musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Saturday, November 28, 2009

Sajak: Sumping Tanah

Sajak: Sumping Tanah

Ahmad David Kholilurrahman

Misalkan kau adalah sumping tanah,
Berbedong daun pisang, mengintip separuh selendang

Secemas kukus rebus dandangan
Seletup dengus bara perapian

Seperti batuk yang lepas di tangga,
Membantun malam tanpa pekik serangga

Lamat-lumat pisang serawak,
Bercampur-baur tepung terigu
tuang air seciduk muka
Sesudu mulut mengadu kata

Jika kau baca isyarat sumping tanah,
Kuning daun, karam rindu, tumpah airmata

Ke muasal tanah, bikin kau alpa dunia
Pada amsal punah, rikin kau papa kedana

Cairo, 29 November 2009

Friday, November 27, 2009

Sajak: Martabak Lingkar

Sajak: Martabak Lingkar

Ahmad David Kholilurrahman

Aku rindu martabak lingkar buatan emak,
Seperti lingkar rinduku dari rantau bersorak

Sebelum mata fajar subuh rekah,
Nyala kayu bakar bungur memerah
dirumah panggung kayu Melayu
Emak turun ke dapur menabur tepung terigu

Mengadon-uli tepung, telur, air dan garam
Membulat adonan sekepalan tangan salam

Biarkan sejenak, atas hidangan bertumbuh bunga
Tungkamkan atas meja, sediam hujan berjeda

Lumuri minyak atas nampan kenangan,
Selicin jejak kepunan, selipir rantau tepian

Adonan yang terhempas pulas, tertepam pejam
Setipis kulit bawang, selebar dulang dayang terbayang

Lilitkan adonan selilit sumbu kompor minyak tanah,
Bulat melingkar setelapak tangan retak seribu

Senapas minyak mendidih dalam kuali,
Setedas anak menagih kehendak janji

Semangkuk kemaruk sop kambing, setengkar martabak lingkar!

Cairo, 10 Dzulhijjah 1430 H

Sunday, November 22, 2009

Sajak: Hikayat dari Negeri Sembilu

Sajak: Hikayat dari Negeri Sembilu

Ahmad David Kholilurrahman


Pada suatu malam kelam tiga puluh
Nenek memintal hikayat dari Negeri Sembilu

Perihal tiga buah kakao merintih-rintih,
Rindu dipetik telapak tangan nenek kurus ringkih
Sehangat cahaya memilin-memiuh tampuk
Ke peluk tua bangka bakal jatuh patah ripuk

Tapi, dari ruang dalam gedung Mahkamah Buruk
Kursi pesakitan tegak doyong menangis remuk
Sesunyi palu hakim meringis sesenguk
Berderai deraan vonis sebungkuk rusuk

Pada nasib Papa Kedana jatuh bertimpa tangga,
Timbang dacing hukum, buruk muka cermin dibelah

Yang besar dipertuankan daulat,
Yang kecil dilaknat hujat
Yang berpangkat diangkat dakwa
Yang berpanau kurap diserak tuba

Pada hari persidangan jatuh,
Nenek tua datang tepat waktu,
Sebelum Tuan Hakim mengetuk palu
Duduk takzim pasrah mendengar dakwa
Tanpa iringan pembela, apalagi tim kuasa

Nenek menjawab:
"Jika Tuan Hakim tak percaya, silakan tanya pada tiga buah kakao?"

Ketiga buah Kakao, serentak menjawab:
"Kami tersenyum bahagia, sebab yang memungut kami ditanah, tangan sarat cahaya!"

Cairo, 22 November 2009

Sajak: Doa Tiga Buah Kakao

Sajak: Doa Tiga Buah Kakao

Di negeri kami, cukup tiga buah kakao
Menyeret nenek ke mahkamah pengadilan
Duduk sebagai terdakwa dikursi pesakitan,
didera pasal kurungan ancaman tiga bulan

Hukum begitu tegak pada kurus-kecil,
lemah tak berdaya, fakir-miskin, papa-kedana
Hukum lemas-lunglai pada yang gendut-besar,
kuat digdaya, kaya-raya, kuasa-tahta.

Tuan-tuan berperisai pangkat baja,
pemilik jabatan bertameng daulat,
saudagar berdacing timbang uang
rajin membedak-pupur wajah penegak hukum,
manis-manja pada dada penguasa,
bengis murka pada derita jelata

Kami tak punya apa-apa, selain doa menadah sepasang tangan
Mengucur airmata yang mengalir darah tak lagi berwarna merah
Sehingga langit hujan airmata darah, lalu kami pinjam
Warna duka-lara, yang esok hari mungkin kami pejam
Mata-mata terbenam gelap-gulita mengeram malam

Pernah kami ditikam geram pada bayang cermin buram,
lekas jiwa besar kami asingkan dendam dalam tubuh ringkih silam
Lalu menggumam nyala api yang tak pernah padam
Bersama tumbuh setangkai doa yang terbang ke langit malam:

"Ya Allah, Ya Jabbar, Ya Qawi, jatuhkan lah penguasa dari tampuk kuasa seperti jatuh tiga buah kakao ke tanah"

Cairo, 22 November 2009

Saturday, November 14, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (19)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (19)

Ahmad David Kholilurrahman


Gurun Bertuah


Dari Tepian Bujang yang memendam ‘harta karun’ kayu bulian peninggalan buyutku yang telah dibagi rata pada anak-anaknya kelak, setelah puluhan tahun tertimbun-limbus lumpur dan tanah tepian pemandian. Aku menemukan jejak-jejak tentang sejarah Gurun Tuo, yang seolah sengaja ditinggalkan oleh leluhurku dahulu, agar ada suatu ketika kelak, ada anak zuriatnya yang mau menceritakan dan menuliskannya.

Aku juga menerima pengajian agama di Masjid dan Madrasah dari Guru kami, Buya Abdullah Manshur di Masjid Az-Zahir itu. Biasanya, selepas pengajian subuh, beliau biasa duduk berbincang dengan tetua kampungku diserambi Masjid tua. Aku suka mendengar penuturan cerita-cerita sejarah yang kerap-kali diselipnya dalam perbincangan menjelang matahari terbit di ufuk timur.

Sosok Alim jenius luar biasa yang pernah kukenal sepanjang pengembaraanku menuntut ilmu, ke banyak guru, ke banyak negeri. Seorang otodidak tulen dan pembaca ulung. Beliau tak pernah menerima pendidikan setingkat diploma atau sarjana dari Universitas mana pun. Bapaknya adalah Guru Haji Manshur Ja’far yang menuntut ilmu pada Masyayeikh di Bilad al-Haramain. Bermukim di Mekkah selama 21 tahun lamanya. Kedua anaknya lahir di tanah suci itu. Salah-satunya adalah anak sulungnya, guru kami Buya Abdullah Manshur. Beliau beserta adiknya dibawa kedua orangtuanya ‘turun’ kembali ke Jambi pada usia 7 tahun.

Disamping mengajar pengajian di Masjid Az-Zahir, beliau juga mudir madrasah khusus kaum perempuan dikampungku, yakni Madrasah al-Fatayat. Dulu madrasah kaum lelaki dan perempuan terpisah. Madrasah at-Tsaqafah al-Islamiyah diperuntukkan bagi kaum lelaki terletak diseberang kampungku, yang didirikan datukku KH. Nawawi Ahmad yang lebih akrab dipanggil Guru Mudir. Yang kemudian nanti dilanjutkan murid-muridnya, guru kami Wak Gus Damiri dan Wak Hasan Utsman.

Dua ratus tahun sebelum orang-orang membuka kampungku, dulu mereka bermukim di kawasan Pondok Tinggi. Yang berjarak beberapa kilometer dibelakang kampungku. Sisa peninggalan kampung asal yang ditinggalkan penduduknya yang membuka kawasan pemukiman baru yang kemudian har dikenal dengan Gurun Tuo, menjelma menjadi hutan kembali. Walau peninggalan kebun-kebun buah-buahan dan tiang-tiang rumah yang terkubur dalam semak belukar berbalut lumut masih dapat disaksikan.

Kampung baru dipinggir sungai Batang Tembesi dinamakan Gurun Tuo. Namanya yang unik dan terasa asing diberikan pada nama-nama kampung di negeri Jambi. Gurun bukan lah padang pasir, atau tanah luas tandus gersang, sebagaimana lazim bayangan kita pada gurun sahara luas di Jazirah Arabiah atau Afrika sana. Gurun adalah nama sejenis rumput berdaun panjang kecil yang banyak tumbuh liar di Sungai Gurun. Anak sungai batang Tembesi yang juga bernama Gurun ini terletak di hilir, berjarak sekitar dua kilometer dari pemukiman baru yang dibuka penduduk yang dulu berdiam di Pondok Tinggi. Sedangkan nama Tuo, merupakan bentuk derivatif dari Bertuah (Batuah). Bertuah memang maknanya mengandung tuah. Lama-kelamaan kata kampungku yang terdiri dari dua kata, nama benda dan kata sifat ini, yaitu Gurun Bertuah (Batuah) ini mengalami perubahan penyusutan kata sifatnya menjadi Gurun Tua.

Bukti, bahwa Gurun Tua yang asal katanya Tua, bukan dalam pengertian kategori dari periodesasi umur atau usia muda-tua itu adalah stempel Pesirah Buyutku Ja’far Shoefie yang termaktub: GURUN TUA. Jadi, dari sini bisa ditarik sejarah bahwa kata Tuo dibelakang kata Gurun nama bagi kampungku memang asalnya dari kata sifat Bertuah (Batuah).

Banyak versi cerita yang beredar. Mengatakan dulu ada penduduk kampung di selatan wilayah Sarolangun hendak menyerang kampungku Gurun Bertuah (Batuah). Namun, mereka gagal menaklukkan kampungku ini. Ada cerita juga yang menyatakan bahwa rumput Gurun memang memiliki tuah sebagai obat-obatan yang dapat menyembuhkan penyakit.

Sebagaimana lazimnya dilidah masyarakat Melayu Jambi menyebut kata-kata yang berakhiran huruf A berubah menjadi O. Maka, nama kampungku Gurun Tua ini pun mengalami perubahan penyebutan menjadi Gurun Tuo. Namun, jelas kata Tuo bukanlah bertalian dengan hal-ihwal penyebutan usia atau umur seseorang atau sesuatu benda apa pun. Jadi, jika ada suatu kampung tetangga yang menisbatkan kata Muda dibelakang nama Gurun itu tak ada kaitan sama sekali dengan kata Tua berasal dari kata Bertuah (Batuah). Paling kaitannya, penduduk kampung tetangga itu sebagian berasal dari kampungku.

Tapak awal pemukiman baru yang dibuka dikampungku adalah dikampung hilir. Menurut riwayat cerita yang kudengarkan langsung dari Datukku Haji Abu Bakar Ja’far, bahwa rumah-rumah tua dikampung hilir adalah kampung awal dari Gurun Tuo. Hulu kampung adalah Masjid Az-Zahir. Yang dulunya adalah wilayah pekuburan penduduk kampung ratusan tahun lampau. Semakin ke hulu adalah merupakan kawasan perkebunan penduduk.

Melalui guru kami Buya Abdullah Manshur, dipangkal tangga rumah bapaknya Guru Haji Manshur Ja’far dulu ada nisan anak kecil yang kelak dipindahkannya. Masa aku kanak-kanak dulu, masih ada nisan kayu bulian yang tertanam disekitar masjid tua itu. Bahkan ketika aku pernah membantu abang-abang sepupuku yang lebih tua membungkus tiang masjid dengan polesan pasir, batu dan semen, aku menyaksikan bekas nisan-nisan tua yang terpacak.

Dan rumah bapak buyutku Shoefie Tengkin itu dulu dikawasan rumah-rumah tua dikampung hilir. Jadi, ketika kuceritakan pada bagian sebelumnya, bagaimana bapaknya buyutku ini mengajak orang-orang dizamannya yang tenggelam keasyikan mengadu ayam dan menuntut ilmu hitam mengenal Allah dan memurnikan akidah tauhid mereka. Kitab perukunan yang digenggamnya, dan surau tua lah yang tujunya untuk mengajarkan pengajaran Islam pada penduduk kampungku.

Salah-seorang anaknya Ahmad Shoefie, yang merupakan buyut dari pihak bapakku dikirimnya langsung menuntut ilmu di Mekkah. Berguru langsung dengan Masyayeikh Bilad al-Haramain. Buyutku Ahmad Shoefie ini dikenal alim cerdas yang menggemparkan se antero negeri Jambi. Hanya mengaji tiga tahun di Mekkah, tersohor dengan pengetahuannya keislamannya yang luas. Salah-satu disiplin ilmu Islam yang dikuasainya adalah ilmu falak (astronomi). Yang kelak diajarkannya pada murid-muridnya, namun hanya lekat pada guru kami Buya Abdullah Manshur. Ilmu Falak adalah ilmu eksakta (ilmu pasti). Jadi, memang orang-orang yang memiliki kecerdasan ekstra yang dapat menguasainya.

Guru ilmu Falak buyutku di Mekkah adalah Syeikh Mukhtar al-Bughuri (Bogor). Mukhtar muda adalah anak seorang pejabat pribumi dizaman Belanda. Semula Tuan Mukhtar muda tamatan sekolah menengah pendidikan Belanda ini dikirim belajar di negeri Belanda. Bersama kawan-kawannya dia menumpang kapal yang berlayar ke Negeri Kincir Angin. Rute pelayaran yang ditempuh dari Batavia ketika itu, biasanya transit di Singapura, Sabang, sebelum masuk samudera Hindia, berlabuh di Ceylon (Srilanka) menaik-turun penumpang dan mengisi perbekalan makanan dan air tawar, melewati India, masuk laut Arab singgah berlabuh di Jeddah beberapa hari. Sebelum nanti meniti Terusan Suez (Suez Canal) menebuk ke laut Mediterrania hingga masuk negeri-negeri Eropa.

Nah, sesampai di Jeddah, Tuan Mukhtar muda ini tiba-tiba berubah tujuan. Hatinya tergerak hendak mendalami ilmu Islam saja di Bilad al-Haramain. Pada kawan-kawannya seperjalanan, dia menitipkan pesan:

“Sekiranya nanti, setiba kalian di negeri Belanda, beritahu saja pada orangtuaku bahwa aku juga telah sampai disana. Nanti, kukirim surat-surat dari Mekkah ke Belanda. Kalian ganti saja amplopnya berstempel cap Pos Holland. Tolong kalian kirimkan ke tanah-air”. Begitu ucap Tuan Mukhtar muda pada kawan-kawannya ketika melepas mereka melanjutkan pelayaran ke Negeri Kincir Angin.

“Aku mau belajar di Mekkah dengan Masyayeikh Bilad al-Haramain saja!” Katanya mantap penuh keyakinan. Cahaya terang hidayah thalab-ul ilmi telah menuntun Tuan Mukhtar muda, putra seorang pejabat pribumi di Bogor telah mengubah 'haluan' dari Leiden ke Mekkah.

Dari Syeikh Mukhtar al-Bughuri yang terkenal Alim dan pakar ilmu falak inilah Buyutku Haji Ahmad Shoefie belajar ilmu falak. Kelak ketika Datuk Muk Haji Manshur belajar di Mekkah, beliau bertemu langsung dengan guru dari pamannya ini. Begitu riwayat cerita yang kudengarkan langsung dari guru kami Abdullah Manshur, selepas maghrib di Masjid tua itu, ketika aku pulang kampung setahun lampau.

Kembali ke kampungku yang sejak dulu terkenal memiliki tradisi pengajaran ilmu-ilmu keislaman. Ditandai dengan banyaknya keluarga besarku yang belajar menyambung pengajian ke Mekkah dengan Masyayeikh Bilad al-Haramain, seperti Syeikh Khatib al-Minangkabawi, Syeikh Yasin al-Padani, Syeikh Daud al-Fathani, Syeikh Abdus Shamad Al-Palimbani, Syeikh Mukhtar al-Bughuri yang kebanyakan berasal dari negeri-negeri Melayu (Jawi).

Sekembali buyutku ke kampungku di Gurun Tuo, Jambi. Dikampungku dia membuka pengajian di Masjid tua yang dibuka pemakaiannya dimulai pada tahun 1925. Beliau aktif menyebarkan dakwah Islam ke wilayah pedalaman di hulu sungai Batang Tembesi. Lubuk Kepayang, Air Hitam, Jernih dan sekitarnya merupakan wilayah binaan dakwahnya. Bahkan, tak sedikit penduduk sana yang semula memeluk agama animisme (pagan) masuk Islam dibawah bimbingan tangannya.

Cerita yang aku dengar tentang sosok Buyutku, Guru Haji Ahmad Shoefie ini, adalah sikapnya yang ramah dan hangat. Semasa kecil dulu, aku mendapati potret berwarna kuning memudar, aku menemukan sosok buyutku yang mengenakan kopiah haji, berbaju teluk belanga putih, berkalung sorban putih. Sorot matanya memancar teduh dan bersahaja. Diantara cucu-cucunya; Bapakku dan paman Kasyfun Nadzir yang paling disayanginya.

“Kalau buyutmu itu pergi silaturahim ke rumah saudarinya, emak dari Datuk Haji Hamdan di seberang. Beliau suka membawakan roti biskuit Marie. Untuk bibi-bibimu (bibi Dayah dan bibi Hikmah), dia berikan bungkusan yang telah dia buka, sisa yang dimakannya. Sedangkan untuk Paman, khusus bungkusan roti biskuit Marie yang masih terkemas rapi.

Paman sering berpikir;"Kenapo Buyutmu seringkali sinding* pada paman dan bibi-bibimu?”. Begitu cerita Paman Kasyfun Nadzir padaku suatu ketika.

Diantara anak-kemenakan buyutku yang mengikuti jejaknya belajar ke Mekkah pada Masyayeikh Bilad al-Haramain adalah Datukku KH. Nawawi Ahmad dan ponakannya Haji Manshur Ja’far sampai berpuluh tahun. Datukku bermukim di Mekkah sampai 17 tahun lamanya. Pada usia enam belas tahun, ketika dia menunaikan haji tahun pertamanya umurnya belum akil baligh. Baru pada tahun depannya, dia menyempurnakan rukun Islam yang kelima itu. Sedangkan Datuk Muk Haji Manshur Ja’far bermukim di Mekkah selama 21 tahun. Kedua anak lelakinya lahir di Mekkah. Yakni guru-guru kami tadi, Buya Abdullah Manshur dan Wakte Ahmad Kautsari Manshur. Wakte Ahmad ini, kelak pindah ke Kuala Lumpur, Malaysia menjadi da’i dan guru agama disana. Ketika umurku empat tahun, dia pergi ke Malaysia memboyong keluarganya.

Kisah tentang Keramat Guru Ahmad terdengar ditelingaku sejak kecil. Karamah adalah anugerah Allah yang diberikan pada hamba-hamba yang saleh. Jadi, karamah atau keramat dimulut orang Melayu, bukan lah sesuatu yang dapat diusahakan seperti kasab, mata pencaharian yang memang mesti diusahakan, kalau mau mendatangkan penghasilan.

Cerita ini berkisar tentang suatu peristiwa yang hampir menimpa buyutku akibat muslihat jahat seorang lelaki yang tak suka pada dakwah Islamiyah yang disiarkan ke serata pelosok pedalaman Jambi. Ketika buyutku Ahmad Shoefie tengah berdakwah dikampung dilain yang mesti ditempuhnya dengan berkayuh biduk selama seharian. Biasanya, dia berada disana untuk masa beberapa hari, tak jarang berpindah dari satu kampung ke kampung lain. Sesuai dengan undangan pengajian yang diminta oleh penduduk sana. Suatu hari, orang ini bermaksud hendak menyerahkan hadiah berupa sebotol madu asli hutan yang diambil dari sarang lebah dipuncak kayu-kayu sialang tinggi.

“Guru, ini ada hadiah sebotol madu hutan asli dariku. Silakan guru cicipi langsung madu asli ini setetes dua tetes.” Kata lelaki itu pada Buyutku. Sambil menyerahkan sebotol madu hutan asli kental.

Di zaman itu, sebagai bentuk penghormatan pada ilmu dan guru, biasa penduduk kampung memberi guru dengan ransum makanan dan pakaian. Bagi yang berkebun-ladang, memberi beras, ketan, ubi kayu dan sayur-sayuran. Bagi yang berburu ke hutan, biasa bersedekah daging Kijang dan Rusa kepada Buyutku. Bagi yang menangkap ikan, seringkali mereka memberi ikan-ikan jenis bangsawan beratnya lebih satu kilogram.

Buyutku tak menaruh kecurigaan apa pun. Sebagaimana jiwa orang Alim saleh yang selalu mengedepankan Husnudzan pada apa pun dan siapa pun. Termasuk kepada lelaki yang berbaik hati yang memberinya hadiah berupa sebotol madu hutan asli itu. Botol madu itu pun diterimanya, dan hendak diterai cicip madu itu barang setetes dua tetes sebagaiman pinta lelaki tadi. Buyutku pun menghargai kebaikan orang langsung dengan perbuatan menyenangkan hati lelaki tadi yang memintanya mencicipi madu tersebut.

Ketika tutup botol madu itu dibuka. Seketika botol madu dari beling kaca itu pecah bagian bawah botol itu. Dari dalam botol itu nampak bulu anjing yang dicampurkan dalam madu yang barusan dihadiahkan tadi. Seketika buyutku memandang kepada lelaki tadi, seraya memperlihatkan bulu-bulu anjing yang mengendap didasar botol. Muka lelaki itu pucat pias ketakutan. Tiba-tiba, dia bertekuk lutut, mencium tangan dan kaki buyutku. Seraya memohon maaf atas muslihat jahatnya.

Buyutku tak menaruh dendam sedikit pun. Lelaki itu dimaafkannya, bahkan menjadi jema’ah pengajian yang disurah dan disyarahkan diserata kampung-kampung pedalaman Melayu Jambi itu. Dia hanya berpesan, jangan sesekali berniat mencelakakan orang lain dengan muslihat jahat dan tipuan licik. Boleh saja orang itu tak tahu, tapi Allah Maha Mengetahui. Perlindungan Allah telah menolong buyutku dari terminum madu yang bercampur bulu-bulu anjing tadi.

Sejak peristiwa tersebut. Orang menyangka buyutku keramat. Padahal Keramat atau Karamah, semata-mata hanya bentuk perlindungan Allah bagi hamba-hamba yang saleh. Bukan sesuatu hal yang dapat diusahakan, atau dicari atau dikehendaki dengan mengamalkan bacaan tertentu, atau hasil menuntut ilmu tertentu. Sebagaimana keyakinan yang melekat kuat di masyarakat kita.

Sosok alim saleh memiliki keluasan ilmu dan kebijaksaan hidup ini juga yang menjadikan masyarakat menaruh hormat dan segan pada buyutku. Ketika pernah terjadi peristiwa pertumpahan darah yang merenggut nyawa dikampungku berpuluh-puluh tahun lampau. Buyutku inilah yang menenangkan dan menyambut bapak dari korban pertumpahan darah. Padahal penduduk kampungku sudah dibungkus kekhawatiran bahwa lelaki itu bakal mengamuk. Namun, sepulang dari talang-umo, dijemput orang-orang yang mengajak lelaki itu pulang ke kampung dengan berperahu.

Sesampai ditebing tepian rakit-jamban lelaki, bapak dari korban tersebut. Buyutku inilah yang pertama kali menyambutnya. Lelaki yang disangka bakal mengamuk ini, malah menjadi begitu tenang dan damai dalam sambutan buyutku sosok alim saleh ini. Buyutku lah yang membimbingnya pulang ke rumah. Hal-hal yang sempat ditakutkan terjadi, semisalnya, dikhawatirkan mengamuk menuntut balas tak terjadi. Begitu cara orang-orang Alim saleh menghadapi sebuah peristiwa yang mengerikan.

Dari potret tua berwarna sepia, aku menangkap sosok seraut wajah teduh berwibawa, mengenakan kopiah putih, berbaju teluk belanga putih dan berkalung sorban syal putih yang kutemukan dalam lemari kayu jati tua dirumah datuk sebelah bapakku tadi. Buyutku ini juga dikenal sosok penting dalam penyiaran dakwah Islam di tanah Jambi. Terutama diwilayah pedalaman Jambi yang ditempuh dengan berkayuh biduk perahu. Entah berapa banyak orang yang mengucapkan kalimah syahadatain dihadapannya.

Dimataku, sosok buyutku ini, tak ubahnya, salah-satu tiang bulian dari empat tiang utama setinggi 40 meter yang menyangga kuat-kukuh tegaknya masjid tua dikampungku Gurun Tuo.

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 14 November 2009

*Sinding; Berlaku tak sama dengan kedua belah pihak.

Saturday, November 7, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (18)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (18)

Ahmad David Kholilurrahman


Tepian Bujang


Semburat matahari merajuk jatuh dihulu langit seberang. Kapas-kapas awan berarakan beriringan. Seperti iringan mengarak pengantin cahaya pulang ke ufuk barat. Goresan warna kuning tembaga menyepuh langit petang. Sepasang elang kelok terbang diseberang, merentas pucuk pohon mangga. Barisan kelelawar membercaki hitam. Mencari santapan kebun-kebun buah-buahan yang ditinggal pemiliknya dimalam hari. Dari arah hulu, awan berkumpul, berpadu membentuk ‘gunung-gunung air’. Kata orang-orang tua dikampungku: isyarat hujan akan turun di hulu.

Berjarak sepelemparan batu dari bangku masjid tua itu terdapat tebing tepian pemandian. Tempatku turun-naik jika hendak pergi ke rakit-jamban disungai Batang Tembesi yang mengalir tenang. Enam anak tangga dari kayu bulian berbentuk bulat terpaku kuat. Gantungan susuran tangga menukik ke bawah. Setiba ditepian bertebing datar, terlintang sebatang kayu diatas tanah. Jika musim banjir tahunan datang bertandang, sebatang kayu melintang dari arah darat ke laut tepian itu berfungsi sebagai titian laluan penghubung dari daratan tepian ke rakit-jamban.

Setelah menuruni enam anak tangga kayu bulian bulat yang dipaku menancap kukuh ke tebing tepian. Sekilas nampak, seperti tangga yang disampirkan ke pundak tebing tepian pemandian. Sebidang tanah datar yang tumbuh liar rerumputan dan daun peladang kambing. Daun berbunga putih hitam kecil ini, adalah umpan pancing ikan lampam paling jitu pada waktu air tengah surut. Tak jarang sebagai laman pakaian atau kain yang dikelantangkan seusai dicuci dan dipukul dengan sebatang kayu bulat.

Kelantangan*, adalah cara menjemur sejenis kain atau tirai gorden rumah yang berukuran besar setelah direndam dalam bak besar, dipukul dengan sebatang kayu untuk menghilang noda debu kotor yang melekat, lalu dibilas dengan air sungai kemudian dijemur. Jika telah kering, keesokan harinya, akan dicuci lebih bersih dengan sabun dan penghilang noda kotoran, lalu dijemur pada seutas kawat tali jemuran.

Setelah melewati sebidang tanah datar tadi. Turunlah sekitar sepuluh meter ke arah bawah tebing-tepian. Sekeping papan bulian terbentang antara tebing tepian dengan batang rakit-jamban sebagai jembatan penghubung.

Rakit-jamban yang tersusun dari delapan batang gelondongan kayu balok mengapung disungai ditambat dengan seikat tali kawat baja yang dililitkan pada sebatang pohon mangga yang berada dihulunya. Dibawah rakit-jamban, terbenam dua-tiga batang kayu pengapul yang berfungsi mengapungkan rakit jamban berdinding kayu, beratap seng.

Rakit-jamban itu mirip rumah terapung disungai. Rakit-jamban berukuran besar dengan panjang 30 meter x 15 meter memiliki sepasang WC alami, ruang gudang penyimpanan getah karet, dan sepasang kamar mandi dibagian kepala dan buntut jamban. Biasanya, yang depan kamar mandi bagi kaum lelaki. Sedangkan kamar mandi dibagian buntut rakit-jamban dikhususkan untuk kaum perempuan. Begitulah adat-istiadat Melayu dikampungku mengajarkan adab sopan-santun. Hingga ke rakit-jamban tetap dibuatkan ruangan mandi-cuci terpisah bagi kaum lelaki dan perempuan.

Jika matahari terik menyengat. Atap seng rakit-jamban menghantarkan panas luar-biasa. Angin dari arah laut rakit-jamban mengusap anak rambutku yang jatuh tergerai. Kilau terik memancarkan kaki-kaki cahaya fatamorgana diatas atap seng rakit-jamban. Bayangan cahaya garis-garis tak lurus jatuh diarus sungai mengalir tenang. Kecibur ikan-ikan bangsawan sejenis sengarat dan lampam diluan rakit jamban membuyarkan keasyikanku memancing ikan semuruk dan seluang disela-sela rakit jamban. Aku dan sepupuku membikin kail pancing dari sebilah buluh-bambu tua yang diraut halus. Pada ujungnya diikat tali pancing berpemberat timah jala yang dipotong kecil. Berumpan nasi atau cacing, lalu dilabuhkan disela-sela batang rakit jamban.

Ikan-ikan kecil seukuran telunjuk orang dewasa sejenis seluang dan semuruk adalah penyantap umpan pancing kami. Setiap kali terasa sentilan dimata pancing, lekas-lekas kali pancing diangkat, seekor ikan seluang atau semuruk menggeliat, meloncat-loncat terkapar. Tangan kiri kami menangkap kepalanya, lalu secara perlahan melepaskan mata pancing dari mulut ikan yang malang yang beruntung melahap umpan nasi pada mata kail pancing. Selembar daun lidi kelapa diraut pangkal daunnya, cuma menyisakan daun bagian ujungnya saja. Ikan-ikan malang yang beruntung melahap sebutir umpan nasi itu, tersusun-gantung dikarangan selembar daun kelapa.

Bagi orang Melayu, kelapa adalah simbol serbaguna dalam falsafah kehidupan yang sering dipakai dalam idiom sehari-hari. Untuk menyatakan tinggi sesuatu, tak jarang dikaitkan dengan ukuran setinggi pucuk kelapa. Untuk mensifatkan semangat tolong-menolong dalam kehidupan bermasyarakat, mereka menyebut bak ikatan sapu lidi kelapa. Semboyan sakti:”Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Terilhami dari sapu lidi kelapa. Untuk menyatakan seseorang yang susah payah berusaha, bertungkus-lumus, lalu keberhasilannya dinikmati oleh orang lain. Dinyatakan dengan ungkapan:”Bak kelapa condong tumbuh ditepian!”

Dan hampir sepanjang tepian pemandian dikampungku tumbuh barisan batang-batang kelapa yang tegak tinggi menjulang dari hulu hingga hilir. Berselang-seling dengan pohon-pohon mangga, rambutan, manggis dan jambu air. Sepanjang delta sungai yang landai, penduduk kampungku membuat kebun pasir berpagar kayu dan bambu. Dalam kebun itu ditanam sayur-sayuran seperti pucuk ubi kayu, kacang panjang, labu perenggi dan siam, kundur, kesik-katolo dan mentimun.

Guru kami Wak Gus Damiri, termasuk sosok yang rajin bercocok-tanam. Dikebun pasirnya ditepian sungai, dia menanam sayur-sayuran. Bahkan dari penghasilan kebun pasir yang ditabungnya, beliau sanggup membangun rumah panggung kayu diseberang kampungku. Keberkahan dari Allah mendatangi kampungku, ketika rumah-rumah pengajian dan sekolah Madrasah ramai didatangi para penuntut ilmu dari kampung tetangga, bahkan dari kampung-kampung jauh di huluan dan di pehiliran. Seperti janji Allah SWT pada hamba-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an Surah Al-A’raf 96, menitahkan:”Sekiranya penduduk suatu negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan bukakan untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi, tapi mereka mendustakan. Sebab itu Kami siksa mereka disebabkan usahanya itu”.

Keberkahan hidup tercermin dari rasa cukup akan nikmat Allah yang diterima. Jauh dari penyakit zalim, khianat, loba dan kikir. Bagi kaum fakir-miskin, merasa bahagia dengan kehidupannya. Sedangkan kaum kaya-raya tak lupa menyedekahkan sebagian hartanya. Menunaikan hak-hak fakir-miskin dalam tumpukan hartanya. Bagi tuo-tengganai memberi contoh teladan dengan bimbingan kebijaksanaan yang telah kenyang asam garam kehidupan. Bagi alim-ulama ikhlas mengucurkan tunjuk-ajar dan panduan akhlaknya bagi kalangan awam. Bagi kaum cerdik-pandai rajin selidik mengurai rintangan masyarakat. Bagi kaum muda-belia berwajah cerah menyingsingkan lengan, belajar memikul tanggung-jawab yang kelak akan diamanahkan dipundak kekar mereka.

Dari bangku masjid, berselempang handuk dileher, sembari memegang timba kecil berisi sabun dan gosok gigi, aku duduk melabuh pandangan jauh ke seberang. Dari arah darat terdengar langkah kaki menyusur setapak jalan samping masjid tua. Abang sepupuku tertua muncul dengan seragam serupa; selempang handuk dileher, berkain sarung, baju kaos putih. Senyum simpulnya terpasang diwajahnya. Tak lama kemudian, datang abang-abang sepupuku yang tiga orang dengan penampilan yang sama. Mereka duduk disampingku, memandang ke arah seberang.

Dirakit jamban datukku yang bergerak ke hulu-hilir dibawah arus tenang sungai. Dibagian dinding yang menghadap badan sungai tertulis sebaris nama pamanku dengan cat warna biru tua: ADIB Ai-ICHSAN. Bagi perahu dan motor yang hendak berlabuh merapat, dengan sangat mudah rakit-jamban datukku ditandai dengan tulisan nama anak lelaki tertuanya. Dan tulisan itu bertahan bertahun-tahun hingga suatu malam kelak, ketika gelap buta membungkus rapat kampungku, rakit jamban itu dihantam karangan balok dari hulu yang terlepas ikatan, lalu menghanyutkan rakit-jamban penuh kenangan masa kecilku itu.

Kami duduk berdampingan. Senyap terdiam. Aku menundukkan kepala meraih sebatang lidi, menggores-gores tanah, menuliskan sembarangan nama dan kota-kota dunia. Sejak kecil aku selalu terobsesi pergi merantau ke kota-kota yang kudengar dari radio tua bapakku yang bersuara soak-parau kehabisan baterai, siaran berita BBC yang dipancarkan langsung dari London. Nama London yang disebutkan penyiar Inke Maris terdengar; L-A-N-D-E-N didaun telingaku. Sehabis makan malam, aku suka duduk mendengar siaran berita terkini dari penjuru dunia. Dan nama-nama kota yang disebutkan pada setiap awal tajuk berita tertancap lekat dibenakku.

“Tahukah kalian semua, wahai adik-adikku gagah-tampan, kalau di Tepian Bujang ini terkubur tumpukan harta karun yang tak seorang pun dapat mengambilnya, kecuali dia berniat memang tak mewariskan pada siapa pun?” Tanya abang sepupuku paling tua memecah kesenyapan. Tangannya merapikan ujung handuknya yang jatuh menjuntai ke tanah.

“Tentu kami tidak pernah mendengar perihal demikian, wahai kanda”. Kata abang sepupuku yang nomor empat menimpali ringan. Sapaan Kanda, serupa suara pelakon drama radio yang rajin didengarkannya setiap petang.

“Harta karun seperti apa yang tertanam di Tepian Bujang ini, Tedud?” Abang sepupuku yang nomor dua memalingkan wajahnya. Serius membaca gerangan diotak benak sang pelempar tanya.

“Dan ini, mungkin bukan mimpi utopia kaum politisi khan”, sambung abang sepupuku nomor tiga, sembari tegak membuhulkan ikatan kain sarungnya. Entah dimana dia dapat kata “Utopia”. Setahuku ada nama negeri yang mirip kata yang disebut abang sepupuku nomor empat. Yaitu Ethiopia, negeri yang menjadi tujuan hijrah pertama sahabat Rasulullah. Abbesenia, nama lainnya.

“Bukan, bukan, bukan mimpi dan bukan pula utopia. Namun, adalah kenyataan yang terkadang jarang kita sadari. Harta karun itu nampak pada musim air surut.” Ucap abang sepupuku yang berjiwa politisi itu menyentil benak penasaran kami tadi.

“Saya tahu, apa yang dimaksud dengan “harta karun” di Tepian Bujang?” kataku yang sedari tadi mencerap arah pembicaraan yang terlontar, walau asyik menggores nama-nama kota dunia yang kutuliskan ditanah, dimuka laman masjid tua itu.

“Ayo, beritahukan pada mereka bertiga, jika kau memang tahu nian!” Tantang abang sepupuku paling tua. Senyum kecil mengembang dibibirnya.

“Harta karun yang terkubur di tepian pemandian itu adalah kayu-kayu bulian yang dulu dikumpulkan oleh Buyut Ja’far Shoefie, semula ditumpuknya untuk ramuan bahan baku rumah, namun lama-kelamaan tertimbun lumpur banjir, terkubur dalam tanah puluhan tahun”. Kataku panjang lebar menerangkan kepada mereka berempat.

“Dari mana kau tahu, wahai adinda?” Tanya abang sepupuku nomor dua. Tentu bukan dari siaran BBC London yang suka kau dengar setiap malam itu khan?” Katanya sambil tersenyum ke arah abang sepupuku paling tua.

“Bukan, dan tentu saja Inke Maris tak bakal membaca siaran berita tentang “harta-karun” di Tepian Bujang yang kita bahas petang ini.” Sambungku tak kalah tangkas menjawab pertanyaan tadi.

Ketiga abang sepupuku yang lain menggeleng-geleng kepala. Diatas pucuk manggis, seekor punai betina bertengger. Suaranya memecah pembicaraan kami berlima. Dan jika ada ketapel ditangan, tentu bakal ada diantara kami yang membidik burung punai menawan itu. Jauh sebelum kami tahu, bahwa dalam pelajaran fiqh di kitab Bulugh al-Maram, ada Bab yang melarang memburu binatang buruan dengan ketapel.

Dulu aku pernah memiliki seekor punai hasil ketapel Kulup Syahid yang diberikannya padaku. Kulup Syahid ini adalah salah-satu murid bapakku di SD No 53/VI diseberang kampungku. Dia termasuk pemburu burung-burung paling piawai. Dari memikat burung pialing hingga burung pipit kecil pun dibidik ketapelnya yang sepanjang hari tergantung dilehernya. Salah-satu janjinya padaku adalah memberi burung punai, jika dia berhasil mendapatkan buruan tersebut. Ketika masa aku rajin mengikuti bapakku pergi ke sekolah dasar tertua dikampungku. Burung punai pemberiannya itu, bertahan hidup dua hari saja. Pada pagi ketiga, kulihat burung dalam sangkar itu mati tak berdaya. Mungkin, menahan sakit dari lontaran batu ketapel si Kulup.

“Apa benar ada “harta karun” yang disebutkan adik kita ini, yang Tedud maksud?” Tanya abang sepupuku nomor empat menggerakkan alis matanya. Seolah menunggu jawaban dari sang Politisi yang kadang memancing kontroversi.

“Hehehehehhehehehhe,” senyum terkekeh dimulutnya kali ini.

“Harta karun yang disebutkan oleh adik kita tadi, memang tak salah. Juga belum tentu benar yang kumaksud dalam pertanyaan awal tadi. Kalimatnya santai, pelan dan wajahnya berubah serius. Garis-garis keningnya menyiratkan bahwa, kami berempat belum menjangkau maksud pembicaraannya.

Aku yang merasa jawaban yang kukemukakan tadi. Bukan itu yang dimaksudnya. Walaupun, dia menyatakan dengan kalimat bersayap;”memang tak salah”. Namun, belum tentu sesuai dengan arah pertanyaan yang dimaksud. Dalam hati aku menebak, jangan-jangan dia hanya mempermainkan kami saja. Maklum, orang yang berjiwa politisi, pandai beretorika dengan bualan sekali pun. Tapi, melihat wajah serius yang tersirat pada airmukanya, rasanya aku harus menepis jauh-jauh rasa purbasangka itu.

Setelah melihat kami seperti tak bakal menduga isi pembicaraan yang dicetuskannya tadi. Abang sepupuku paling tua ini bangkit dari duduk disekeping papan bulian tua dilaman muka masjid tua itu, seraya menyingsingkan gulungan kain sarungnya. Sebelah tangannya berkecak pinggang, membalikkan badannya memunggungi sungai, menghadap serius ke arah kami berempat.

Tahukah wahai adindaku yang bertampang gagah-tampan. Sesungguhnya harta karun yang kumaksud bukan lah dalam wujud material. Namun, harta karun berwujud simbolik belaka. Lambang dari perwatakan sosok sang Datuk-Buyut kita itu. Bahwa harta karun itu adalah “kebesaran jiwa” dari Pesirah Ja’far bin Shoefie itu sendiri. Warisan pandangan hidup itu, sedikitnya melekat pada anak-anaknya yang hidup sepakat. Menjaga tegak marwah wibawa keluarga dengan akhlak, ilmu dan amal kebajikan. Jika ada permasalahan, dimusyawarahkan dan diputuskan secara kekeluargaan.

Padahal Buyutku dari pihak emakku yang pernah jadi Pesirah di zaman Belanda itu bukan lah lulusan sekolah kaum bangsawan. Namun, kebesaran jiwa itu adalah pancaran didikan bapaknya yang telah memiliki inisiatif mencerahkan. Mengajak orang-orang dizaman itu, yang karam tenggelam mengadu ayam dan mengasah ilmu hitam mengaji kitab perukunan. Kitab bertulis Arab Melayu yang mengajarkan rukun-rukun Iman dan Islam dan tatacara praktek ibadah mendekatkan diri kepada Allah Subhanallah Ta'ala.

“Ingat harta karun itu tak bisa diambil siapa pun, kecuali dia berniat mau mengambil atau mencari sendiri dalam tingkah-laku kehidupannya”. Abang sepupuku menutup orasi politiknya, lalu mengambil timba sabun. Siap-siap berjalan turun ke arah tebing tepian pemandian yang lebih terkenal dengan Tepian Bujang. Sebab, sekurang-kurangnya selusin bujang kerap mandi berenang macam rombongan itik-angsa.

Kami berempat bangkit-bingkas dari Bangku Masjid tua itu. Berjalan beriringan dibelakangnya. Dari rakit jamban datukku itu, aku mendengar suara kikik-tawa sepupu-sepupuku yang lain yang berubah menjadi “hantu air” dengan mata memerah, napas tersengal-sengal, badan mengkilat ditimpa matahari petang. Akibat berjam-jam mandi berenang di sungai yang mengalir tenang itu.

Dari arah luan rakit-jamban. Diatas atap seng, seorang sepupuku melompat terjun ke badan sungai. Suara dentuman badannya yang jatuh ke sungai, memicu adrenalin sepupuku yang lain untuk ikut-ikutan memperagakan gaya terjun serupa. Gelembung-gelembung air menerjang ke atas. Disusul rambut kepalanya yang muncul ke permukaan sungai. Sensasi dahsyat yang tercipta, seperti terjun dari pohon manggis diatas bangku Masjid ketika musim banjir tahunan bertandang ke kampungku.

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 7 November 2009

Thursday, November 5, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (17)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (17)

Ahmad David Kholilurrahman


Kesatuan Makan Dalu (KMD)


Angin malam berhembus sejuk-hangat. Langit berbintang memantulkan kerlip cahaya dikejauhan. Seraut wajah rembulan jatuh rampak, marak-semarak dibadan sungai Batang Tembesi yang mengalir lembut. Di tepian seberang, pokok-pokok kayu tegak menjulang berjajaran sepanjang tebing, mirip barisan gergasi bergandengan tangan menangkup sungai.

Dikejauhan kerlap-kerlip perahu pencari ikan sepanjang rantau tepian. Suara burung malam merentas pucuk kelapa sepanjang tebing kampungku. Suara kuau digunung menghimbau dikejauhan lubuk malam. Kepak tugang merampas dedahanan rimbun semak-belukar. Harmoni kehijauan alam merupakan corak dominan yang mewarnai kampungku.

Pementasan drama sandiwara itu berakhir sudah. Ditandai dengan para pelakon yang maju ke depan panggung, seraya menyematkan seuluk salam pada khalayak penonton. Tepuk tangan membahana mengiringi tirai-tabir layar kain yang menutup panggung seketika. Wak Nga, seketika naik panggung, langkahnya tegap ketika menginjak papan pentas tarup beratap terpal berwarna kuning genteng itu. Dengan mencondongkan badannya ke depan, raut muka yang penuh senyum simpatik, ikat pinggang yang ketat melingkar badannya tinggi besar, lalu kedua tangannya bertepuk, aplausan tepuk tangan khalayak penonton kembali bergemuruh dahsyat.

Aku dan sepupuku tegak berdiri seperti menyambut pahlawan pulang perang. Tepuk-tangan kami terdengar paling kencang, berseling suitan sepupuku yang berambut lurus landak, yang selalu jadi tokoh polisi dalam cerita-cerita Wak Nga. Keempat abang sepupuku sudah bergabung bersama kami, setelah tadi memisahkan diri, duduk mendampingi ketiga gadis dari Jambi sepanjang pementasan drama sandiwara yang membangkitkan kerinduan penduduk kampungku. Harapan mereka membuncah, agar dimasa-masa mendatang, drama sandiwara serupa kembali dibentangkan.

Rombongan mempelai pengantin telah turun panggung, balik berehat naik ke rumah. Tiga gadis dari Jambi ikut mengiringi, dan keempat abang sepupuku menempel ketat mereka. Seolah-olah pasukan pembuka jalan rombongan Presiden kembali ke Istana. Khalayak penonton bubar berpencaran teratur-tertib. Bapak-bapak terlihat mengendong anak-anaknya yang tertidur dipangkuan sepanjang pementasan tadi.

Pihak panitia sibuk merapikan sound-sistem pengeras suara. Dua orang tampak menurunkan corong pengeras suara dari dahan pokok nangka. Beberapa orang lagi mengangkut kursi-bangku yang dipinjam dari Madrasah Al-Fatayat ke atas panggung. Wak Nga rehat sejenak, menghisap dalam-dalam rokok kretek tanpa filter, beriringan seteguk kopi yang nampak setengah dicangkir yang dipegangnya. Senyum hangatnya terkembang ke arah aku dan sepupuku yang tengah sibuk membantu panitia merapikan peralatan pendukung pementasan drama sandiwara tadi.

Dari tarup masak dibelakang rumah. Dibawah sinaran sepasang cahaya lampu petromaks bergantungan. Dua orang nampak menyalin nasi gemuk@lemak dari perut periuk kawah besi ke dalam bakul besar nasi. Wangi aroma daun pandan harum tercium dari kepulan uap nasi gemuk@lemak yang tengah ditambuh dalam bakul-bakul besar terbuat dari anyaman buluh bambu. Keduanya mengangkat ke atas rumah menaiki tangga belakang. Di dapur kaum ibu-ibu sudah menyendok lauk-pauk dan sambal asam ikan teri ke dalam piring-piring sajian.

Sebentar lagi hidangan “Makan Dalu”, begitu orang kampungku menyebut hidangan penutup selepas malam pengantin duduk bersanding diatas pentas dilaman rumah panggung. Tapi, sajian hidangan terbatas bagi panitia yang bertungkus-lumus, bermandi peluh-keringat membantu terselenggara sedekah kenduri pengantinan. Ditambah keluarga dan kerabat kedua mempelai.

Aku dan selusin sepupuku yang dikenal dengan “Bujang Bangku Masjid” itu pun menikmati hidangan yang khas ini. Kami duduk bersila mantap menghadap hidangan sajian nasi gemuk@lemak, lauk sisa pengantinan tadi siang, ditambah sambal asam ikan teri, goreng kerupuk emping melinjo dan kerupuk udang. Lahap nian kami, sembari bercakap-cakap, tak jarang diselingi canda-tawa yang menghangatkan larutnya dini hari. Dalu Ari adalah waktu dini hari yang merayap sekujur kampungku.

Kesatuan Makan Dalu (KMD) adalah nama pemberian Wak Nga pada rombongan penikmat makan malam yang lahap sehabis badan lelah menyaksikan pementasan malam duduk pengantin dipentas panggung tadi. Tokoh utama KDM adalah kaum pegadang malam, yang juga duduk sembari menjaga periuk kawah besi, ceret besar kuningan, kelaci masak dari kayu yang mirip pengayuh, dan barang-barang lainnya.

Sambil berbincang-bincang sehabis menyudahi hidangan yang luar biasa lezat, ditambah selera makan kami yang menginjak masa pertumbuhan, yang begitu lahap nafsu makan. Apalagi, kami berada dalam tokoh-tokoh papan atas yang biasa menyemarakkan KDM yaitu, Wak Nga, Wak Hayat, Pak Gus Najib dan lain sebagainya. Termasuk para pelakon drama sandiwara yang berhasil mementaskan kisah yang akan terus dikenang sejarah kampungku.

“Tarikan nafsu makan jam satu malam pada hidangan KMD ini, sama dengan teriakan lapar jam satu siang!” Kata abang sepupuku yang tertua, seraya melepas tawa khas kaum politisi. Tawa yang boleh mengundang celetukan ringan segar.

“Wah, memang tak salah lagi, Adinda. Selera makan Kak Nga sama kuat dengan tarikan lapar jam satu siang”. Sambung Wak Nga, seiring gelak tawanya yang terkekeh-kekeh. Hehehehehehehehehehheheheheh

“Hal macam ini, tak ada pada hari biasa. Cuma pada waktu sedekah pengatin lah, adanya Kelompok Makan Dalu alias Ka-eM-De, bukan eL-Ka-eM-De”. Ujar Wak Hayat sembari merapikan kopiah hitamnya bertengger atas kepalanya. Lalu menjeling ke arah kami yang duduk mengumpul sekitar Wak Nga.

“Albam Auuussssss!!!”*1 Balas Pak Gus Najib menambah nasi gemuk@lemak ke dalam pinggannya.

“Meledok!!!!!”**2 Paman Hakim Bones menimpali tak kalah ramai

Gelak tawa pecah berdekah-dekah dari rombongan KMD. Buncah tawa Kak Ning Buana, Kak Cak Mujib, Pak Su Zyaad, Paman Zamilul Faiq, Bang Hasunah, Paman Hakim, Paman Mufakhir dan Kak Cik Syahir yang pernah mempopulerkan dirinya dengan sapaan “Cikgu”.

Seceret besar kopi panas mengepul-ngepul uap. Abang sepupuku yang nomor dua menundukkan mulut moncong ceret ke dalam gelas-gelas beling diatas nampan hidangan bermotif bunga-bunga. Dia mempersilahkan kepada orang-orang yang sudah makan, mengambil secangkir seduhan kopi tersedap dari Jambi itu. Tak henti, terdengar suara sendawa sehabis makan kekenyangan pada jam satu malam itu.

Kaum ibu-ibu dibantu gadis-gadis muda mencuci hidangan didapur. Suara obrolan kaum perempuan terdengar ramai. Denting gelas-piring yang tengah dicuci mereka, serupa musik klasik yang diputar dilarut malam. Sepupuku yang perempuan terselip dalam kumpulan yang meramaikan majelis kaum ibu-ibu didapur dan ruang belakang rumah. Pun, tiga gadis dari Jambi duduk dekat mereka, sesekali mata mereka melirik ke arah empat abang sepupuku yang duduk didepan pintu bersetentangan pandangan.

Senyum-senyum simpul terkembang dibibir keempat abang sepupuku duduk sambil memegang gelas kopi ditangan kanan, asap-asap rokok kretek tak berhenti melingkar dimulut mereka. Wak Nga terlibat obrolan dengan para pelakon drama sandiwara yang tak sudah-sudah menyangka betapa besar apresiasi khalayak dan kerinduan kampungku akan pertunjukan seni modern alternatif. Selain kesenian Danah Gambus, yaitu kesenian Melayu yang menerima bancuhan percampuran irama gambus Arab, gendang India dan irama Melayu yang mendayu-dayu.

“Aduhai, adakah zaman jamil itu kembali lagi kita saksikan lagi!”. Ujarku pada sepupuku yang selusin itu. Dua-tiga orang dari mereka nampak terserang kantuk.

Sejak kanak-kanak dikampungku. Aku bukan penggemar musik dangdut. Makanya, kegembiraanku meluap-luap, jika ada sedekah kenduri pengantinan yang akan membentangkan kesenian musik Danah Gambus. Aku suka lenggak-lengok sepasang pedanah yang serentak-seirama mengangkat kaki dan berbalik arah seraya memutar badan serempak. Bahu kanan-kiri sepasang pedanah, ketika memutar badan sambil mengangkat kaki adalah puncak dari pertunjukan danah gambus yang memukau.

Sepasang pemain danah gambus terkenal dizaman bapakku masih bujangan dulu, adalah Wak Cik Fakhrurazi dan Wak Sya’rani. Kedua orang pemain danah gambus ulung dikampungku. Mereka berdua tampil parlente, berkain sarung yang dikecak ikat rapi. Apalagi keduanya memiliki tinggi badan yang tak jauh beda. Penampilan mereka berdua dalam kesenian musik Danah Gambus sangat dialu-alukan penggemar Danah Gambus.

Tapi, biar pun tak dibentangkan musik Danah Gambus, namun drama sandiwara yang dipentaskan beberapa jam lalu telah membuat kampungku tak tidur semalam suntuk. Dalam umur kanak-kanak itu, mataku tersangkut dimulut cerita Wak Nga.

Deram gelak-tawa majelis pengotahan yang dipandu pencerita ulung dikampungku itu adalah pernak-pernik dari potret semangat saling tolong-menolong yang tak memudar. Bahkan kenduri sedekah pengantinan adalah bukti bahwa keakraban perkerabatan keluarga sekurung-sekampung terus tersimpul erat.

Walau ketiga gadis dari Jambi itu sudah masuk ke ruangan depan bersama rombongan ayuk sepupuku yang perempuan. Keempat abang sepupuku ini tak beranjak sedikit pun dari muara pintu. Seolah kantuk takut menekan kantung mata mereka. Suguhan kopi itu sangat mujarab mengusir mata kantuk hingga subuh hari.

Aku dan sepupuku yang lain beranjak ke ruang kamar bagian belakang. Kami menggelar tikar, lalu baring berjejeran mirip ikan sardin dalam kaleng. Tak lama kemudian, terdengar langkah empat abang sepupuku menggangu keasyikan kami mengobrol dengan gelitikan menggelikan perut.

“Badan boleh lelah semalaman, tapi hati tumbuh berbunga-bunga siang-malam”. Kata abang sepupuku yang tertua sambil meraih bantal dari sepupuku yang berambut lurus duri landak, sejak setengah jam yang lalu pulas dibuai alam mimpi.

“Betul nian, Tedud!”, kata abang sepupuku yang ketiga, meraih gulungan tikar disudut ruangan paling timur. Dia langsung menggelar tikar untuk mereka berempat.

”Kalau tak penuh ke pucuk, penuh ke bawah. Tengah-tengah ditebuk kumbang”. Kata Abang sepupuku yang nomor dua menyitir pepatah Melayu itu, jari telunjuk dan ibu jari kanannya memutar gulungan kertas, masuk ke lubang telinga kanannya. Kepalanya miring-miring, matanya memejam-mejam.

“Apa maksudnya dan kaitannya dengan kita berempat ini, Ning?” Tanya abang sepupuku yang keempat.

“Artinya, kalau kau tak dapat menggaet ketiga gadis dari Jambi tadi, kau gaet saja yang paling bungsu diantara mereka, paham?”, Jelas abang sepupuku yang politisi itu dalam posisi baring miring telungkup, tangan sebelah kanannya menyangga kepalanya.

“Iya, iya, iya!” Angguknya seraya tersenyum simpul.

Tentu diantara kita berempat ada etikanya. Yang muda hormati yang tua. Yang muda memberi kesempatan pada yang tua, wahai adindaku, sambung abang sepupuku yang nomor dua. Tangannya masih memegang pengorek kuping dari gulungan kertas tadi.

Biarkan kedua gadis yang sulung dan menengah itu, biar kami berdua yang memacarinya. Sedangkan kamu berdua, kami beri kesempatan pada yang paling bungsu diantara mereka bertiga. Tentu kalian harus pandai menjaga perasaan gadis paling muda itu, pemilik potongan rambut pendek ala Demi Moore itu.

“Oooooohhhhhh, alamak! Kita berdua pula, agaknya yang disuruh berebut”. Kata abang sepupuku yang dikenal pandai melagak gaya itu.

“Kalau macam itu caranya, biar lah kelak waktu yang berbicara, apakah diantara kita berempat ini, adakah yang kelak, memang serius bertaut asmara dengan ketiga gadis dari Jambi itu? Atau,...”. Sengaja abang sepupuku yang tertua menggantung kalimatnya.

“Atau apa? Tanya abang sepupuku yang nomor empat penasaran bukan main.

“Kita berempat bakal kepunan talau.*3 Artinya siap-siap gigit jari belaka!”. Kata Abang sepupuku tertua seraya membalik badannya.

“Ayo, kita sholat subuh dulu, sudah itu baru tidur!”. Ajaknya pada keempat abang sepupuku ini. Dan kami berdelapan orang telah terlelap dalam kenikmatan tidur sehabis kelelahan semalam suntuk itu pun dibangunkannya.

Kami semua bangun, tentu ada yang seketika langsung bangun. Ada juga yang berkali-kali dibangunkan tetap mendengkur keras. Suara dengkurannya terdengar sampai tiga pematang.

Dari corong pengeras suara masjid tua itu azan Wak Yasin berkumandang syahdu. Embun jatuh bak anting-anting menggelantung ditelinga dedaunan. Dan kabut tebal putih membungkus pandangan mata ke Batang Sungai yang mengalir lembut tak henti-hentinya bertasbih dari hulu ke hilir. Kesiur angin tak jemu bertahmid ke delapan penjuru mata angin. Diteruskan ke empat mata penjuru angin kampungku; Hulu-Hilir-Laut-Darat. Dua puluh empat kaki dari selusin Bujang Bangku Masjid melangkah memburu hidangan keberkahan subuh.

(Bersambung)


Rabea Adawea, Cairo 5 November 2009

*)Ungkapan terperanjat dan terkejut. Biasanya untuk hal-ihwal yang mengkhawatirkan dan menyeramkan.
**)Ungkapan yang menimpali obrolan yang semakin sedap-dahsyat.
***) Apes, gigit jari.

Wednesday, November 4, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (16)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (16)

Ahmad David Kholilurrahman


Drama Sandiwara dari Negeri Padang Pasir


Aroma padang pasir bertiup semerbak dikampungku. Lagu-lagu kasidah Ummi Koltsoum, mengiringi latihan sandiwara yang akan dibentangkan pada ahad malam duduk bersanding ayuk sepupuku dengan suaminya. Sandiwara ini adalah membentangkan sepenggal kisah dari Khalifah Umar Bin Khattab. Ide ini tercetus dari keinginan menghadirkan hiburan seni tersendiri, dan dibulatkan dalam musyawarah diantara calon pelakon-pelakonnya yaitu; Bang Khaliq Hasunah, Paman Zamilul Faiq, Kak Cak Mujib, Pak Su Zyaad.

Mereka mengadakan latihan tertutup di gedung Sekolah Dasar terbuat dari kayu, bergaya rumah panggung setengah tiang. Tepat, disebelah darat rumahku. Mereka sangat berhati-hati menjaga rahasia, agar isi pementasan sandiwara nanti tidak bocor dimulut penduduk kampungku yang memiliki tiga bakat sekaligus; komentator, reporter dan pengamat. Hal yang ditengoknya sekilas tampak biasa-biasa saja, namun boleh jadi luar biasa dimulut penduduk kampungku. Dan, jika isi sandiwara ini tersiar luas, sebelum ditampilkan, alangkah basinya kisah yang nanti hendak dibentangkan pada malam puncak perhelatan duduk bersanding kedua mempelai pengantin dipentas tarup dilaman muka rumah panggung itu pada Ahad malam.

Jadi, sebagai langkah prevantif. Para calon pelakon drama sandiwara itu memilih bungkam diam seribu bahasa. Setiap kali ditanya, apakah yang mereka rapatkan setiap malam? Mereka hanya menggeleng-geleng kepala. Mereka memilih tutup mulut. Jangankan terdengar ditelinga emak-bapak dan saudara-saudari mereka, dari telinga semut pun mereka sembunyikan rapat-rapat.

Hanya saja secara sempat terdengar kabar, bahwa mereka hendak menampilkan sesuatu yang sudah lama lesap menghilang dari panggung pertunjukkan dikampungku. Setidak-tidaknya, setelah drama sandiwara yang pernah disutradarai oleh Almarhum Abdul Latif dulu. Diantara drama sandiwara yang paling tersohor, disutradarai guru sekaligus seniman dikampungku itu, berjudul “Lima Menit Saja”. Judul drama sandiwara itu tertulis dipapan tulis kapur.

Malam ini bukan judul drama sandiwara itu yang hendak ditampilkan. Tapi, drama sandiwara lain yang menyedut sepenggal kisah dari Khalifah Umar bin Khattab. Dan aroma padang pasir bertiup semerbak dikampungku. Ucapan dan kosakata Arab, Ahlan wa Sahlan, Ana dan Anta, Qahwa, Syai, serta bermacam atribut pakaian gamis putih, kopiah putih, syal putih serta panorama setting kehidupan Madinah empat belas abad lampau hidup dimalam itu. Lagu-lagu kasidah Ummi Koltsoum, penyanyi kondang dari Mesir, bergelar al-Kawkab as-Syarq (Bintang Kejora) itu diputar sejak maghrib menjauh luruh.

Pada malam itu, aku juga akan naik panggung mewakili kawan sekelasku menyerahkan sebingkis kado berisi setengah lusin gelas beling. Aku ingat, betapa sibuknya, aku mematut-matut diri depan cermin, mengatur lagak dan cara menyerahkan bingkisan kado kelasku itu kepada ibu guru kami yang jadi mempelai pengantin malam itu. Kakak kelasku yang lain, juga menyerahkan bingkisan kado kepada ayuk sepupuku yang duduk bersanding malam itu.

Sejak petang tarup pentas yang menghadap ke arah hilir itu, sudah ditata-rias oleh kaum muda-mudi kampungku. Sepasang kursi tempat duduk “Raja dan Ratu Sehari-Semalam” diatas sekotak papan lebih tinggi selangkah dari lantai pentas tarup, dekorasi dinding dipasang selembar kain putih berajut hiasan dedaunan dan bunga-bunga plastik. Juga pernak-pernik dekorasi khas pengantin bersanding. Juntaian aksesoris terbuat dari kertas jagung merajut meriah dari sudut satu ke sudut yang lainnya. Ditengah-tengah pentas tarup, tergantung hiasan seperti sarang lebah terjuntai terbuat dari kertas jagung berwarna putih berseling merah jambu.

Anak-anak kecil sibuk berlarian dan duduk berkelompok memenuhi laman dimuka rumah panggung ayuk sepupuku itu. Mereka sibuk mengunyah permen gula-gula aneka rasa, gipang manis berwarna putih-coklat atau permen cicak. Anak-anak kecil adalah bagian dari kemeriahan suatu perhelatan sedekah kenduri pengantinan. Dan, alam masa kanak-kanak, apa yang mereka saksikan akan menjadi sebentuk ingatan yang kelak melekat kuat dibenak mereka. Jika ditampilkan hiburan yang mendidik, tentu membantu perkembangan kognitif kejiwaan anak-anak. Dan setidaknya, dalam drama sandiwara yang belum pernah disaksikan anak-anak seumur hidup mereka, yang sudah bertahun-tahun lesap menghilang dikampungku, pada malam itu diharapkan terbentangnya pertunjukan yang menghibur dan mendidik.

Serangkaian pertunjukan malam itu dipandu langsung oleh Master Ceremony kondang dikampungku. Sosok pencerita ulung dan bintang panggung tersohor, tak lain tak bukan adalah Wak Nga kami. Malam itu, dia tampil necis sekali. Mengenakan celana hitam, baju kemeja coklat berkerah lebar, sepatu cap “Buaya Mengangap” mengkilat tertimpa cahaya lampu dan blitz kamera yang membidik Mempelai Pengantin duduk bersanding dipanggung pentas. Songar rambut ikal jagungnya tersisir rapi. Aroma minyak rambut tercium harum ke hidung kami.

Dan pembawa acara kondang ini, adalah pemilik improvisasi gerak dan gaya dipanggung paling ulung. Gaya dan geraknya mampu meniru lagak pembawa acara terkenal di Televisi Nasional. Aksentuasi bicara dan mimik mukanya diatas panggung kerap mengundang tawa seisi kampung. Kadang sampai sakit perut dibuat gaya penampilan dan lakon spontannya. Tanpa kehadiran Wak Nga yang memandu suatu acara dimalam pengantin duduk bersanding, dijamin kemeriahan dan kesemarakan terasa bak sayur kurang garam. Dan panggung itu, adalah habitatnya yang paling akrab, selain pelayaran cerita-cerita yang singgah dan bertolak dari pelabuhan mulutnya.

Tentu, dua belas “Bujang Bangku Masjid” duduk dibangku paling muka. Jika Wak Nga sudah memegang mikrofon ditangan, sedetik pun mata mereka tak berkedip. Persis, serupa mulut mereka yang tergantung, ketika Wak Nga membentangkan cerita-ceritanya.Untaian kata-kata Wak Nga tersusun rapi dan runtut. Ibarat sajak-sajak Pujangga Baru, terkadang berbancuh istilah modern yang banyak si-si diakhir kalimat yang diucapkannya tampak hebat memukau khalayak penonton. Intonasi suaranya yang kadang lantang, mengalun-ngalun merendah, memberat, bergetar dan memelas. Khalayak segera hapal, bahwa itulah daya tarik utama dari sosok Wak Nga

Biasanya, ketika orang sibuk mempersiapkan perangkat sound-sistem sejak maghrib. Dua tiga orang yang bertanggung-jawab pada perlengkapan, sibuk menyiapkan dan mengatur volume suara yang terdengar pas ditelinga. Sepasang corong mikrofon terpasang diatas dahan pohon nangka yang menghadap ke hulu dan dipapan cipiyau atap rumah menghadap ke arah hilir. Sehingga para penonton dari kedua penjuru dapat mendengar jelas suara yang keluar dari kedua corong mikrofon.Tarup pentas sebagai panggung pengantin duduk bersanding sudah disterilkan dari anak-anak kecil yang suka menjajal lantai papan sebagai arena berlari.

Cahaya terang lampu petromak nampak terang ditangga depan. Tak lama berselang, terlihat mempelai pengantin perempuan menuruni anak tangga dengan pelan-pelan, ditintin oleh penata rias pengantin yang dicarter dari salon Kampung Manggis, Kota Jambi. Diiringi tiga sepupuku yang perempuan lainnya. Seorang pembawa kipas dan seorang lagi memegang gulungan ekor gaun pengantin putih yang dikenakan ayuk sepupuku itu. Sedangkan suaminya yang tinggi-besar mengenakan setelan jas hitam bersarung tangan putih didampingi abang-abang sepupuku yang jauh lebih besar. Iringan sepasang mempelai ini menyeruak penonton, lalu menaiki tangga tarup pentas dan duduk dikursi pelaminan bertabur hiasan didominasi warna putih. Dan acara malam itu segera dimulai.

“Assalamu’alaikum”, ucapan salam pembuka oleh MC kondang itu menandai acara segera berjalan. Suara ramai khalayak penonton yang menyemut depan panggung pentas itu menjawab salam serempak.

Dari saku kantong baju kemeja coklat berkerah lebar itu, Wak Nga merogoh secarik kertas kecil, yang memuat senarai susunan dan urutan tertib mata acara. Pena perak bermerek “Hero” terselip disaku bajunya. Jangan main-main, pena itu adalah bagian dari properti penampilan panggungnya. Lagi pula, pena itu adalah pemberian dari sepupunya yang mudik hari raya tahun lalu.

“Saudara-saudari, para penyimak dan pemirsa budiman. Izinkan lah saya mengucapkan kesyukuran ke hadirat Allah Subhanallahu Ta’ala atas rahmat-Nya yang tak terhingga. Salam kita sampaikan kepada junjungan alam, Nabi Muhammad SAW”, ujar Wak Nga lantang.

Tentu dalam setiap acara yang dibawakannya, mana boleh tertinggal lupa ucapan kesyukuran diawal kata-kata. Padaku, Wak Nga pernah mengungkapkan kelirihan hatinya, melihat seorang pembawa acara yang lebih muda, seringkali bahkan sengaja melupakan ucapan salam dan untaian puja-puji kesyukuran. Bahkan ucapan Salam diganti dengan “Selamat Malam”.

“Baik lah Tuan dan Puan sekalian, perkenankan hamba akan membacakan senarai susunan dan urutan tertib mata acara malam ini”. Kata Wak Nga sambil mengulum senyum hangatnya, dan anggukan khasnya, sembari menjatuh kepala ke samping kiri dan kanan. Gaya bicaranya, mirip para penyiar radio dari negeri semenanjung seberang.

Khalayak hadirin melemparkan senyum-senyum kecil. Selusin bujang-bujang Bangku Masjid tegak bertepuk tangan. Hadirin turut bergemuruh. Gairah acara mulai nampak bangkit. Dan Wak Nga membalas senyum mereka, dengan ucapan terima kasih, terima kasih, terima kasih.

Bakat pemandu atau pembawa acara itu tak dimiliki sembarang orang. Ada yang gila ingin sering tampil memegang mikrofon. Namun, setiap kali dia memegang mikrofon, susunan kata-katanya tak menentu. Dan orang merasa lekas bosan dan jengah melihatnya. Ada yang suka menampilkan diri, mengambil kesempatan ingin jadi pusat perhatian, namun selalu gagal menjadi pembawa acara atau orator ulung.

Sebaliknya, ditangan Wak Nga, mikrofon itu menjadi begitu jinak. Susunan kata-katanya runtut, teratur dan menarik, sekali pun tak pernah menempuh pendidikannya tinggi, tapi mengalahkan sarjana yang terkadang gemetaran dan tak tahu cara menghentikan pidato sambutannya.

Setelah rangkaian kata-kata sambutan yang disampaikan pihak yang mewakili Tuan Rumah yang menghantarkan terima kasih sebesar-besarnya pada semua pihak yang terlibat membantu terselengaranya perhelatan sedekah kenduri pengantinan sejak dari awal hingga akhir. Semoga mendapat ridha Allah SWT. Begitu juga ucapan tahniah selamat menempuh hidup baru, memetik kebahagiaan suami-istri abadi menuju terbentuknya keluarga Sakinah Mawaddah wa Rahmah. Begitu juga kata sambutan dari Kepala Desa yang mengajak para khalayak penonton untuk tertib dan menjaga keamanan dan kenyamanan kelangsungan acara malam ini. Diakhir sambutannya, tak lupa ucapan selamat kepada sepasang mempelai pengantin beserta keluarga besarnya.

“Selanjutnya, kita akan menyaksikan penampilan tari Serampang Dua Belas yang akan dipersembahkan oleh murid-murid kelas 6 SD 53/VI. Sebagai bentuk kado untuk ibu guru mereka yang jadi mempelai pengantin perempuan malam ini. Mari lah kita simak bersama-sama sebuah kreasi tari yang diangkat dari warisan budaya Melayu. Seperti kata Hang Tuah:”Tak kan Melayu Hilang di Bumi”, tutup Wak Nga mengutip sebaris pesan Wira Pendekar dunia Melayu tersebut.

Tepuk-tangan menggelegar digelanggang panggung pementasan tari itu. Dua orang ayuk sepupuku termasuk dalam rombongan penari yang lemah-gemulai itu. Mereka begitu semangat menampilkan tarian Serampang Dua Belas itu. Apalagi, mereka telah berlatih selama dua pekan lebih. Kostum penari serasi dengan kain selendang yang terikat dibadan mereka, menambah kemeriahan tarian Melayu yang dipersembahkan untuk ibu guru mereka yang jadi pengantin bahagia malam itu.

Tanpa aku sadari, keempat abangku yang tadi duduk bersamaku dan sepupuku yang lain, tak lagi disamping kami. Lalu, dari arah panggung sebelah utara, aku nampak mereka bertiga duduk mengerubungi tiga gadis dari Jambi yang duduk bersama rombongan ayuk-ayuk sepupuku.

“Amboi, ke situ rupanya gerangan empat Tuan budiman, ya? Bisikku dalam hati.

Kami memandang mereka dengan ekor mata setajam elang kelik. Keempat hantu itu, mengulum senyum simpul penuh makna. Ketiga gadis-gadis dari Jambi yang molek itu tersipu-sipu malu. Alamak, benang-benang asmara tersulam diantara mereka. Orang yang jatuh cinta, terlihat macam Majnun mencari Layla. Serasa dunia hanya milik mereka saja.

Tak lama setelah penari Serampang Dua Belas menyelesaikan penampilan mereka yang mengundang aplaus tepuk-tangan. Terutama dari kaum bujangan dari bawah tiang dan depan toko tua yang sudah lama tutup itu. Ada satu-dua yang bersuit-suit, tapi apalah artinya, suitan itu tertelan tepuk-tangan khalayak hadirin. Kulihat rombongan ibu-ibu guru kami yang lain tersenyum bangga dengan penampilan anak-anak didiknya.

Kemudian ada penampilan tarian modern diiringi lagu “Penari Ular” yang dinyanyikan Ita Purnamasari. Ketiga sepupuku yang perempuan tampil membawakan tarian yang dikreasi dengan iringan lagu yang naik-daun ketika itu. Panggung pentas serasa terhentak, ketika mereka menampilkan gerak tari yang berpadu serasi seiring irama. Kembali tepuk tangan membahana. Dari jendela-jendela rumah panggung sekitar panggung, tampak kepala kaum perempuan berselendang menjenguk keluar.

Kemudian MC kondang dikampungku itu menyebutkan bahwa acara selanjutnya adalah khusus penyerahan bingkisan Kado. Setiap yang ingin menyampaikan Kado harus menyetor nama-namanya, sebelum nanti dipanggil naik pentas tarup. Dan ini juga demi kelancaran dan ketertiban acara. Aku termasuk diantara pengantar kado yang naik ke atas pentas, sembari membawa sebingkis kota kado yang sudah kupegang selama setengah jam. Rasanya, tanganku terasa gemetaran, apalagi naik panggung nanti adalah pengalaman pertamaku. Dan untuk momen itulah aku melagak berjam-jam didepan kaca cermin. Penyerahan kado ini memakan waktu empat puluh lima menit. Tumpukan kado memenuhi panggung sebelah kanan, diatur oleh pihak panitia. Biasanya, penyerahan kado diiringi kesempatan bagi siapa yang ingin mengucapkan selamat, terkadang dengan selipan amplop.

“Selanjutnya, kata Wak Nga, sengaja jeda sejenak, seakan mengusik keinginan-tahu khalayak penyimak. Kita akan menyaksikan acara yang paling dinanti-nantikan. Pertunjukan yang sudah lama lesap menghilang dari panggung acara pengantinan dikampung kita. Bukan acara joget iringan biduanita yang menggoda iman. Bukan, bukan, bukan itu yang hendak kami tampilkan. Namun, adalah pertunjukan sebuah drama sandiwara yang menggetarkan, yang membentang sebuah kisah nyata dari negeri padang pasir, kisah teladan dari Khalifah Umar bin Khattab yang dikenal sebagai sosok berani, tegad, bijaksana namun mudah tersentuh hatinya dengan kebenaran. Untuk itu, langsung dibawakan Adinda Anis sebagai penghantar drama-sandiwara”. Kalimat-kalimat Wak Nga mengusik penasaran khalayak hadirin.

Bicik Anis naik ke atas panggung. Dia mengenakan selendang putih, berbaju kurung. Dia langsung memegang kemudi pembentangan Drama Sandiwara sebagai penghantar cerita drama sandiwara yang terdiri dari tiga babak itu. Adapun para pelakonnya adalah sebagai berikut. Sebagai Khalifah Umar bin Khattab adalah Khaliq Hasunah. Sahabat Utsman bin Affan adalah M. Zyaad Shoefie, sebagai sahabat Ali Bin Abi Thalib adalah M. Syahir Hasan. Sebagai Sahabat lain, kali ini tak disebutkan namanya, adalah Abdul Mujib Hanafi. Sebagai Algojo adalah Zamilul Faiq dan sebagai perempuan adalah Hanafi. Mereka semua diminta menampilkan diri ke depan panggung. Penampilan algojo berbadan pendek kekar, berambut uban dan tampang kukuh-tegas tanpa senyum itu membuat panggung itu bergetar oleh timpalan gelak-tawa penonton.

“Cerita drama sandiwara itu berkisar tentang Khalifah Umar bin Khattab di Madinah. Babak pertama akan menampilkan suasana sang Khalifah beserta sahabat-sahabatnya tengah berbicara duduk melingkar bermusyawarah tentang masalah keumatan”. Kata Bicik Anis, sambil berjalan turun panggung.

Lagu Thala'al Badru 'Alaina, juga lagu-lagu Ummi Kaltsoum, seperti Inta Omry dan Al-Athlaal berdurasi panjang menngiringi sedari awal terdengar semakin kencang, lalu sayup-sayup melamat. Setting pangung bertukar layar sehelai tirai kain berwarna putih. Dibelakangnya terlukis pemandangan pohon kurma, padang pasir, onta dan burung-burung terbang dilangit biru diselembar kain berwarna hitam. Kiri-kanan panggung juga bertutup kain panjang. Penonton serasa diajak mengendarai mesin waktu ke Negeri padang pasir jauh diseberang.

Sang Khalifah Umar diperankan Bang Hasunah, sahabat Utsman bin Affan yang diperankan Pak Su Zyaad, Sahabat Ali bin Abi Thalib yang lain dimainkan Kak Cik Syahir dan satu sahabat lainnya dibawakan Kak Cak Mujib. Mereka duduk melingkar mengenakan gamis putih dan syal menutupi kepala. Khusyuk tekun seperti suasana sehabis subuh di masjid menjelang matahari terbit.

“Ya Khalifah, kata sahabat Usman bin ‘Affan mengajukan tanya, kemarin petang ada kaum muslimin yang mau bertanya tentang hukum duduk suatu persoalan yang menimpa umat. Sebaiknya, bagaimana hemat pendapat ya Amirul Mukminin. Kata Pak Su Zyaad, sambil memfasihkan huruf P jadi huruf Fa’ dengan suara agak sengau.

“Baik lah, wahai sahabatku Utsman menantu Rasulullah, waktuku terbuka dua puluh empat jam untuk melayani umat. Aku suka pergi sendiri ditengah malam, sambil mendengar keluhan rakyatku dengan mata-telingaku langsung. Pada malam sebelumnya, aku mendengar seorang Ibu yang meminta anak gadisnya mencampurkan susu perahan kambing mereka dengan air. Lalu, anak itu menjawab perkataan ibunya.

“Wahai Ummi, orang memang tidak bakal tahu, apa yang kita lakukan dengan perahan susu kambing dibejana yang bakal kita jual besok pagi. Namun, Allah Subhanallah Ta’ala Maha Melihat”. Ujar anak gadis sang Ibu.

Jawaban sang anak Gadis itu membuat sang Khalifah mengucurkan airmata menyimak langsung kejujuran yang tumbuh ditengah keluarga miskin. Dan kelak, anak perempuan Ibu miskin tadi, dia nikahkan dengan anak lelakinya.

Begitu juga ketika ditengah malam gelap gulita. Di pinggiran kota Madinah. Khalifah yang berjalan seorang diri itu, tanpa pengawal seorang pun. Melihat seorang Ibu tengah mengasuh tidur anak-anaknya, kelihatan sedang menanak sesuatu dalam periuk belanganya.

“Ummi, perutku lapar sekali. Mataku tak mau tertidur sepicing pun, kapan bubur gandum yang Ummi tanak itu masak?” Tanya sang anak dengan memelas, seraya memegang perut yang diserang lapar melilit.

“Tidurlah, wahai anakku, sebentar lagi, gandum yang Ummi tanak akan masak. Nanti, Ummi bangunkan kalian semua ya!” Jawab ibu lembut menghibur anak-anaknya.

Khalifah Umar bin Khattab tahu, periuk belanga yang merebus sesuatu sekedar usaha seorang Ibu yang menghibur anak-anaknya melawan lapar. Dari pertanyaan sang Khalifah pada Ibu itu, beliau tahu, bahwa Ibu itu merebus batu dalam periuk belanganya untuk menghibur kelaparan anak-anaknya tercinta. Sang Khalifah yang dikenal jagoan pemberani itu mengucurkan airmatanya. Dia sendirian kembali ke gudang “Baitul Maal”, memanggul sekarung gandum ke pinggiran kota Madinah dimalam gelap-gulita, lalu memberikan kepada sang Ibu tadi.

“Ya Ali bin Abi Thalib, wahai anak paman Rasulullah. Adakah nasehatmu yang bijaksana itu padaku?” Tanya sang Khalifah yang diperankan Bang Hasunah. Seraya memegang jenggot cambangnya yang lebat, dan merapikan syal dikepalanya. Satu gerakan dalam lakon ini setidaknya membawa mata-telinga penonton terlempar jauh ke potret generasi terbaik ummat.

Cerita-cerita dibawakan dalam gerak, lakon dan penuturan keempat pelakon drama sandiwara itu berhasil menghantarkan mata dan telinga penonton pada kisah teladan yang dicatat tinta emas sejarah sejak empat belas abad lampau. Secara tak langsung menyindir telak, saudagar tauke getah karet dikampungku yang kebanyakan mengidap penyakit kikir bin pelit. Kulihat tak sedikit para saudagar ikut menonton duduk terdiam. Mereka serasa dibasuh oleh babak pertama drama sandiwara itu.

Sahabat-sahabat khalifah tadi satu persatu pergi, setelah khalifah menutup majelis musyawarahnya. Musik pengiring pelan-pelan sayup berhenti. Panggung seketika ditutup kain putih. Tepuk-tangan pecah membahana dari depan dan samping panggung. Dari jendela rumah panggung dan bawah rumah samping tiang-tiang bulian tepuk tangan beriringan.

Lalu Bicik Anis muncul lagi depan panggung yang ditutup tabir tirai putih. “Babak kedua adalah sepenggal kisah Khalifah Umar bin Khattab bermain bersama anak-anaknya”. Hantar Bicik Anis lembut mengiringi selubung tirai tabir panggung yang ditarik pelan-pelan. Musik-musik aroma padang pasir mengalun lembut, terdengar Yaaaalinnnnnn, yaaalinnnnnn, yaaaalinnnnnnnnnn. Itu suara dari pendengar Ummi Koltsoum yang tertinggal dalam corong speaker pengeras suara.

Diatas sehelai tikar terjalin dari rajutan daun kurma. Nampak sang Khalifah tengah duduk bermain dan bersendau-gurau dengan anak-anaknya. Kak Cak Mujib berubah menjadi anak kecil, baring bermanja-manja dipangkuan bapaknya yang khalifah. Sang Khalifah duduk sembari menatap anak-anaknya yang lain. Kali ini tidak banyak dialog yang tercetus, sesekali terdengar suara anaknya yang mengadu dan bercakap dengan ayahanda yang dikenal “Singa Pemberani”, menjelma sosok lembut hati, pengasih dengan kalangan anak-anak.

Pada adegan ini, penonton tersenyum hangat. Melihat Kak Cak Mujib yang tadi ikut memerankan sahabat-sahabat Khalifah, lalu berubah wujud menjadi anak sang Khalifah. Dia nampak bermanja-manja dipaha bang Hasunah yang riang-gembira bermain bersama anak-anaknya. Kasih-sayang terlukis dari kehangatan canda-gurau mereka yang terbentang diatas panggung itu.

Kutengok Wak Nga yang duduk dekat kami depan panggung itu, tersenyum hangat. Sambil menoleh padaku dan sepupuku yang lain, dia berkomentar:”Kalau seorang Ayahanda memiliki jiwa lembut dan pengasih pada anak-anaknya, tentu anak-anak akan tumbuh menjadi sosok bersahabat”.

“Sruuuuppppp”, suara seteguk cangkir kopi paling sedap dari Negeri Jambi mengaliri kerongkongannya. Lalu, jemarinya memilin-milin sebatang rokok kretek tanpa filter yang segera disulutnya. Asap kebiru-biruan melingkar-lingkar menerpa kumisnya yang kuning kemilau dan rambut ikal jagungnya.

Kain tirai panggung kembali tertutup. Durasi waktu setiap babak berkisar sekitar 20 menit penampilan adegan penggalan kisah Khalifah Umar bin Khattab. Tak lama kemudian, Bicik Anis menghantarkan pada babak ketiga dari drama sandiwara dimalam pengantin ayuk sepupuku ini.

Tak lama setelah tirai kain tabir panggung terbuka. Tiba-tiba Hanafi yang mengenakan berpakaian perempuan sambil membawa sosok bayi berbedong, saraya menjerit tangis bayi;

“Ngeyaaaakkkkk, ngeyaaaakkkkk, ngeyaaaakkkkk, ngeyaaaakkkk!!!!!!”.

Suara Hanafi yang memerankan gadis sambil membawa bayi ke hadapan Khalifah Umar yang tengah duduk dalam majelis bersama sahabat-sahabatnya. Seketika membuat orang terperanjat, lalu sang Khalifah bertanya:”Gerangan apakah yang telah terjadi?”

Lalu, sang perempuan yang diperankan Hanafi tadi menuturkan cerita bahwa bayi yang dibawa ke depan Khalifah ini adalah terlahir dari hubungannya dengan anak sang Khalifah. Lalu, dengan penuh ketegasan, beliau meminta salah seorang sahabatnya untuk memanggil sang anak yang disayang itu. Anak khalifah yang diperankan Kak Cak Mujib, datang dengan roman muka ketakutan luar biasa. Pucat pasi terekam diwajahnya.

Setelah anak khalifah tadi diintrogasi langsung oleh sang Ayahanda. Dia mengaku telah menjalin hubungan dengan gadis tadi sehingga beroleh bayi. Diperkuat dengan kesaksian yang melihat langsung hal tersebut. Lalu wibawa hukum wajib ditegakkan, sekalipun yang berbuat adalah anak sang Khalifah. Bukankah Rasulullah SAW pernah bersabda:”Sekiranya putriku Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya akan kupotong tangannya”. Kata sang Khalifah dengan suara bergetar. Penonton terdiam. Terperanjat. Menahan napas, sambil mengeluskan dada. Musik-musik pengiring terhenti sejenak, lalu muncul nada irama murung mencengkam berdebar-debar menantikan hasil persidangan.

Setelah mendengar pengakuan langsung dari anaknya. Khalifah memutuskan bahwa sang Anak harus didera hukuman sebatan. Selanjutnya, dari arah belakang panggung muncul sang Algojo yang diperankan paman Zamilul Faiq membawa cemeti, berjalan dengan langkah tegap, memasang muka tegas tanpa senyum. Algojo mengenakan celana panjang hitam longgar berikat tali panjang. Cahaya lampu yang menimpa wajah tanpa senyum, walau didalam hatinya susah bukan main menahan senyum tawa yang hendak meledak dimulutnya. Rambut putih ubannya berkilau mengesankan sosok yang sudah banyak makan asam kehidupan.

Kak Cak Mujib diseret langsung oleh sang Khalifah didudukkan diatas kursi. Khalifah memerintahkan sang Algojo untuk mendera punggung anaknya. Kak Cak Mujib membuka bajunya dan menghadapkan punggung badannya ke arah penonton. Sang algojo berbadan gempal, pendek kekar berwajah bengis tanpa senyum, seketika mengayunkan cemeti yang dicelupnya dalam ember berisi obat luka.

Setiap deraan cemeti panjang menerbitkan merah luka dipunggung badan Kak Cak Mujib. Mandi darah sekujur punggung badannya, berseling teriakan aduiiiiiiii, aduiiiiiiiii, aduiiiiiiiiiiiiiiiii, ampun mak, ampun mak, ampun mak!!!!

Khalifah sedikit pun tak bergeming, meringankan hukuman yang menimpa anaknya. Bagi beliau, keadilan hukum harus ditegakkan sekali pun yang berbuat adalah anaknya sendiri. Penegakan keadilan hukum yang diperankan dalam drama sandiwara malam itu, adalah sindiran telak yang memukul wajah para penguasa negeriku yang otoriter dan tirani korup.

Algojo itu tanpa lelah mendera punggung badan anak sang Khalifah hingga delapan puluh kali. Tapi, setiap sebatan cemeti bercelup air yang dibubuhi obat luka merah darah dalam ember itu memercik penonton depan panggung. Suara gaduh riuh penonton menghindar tempiasan hujan darah dari sebatan cemeti algojo. Selusin bujang-bujang Bangku Masjid lari menghindar. Tawa penonton menggelegar membahana terdengar dari pangkal hingga ujung kampung. Dan pertunjukan drama sandiwara yang sudah lama sekali tak pernah ditampilkan, membuat kampungku tak mau tidur semalam suntuk.

Perutku dan selusin sepupuku dilanda lapar hebat. Mirip anak-anak perempuan miskin yang merebus batu dizaman Khalifah Umar bin Khattab tadi. Dan Wak Nga pun mengisyaratkan hal serupa. Namun, jangan khawatir, bakal ada jamuan hidangan bagi KDM (Kesatuan Makan Dalu)!!! Hahahahahahahaha

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo 4 Oktober 2009

Sunday, November 1, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (15)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (15)

Ahmad David Kholilurrahman


Sepetang Mengarak Pengantin


Menurut kebiasaan adat-istiadat dikampungku. Mengarak pengantin lekaki menuju ke rumah pengantin perempuan diadakan selepas sholat Ashar. Perhelatan ini memang dikhususkan duduk bersanding bagi kedua mempelai pengantin dikursi pelaminan dirumah mempelai pengantin perempuan.

Suara tetabuhan terbangan-kompangan sudah berbunyi bertalu-talu sehabis sholat Ashar dirumah Datuk Muk Haji Manshur. Kumpulan penabuh terbangan-kompangan yang dikepalai Muk Zaki, Lok Fahri, Paksu M. Zaki@Joko, Pak Cik Nasir, Raden Dolah, Mirwazi, Bang Cik Ja’far sudah tampil rapi dengan dandanan stelan seragam celana hitam, baju kemeja dan kopiah hitam.

Digendang kompangan itu tertulis IPG singkatan dari Ikatan Pemuda Gurun Tuo. Tinta hitam yang melumur luntur dibagian dalam kompangan itu, masih jelas terbaca dimataku. Aku dan selusin sepupuku berjulukan; Bujang Bangku Masjid (BBM) tak mau duduk terlalu jauh dari kumpulan terbangan-kompangan itu. Bebunyi tetabuhan itu menggerakkan irama serempak-serentak yang menggairahkan kehidupan.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk”.

Sejak lama, abang sepupuku yang nomor tiga, yang dikenal pandai melagak dan bergaya. Dia memiliki cita-cita terpendam, ingin membelikan seragam lengkap satu stel baju teluk belanga lengkap dengan kainnya bagi para anggota kumpulan penabuh terbangan-kompangan. Jadi, setiap yang tampil menabuh kompangan, mereka mengenakan baju teluk belanga seragam. Bak dalam sedekah kenduri Pengantin Putri Raja-Raja Melayu yang ditengoknya terpampang di almanak dirumahnya. Walau pun, kini mereka nyaris seragam berbaju kemeja, namun warna-warni yang dikenakan mereka bertujuh mirip pelangi.

Wak Nga kami sibuk berbincang dengan kawan-kawan sebayanya, sembari meletuskan gurauan yang tak pernah kering dari mulutnya. Diawali dengan anggukan menggeleng, disambung mimik muka yang kadang seperti menahan geli, menebarkan semarak tawa, tak jarang berpura-pura berpikir serius, mirip orang kantoran yang mengenakan seragam dinas sambil mengangkat gagang telepon. Sepatu coklat cap “Buaya Mengangap” yang dikenakan Wak Nga nampak mengkilap memantulkan sinar matahari petang. Bukan main, sepatu itu sudah disemirnya sejak tiga hari lalu. Campuran sisa semir lima tahun lampau yang diberi kerabatnya dari Mekkah, dicampurnya dengan arang tumbuk dan minyak rem sepeda.

Ceret-ceret kuningan besar diatas meja panjang dilaman muka rumah panggung Datuk Muk Haji Manshur itu dikelilingi tiga hidangan yang memuat cangkir-cangkir beling bermotif bunga-bunga berwarna-warni. Ramai para pengarak menikmati hidangan kopi tersedap dinegeri Jambi itu. Kalau, kau tercicipi sekali saja, dijamin kau akan ketagihan minta cangkir berikutnya. Sedangkan kaum penikmat teh tak sebanyak penggemar kopi A Tigo itu. Anak-anak kecil yang kehausan diberi secangkir teh oleh bapak-bapak mereka.

Suara tetabuhan kompangan terdengar makin semarak. Tetabuhan semakin menemukan ‘chemistry’ keterpaduan-kesepaduan irama dan rentak tingkah tabuhan diantara ketujuh penabuh itu. Setelah berpuluh-puluh kali meningkah, beriringan, naik-turun, serempak, serentak, dan ditutup dengan tamparan halus disisi bawah telinga kompangan. Suara tawa terdengar setiap kali mereka sukses menyerempakkan irama tabuhan dalam iringan yang sanggam luar biasa. Tetesan keringat membasahi baju kemeja mereka, diselip rekahan senyum terkembang dibibir mereka.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk”.

Pakaian adat Melayu Jambi dikenakan sepasang mempelai pengantin disewa langsung dari Jambi. Dan penata riasnya adalah pemilik salon kecantikan di Kampung Manggis, Kota Jambi. Aku mengetahui ini, lantaran kemarin petang, aku dan seorang sepupuku menjemput mereka menyeberang sungai Batang Tembesi dari tepian rakit-jamban Datuk Haji Hamdan dengan perahut boat dikampungku yang sejak dua hari ini disewakan untuk acara pengantinan. Mereka datang serempak dengan pihak keluarga besar kami yang bermukim di Jambi yang juga hendak menghadiri undangan sedekah kenduri pengantinan ayuk sepupuku ini.

Kami berdua kebagian mengangkut koper mereka besar dan berat bukan main. Sampai sesak napas kami berdua mengangkat bawaan mereka, menuruni tiga puluh lima anak tangga bulian tepian Datuk Haji Hamdan, kemudian menaiki lagi sekitar tiga puluh anak tangga ditepian seberang kampungku. Sesampai dirumah ayuk sepupuku itu, badan dan kaki kami terasa capai luar biasa, seperti mengangkut beban sebukit-bukau. Tak sadar kami terbaring ditarup pentas yang beralas tikar.

Pakaian lengkap pengantin adat Melayu Jambi berwarna merah tua. Bagi baju pengantin lelaki terbuat dari bahan sejenis beludru tebal. Berpotongan tanpa kerah. Mirip dengan kerah Teluk Belanga. Terdiri dari satu stel baju dan celana panjang dari bahan serupa dan warna senada, kain separuh lutut dengan sisipan keris dipinggang. Tanjak yang dikenakan dikepala pengantin lelaki. Sedangkan stelan perlengkapan baju pengantin perempuan terdiri dari stelan baju atas dan bawah, sepasang gelang kuning sebesar jempol dan dilengkapi mahkota berdaun emas, bila jatuh bergoyang terlihat ramai, meriah dan semarak. Sesuai dengan bimbingan adat Melayu yang identik dengan Islam, maka tak ada bagian bahu dan leher pengantin perempuan yang terbuka.

Sosok keempat abang sepupuku tak tampak dihadapan kumpulan penabuh terbangan-kompangan. Padahal, lima belas menit yang lalu, duduk diruang bagian luar rumah panggung kayu itu. Tapi, melalui dua adik sepupuku yang paling kecil, yang tadi duduk dipangkal tangga, bahwa kehadiran tiga gadis putri dari Jambi terlihat menaiki tangga bagian darat rumah itu. Pantas saja, mereka menghilang dari pandangan mata kami.

Aku berlagak seolah-olah kehausan meminta segelas air putih pada sepupuku yang perempuan diruang dalam. Dari arah dalam, nampak keempat abang sepupuku berbincang hangat dengan ketiga gadis itu. Aku tahu nama mereka, dari bisikan sepupuku yang perempuan yang terlihat mengulum senyum, seraya menyembunyikan tawa mereka dibalik selendang. Begitu kaum perempuan Melayu bila tertawa, mereka masih amat malu menampakkan barisan gigi mereka. Yang dominan, justru suara perempuan berbisik diruang tengah itu, melihat keempat abang sepupuku yang tanpa sepengetahuan kami turun pelan-pelan dari tangga bagian depan rumah, lalu naik melalui tangga bagian belakang rumah.

Ketiga gadis Jambi itu terlihat cantik. Apalagi mereka tampil dengan bergaya ala orang-orang kota yang menghadiri undangan pengantinan. Gaun-gaun indah sentuhan model menawan yang dikenakan mereka. bagi siapa yang menoleh sejenak, boleh berhenti setarik napas. Kelompok kaum bujangan dikampungku ramai memancing senyum. Namun, tak satu pun senyum mereka berbalas. Melainkan senyum ketiga gadis dari keluarga angkat ayuk sepupuku, semasa sekolah Guru dikota Jambi, hanya dipersiapkan pada keempat abang sepupuku saja. Tentu, ini memancing kecemburuan bujang-bujang dikampungku.

Sedapat mungkin, gadis-gadis sopan dan baik perangai menjaga adat-istiadat dikampungku. Apalagi keempat abang sepupuku petang ini, mengeluarkan gaya dan lagak tak kalah mempesona. Lengan baju kemeja mereka, sejak malam tadi disetrika dengan setrika tembaga berlobang didinding tepinya, sedangkan diruang bagian dalam, berisi bara-bara api yang ditunuh di dapur pendiangan. Kayu bakar dari batang bungur tua meletup-letup, bila permukaan bawah setrika itu digosokkan ke baju pakaian andalan abang-abang sepupuku.

Garis-garis bekas setrika dilengan baju keempat abang sepupuku terlihat runcing setajam ilalang. Celana katun kasual yang dipakainya pun, amboi membentuk bentuk tubuh yang tegap dan atletis. Kecuali abang sepupuku yang tertua, yang berbadan agak kurus dibanding ketiganya. Sedangkan abang sepupuku yang nomor empat, nampak mengenakan rompi berpadu kemeja lengan panjang. Sejak hari itu, kami Bujang Bangku Masjid, memanggilnya, “Bujang Rompi”, gelar yang ditabalkan padanya, membuat kampungku tergelak tawa semalam-suntuk.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk”.

Suara bunyi tetabuhan terbangan-kompangan itu makin senyawa, serasi berpadu. Dan anggukan kepala Muk Zaki, suatu isyarat bila diterjemahkan sebagai acungan dua jempol pada keserasian tabuhan yang dihadirkan oleh ketujuh penabuh kompangan itu. Dimuka pintu, nampak Wak Nga melonggokkan kepalanya, lalu tiba-tiba kepalanya mengangguk menyetujui iringan tabuhan yang panjang, bergelombang, naik-turun, memelan, menderas lalu ditutup dengan tepukan serentak yang mempesona. Amboi, rasanya terpukau Wak Nga kami dengan paduan ketujuh penabuh terbangan-kompangan.

Dari kamar bagian luar itu, kulihat lelaki tinggi besar, sejak akad nikah pagi tadi telah resmi menjadi suami ayuk sepupuku keluar menandakan bahwa pengantin lelaki itu sudah siap untuk diarak beramai-ramai oleh rombongan iringan penduduk kampungku menuju rumah ayuk sepupuku disebelah tengah kampung. Disampingnya duduk rombongan Kak Cak Mujib, Pak Su Zyaad, Pak Gus Najib, Paman Zamilul Faiq, Paman Khudhari, Paman Mufakhir dan kawan-kawan seumurnya. Tak ketinggalan Mang Cik Hasan Taufik pun sudah mengurai tawa. Tangan kanannya memegang rokok sebatang dan korek api.

Dibawah rumah obrolan Wak Nga terlihat semakin hangat. Segulung bungkus rokok kretek dibuangnya, sebatang rokok terakhir terselip dibibirnya sehitam arang, dan kumis pirang kemilau. Songar rambut ikal jagungnya tersisir rapi. Jika dia duduk dibangku panjang dilaman muka rumah panggung, sisir kecil berwarna merah tersembul dari saku kantong celana bagian belakang. Ingat, properti paling mustahak yang tak boleh terlupakan bagi orang panggung adalah sisir rambut, kawan!

Aku duduk dipangkal tangga rumah panggung itu. Seorang sepupuku yang lain, sibuk mencari sandalnya yang disimpan diselipan antara tiang dan lantai tadambun. Agaknya, dia merasa kehilangan sandal, sejak tadi sibuk lah dia mencari sandal yang dibeli bapaknya hari raya idul fitri lalu. Aku kasihan, melihat mukanya yang memerah, antara menahan marah dan menelan gerah udara. Tak sampai lima menit, seorang anak lelaki sebayanya mengenakan sandal itu, sambil naik ke atas rumah. Kalau tak cepat kami tahan, sudah ditinjunya anak lelaki bermuka selamba. Muka seolah tak bersalah. Seakan-akan bukan sandal sepupuku yang barusan dipakainya.

“Sabar, sabar, sabar, kawan!” Tiga kali kata sabar, aku ucapkan pada sepupuku, sambil menarik tangannya yang sudah mengacung tinju ke udara.

“Malu awak nanti, bila suasana ramai arakan pengantin ini dirusak kemarahan awak, kata sepupuku yang suka ilmu kejiwaan itu menenangkan.

“Iya, kawan, apa kata orang nanti, bila sedekah kenduri pengantin ayuk sepupu kita ini berujung perkelahian”, lagi-lagi sepupuku bertubuh gempal, kawan karibku dalam memancing dan menjala dikampungku.

Kemarahan airmukanya mereda. Sedikit senyum terkuak dari mendung wajahnya yang memerah antara menahan marah dan menelan udara gerah. Seketika aku datang menghampiri anak lelaki yang memakai sandal sepupuku yang tanpa izin tadi. Aku katakan padanya dengan lembut tapi tegas;

“Kawan, lain kali bila awak nak pakai sandal sesiapa pun, Sebaiknya izin terlebih dahulu”, Tanganku merangkul ke pundak anak itu.

“Iya, aku merasa salah, tanpa meminta izin terlebih dahulu tadi. Tapi, sungguh, aku tadi sakit perut sehingga seketika aku mesti lekas berlari ke rakit-jamban disungai. Jadi, tanpa sempat aku minta izin, sandal sepupumu itu aku pakai dulu”. Ujarnya memberi alasan.

Aku menyarankan anak itu untuk meminta maaf dan bersalaman dengan sepupuku pemilik sandal yang dipakainya. Dia pun menuruti saranku dan cepat dia menyalami sepupuku yang sudah kelihatan agak tenang selepas menahan merah muka dan menelan udara gerah. Kami pun berangkulan damai.

Rombongan pemegang bunga-bunga hias pengiring arakan pengantin sudah berkumpul ditangga. Kumpulan penabuh terbangan-kompangan sudah memukul tetabuhan dilaman bawah rumah. Dan suami ayuk sepupuku menuruni tangan beriringan dengan para pemegang bunga hias aneka warna terbuat dari kertas jagung berbatang kawan dibungkus kertas hijau lumut.

“Pakk.,,kapaakk...gibing...Paak..kaapaakk..kapaaakkkkkk.....gibing.....gibing...Paakkk...kappaak..gibing...gibing... paaak...kappaakk”.


“Allahumma Shaalllliiiii.....”, iringan ucapan sholawat itu sebagai penanda dari bergeraknya iringan rombongan arakan pengantin. Dari rute yang dituju adalah ke jalan laut tepi sungai, terus ke hilir, berbelok ke arah darat, terus berbelok ke hulu langsung menuju rumah mempelai pengantin perempuan dari arah hilir.

Sepanjang jalan yang ditempuh. Beberapa kali iringan rombongan pengantin mesti berhenti, yang ditandai tetabuhan terbangan-kompangan dan sahutan sholawat tadi. Langkah kaki pun pelan-pelan pasti. Seringkali aku dan sepupuku berada paling depan, lalu berbalik menjadi rombongan iringan arakan paling belakang. Biasanya, rombongan paling depan adalah sekumpulan penabuh terbangan-kompangan yang tujuh orang itu. Dibelakangnya lapis pertama terdiri dari pemegang bunga hiasan, kemudian mempelai pengantin lelaki yang dipayungi dan diapit oleh pengapit lelaki kiri-kanannya. Dibelakang biasanya, rombongan anak-anak muda dan orang tua. Sedangkan anak-anak kecil terselip disebelah tengah dan pinggir iringan karavan pengantin.

Setibanya dilaman muka rumah pengantin perempuan. Tetabuhan kumpulan terbangan-kompangan berpadu meningkah, naik-turun, meninggi dan diakhir penutup khas serentak. Disambung suara gong bergaung-gaung:”Gung..gung..gung...gung..gung..gung...gung...gung.....”.

Sebagai isyarat bahwa siapa yang mau turun jadi sepasang pesilat yang menguji adu jurus dipersilahkan maju ke depan turun gelanggang. Seorang pendekar separuh baya membuka jurus persembahan diakhir tangkupan salam. Lalu, Muk Zaki, kepala kumpulan penabuh terbangan-kompangan, berisyarat turun gelanggang, seraya menyerahkan kompangan yang ditangannya pada Pak Su Joko.

Dia mencopotkan sandal dikakinya, seketika membuka jurus andalannya, jurus tombak dengan kedua siku tangan yang menusuk ke kanan-kiri. Urat-urat diotot tangannya berjiratan, ketika jurus andalan pembukanya tadi dibentangkan. Penutup jurus pembuka tadi dengan seuluk salam pada khalayak hadirin. Tepuk tangan membahana, menggelegarkan gelanggang persilatan.

Pada kesempatan berikutnya, sang pendekar paruh baya tadi menyambung jurusnya beberapa gerakan, lalu dilawan Muk Zaky dengan jurus terbarunya. Walau jejak langkah kaki yang sekonyong-konyong menanamkan tumit, lalu tabuhan gong semakin menghebat, bila kedua pendekar sudah dalam posisi saling adu laga, walau tak jarang hanya senggolan tangan atau tepisan pada sisi badan dan rambut belaka. Gerakan jurus ketiga yang mereka mainkan hampir serempak itu menyemburkan terbangan debu ke udara. Penonton dimuka gelanggang yang tegak melingkar, mundur beberapa langkah ke belakang. Kedua pendekar silat tradisional Melayu, nampak seperti hendak bersabung sengit. Tak jarang, tendangan kaki dan tinjuan tangan sekilas saling berkenaan, lalu disusul gerakan badan memutar sekelebat. Dedaunan kering yang sudah disapu sejak sebelum iringan arakan pengantin tiba, terserak-serak ke mana-mana. Udara melentingkan debu dari persabungan antara pendekar.

“Huuuuuiiii........suiitttttt......huuuuuiiiiiii.....suiiiiitttt.......Huuuuuuiiiiiiii”.

Suara penonton mengelilingi gelanggang memanaskan persabungan. Suara tabuhan Gong bergema-gaung, terdengar hingga dari pangkal hingga ujung kampung. Dan suara gong makin memuncak seolah ektase, apabila kedua pendekar saling jual-beli pukulan dan tendangan. Mereka terkadang membuatb atraksi penghangat suasana, dengan gerakan silat yang tak terduga. Tak jarang seperti saling mengenai, namun ditutup dengan ulukan salam ujung jari yang saling bersentuhan, walau kuda-kuda kaki tetap waspada. Lalu diakhiri dengan saling bersalaman.

Ada pendekar yang memasang wajah malu-malu kucing. Tak mau terlalu spontan demonstratif memperagakan gaya dan jurus andalan. Akhirnya, ada beberapa kawannya yang mendorong badannya masuk gelanggang silat. Baru dia mau tampil maju, sambil melepaskan sandal atau sepatunya. Namun, tak jarang, sekian lama dia mengeluarkan gerakan jurus, tak ada yang nampak meladeninya. Maka, seseorang pendekar yang lainnya, mengambil inisiatif sendiri meladeni gerakannya, atau dia mendorong lagi orang yang lain.

Begitu lah hingga tiga pasang pesilat tradisional Melayu mempertunjukkan kebolehannya. Baru kemudian, mempelai pengantin lelaki dipersilahkan menaiki tangga rumah, menuju pelaminan, tempat duduk kemuliaan, kursi bersanding “Raja dan Ratu Sehari”. Duduk bersanding kedua mempelai pengantin lelaki dan perempuan dikampungku dinamakan: “Duduk Sebandung”. Kedua mempelai ini, awalnya terlihat agak malu-malu. Lama-kelamaan akhirnya terbiasa juga jadi tontonan orang sekampung.

Ruangan tempat pelaminan itu nampak penuh sesak. Udara gerah sekali. Namun, orang-orang berdesak-desakan. Kaum bujangan dari arah pintu luar, kaum gadis memenuhi arah sebelah belakang. Keluarga besar kami kumpul tumpah-ruah, sambil mengendong anak dan cucu. Sepupuku yang gadis-gadis pun dekat ayuk sepupuku. Kilatan lampu kamera berkali-kali menyilaukan mata. Aku paling tak tahan diruangan yang panas sesak, yang bernapas saja terasa payah.

Tiba-tiba, mataku menangkap empat abang sepupuku sudah tegak berdampingan dengan tiga gadis Jambi cantik bergaun anggun itu. Gadis paling kecil diantara mereka berambut pendek ala Demi Moore itu tersenyum memandang ayuk sepupuku yang duduk dipelaminan itu. Pipi gadis berambut pendek ala film Ghost itu memerah, semerah tomat masak. Kulihat senyum-senyum kalui terkembang dari abang sepupuku yang tertua dan nomor dua. Sedangkan yang ketiga dan keempat tampak berbisik, seolah pura-pura tak melihat padaku dan sepupuku yang lain.

Setiap kali menyaksikan pengantin duduk bersanding, aku selalu diliputi pertanyaan yang tak berjawab. Kenapa mesti ada duduk bersanding? Apakah tanpa duduk bersanding kedua mempelai pengantin diperkenankan melangsungkan pernikahan? Tak pernah terbayangkan, jika suatu hari kelak, bakal duduk bersanding berdua dipelaminan pengantin. Dan siapa “Permaisuri” yang berbahagia duduk bersanding denganku kelak? Atau, bila aku bertemu jodoh dikampung lain, dirantau negeri orang, adakah yang namanya “Duduk Sebandung”?

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 1 November 2009