik warga sakit, atau ibu-ibu memberikan penyuluhan tentang Keluarga Sejahtera dengan menunjukkan gambar-gambar dahsyat itu.

Dikamar bagian serambi luar rumahnya, gambar kopian gasing-gasing itu yang ditempelnya. Obsesinya yang terlalu besar, bahkan membuatnya lupa makan dari pagi sampai petang. Koleksi tali lilitan gasing pun, dimilikinya beragam. Dari tali karung goni, sumbu kompor hingga tali pramuka berwarna putih. Itu disimpannya rapi dalam laci lemarinya, juga sebotol minyak kelapa, meminyaki gasing-gasing kesayangannya yang disimpan dalam kotak khusus berbungkus kain jarit.

Selain Kamis Cedok dan Syua'ib Tegam, jago ketiga gasing dikampungku adalah Rajab Sambar. Ampun, bila bang Sambar, begitu nama populernya, dah beraksi dalam permainan gasing dikampungku. Dari pangkal sampai ujung kampung, dia rajin tampil turun gelanggang permainan gasing. Kalau pagi ini, kamu jumpa dia didepan toko "Terang Bulan" Haji Sya'ban Dailami, lepas zuhur nanti, dia dah beranjak dilaman permainan lain, kali ini depan toko "Zamrud Khatulistiwa" Haji Syamsu Hilal. Petang nanti, selepas ashar depan toko Mangcik Junaidi di kampung hilir dia unjuk gigi. Penggemarnya ramai, karena disamping sosoknya yang ramah, humoris dan tampan dengan rambut jambul ayamnya. Tak sedikit, gadis-gadis dikampungku memasukkan nama bang Rajab Sambar dalam obrolan manis sehari-harinya disela menyapu dan mengepel tangga rumah.

Orang-orang yang kelelahan membanting tulang sepanjang hari, agak terhibur dengan kehadirannya. Maklum, kawan, penampilannya yang agak flamboyan, badan tegap dan wajah tampan sudah memikat penonton digelanggang. Belum lagi humor-humor segarnya yang meledakkan suasana, mencairkan ketegangan, juga meriuh-rendahkan gelak-tawa para penonton.

Salah-satu gurauannya yang paling sering diperdengarnya pada penonton adu gasing, adalah bahwa permainan gasing adalah yang permainan tradisonal yang penuh pesona. Para pegasing seperti para matador di negeri Spanyol sana. Jadi, kalau mau turun gelanggang, mesti tampil gagah-perkasa dan penuh lagak. Kalau ada sepatu kulit, walau pun warisan tujuh keturunan, sebaiknya kau kenakan, begitu nasehatnya yang terngiang-ngiang ditelingaku.

"Kau anggap gasing-gasing itu ibarat banteng yang kita taklukkan, lalu tali balut gasing dari karung goni adalah untuk menjerat kepala banteng, lalu gasing yang kau kapak dengan salah-satu dari ketiga gaya itu adalah banteng-banteng terluka tertusuk pisau belati dipunggungnya". Tutur katanya lembut, senyumnya terhampar landai ibarat pepasiran di tanah Bekali diwaktu air surut dimusim kemarau.

Aku heran, dengan para pegasing-pegasing unik ini. Ketiga mereka memiliki obsesi masing-masing, dipadu khayalan tingkat tinggi dan idealisme cita-cita tak bertepi. Lewat sebongkah kayu bulian tanduk yang ditarah jadi gasing, impian ketiga mereka membumbung terbang ke se antero dunia. Sejak bang Kamis Cedok, penggemar dangdut. Bang Syu'aib Tegam yang mengidam-ngidamkan diundang dalam Festival Gasing Nasional, hingga Bang Rajab Sambar yang flamboyan dan humoris, sosok yang memandang gasing adalah permainan seni dan unik. Gasing dalam alam pikirannya, ibarat banteng-banteng terluka terkena tusukan belati para matador-matador tampan bermata tajam. Luar biasa!


Tapi, ada satu kekurangan mereka bertiga, yaitu saling menolak jika tampil bertiga saja dalam satu gelanggang permainan gasing dilaman rumah panggung bertiang berjumlah ratusan buah itu. Seperti ada saling rasa segan diantara mereka bertiga. Apalagi mengingat masing-masing pihak sekuat tenaga menjaga citra dari masing-masing gaya andalan mengapak gasing yang sangat mereka kuasai. Jika ditanya, mana gaya mengapak gasing yang paling hebat? Ketiga mereka mengklaim paling jago. Tapi, jika dipertemukan dalam majelis otahan, ketiganya serupa kucing takut disapu lidi. Masing-masing memasang muka segan.

Yang paling pandai mempertemukan ketiganya dalam majelis otahan hanya sepupuku yang politisi itu. Maklum, ketiganya adalah kawan sepengajian di majelis Pengajian Wak Gus Damiri. Sepupuku yang berselisih delapan tahun umurnya denganku ini, dikenal luwes dan luas dalam pergaulannya. Ketiga-tiga jago gasing itu, seringkali hanyut dalam otahan politiknya.

Kapas boleh dipintal jadi benang kain. Air liur politisi dipintal jadi otahan. Kalau ketiga jago gasing kampungku dikumpul oleh abang sepupuku dari pagi sampai petang pun, mereka betah berlama-lama duduk dibawah pohon mangga ditepi air. Angin berpuput dari seberang meniupkan riak-riak keemasan matahari yang jatuh diatas wajah Sungai Batang Tembesi.

Abang sepupuku, anggota tertua "Bujang Bangku Masjid" yang memandu obrolan tiga keunikan tiga jago gasing dikampungku. Antara bang Kamis Cedok penggemar dangdut sejati, Bang Syu'aib Tegam, pemimpi yang terobsesi diundang dalam Festival Permainan Tradisonal di Tingkat Nasional dan Bang Rajab Sambar yang berjiwa flamboyan menganggap permainan adu gasing sebagai banteng-banteng yang mesti ditaklukkan belati matador. Dimata bang Rajab, penampilan para pegasing mesti serupa matador-matador Spanyol bermata tajam, jantan dan flamboyan.

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo 17 Oktober 2009