musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Thursday, December 31, 2009

Sajak 20: Awak Nak Sa’i, Antara Safa dan Marwah

Calon Penghuni Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 20: Awak Nak Sa’i, Antara Safa dan Marwah

Ahmad David Kholilurrahman

Secemas pandang Bunda Hajar
Berlari kecil dari Safa ke Marwah
Mencari gemercik butir air
Melunas haus dahaga
Ismail

Dari satu bukit ke bukit lain
Bebayang air
Terpantul
Dari satu bukau ke bukau lain
Berbilang air
Terpantul

Sesayang limpah cinta
Pada buah hati
Menggerimis
Tangis

Sesunyi Baitul ‘Atiq
Di lembah Bakkah

“Kemana nak minta tolong?”

Allah, Allah, Allah

Menerbitkan perigi Zam-zam
Lalu bertumpang Kabilah Jurhum
Memohon izin bermukim
Sekitar mataair
Membutir
bulir

Dan mataair purba itu adalah airmata cinta
Sarat khasiat, lebat harakat, hebat raka’at

Bayangkan lah, kasih bunda terpulang pada ananda
Sebaliknya sebaik kasih Allah tak terbilang pada hamba

Cairo, 1 Januari 2010

Sajak 19: Awak Nak Sepasang Rakaat, Bertentang Maqam Ibrahim

Calon Penghuni Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 19: Awak Nak Sepasang Rakaat, Bertentang Maqam Ibrahim

Ahmad David Kholilurrahman

Meramah damba hamba
Sepinta pintu Ka’bah
Sebentang multazam
Doa menajam pejam
Terhunjam
Dalam
Malam

Sepasang rakaat selepas thawaf,
Mendaras tinggi cinta pemaaf
Terpancur dari Maha Pemurah

Merumah airmata hamba
Setua pintu Taubah
Seterang azam
Doa mengumam diam
Terhunjam
Dalam
Pejam

Sepasang rakaat selepas thawaf,
Menguras perigi pinta pemaaf
Terpancur dari Maha Pemurah

Melapah airmata hamba
Setinta pintu hidayah
Seloyang zam-zam
Doa menilam silam
Terhunjam
Dalam
Kalam

Cairo, 31 Desember 2009

Wednesday, December 30, 2009

Sajak 18: Awak Nak Meloyang, Sepasang Telapak Ibrahim

Calon Penghuni Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 18: Awak Nak Meloyang, Sepasang Telapak Ibrahim

Ahmad David Kholilurrahman

Secungkup kotak kaca berbingkai keemasan,
Memahat cetak sepasang telapak Ibrahim
Kala membina Ka’bah,
Di lingkung lembah Bakkah

Awak nak meloyang
setalang kenang

Mendulang
Yang bilang

Meladang
Yang petang

Menjulang
Yang pasang

Secungkup kotak kaca berbingkai keemasan,
Memahat cetak sepasang telapak Ibrahim
Kala membina Ka'bah,
Di lingkung lembah Bakkah

Awak nak meloyang
setalang kenang

Memulang
yang bintang

Menualang
Yang pandang

Menjelang
Yang menang

Cairo, 30 Desember 2009

Tuesday, December 29, 2009

Sajak 17: Awak Nak Mengecup, Semulut al-Hajr al-Aswad

Calon Penghuni Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Ahmad David Kholilurrahman

Sajak 17: Awak Nak Mengecup, Semulut al-Hajr al-Aswad


Sila dikecup batu surga itu,
Setujuh kali awak thawaf di rumah-Mu

Sekecup mulakat taubat

Adalah hirup tak mulut
Pada yang susut

Adalah hidup tak luput
Pada yang maut

Adalah letup tak surut
Pada yang laut

Sila dikecup batu surga itu,
Setujuh kali awak thawaf di rumah-Mu

Bila tak sempat,
Cukup isyarat sekecup tongkat

Bila tak sempat,
Cukup isyarat sejumput niat

Sebab, kata Umar al-Khattab;

"Jika Rasulullah tak mengecupmu,
Niscaya aku tak kan mau mengecupmu!"

Tersebab, awak tak mau menyembah batu
Tapi, hanya pada pemilik Ka'bah rindu tertuju

Cairo, 29 Desember 2009

Sunday, December 27, 2009

Sajak: Awak Nak Merenung, Sekurung Hijr Ismail

Calon Penghuni Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak: Awak Nak Merenung, Sekurung Hijr Ismail

Ahmad David Kholilurrahman

Dan Rumah Allah
Yang dibina lagi bapak-anak itu
Menghidu rindu
Paling madu
Paling seru
Paling sendu

Bangunan batu bata
Persegi empat,
Rupa kiblat
Sanguan satu cinta

Yang nak awak renung
Sekurung Hijr Ismail

Tegakkan sholat dua rakaat
Jinak harakat tua taubat

Menyurat
Menyirat
Menakat
Menyukat

Bertuju rindu
Berderu cemburu

Awak reguk zam-zam
Dari ujung bibir paling tubir,
Melidah
Melambung
Menjantung
Menghati
Menulang
Ke sumsum
Nikmat
Hangat
Lumat
Lekat

Memburu Wajah-Mu
Yang Ahad

Cairo, 28 Desember 2009

Cerita Bersambung; Bangku Masjid (25)

Cerita Bersambung; Bangku Masjid (25)

Ahmad David Kholilurrahman

Rombongan Datuk Buyutku Naik Haji


Petang-petang sepasang punai lah meriuh di pucuk manggis, muka laman masjid tua itu. Dari corong speaker tua tergantung di sudut belah ke hilir terdengar suara mengaji dari Qari Mesir Abdul Basith Abdussamad. Kaset baru nian dikirim langsung paman Kasyfun Nadzir dari Mesir. Disampul kaset gambar seseorang berpakaian Ala Al-Azhar, berkopiah merah berselaput sorban putih, berwajah bersih, termaktub merek produksi, Syirkah Shaut al-Qahirah li-Shautiyat wal Mar’iyat. Surah Al-Hajj yang dilantunkan qari bersuara emas dari Negeri Seribu Menara itu, mengalun-ngalun menembus jenak-jenak waktu sabur limur. Begitu orang-orang Melayu, menyatakan tempo waktu antara pertempuran petang menjelang malam. Digambarkan masyarakat Melayu sebagai sempadan terang dan remang.

Dari langit seberang di pucuk mangga, melintas ratusan kelelawar menuju langit Teluk Kuari. Mengincar kebun buah-buahan dan ladang yang ditinggalkan para pemiliknya pulang kampung. Petang kamis adalah waktu ramai kampungku. Perahu-perahu dari hulu, sarat dengan hasil talang-umo, dan mereka menyisihkan hasil kebun yang ditanam untuk disedekahkan kepada guru-guru mengaji dan kaum alim-ulama di kampungku.

Hal itu mengingatkan aku pada kisah yang terjadi puluhan tahun lampau. Yang rajin berkisah padaku adalah Guru kami Buya Abdullah Shoefie yang memiliki ingatan tajam dan terperinci detail sekali. Tarikh sejarah itu seperti tersimpan rapi dibawah susunan syaraf akal benaknya bak gudang penyimpanan database mutakhir tersusun teratur. Ibaratnya, jika mau membongkar arsip dan dokumentasi ingatan Tarikh-Sejarah. Cukup menarik bilik lemari sekian, memutar kode sekian, tekan tombol nomor sekian, seketika file-file yang dikehendaki terdedah seketika berisi cerita uraian data dan fakta sejarah masa lampau terbentang di ujung lidah Buya Abdullah Shoefie. Aku yakin guru kami ini sangat banyak mewarisi cerita-cerita bersejarah dari buyutku Haji Ahmad Shoefie. Selain tentunya, ilmu-ilmu agama yang sedikit-banyak terpercik dari talang pancuran Alim cerdas itu.

Pada suatu hari, selepas sholat zuhur di masjid tua itu. Guru kami Buya Abdullah Shoefie mengundang buyutku ke rumahnya, beliau dijamu hidangan masak sup daging tunjang kaki kerbau. Pada hari itu lama sekali beliau bercerita pada cucu saudaranya itu. Beberapa bulan kemudian, berpulang lah buyutku menghadap pemilik kehidupan yang Maha Hidup Allah SWT.

Sebagaimana yang pernah aku ceritakan sebelumnya. Selepas sholat maghrib itu, beliau sengaja hendak bercerita kepada jema’ah sekalian. Perihal sejarah orang-orang terdahulu di kampungku yang memiliki nilai sejarah. Apabila tidak diceritakan, khawatir lesap ditelan lupa.

Tentang tarikh sejarah buyutku dari pihak emak, yaitu Datuk Rajo Gedang, Haji Ja’far Shoefie yang lahir pada hari senin 12 Rabi’ul Awal 1292 Hijriyah bertepatan dengan 19 April 1875 Masehi. Tahun Hijriyah kelahirannnya, bertepatan dengan didirikannya Madrasah As-Shaulatiyah, di Mekkah. Madrasah yang menjadi tujuan para penuntut ilmu anak-anak negeri Melayu di Bilad al-Haramain. Madrasah As-Shaulatiyah ini, didirikan oleh Shaikhah As-Shaulah, sebelumnya di Lahore dan Lucknow (India).

Tahun kelahiran buyutku ini bersesuaian dengan tahun dicetaknya kitab karya Pujangga dan Sastrawan Melayu, Pahlawan Bapak Bahasa Indonesia dari Kerajaan Riau-Lingga yang berkedudukan di Pulau Penyengat Indrasakti, Raja Ali Haji bin Raja Ahmad. Kitabnya itu berjudul;Bustan al-Katibin li as Sibyan al-Muta'allimin (Taman Para Penulis dan Pencari Ilmu) tahun 1875 M. Atau bertepatan tahun kepergian kali keduanya pelukis terkemuka Indonesia, Raden Saleh Bustaman ke Negeri Eropa. Pada tahun itu juga gelombang imigrasi besar-besarab bangsa Arab dari Suriah, Lebanon, Palestina memasuki benua Amerika. Kebanyakan mereka adalah kaum buruh kasar dan kelas pekerja.

Buyutku, Pesirah Haji Ja’far Shoefie naik haji tahun 1923 M. Membawa ayuk perempuannya, Talhah (Nyai dari Wak Muhammad Ro’i) dan anak tertuanya dari istri kedua, Datuk Haji Utsman Ja’far (1909-1998). Ayuk perempuan dari buyutku ini wafat di Mekkah dan dikuburkan di Ma’la.

Jauh sebelum buyutku dari sebelah emakku naik haji. Buyutku dari sebelah bapak, Haji Ahmad Shoefie (1884 M/1301 H) naik haji pertama pada masa bujangnya tahun 1904. Buyutku Haji Ahmad Shoefie dibawa pamannya Haji Abdurrahim bin Syamsuddin. Pada tahun ini pula buyutku bermukim dan mengaji ilmu agama berguru kepada Masyayeikh Bilad al-Haram. Beliau mengaji di Mekkah sampai tahun 1908. lebih kurang tiga tahun lebih, buyutku dari sebelah bapak ini bermukim di Mekkah. Berguru kepada Syeikh Mukhtar (Bogor) dalam ilmu Falak. Juga sempat berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi. Juga berguru dengan Syeikh Muhammad As-Syatha, pengarang kitab I’anatul Thalibin.

Lalu, buyutku Haji Ahmad Shoefie naik haji kali keduanya pada tahun 1929 M. Membawa serta ayuknya, Haji Rafi’ah Shoefie (Nyai dari Nyaiku Mahanin binti Syafi’i), serta istri buyutku sendiri Hajjah ‘Aisyah dan anak-anaknya dan kemenakannya. Anaknya adalah datukku sendiri, Haji Nawawi Ahmad (1916-1985 M), Maktum, Rugayyah dan kemenakan buyutku, Haji Manshur Ja’far (1914-1992 M). Setelah menyerahkan anak lelaki buyutku ini, yaitu datukku sendiri, Haji Nawawi Ahmad, beserta keponakan buyutku, Haji Manshur Ja’far ke Madrasah-Madrasah di Kota kelahiran Nabi Muhammad SAW.Lalu, kedua saudara sepupu ini menetap tinggal di Mekkah berbilang-bilang tahun. Mengaji ilmu agama berguru kepada Masyayeikh Bilad al-Haramain. Sementara buyutku dan rombongan selepas musim haji, pulang berlayar kembali ke Tanah Air yang ketika itu belum lagi merdeka.

Kalau Datukku Haji Nawawi Ahmad sekolah di Madrasah Al-Falah, salah-satu Madrasah yang bercorak modern. Datukku ini bermukim selama 17 tahun di Mekkah. Pulang pada tahun 1946. Sedangkan Datuk Muk Haji Manshur, sekolah di Madrasah As-Shaulatiyah (berdiri 1292 H) bermukim selama 21 tahun lamanya. Bahkan menikah dengan Nyai Fathma binti Muhammad. Kedua anak lelakinya lahir di Mekkah. Yaitu Guru kami Buya Abdullah Shoefie Manshur dan Wak te Ahmad Kautsari. Mereka pulang pada tahun 1950.

Menurut cerita yang sering aku dengar di masa kanak-kanak dulu. Datukku ini adalah sosok cerdas. Kata riwayat Datuk Muk Haji Manshur tentang datukku;”Awak bukan main belajar setengah siang-malam, sedangkan Mudir (panggilan nama masyhur datukku Haji Nawawi Ahmad) santai tidur-tidur. Tapi, natijah imtihan (nilai ujiannya) selalu dapat terbaik!”.

Tapi, menurut Guru kami Buya Abdullah Shoefie lain lagi, secerdas-cerdasnya Guru Mudir (datukku ini) belum apa-apa dibanding dengan kecerdasan otak brilian Datuk Cik (Haji Ahmad Shoefie), semakin turun ke anak-anak datukku serasa semakin sayup!” Ujar Buya Abdullah Shoefie melabuhkan pandangan ke arahku dan menghela napas dalam-dalam. Aku mengangguk-angguk saja di sudut Masjid Tua itu.

Yang jadi pikiranku. Jika datukku yang dikenal orator ulung yang pernah memerah-padamkan wajah Belanda, lalu meredakan airmuka kaum penjajah dengan kelihaian pidato dan ketangkasan kata-katanya. Seperti apa sosok kecerdasan alim besar Haji Ahmad yang mewariskan ilmu langka, ilmu Falak ke guru kami Buya Abdullah Shoefie itu? Lama, aku tertegun seusai menikmati syarahan cerita pusaka yang dihantar ba’da maghrib yang sengaja nampak diceritakan.

Pada masa itu jema’ah haji berangkat menggunakan kapal laut yang berlayar berbulan-bulan. Menurut cerita datukku, sebelum diberangkatkan jema’ah haji mengalami masa karantina. Kapal yang berangkat dari Batavia (Jakarta masa itu), maka pulau Onrust di kepulauan Seribu adalah pusat karantina bagi jema’ah haji. Diperiksa apakah menderita penyakit menular atau tidak?

Sedangkan bagi jema’ah haji dari Jambi, sebagaimana jema’ah haji dari pulau Sumatera. Setelah berlayar dari Singapura mereka akan menuju Sabang. Dari Sabang nanti berlayar menebuk samudera Hindia hingga ke Ceylon (Srilangka). Apabila di Ceylon, inilah kapal laut jema’ah haji mengisi bahan bakar, makanan dan air tawar guna bekal pelayaran ke Lautan Arabia sampai di Laut Merah, berlabuh di Jeddah.

Ketika para peladang pulang kampung, menjemput petang jum’at dan menunaikan sholat jum’at keesokan harinya. Rumah-rumah tauke, saudagar kebun karet, ramai penuhi anak kuli@anak kapak yang hendak menunaikan jum’atan. Kebanyakan adalah kuli potong getah dari pulau Jawa.

Pemarab atas perintah kepala desa tak ketinggalan mengingatkan para kuli getah, jangan abai dengan kewajiban sholat jum’at. Tauke pun memberlakukan peraturan, bahwa acara timbang getah pekanan hanya ada pada setiap hari kamis. Mau tak mau para kuli getah para pendatang itu taat aturan dan menimbang perasaan orang kampung. Jika tidak, siap-siap lah jum’at besok harinya, Haji Ahmad Shoefie membasuh muka para saudagar, tauke dan anak kuli itu dengan tunjuk-ajar.

Suaranya dalam bergaung. Nyaring tak kering. Tutur bahasanya halus. Jika menyindir tepat kena, tanpa orang yang mendengarnya merasa tersinggung. Keluar sitiran ayat dan hadits dari mulutnya. Bacaan ayatnya fasih dan merdu penuh nagham bercengkok tiga. Sesekali keluar pepatah-petitih adatnya, berbungkus dengan sajian logika filsafat budi pekerti yang mulia. Bila para pendengar merunut sepanjang jalan pulang ke rumah nanti, akan terasa bahwa marah sang Alim cerdas yang disegani, menggemparkan negeri Jambi itu adalah bahasa sayang dalam wajah lain.

Kalau tidak lantaran wara’ dan tawadhu’nya. Tak bakalan seorang jagoan di kampungku yang anaknya tewas dalam peristiwa berdarah itu. Jika tak ditundukkan oleh wibawa Haji Ahmad Shoefie. Alim besar yang disegani lantaran ilmu dan akhlaknya ini yang pertama kali berani menyongsong bapak dari si anak yang tewas itu di rakit jambannya. Ketakutan yang berlebih-lebihan disangka bapak dari korban bakal mengamuk, begitu reda dan lunak dalam bayang sorotan mata teduh buyutku itu. Ibaratnya, menundukkan harimau terluka, tanpa menggunakan senjata apa pun!

Pada zaman kejayaan Haji Muhammad Bangko sebagai tauke saudagar, yang memiliki berpuluh orang anak-anak kuli. Baik orang kampungku sendiri, atau para pendatang dari Jawa. Kaum perempuan rumahan saudagar itu, sejak siang sudah dibuat sibuk memasak gulai nangka dan sambal telur. Guna menjamu anak kuli@anak kapak yang memotong atau menyadap kebun getah karet saudagar tauke getah yang mempunyai getah karet bertumpuk dalam toko gudang, di bawah rakit-jamban, atau karangan getah karet berbentuk balok persegi empat terendam terentang dari hulu sampai hilir sepanjang tepian.

Haji Muhammad Bangko ini terkenal saudagar yang budiman, baik hati dan pemurah. Mudah rundingan bagi penduduk kampung yang mengadu sesak. Tumpuan bagi orang yang mau berhutang. Dia adalah orang yang membangun setapak jalan tanah dari jalan lalu lintas dikampung seberang ke arah tepian rumah Datuk Haji Hamdan. Dan jalan itu mengalir sebagai amal jariyahnya kelak. Untuk mengenang kebaikan jasanya, kampungku membubuh nama jalan itu dengan namanya. Jalan Haji Muhammad Bangko.

Orang-orang baik selalu penuh cobaan, sayang tak beroleh anak keturunan hingga akhir hayatnya. Rumahnya besar bersambung, tepat di sebelah masjid tua arah hulu kampung. Sebagaimana lazimnya rumah saudagar di zaman dahulu, bak gula dikerubungi semut. Kemenakan dari pihaknya dan pihak istrinya yang kelak menempati rumah tersebut.

Aku cuma mendengar kisah saja tentang kemasyhuran Haji Muhammad Bangko yang awal mulanya berdagang di kampungku datang menghadap kepada anak lelaki tertua Pesirah, Rajo Gedang Haji Ja’far Shoefie, yaitu Datuk Te Haji Ibrahim guna menumpang dagang di rantau orang. Istilahnya, dagang menumpang. Dan peristiwa itu bersamaan dengan menghadapnya seorang Sayyid, saudagar kain dari Tanah Arab, yang bermaksud hati hendak meminang anak dara Rajo Gedang.

Sayyid dari negeri Mekkah ini adalah dagang menumpang. Musafir kelana jua turun dari negerinya sehabis musim haji berlayar ke negeri Jawi (begitu orang-orang di zaman itu menyebut negeri Melayu; Indonesia, Malaysia dan Patani). Banyak dari kalangan pedagang dan perantau Negeri Arab yang mengadu peruntungan ke Indonesia. Apalagi perdagangan karet di Jambi ketika itu sedang jayanya. Puluhan kapal-kapal tongkang dari pelabuhan Jambi hilir-mudik sibuk mengangkut hasil getah karet ke pelabuhan Singapura, sebelum dikirim jauh masuk ke negeri Belanda dan daratan Eropa lainnya.

Nama Sayyid dari negeri Arab ini Hamid ‘Arif. Hormat tutur katanya. Besar perawakannya. Karena pembawaannya yang menyenangkan dan dibekali tahu ilmu agama. Seperti asam di gunung dan garam di laut bertemu dalam belanga. Belanga itulah kampungku, Gurun Tuo. Sayyid dari negeri Mekkah ini jatuh hati kepada anak dara Rajo Gedang. Maksud hati itu pula yang disampaikan pada Datuk Te Haji Ibrahim Ja’far. Yang tak lain anak lelaki tertua dari Rajo Gedang, Pesirah Haji Ja’far Shoefie. Semula Sayyid ini sempat mengajar di Madrasah Nurul Iman, Jambi Seberang. Bahkan, termasuk salah-satu tokoh yang memiliki andil pada awal tahun berdirinya madrasah tersebut. Sambil berdagang kain hingga sampai ke hulu sungai Batang Tembesi. Jatuh hati dengan anak dara Rajo Gedang.

Kalau Rajo Gedang mau mudik ke Pauh atau hilir ke Mandiangin. Maka dikayuhlah biduk besar, Kajang Melako melintasi setiap kampung. Sepanjang kampung yang disinggahinya, naik lah Rajo Gedang menanyakan kabar dan mengadakan kunjungan memeriksa hal-ihwal yang berkenaan dengan pelayanan masyarakat. Jika ada saran dan usul serta permintaan masyarakat yang hendak disampaikan kepada pihak Residen Belanda di Sarolangun. Maka Rajo Gedang akan mendengar dengan penuh simpati dan airmuka cerah. Jika ada masalah, maka jiwa kepemimpinannya mengatasi masalah dengan jalan keluar yang disambut semua pihak. Sanggam penampilannya. Halus budi bahasanya. Runtut tegas tutur katanya. Bijak mengambil keputusan dan amanah mengemban tugas yang dipercayakan pada dirinya.

Di antara cucu-cucu Rajo Gedang yang pernah merasakan naik biduk besar Kajang Lako Rajo Gedang adalah Wak Te Abdul Aziz bin Haji Ibrahim, Wak ‘Alawiah binti Haji Ibrahim dan Sidi Akmal Hamid Arif dan lain-lainnya. Mereka sempat mencicipi masa kejayaan datuk mereka memegang tampuk amanah Pesirah yang berkuasa serantau Muaro Ketalo sampai Pauh.

Apabila hendak mengikuti kunjungan kerja Rajo Gedang, maka anak-cucunya yang perempuan nampak sibuk berdandan mengenakan baju kurung dan berkain selendang. Khusus cucu perempuannya, ada rasa malu jika tak nampak melingkar emas dua suku gelang melingkar di tangan, maka terpaksa meminjam sementara pada keluarga paman-paman mereka yang mulai tumbuh mekar jadi saudagar.

(Bersambung)


Rabea Adawea, Cairo, 27 Desember 2009

Saturday, December 26, 2009

Sajak 15: Awak Nak Memungut Jejak Bunda Hajar, Antara Safa dan Marwah

Calon Penghuni Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 15: Awak Nak Memungut Jejak Bunda Hajar, Antara Safa dan Marwah

Ahmad David Kholilurrahman

Dan jejak-jejak mulia tumpah
Antara Safa-Marwah,
Sekurung pegunungan Faaran,
Bilad al-Amin yang memekar cinta
Anak-istri Abul Anbiya’
Di lembah tandus tanpa tetumbuhan
Haus-dahaga menempa ramah
Seramah Baitullah
Yang dibina kekasih Allah
Bapak dan anak

“Adakah ini perintah Tuhan-Mu?” Tanya Bunda Hajar

Kala Ibrahim tinggalkan istri dan anak
Di lembah Bakkah, pegunungan Faaran

Kaki-kaki kecil Ismail
Menangis meronta-ronta
Hentakkan tanah bebatuan

Bunda Hajar berlarian kecil
Dari safa tertuju marwah
Dari marwah tertuju safa

Memancar terbit mataair zam-zam
Serupa mata bunda yang berazam
Merendam
Gumam doa
Paling diam
Paling dalam
Paling malam

Kasih Ibu sepanjang masa
Yang tak surut airmata
Yang tak luput cinta
Yang tak kalut muka
Yang tak hanyut lupa

Awak nak memungut,
Jejak bunda Hajar
Antara Safa-Marwah

Cairo, 26 Desember 2009

Friday, December 25, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (24)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (24)

Ahmad David Kholilurrahman

Akur Sepakat Anak-anak Pesirah “ Datuk Rajo Gedang”


"Sejatinya, bayangan cermin diri memantul kepada anak-anak jua!".

Begitu agaknya, filosofi yang terkandung dari kebesaran jiwa Buyutku, Haji Ja'far Shoefie yang bergelar “Datuk Rajo Gedang Tumenggung Dusun Tuo Nan Arif” jauh-jauh hari sebelum mengemban amanah Pesirah di zaman peralihan Belanda berbonceng sekutu. Sedari awal telah menanamkan ajaran didikan pada anak-anaknya, panduan hiudp akur-sepakat bersaudara dan gemar silaturrahim sekalian musyawarah dalam kehidupan bermasyarakat. Teladan mulia itu sendiri, dia hadirkan pada pribadinya sendiri dan saudaranya sesama anak Shoefie bin Tengkin.

Buyutku, Guru Haji Ahmad Shoefie adalah adik sang Pesirah sendiri yang diongkosi pergi mengaji ke rantau Mekkah selama tiga tahun. Dia membuka hutan rimba tuya di Sungai Ale, Semuruk dan Bulian. Demi memikirkan nasib masa depan adik-adik dan anak-anaknya kemudian hari. Haji Ja’far Shoefie, tak ubah seorang ‘bapak’ bagi adik-adiknya sendiri. Setelah ditinggal wafat oleh ibunya, dalam usia masih muda juga. Sebagai anak lelaki tertua, dia memegang nakhoda kapal keluarga.

Sementara bapaknya, Shoefie bin Tengkin lebih sibuk mengurusi masyarakat dalam pengajaran mengaji ilmu perukunan. Ada sebagian pihak yang menilai bapaknya agak pemalas, karena tak mewarisi sebidang tanah pun pada anak-anaknya. Namun, pada zaman itu, beliau lebih suka bertekun-tekun mengajak khalayak ramai yang gemar mengadu ayam dan lalai waktu pergi ke surau kecil di hilir kampung untuk mengaji kitab perukunan di surau. Jauh sebelum masjid yang berusia hampir tiga perempat abad itu tegak sanggam.

Tunjuk-ajar didikan dari sang Pesirah Haji Ja’far Shoefie juga yang meresap dalam ke tulang sumsum anak-anaknya. Akur sepakat dalam bersaudara adalah perkara yang telah diterapkannya kepada saudara-saudaranya sendiri. Tak sedikit jasanya, dalam membantu adiknya, Haji Ahmad Shoefie belajar menuntut ilmu mengaji ke Masyayeikh Bilad al-Haramain. Juga dengan saudara-saudaranya yang lain, yang tetap bermukim di kampungku sendiri.

Termasuk, juga mengongkosi saudara sepupu dan anak-anaknya yang lain pergi naik haji dan belajar di Mekkah. Datukku sendiri, Haji Abu Bakar naik haji dan mukim di Mekkah selama tiga tahun dimasa bujangnya menjelang umur 20-an. Sayangnya, tak terlalu menumpu perhatian kepada bidang agama, lebih menyukai berdagang dan berkebun di kemudian hari setelah menikah dengan nyaiku Nacik binti Darasip. Tapi, ketekunan beribadah tak goyah, walau didera sakit sekali pun. Dan datukku bersaudara dikenal sebagai orang-orang yang gemar memakmur masjid tua di kampungku itu. Jika mereka adik beradik saja datang ke Masjid, cukup lah ramai jema’ah yang menegakkan sholat berjema’ah.

Ketika itu negeri Hijaz (Mekkah) masih dibawah kekuasaan Syarif Hussain bin Ali (1856-1931 M). Pada tahun 1924 ditumbangkan Ibnu Saud yang dibantu Inggris menumbangkan dan mengusir Syarif Husain dari Hejaz ke tanah pengasingan Siprus, lalu menegakkan kekuasaan di Amman, Jordania.

Pada mulanya, Syarif Husain adalah Gubernur Mekkah yang diangkat oleh Turki Utsmaniah tahun 1908. Lalu, memberontak kepada Turki Utsmaniah pada bulan juli 1908. Mengangkat diri sebagai penguasa Negeri Hijaz, terlepas dari kekuasaan Turki Utsmaniah. Dan pemberontakan selalu melahirkan pemberontakan yang lain. Sejarah itu juga menimpa dirinya sendiri di belakang hari kemudian.

“Negeri Hijaz (Mekkah dan sekitarnya) masih miskin, mengharapkan kedatangan jema’ah haji setiap tahun yang memberikan lapangan pekerjaan pada penduduk Mekkah!” Kata Datukku Haji Abu Bakar membuka cerita, sambil menegukkan kopi hitam A Tigo kesukaannya. Aku menggaruk punggung belakangnya.

“Kala musim badai padang pasir bertiup kencang, pepasiran menerbangkan apa saja. Memerihkan pupil mata dan terlihat, sejauh mata memandang, permaidani pepasiran coklat kuning-tua bergelombang, mungkin, seperti mau menghentakkan desakan dari perut bumi. Semacam pertanda bahwa kandungan hasil bumi yang tertanam di perut bumi tak beberapa lama waktu lagi akan keluar memancarkan emas hitam”.

“Apa emas hitam itu, datuk?” Tanyaku, lalu memandang ke arah dagu beliau yang ditumbuhi jenggot putih yang baru dicukur. Kopiah haji berlubang kecil-kecil seperti anyaman jaring jala itu menutupi kepalanya yang terlihat botak licin.

Setiap dua pekan sekali pada pagi jum’at. Pergi lah beliau ke Datuk Suwadi’ di hulu kampung. Kelak, ketika penglihatan Datuk Suwadi tak amat lagi, maka keponakannya, Wakcik Fakhrurazi sendiri yang mencukur botak rambut Amminya.

“Minyak bumi itulah yang berupa karunia Allah mendatangkan kemakmuran bagi kerajaan Saudi Arabia dan penduduknya hingga sekarang. Dan doa Nabi Ibrahim itu terkabul di kemudian hari.” Kata Datukku sambil memandang tajam padaku yang sedari tadi banyak tanya.

Anak kecil yang banyak tanya pada orang-orang tua di kampungku disebut “Onyol”. Ke-onyol-an ini pula yang menghantarkan aku ingin tahu banyak hal di laman kanak-kanakku yang semestinya lebih banyak bermain. Tapi, sikap ini ada sisi manfaatnya juga, membuatku ingat lekat pada cerita-cerita sejarah masa lampau yang jika tak dikisahkan akan lesap dimakan zaman. Cerita-cerita pusaka yang terkadang abai dipandang sebelah mata oleh sepupuku yang selusin itu.

Bagi buyutku Haji Ja’far Shoefie yang berperawakan tinggi besar. Berwajah tampan impian para gadis-gadis di zamannya. Ditambah lagi tutur kata yang sopan, lantang dan berwibawa.Kelantangan dalam berbicara atau pidato menurun kepada cucunya yang juga Guru kami Buya Abdullah Shoefie. Jika buyutku Ja’far Shoefie berbicara, seketika penduduk kampungku memandang hormat pada butir-butir bernas tutur nasehat dan tunjur ajarnya.

Dalam berpakaian sanggam rapi dan menawan. Kadang mengenakan kain sarung bugis yang ditenun dari bahan halus, bajunya yang rapi nampak macam orang Siak. Terkadang mengenakan baju teluk belanga ala Melayu. Jika berjalan dari jauh tercium semerbak harum minyak wangi yang dikenakannya. Pada Guru kami Wak Damiri menurun lah kebiasaan datuknya ini.

Buyutku tak suka penampilan asal-asalan. Apalagi ketika hendak menghadap wajah ke kiblat. Pantangan baginya mengenakan pakaian yang berbau keringat. Baginya, pakaian yang dikenakan untuk ibadah, mesti yang mencerminkan kebersihan badan dan hati. Memantulkan keindahan. Bukankah Allah itu Maha Indah, dan menyukai yang indah. Kebiasaan ini turun mewaris pada anak-anaknya yang berjumlah puluhan itu.

Dalam bekerja pun tak sudi hasil sembarangan asal jadi. Harus necis dan damis. Kala selesai bekerja di mana pun, perkakas peralatan mesti tersimpul rapi dan ditaruh kembali pada tempatnya. Dimana letak tangga, ambung, bunang, jala, sesap, cangkul, parang, pisau harus kembali pada tempatnya. Ibarat keris berpulang tampuk pada gagangnya.

Jika ada orang yang meminjam, mesti menjaga amanah barang pinjaman itu. Tepat tempat dan waktu kala menggembalikan pinjaman. Watak dan karakter buyutku Ja’far Shoefie adalah berjiwa besar, rajin beribadah, suka berdisiplin, telaten, hemat, amanah, jujur, bijak bertutur dan pandai mengatur.

Baju untuk pergi ke talang umo dan kebun lain. Baju untuk sehari-hari lain. Baju untuk ke tengah masyarakat juga lain. Apabila pulang dari luar, sesampai dirumah digantungnya baju yang berkeringat tadi diatas gantungan. Dibiarkannya angin mengeringkan keringat menyepuh bajunya. Pantangan Rajo Gedang menggantung baju basah keringat ke atas gantungan paku didinding. Dinding rumah harus nampak bersih. Dimarahnya anak-anaknya yang berani mengotori dengan coretan di dinding.

Adab sopan santun di majelis makan sangat ditekannya pada anak-anaknya sedari kecil. Duduk bersila yang rapi. Tak boleh duduk mencangkung sambil makan. Sendok dan pinggan tak usah berdenting. Pelan dan tenang. Makan jangan seperti dikejar musuh, nampak terburu-buru tak karuan.

“Ingat nian, kata bapaknya (Buyutku) yang tua dulu yang memulai mengambil pinggan. Baru disusul yang lebih muda sedikit hingga yang muda sekali. Jangan lupa, mulai dengan Basmallah dan doa makan!”. Begitu datukku mengisahkan didikan sopan-santun bapaknya. Sosok yang dipandang terhormat oleh Residen Belanda di Sarolangun.

Jika terjadi masalah yang musykil ditengah masyarakat, dia akan turun tangan dan memecahkannya dengan musyawarah. Memandang masalah dengan penuh pertimbangan dan kecermatan berpikir. Cerdas dalam menguraikan masalah sekaligus mencarikan jalan keluarnya. Ibarat menarik rambut dalam tepung. Rambutnya tertarik keluar, tepungnya tak terburai!

Bukan perkara mudah menanamkan didikan akur-sepakat bersaudara pada anak-anaknya yang lahir bukan dari rahim yang satu. Ketiga istri Pesirah Rajo Gedang bukan berasal dari Gurun Tuo, yang melahirkan belasan permata hatinya yang tumbuh rapat dalam selisih umur setahun-dua.

Antara yang abang, ayuk dan adik menaruh perasaan saling menghormati dan menyayangi. Saudara lelaki datukku yang tertua, Datuk Te Haji Ibrahim Ja’far menjadi tempat mengadu adik-adiknya. Sementara yang muda, seperti Datuk Haji Firdaus dan Datuk Hanafi Ja’far tak segan-segan nampak bermanja dengan abang-ayuknya. Jika mereka sedang berkumpul, datang lah ke rumah saudara perempuannya yang di hilir. Ke rumah Mok Sak dan Mok Nga. Yang di kemudian hari kelak, ketika sudah banyak saudara-saudara tua mereka berpulang ke rahmatullah. Datukku dan saudara-saudarinya yang masih hidup, berkumpul dirumah bapaknya yang dikerat dua ditempati abangnya yang alim pandai mengaji 17 tahun di negeri Mekkah, Datuk Haji Manshur Ja’far dan adik perempuan, Nyai Te Abasiah.

“Rumah tua orangtuanya ini dulu panjang bersambung. Kata datukku, zaman kanak-kanaknya dulu, jika berlari dari bagian laut ke darat, rasanya jauh sekali.” Datukku seperti tertegun dalam, mengingat bayangan masa kanak-kanaknya ketika mengasuh adiknya yang lahir tepat dibawahnya, Umar Ja’far yang wafat diusia kanak-kanak, diserang demam panas berhari-bermalam.

“Di malam hari, datuk menggendong adik datuk yang sakit itu. Badannya terasa panas membara. Dengan tali ambin kain panjang, datuk mengambilnya dari gendongan buyut perempuanmu, buyut Lathifah”. Kutengok kedua mata datukku berkaca-kaca mengkilau.

Zaman itu tidak lah banyak tabib. Walau buyutmu sendiri mantan Pesirah yang tentu masih ada pengaruh kuat dimata penduduk kampung serata sungai Batang Tembesi.

Adik datuk itu tak mau tidur. Demam panas menyerang dahsyat sekali. Lalu pada malam yang kesekian, wafatlah saudara datuk dalam usia kanak-kanak. Sedih nian, wajah buyutmu ketika itu. Aku tak tahan juga mendengar kisah datukku ketika itu. Pandangan datukku jauh menerawang ke masa kecilnya yang telah tertinggal jauh lampau.

Tak jarang aku menyaksikan antara abang-ayuk dan adik duduk akur sepakat bercerita tentang banyak hal. Terkadang mereka terkenang pada masa hidup ‘Pesirah’ ketika jayanya sebagai sosok berpengaruh serantau tepian Sungai Batang Tembesi dari Muaro Ketalo hingga Pauh.

Cerminan adab sopan santun terpantul jelas pada tutur kata Datuk Elok Haji Utsman Ja’far sebagai anak tertua Pesirah dari istri kedua, Buyut Lathifah (Pauh). Lihatlah bagaimana, datuk elok Haji Utsman Ja’far yang ahli ibadah dan wara’ itu memanggil Datuk Muk Haji Manshur Ja’far (adik kandung) dan KH. Nawawi Ahmad (adik sepupunya) dengan memanggil ‘Guru’, lalu menisbatkan kata ‘sayo’ pada dirinya. Kehalusan budi bahasa siapa yang dipantulkan sang jagoan silat yang ahli ibadah dan wara’ ini?

Datukku sendiri adalah sosok yang paling rajin menyambung tali silaturrahim. Sejak kecil, aku seringkali diajaknya mengunjungi abang-ayuk dan sepupunya yang lain. Dari situ lah, aku mengenal tali persaudaraan yang rajin dibinanya. Dan dari situ pula tumbuh minat merekam cerita-cerita pusaka yang akan usang, bila tak rajin dihikayatkan.

Jika datang Abang datukku, Guru Haji Manshur dari Jambi, maka datukku dan saudara-saudarinya yang lain datang menyongsong menanyakan kabar dan kesehatan sang Guru. Walau pun, Haji Manshur Ja’far adalah adik kandung dari Datuk Elok Haji Utsman Ja’far. Tapi, tengok macam mana adabnya memperlakukan orang alim berilmu? Kalau kini, kadang ada kaum saudagar yang baru kemarin sore naik peruntungan, kalangan berpangkat jabatan baru dua hari memegang kekuasaan, dengan tanpa segan berani memanggil nama guru-guru kami yang dalam ilmunya.

Tak ada yang memanggil nama pada yang lebih tua. Seingatku hanya Datuk Ning Bujang yang terkadang memanggil datukku dengan nama depannya, Abu. Datuk Ning Bujang yang namanya Haji Rasyid Ja’far ini adalah sosok pintar diplomasi yang panjang akal. Paman Kasyfun Nadzir adalah salah-satu anak lelakinya. Anak lelakinya ini adalah orang pertama kampungku yang menamatkan kuliahnya di Universitas Al-Azhar, Cairo, Mesir. Jadi buah bibir penduduk kampungku semasa aku kanak-kanak dulu. Teladan penuntut ilmu yang khidmah pada kedua orangtuanya. Jika beliau pulang dari Mesir, sekurung-sekampung menyambutnya penuh rindu.

Lantaran didikan akur-sepakat bersaudara yang diwarisi dari buyutku Haji Ja’far Shoefie bersaudara yang juga dikekalkan mereka dalam kehidupan rukun damai adik-beradik. Sehingga tak ada anak-anaknya yang didengar bertingkah macam-macam. Apalagi sampai rebutan warisan. Lantaran jiwa akur-sepakat ditopang juga dengan silaturrahim musyawarah mengekalkan persaudaraan antar mereka bersaudara banyak yang lahir dari tiga rahim perempuan yang juga pandai menjaga sopan-santun dihadapan suaminya yang berjiwa besar. Pesirah yang menerbitkan rasa hormat di mata Residen Belanda yang berkedudukan di Sarolangun.

Didikan awal adalah dimula dari rumah-tangga. Apalagi adab sopan-santun diajarkan sedari kanak-kanak, tentu akan melekat hingga tua kelak. Hal yang paling sederhana yang nampak sepele, adalah tentang panggilan/sapaan perbasaan (perbasoan) Abang, ayuk, mok, adakah zaman sekarang, masih ada orang-orang yang menjaga rapat-rapat kehalusan budi bahasa itu?

Amat merugi lah, jika kini pada kalangan zuriat buyutku tak mau mengambil teladan mulia, akur-sepakat bersaudara, gemar silaturahim dan musyawarah dari sang Pesirah yang bergelar Rajo Gedang yang berkuasa dari Muaro Ketalo hingga Pauh yang apabila mudik-hilir di sungai batang Tembesi dikayuh Biduk Kajang Lako.

Betul lah apa kata pepatah Melayu dulu:”Budi bahasa menunjukkan bangsa?

Rabea Adawea, Cairo, 25 Desember 2009

(Bersambung)

Wednesday, December 23, 2009

Sajak 14: Awak Nak Hirup Wangi Tangan Emak

Calon Penghuni Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 14: Awak Nak Hirup Wangi Tangan Emak

Ahmad David Kholilurrahman

-Kepada Syukran Habibie

Awak hiruplah wangi tangan emak,
Meruap doa
Meraup cinta
Yang melimpah sepanjang siang
Yang melapah setunjang petang

Jika biduk menepi,
Diterban arus hilir muara menampi mimpi
Rambut bergalang bantal
Setaut bertimbang akal
Seluput berpasang kekal

Dan tidur malam adalah segantang bintang
Yang berenang terang bulan sepasang

Awak hiruplah wangi tangan emak,
Meruap doa
Meraup cinta
Yang melimpah sepanjang siang
Yang melapah setunjang petang

Jika induk meragi
Ditelan haus airmata menjanji pipi
Hanyut bertualang sesal
Selaut bertumpang kapal
Seturut berhutang amal

Dan tidur malam adalah seladang hilang
Yang berbilang pulang hujan seloyang

Cairo, 24 Desember 2009

Tuesday, December 22, 2009

Sajak 13: Awak Rindu Pulang ke Telapak Kaki Ibu

Calon Penghuni Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 13: Awak Rindu Pulang ke Telapak Kaki Ibu

Ahmad David Kholilurrahman

Setualang-tualang anak bujang,
Melekang hilang
Meriang siang,
Membayang petang
Mendulang kenang, misalkan;

“Membilang bintang paling terang
Meminang tunang paling jenjang!”


Di risau rantau,
Awak rindu pulang
Ke telapak kaki ibu

Setitian hari,
Sekecipak bulan
Setepian tahun
Meneguk-neguk sesenguk
Memeluk-meluk seuluk
Matarindu ibu
Paling
rindu

Pulang
Ke telapak kaki
Paling
Ibu

Pulang
Ke telapak kaki
Paling
Ibu

Pulang
Ke telapak kaki
Paling
Ibu

Rabea Adawea, Cairo, 22 Desember 2009

Sunday, December 20, 2009

Sajak 12: Awak Menyeduh Kalbu, Seteduh Basuh Wudhu

Calon Penghuni Kumpulan Buku Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 12: Awak Menyeduh Kalbu, Seteduh Basuh Wudhu

Ahmad David Kholilurrahman

Seteduh wudhu,
Awak menyeduh kalbu
Yang damaikan rindu
Gemuruh
Waktu
ke pembuluh
memburu
menyilu
memilu

ke mana debur cemburu?
menderu
Sampai luruh salju
Beku

Ke mana cebur celaru?
Menyiku
Sampai peluh waktu
lesu

ke mana tegur malu?
Menyuruh
Sampai basuh semu
Kelu

Seteduh wudhu,
Awak menyeduh kalbu
Yang damaikan rindu
Gemuruh
Waktu
ke pembuluh
memburu
menyilu
memilu

Cairo, 20 Desember 2009

Sajak 11: Awak Betul-betulkan Niat, Sebelum Susun Harakat

Calon Penghuni Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 11: Awak Betul-betulkan Niat, Sebelum Susun Harakat

Ahmad David Kholilurrahman

Awak betul-betul kan Niat,
Sebelum susun harakat,
Pada hati terikat,
Yang tak terjurai
Yang tak terjuntai
Yang tak termalai
Takut-takut nian,
Kalau salah lancung ke ujian

Awak betul-betulkan Niat,
Sebelum rengkuh raka’at,
Pada janji syahadat
Yang tak termuslihat
Yang tak tersiasat
Yang tak tersesat
Takut-takut nian,
Kalau pecah untung ke timbangan

Awak betul-betulkan Niat,
Sebelum simpuh sholat
Pada puji khalwat
Yang tak terperi
Yang tak tercari
Yang tak terberi
Takut-takut nian,
Kalau pisah murung ke titian

Cairo, 20 Desember 2009

Saturday, December 19, 2009

Sajak 10: Awak Nak Terang Hati, Seterang Kota Nabi

Calon Penghuni Buku Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 10: Awak Nak Terang Hati, Seterang Kota Nabi

Ahmad David Kholilurrahman

Awak nak terang hati,
Seterang Kota Nabi

Yang likat di serambi
Yang sirat meragi,
Yang surat mengaji

Sediam mendekam unta Nabi
Di tanah si yatim; Sahal dan Suhail
Tegakkan tapak Masjid Nabawi,
Rasulullah memilih rumah Abu Ayyub al-Anshari

Tak pedan-pedan,
Awak menziarahi, bak sebutir zarah
Bermuhibah dalam titian lembar sirah

Awak nak terang hati,
Seterang Kota Nabi

Yang likat di serambi
Yang sirat meragi,
Yang surat mengaji

Sedamai Anshar, setunai Muhajirin
Yang terbuhul tali sehidup semati
Tunakkan jiwa dibawah tudung tauhid
Tanakkan cinta di madrasah lempung Masjid

Tak pedan-pedan,
Awak menziarahi, bak sebutir zarah
Bermuhibah dalam titian lembar sirah

Cairo, 19 Desember 2009

Thursday, December 17, 2009

Sajak 9: Izinkan Awak Hijrah, ke Al-Madinah Al-Munawwarah

Calon Penghuni Buku Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 9: Izinkan Awak Hijrah, ke Al-Madinah Al-Munawwarah

Ahmad David Kholilurrahman


Setiba tahun hijrah
Yang menurun gunung airmata
Yang mengalun senandung cinta
Serundung iba tanah tumpah darah
Setabah rebah rumah batubata

Di kelopak malam Mekkah,
Senyapkan lembah Bakkah

Yang ngalau ramai pasar Jahiliyah,
Karam syirik, hasad munafik

Yang ngilau damai samar Yatsrib,
Menyulam salam, menilam demam

Semekar senyum Madinah Al-Munawwarah
Menyambut Rasulullah dan Ash-Shiddiq

Padang pasir, bukit-bukau, gua Tsur,
awan-gemawan, punuk onta,
langit biru, pucuk kurma
berebut-rebut mengulur semanis airmuka;

"Ya Marhabah, Ya Khatam-il Mursalin"

Bayangkan, perigi paling sejuk
Dari rimbun oase paling induk
Merunduk-runduk, khusyuk

Menuang sedawat kalam wahyu
Pada pelepah kurma, lempengan batu,
tulang binatang, kulit dan daun kayu

Menyalin hapalan ke laman lautan ilmu
Menyakin zaman ke taman sahutan perindu


Cairo, 17 Desember 2009

Wednesday, December 16, 2009

Sajak 8: Awak Sakit, Membilang-bilang Nama-Mu

Calon Penghuni Buku Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 8: Awak Sakit, Membilang-bilang Nama-Mu

Ahmad David Kholilurrahman


Pada ujung lidah sepahit rasa,
Awak membilang-bilang Asma-ul Husna
Yang lebih sembilan puluh sembilan

Secangkir perasaan perasan limau panas,
Menetal lidah yang resah cemas,

Aduhai nikmat sehat sebalik sakit,
Menuang bergayung-gayung hikmah
Pada awak yang papa kedana,

Aduhai nikmat muda sebalik tua,
Meluang bertempurung-tempurung hikmah
Pada awak yang fakir miskin

Aduhai nikmat sempat sebalik sempit,
Menghutang bersulung-sulung hikmah
Pada awak yang kecil kerdil

Serungsing-rungsing kandil akal
Tak menelantar pelantar budi

Sepusing-pusing fi’il menetal
Tak mengusal penghantar hati

Pada ujung lidah sepahit rasa,
Awak membilang-bilang Asma-ul Husna
Yang lebih sembilan puluh sembilan

Cairo, 17 Desember 2009

Tuesday, December 15, 2009

Sajak 7: Awak Sujud, di Jihat-Mu

Calon Penghuni Buku Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 7: Awak Sujud, di Jihat-Mu

Ahmad David Kholilurrahman

Kaki, tangan, muka dan badan awak berselempuluh debu
Dikaram lalai waktu, berdebur cemburu, bertegur malu

Seperti teragak musafir rindu
Menempuh mufassar kitab baru

Dimana letak dhommah, fathah dan kasrah?
Di surah ke berapa, menyungkur dahi sujud As-Sajdah?

Awak melamur kelemumur ke timur, tulat-langkat larat ke barat

Dimana jihat-Mu?
Bukan di timur dan barat

Bukankah, segala arah milik-Mu jua?

Cairo, 14 Desember 2009

Sunday, December 13, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (23)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (23)

Ahmad David Kholilurrahman

Mantan Pendekar yang Ahli Ibadah


Diantara jema’ah masjid tua yang berusia tiga perempat Abad itu, paling rajin ibadah itu adalah Datuk Elok. Namanya Haji Utsman Ja’far, yaitu saudara tertua datukku satu emak. Dia anak tertua dari perkawinan Haji Ja’far Shoefie dengan Lathifah binti Muhammad Rasyid, buyut perempuanku dari garis sebelah emak ini berasal dari Pauh. Sebelum menikah dengan Buyut Lathifah, buyutku yang pernah memangku jabatan Pesirah ini menikah dengan perempuan dari Sarolangun dan beroleh beberapa orang anak. Dan terakhir buyutku ini menikah lagi dengan perempuan dari Banten.

Di masa mudanya, Datuk Elok Haji Utsman Ja’far dikenal jago silat kampung. Salah-satu jenis dari warisan khasanah kebudayaan tradisional Melayu Jambi. Sosoknya wara’ dan taat ibadah. Sejak mudanya, Datuk Elok ini dikenal rajin menjalankan ibadah sunnah, seperti sholat Dhuha, puasa Senin-Kamis dan ibadah-ibadah lainnya. Menjauhi makan makanan yang Makruhaat, dibenci, berbau menyengat keras, sejenis petai, jering, kabau, bawang putih dan lain sebagainya. Tapi, beliau adalah penggemar berat sambal tumbuk asam segala asam. Dari Asam belimbing, tomat, mangga, kemang, macang, hingga asam rambai. Rasanya, kurang afdhal, kalau beliau makan tanpa disertai sambal tumbuk. Makannya lahap dan nikmat. Badannya sehat tegap. Tidak suka merokok. Itu pantangannya sejak muda!

Bahkan jauh sebelum menikah dalam usia 18 tahun dengan Nyai Hasnah binti Haji Ahmad Shoefie, saudari tertua dari datukku KH. Nawawi Ahmad. Istri Datuk Elok, Hasnah ini lebih dikenal panggilannya dengan Nyai Nut. Datuk Elok sudah tekun-tunak menjalankan ibadah-ibadah sunnah. Jangan ditanya perkara ibadah Mahdhah yang wajib, itu memang perkara yang selalu menjadi hati pikirannya sehari-hari. Ketunakan menjalani hidup beribadah ini dinikmatinya sampai akhir hayatnya. Dalam kondisi susah dan senang. Sukacita dan dukacita. Cerah dan hujan. Kering dan banjir sekali pun!

Menurut riwayat yang dituturkan datukku, bahwa "Abang Lok" nya ini adalah orang pertama yang berani menebang kayu aro besar dibelakang rumah yang ditempatinya. Kayu Aro itu begitu tinggi. Tempat bersarang segala macam makhluk; Buas dan jinak. Halus dan kasar. Dari binatang-binatang buas yang besar ganas sampai yang kecil jinak. Segala macam jenis burung-burung rajin singgah, panggung atraksi tupai. Arena bergelantungan kera, monyet, simpai, beruk. Sarang lebah, penyengat, tabuan. Tempat bertengger burung ganas semacam Elang, Celekai, Lang Kelok, hingga rumah berteduh Musang dan Harimau Dahan. Tak jarang harimau pun suka berteduh dibawahnya.

Bahkan, di zaman itu, kayu aro itu dianggap sarang setan dan hantu oleh penduduk kampungku. Kayu Aro termasuk jenis rumpun tanaman rambat atau sejenis benalu yang menumpang hidup dengan pohon-pohon besar. Lalu, rupa dan bentuknya yang menyelimuti pepohonan itu memakan humus tanah yang diserap oleh pepohonan besar itu. Lama-kelamaan, Kayu Aro mengalahkan dan mematikan pepohonan tempatnya bertumpang gayut semula.

Pohon Kayu Aro menjulang tinggi besar. Jika dimalam hari, terdengar bunyi-bunyi aneh yang menyeramkan dan merindingkan bulu roma bagi siapa pun yang kebetulan melewati jalan babat-jalan paling belakang di kampungku. Zaman orangtuaku masih kanak-kanak, Kayu Aro itulah kawasan yang paling takut mereka lalui. Pada malam kelam tiga puluh,-begitu orang-orang Melayu kampungku menyebut malam mati bulan itu. Suasana menakutkan menegakkan telinga-kuping jika terpaksa melalui jalan babat itu semakin menjadi-jadi. Suara-suara binatang hutan, dan bunyi-bunyi aneh bersahut-sahutan.

Melihat hal demikian yang berlaku bertahun-tahun di kampungku. Datuk Elok Haji Utsman Ja’far, yang dimasa mudanya jago silat dan sosok paling berani yang pernah kami dengar ceritanya, mengambil keputusan, bahwa Kayu Aro raksasa tegak menjulang tinggi, ukurannya tiga kali lebih tinggi dari bumbungan rumahnya mesti ditebang. Dan, selama ini tak seorang pun tukang kayu yang berani menebangnya. Setelah berjam-jam mengasah kapak beliungnya tajam-tajam, beliau turun rumah mengenakan celana slebor hitam, berbaju kaos putih dan lilitan syal putih dikepala.

Pertama kali yang dilakukannya, sebelum menebang Kayu Aro raksasa yang sudah dipandang angker oleh penduduk kampungku itu, adalah mengumandangkan azan seraya berkeliling pohon Kayu Aro besar itu. Azan yang dilaungkannya terdengar ke segala penjuru kampung. Maka, berduyun-duyun penduduk kampungku datang tegak menonton. Selepas laungan azan yang terdengar hingga jauh itu, beliau mengucapkan Bismillah, lalu mengayunkan kapak beliungnya;”Crass, crass, paakkk, paakkk, pakkkk!”.

Dalam tempoh waktu satu jam lebih, kapak beliungnya sudah mengeliling lingkaran kayu itu. Dan apabila kayu sudah kelihatan condong, namun belum rubuh, maka perkara terakhir menebang kayu tinggal menekuk. Biasanya menekuk ini, dengan arah mengapak dari bagian belakang mata tajam kapak beliung. Dan kayu itu akan rubuh mengikuti arah yang telah diduga sebelumnya.

“Crummmm, Buuuummmmmmm, Baaammmmmmmm!” Suara keras pohon raksasa Kayu Aro rubuh berdebam ke tanah terdengar hingga ke seberang sungai Batang Tembesi.

Sejak itu, hilanglah segala kesan aura dan nuasa menakutkan dari kawasan belakang rumah Datuk Elok Haji Utsman Ja’far. Anak-anak kecil pun dah berani, jika bermain hingga ke arah jalan babat yang dulu masih berupa jalan setapak penuh tumbuh semak-semak.

Apa yang ditakutkan terjadi peristiwa. Misalnya, Jin dan Setan mengamuk, lantaran sarang dan rumahnya bergelantung ditebang tak terjadi apa-apa. Dan, sosok yang gagah berani itulah Datuk Elok Haji Utsman Ja’far. Seorang lelaki ahli ibadah dan wara’ yang gemar melaksanakan ibadah sunnah secara dawwam (berketerusan, bersinambungan) seumur hidupnya.

Sikap akidah Tauhid yang diyakini oleh Datuk Elok, bahwa kekuasan dan kekuatan yang mutlak hanya milik Allah. Kalau kita sudah menyerahkan diri dalam segala urusan duniawi dan ukhrawi pada Allah, lalu kenapa mesti takut kepada selain-Nya! Termasuk, dalam perkara keberanian mengambil keputusan menebang kayu Aro raksasa yang dianggap angker dan menyeramkan oleh penduduk kampungku.

Beliau juga guru mengaji Al-Qur’an bagi anak-anak usia sekolah dasar di kampungku. Ketika aku masih kecil, rumah beliau yang berjiran dengan rumah datukku ini, juga didatangi anak-anak mengaji pagi sehabis subuh menjelang berangkat ke sekolah dasar di seberang kampungku. Aku sering berpapasan dengan anak-anak murid mengajinya, yang ketika itu sudah dididik oleh anak menantunya. Wak Hasan Utsman dan Mang Cik Raden Thayyib.

Dari riwayat cerita yang kudengar semasa kanak-kanak dulu. Lantaran beliau adalah seorang jago silat kampung. Suatu waktu, beliau pernah melumpuhkan pencuri yang nekad menaiki rumahnya. Pencuri itu dibuatnya jatuh tak berkutik, seraya mencium kakinya, meraungkan minta ampun;

”Ampun, Wak, ampun, Wak! Ampun nian! Iyo selamat!!!”

Lalu beliau dengan bijak, singkat berpesan;”Kau pulang lah, jangan sekali-sekali coba berani mengulangi lagi!”

Sikap berani itu masih terpancar hingga masa tuanya. Dulu, rombongan paman-pameman kami (tak usah lah aku sebutkan siapa nama mereka?). Pernah hendak mencoba menakut-nakuti lelaki yang paling rajin pergi awal kali ke Masjid tua di waktu subuh hari.

Suatu malam, rombongan paman-pameman kami sehabis bergadang semalam suntuk. Mencobai nak menerai, keberanian lelaki ahli ibadah ini dengan atap rumbai yang tengah dijemur sehabis dianyam, namun belum dipasangkan ke rumah. Mereka berdua menyarungkan atap rumbai ke badan mereka. Ketika lelaki taat ibadah itu, yang sebenarnya Wak mereka sendiri, lewat ke arah laut, hendak sholat subuh. Mereka takuti dengan sebentuk ‘hantu-hantuan’ dua atap rumbai berjalan ditengah kegelapan pekat malam.

“Tapi, apa yang terjadi, kawan?”

Bukannya kecut nyali. Datuk Elok Haji Utsman Ja’far ini terus berjalan bertopang tongkat, sambil menegur santai;

“Ai, bujang. Sudah lah, pekerjaan siapa ini? Yang nak membikin aku takut pulak?”

Mendengar suara pelan bijak dari lelaki mantan jagoan silat Melayu kampung itu. Dua atap rumbai yang berjalan itu berhenti seketika. Sejurus lalu lelaki yang mereka panggil Wak itu, kedua atap rumbai hantu-hantuan itu lari terbirit-birit malu minta ampun. Rencana nakal mereka hendak menakut-nakuti orang tua itu, malah seakan kena batunya telak! Hahahahhaha

Sikap mental berani adu nyali mengalir hingga anak-cucunya. Seorang cucunya yang paling kecil, yaitu anggota Bujang Bangku Masjid nomor 12 adalah sosok yang mewarisi keberanian datuknya. Aku ingat, sepupuku ini dimasa kecilnya, adalah orang yang paling berani pulang malam sehabis tanpa lampu penerangan. Padahal ketika itu umurnya kurang dari lima tahun. Terkadang dia menyeberangi sungai berkayuh perahu seorang diri ke tepin tebing jambannya di napal berarus deras itu. Dari tepian tebing napal tinggi itu, dia naik berjalan menuju rumahnya, melewati kuburan tua, melalui jalan setapak penuh ilalang.

Suatu malam aku dan adikku ditemani bapak hendak buang air ke rakit-jamban di sungai. Tiba-tiba terdengar langkah kaki anak kecil berlari deras, sekencang anak kijang di hutan belukar.

“Nak kemana Pak Cik, sapanya pada bapakku?”

“Kau, Dedi! Tanya bapakku.

“Iya, Pak Cik.” Jawabnya tenang.

Ditangannya tergenggam bungkusan kertas koran berisi ikan teri dan cabai merah. Rupanya sepupuku yang dikenal berani ini, baru saja kembali dari disuruh ibunya.

“Pak Cik nak temani abang kau ini, yang takut sendirian ke rakit-jamban di malam hari!”. Padahal ketika itu umurku baru enam tahun.

Jadi, tak usah heran. Jika sepupuku yang kelak, biasa kami panggil Bujang DK (alias Dewasa Kelamin). Lantaran tanda-tanda akil balighnya lekas melampaui umurnya yang paling muda diantara kedua belas Bujang Bangku Masjid.

Abang tertua dari adik sepupuku ini juga dikenal berani adu nyali. Pergaulan abangnya yang dipanggil Kak Ning ini dikenal luas sepanjang rantau mudik hingga hilir. Dari orang-orang tua kampung, orang-orang pasar, para pendatang dari mana-mana, hingga preman kenal dengan abang sepupuku ini.

Suatu ketika kakak perempuan sepupuku menangis sepulang sekolah dasar. Rupanya, dimarah dan hendak ditampar oleh bapak kawan sekelasnya. Kakak sepupuku ini dituduh oleh anaknya menyakiti anak perempuan kesayangan lelaki itu.

Mendengar kabar yang menjatuhkan marwah harga diri keluarganya. Lalu, abang sepupuku yang berani dan pantang mundur gertak ini mendatangi rumah lelaki yang berani-beraninya hendak menampar ayuk sepupuku itu. Pantang baginya, jika ada yang berani mengganggu harga diri keluarganya.

Lelaki yang menampar adik perempuan sepupunya itu didatanginya. Lalu, lelaki itu ditantangnya apa maunya? Dengan suara sengau, abang tertua dari adik sepupuku ini mengacung-ngacungkan kepalan tinjunya.

Lelaki itu mengaku salah dan minta maaf pada abang tertua sepupuku ini.

Sebenarnya, abang sepupuku yang kusapa Kak Ning Syafiq ini, bukan lah sosok yang suka ribut berkelahi. Namun, baginya ketika masih bujang itu, pantang baginya mendengar ada adik-adiknya, adik-adik sepupunya yang diganggu orang.

Pernah suatu ketika, ketika Wakku, kakak tertua bapakku tengah duduk dipinggir pagar rumah dinas yang ditempatinya dekat SD di seberang kampungku. Lalu, dari kejauhan nampak debu berterbangan di jalan raya yang masih berupa tanah bertabur batu kerikil belum lagi diaspal oleh pemerintah.

Padahal tak satu pun nampak kenderaan lewat. Tapi terbangan debu menyelimuti dari jalan depan masjid Al-Ikhlas Satu (sebelum pindah ke Masjid Al-Ikhlas Dua) yang kini sudah roboh dan berdiri toko kelontongan.

“Ada apa Fiq?” Tanya Wakku melihat anak-kemenakannya ini berlari dengan napas terengah-rengah, setelah berhenti sejenak lantaran ditanyai oleh pamannya. Abang tertua dari adik sepupuku ini menerangkan maksudnya kepada pamannya.

“Si Haji Fulan ini kurang ajar betul, Om! Seenak perut saja, mentang-mentang dia berduit, hendak melecehkan harga diri kami!” Katanya sambil mengambil ancang-ancang hendak memburu lelaki yang sebaya bapaknya.

Tutul-tokeng terusssssssss, kejar terus!** Kata Wakku menyemangati!

Mendengar suara Wakku yang seolah nampak mendukungnya. Lalu, abang tertua sepupuku ini meneruskan pengejaran memburu lelaki tua sebaya bapaknya itu. Sampai di rumahnya, lelaki itu mengunci rumah rapat-rapat. Di depan rumah lelaki yang dianggapnya kurang ajar itu, ditantangnya sejadi-jadinya.

Datuk Haji Utsman Ja’far memiliki dua orang anak, yaitu Wak Hasan Utsman dan Wak Fauziah Ustman. Namun, beliau memperoleh sepuluh orang cucu lelaki dan perempuan dari anak lelaki tertuanya, yang kami panggil Wak Hasan Utsman. Wak Hasan ini adalah guru kami juga di Madrasah kelak, setelah Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah aktif kembali, setelah dua tahun sempat vacum, selepas wafatnya Guru kami; Wak Gus Damiri bin Abdul Majid.

Guru kami, Wak Hasan Utsman ini tamatan dari Madrasah Nurul Iman di Jambi Seberang. Beliau dikenal guru mengaji kitab dan mudir Madrasah Ats-Tsaqafah al-Islamiyah yang didirikan datukku KH. Nawawi Ahmad. Madrasah bergedung modern, lantaran memiliki ruang-ruang kelas yang memadai dan dibangun secara permanen.

Kalau Guru kami, Buya Abdullah Shoefie Manshur mengajar pengajian di Masjid setiap kamis petang jum’at. Maka, Wak Hasan Utsman ini mengajari khusus pengajian kaum ibu-ibu di pagi jum’at, di Madrasah al-Fatayat dekat rumahku. Biasanya, jam sembilan pagi kaum ibu-ibu sudah berdatangan memenuhi ruang madrasah berbentuk kelas besar memanjang tanpa sekat.

Dari gedung Madrasah al-Fatayat bercahaya suram itu, aku masih mendengar suara fasihnya membaca kitab-kitab kuning tanpa harakat, lalu menerangkan arti dan maksud muatan hukum-hukum Islam yang terkandung dalamnya. Materi pengajian kaum ibu-ibu ini, dipilihnya yang bertalian langsung dengan pembahasan dan permasalahan hukum-hukum dalam Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (Fiqh Perempuan Muslim).

Ruang pengajian kaum perempuan setiap pagi jum’at itu kini telah lama kosong. Seakan mengabarkan kepada zaman, merindukan sosok Ustadz muda, tawadhu berilmu ikhlas mau dan mampu mengisi ruang yang telah lama lengang itu?

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 13 Desember 2009

Sajak 6: Awak Rukuk, di Kiblat-Mu

Calon Penghuni Buku Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 6: Awak Rukuk, di Kiblat-Mu

Ahmad David Kholilurrahman

Seresuk takluk,
Awak menekuk rukuk
Hingga patah ripuk
Setengkuk
Khusyuk

Asyik-masyuk
Memeluk suluk
Sedahi buruk menyuruk
Seceruk
Teluk

Memasat lekat ke Kiblat
Selesat kilat
Mengebat mulakat
Menjerat yang tersurat
Menyirat yang tersirat

Seresuk takluk,
Awak menekuk rukuk
Hingga patah ripuk
Setengkuk
Khusyuk

Cairo, 11 Desember 2009

Sajak 5: Awak Membutir Zikir, Pada Siang Malam-Mu

Calon Penghuni Buku Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 5: Awak Membutir Zikir, Pada Siang Malam-Mu

Ahmad David Kholilurrahman

Jadikan diri awak butir tasbih yang ke tiga puluh tiga
Sehari semalam membulir airmata,
Mengalir sepasang tangkai doa
Tumbuh jadi embun,
Serimbun awan
Runtun hujan
Melantun
Lantun
Nun

Sebenarnya karam diri awak,
Menyelam genangan dosa
Terbenas sedak,
Ingatkan haus mendaras cinta tunak,
Yang nampak di siang malam,

Sepanjang jalan berpulang
Menjelang tedas membilang bibir zikir
Pada Cahaya Maha Cahaya

Kau pemilik Asma-ul Husna
Yang lebih dari sembilan puluh sembilan

Kering lautan samudera,
Pokok-pokok kayu adalah kalam pena
Untuk sebutkan sejumput nikmat

Yang awak sebut hikmat,
Dari desir bibir, membutir zikir

Pun, tak bakal kering menguap
Walau setua malam suluh malap
Meranap cemburu nyelinap

Dari desir bibir, membutir zikir

Cairo, 10 Desember 2009

Wednesday, December 9, 2009

Sajak 4: Awak Musafir Fakir, di Jalan-Mu

Calon Penghuni Buku Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 4: Awak Musafir Fakir, di Jalan-Mu

Ahmad David Kholilurrahman

Sepanjang tualang safar mencari ilmu,
Awak musafir fakir di jalan-Mu

Sekencang lapar memburu rindu,
Yang katanya di puncak-puncak menara debu

Sepetang haus dahaga membiru sendu
Yang katanya di plasa-plasa memeja bangku

Meneguk riwayat yang tak lelah berwasiat
Menyuruk hayat yang tak belah bersiasat
Menebuk hikayat yang tak betah berdebat

Awak kah ini yang pemurung sulung?
Dari satu mulakat dawat, ke harakat nasab

Awak kah ini yang pemenung ulung?
Dari satu belikat surat, ke talikat kitab

Cairo, 9 Desember 2009

Sajak 3: Awak Sawang, di Langit-Mu

Calon Penghuni Buku Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 3: Awak Sawang, di Langit-Mu

Ahmad David Kholilurrahman

Awak sawang, di Langit-Mu

Luang waktu dan ruang rindu bersatu
Mengalir pembuluh, menyisir penyuruh
Dari jauh mendekat, dari suruh menyurat

Awak sawang, di Langit-Mu

Tumpang perahu dan lekang pengayuh berdalu
Menyisir pelabuh, merungsing pembatu
Dari sauh melarat, dari suluh memekat

Awak sawang, di Langit-Mu

Kenang luruh dan lengang pengasuh berlalu
Menghilir pembubuh, mengasing penemu
Dari lumpuh rakaat, dari tunuh taubat

Awak sawang, di Langit-Mu

Pasang cemburu dan tualang pemalu berwudhu
Mendesir kalbu, mengalir rindu
Dari rusuh mulakat, dari kumuh shalat

Cairo, 8 Desember 2009

Tuesday, December 8, 2009

Sajak 2: Awak Daki Kemalau, di Bumi-Mu

Calon penghuni Buku Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 2: Awak Daki Kemalau, di Bumi-Mu

Ahmad David Kholilurrahman

Awak daki kemalau, di Bumi-Mu

Asal manusia adalah lempung tanah,
Yang menampung hujan cinta-Mu

Setelah berlayar mengarung tujuh laut landai
Sedenyut hanyut lalai badai yang kusut-masai
Lalu, tersadai di pulau dunia, asyik-masyuk melambai
Segumam galau seperti tersedak garam ikan salai

Bahtera Nuh mencacak layar, luan kemudi menyarung haluan
Menyelam mutiara, menyulam airmata, menyalam cinta

Awak daki kemalau, di Bumi-Mu

Asal airmata adalah lesung pecah
Yang menggelung sedu-sedan rindu-Mu

Setelah bersukar mengusung peluh kalut mengerapai
Sesurut kabut terkulai derai yang maut memindai
Lalu, tersampai di pukau dunia, risik-rasuk mencerai
Sedemam surau seperti tersentak pejam akan lebai

Bahtera Nuh mencacak layar, luan kemudi menyarung haluan
Menyiram mutiara, menyulam airmata, menyalam cinta

Awak daki kemalau, di Bumi-Mu

Cairo, 8 Desemberr 2009

Sajak 1: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Calon penghuni Buku Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 1: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Ahmad David Kholilurrahman

Allah,

Awak thawaf, di Baitullah,
Rumah-Mu yang sederhana,

Semua papa-kedana, hamba-sahaya,
Di rangkulan kasih-sayang-Mu

Allah,

Awak thawaf, di Baitullah
Rumah-Mu yang indah

Semua fakir-miskin, yatim-piatu
Di hamparan hidangan cinta-Mu

Allah,

Awak thawaf, di Baitullah
Rumah-Mu yang utama

Semua kecil-kerdil, lemah-lemas
Di lautan samudera ampunan-Mu

Allah, Allah, Allah

Kecik-kecik nian, diri hamba
Kerdil-kerdil nian, jago hamba
Lemah-lemah nian, kuaso hamba
Takut-takut nian, bagak hamba


Allah, Allah, Allah,
Allah, Allah,
Allah

Cairo, 7 Desember 2009

Monday, December 7, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (22)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (22)

Ahmad David Kholilurrahman


Bak Dengungan Ribuan Lebah


Jika ditarik garis lurus dari hulu ke hilir antara dua kampung yang dipisah sungai Batang Tembesi itu. Maka rumah Datuk Cik Syarif, saudara nyaiku sebelah emak, adalah tapal permulaan kampung Gurun Simpang hingga berakhir di tepian Wak Karim yang kini dibangun jembatan gantung baru. Jembatan gantung terbuat dari besi yang warna catnya mengingatkan aku pada jembatan The Golden Bridge di San Fransisco yang kulihat di televisi.

Jadi, sepanjang tepian kampung Gurun Simpang hanya ada beberapa rumah panggung saja. Antara lain, rumah datuk Haji Hamdan berdepan dengan tepian rakit jambannya yang besar, tempat perahu-perahu orang kampungku berlabuh. Jauh sebelum kedua kampung terhubung oleh jembatan gantung. Ketika itu, setiap rumah memiliki perahu-perahu yang ditambatkan di rakit jamban. Moda transportasi sungai sangat vital memegang peranan luar biasa. Ibaratnya, siapa yang tak punya perahu, berarti tak memiliki kenderaan ‘sepeda motor air’.

Dan anak-anak sekecilku wajib belajar berenang dan mengemudi berkayuh perahu. Di kampungku, jika perahu ditumpang lelaki dan perempuan. Maka, lelaki itulah yang harus berkayuh. Jadi, malu lah kalau seorang anak lelaki menumpang perahu, sedangkan yang mengemudi kayuh perahu perempuan. Serasa semua mata orang kampung dari hulu ke hilir menatap lelaki yang sepanjang penyeberangan dikayuh kaum perempuan. Aib. Malu lah, kawan! Perasaan tak enak sama seperti berenang berhanyut dari hulu ke hilir, naik ke tepian berjalan kembali ke hulu tanpa baju.

Karena pelajaran akhlak sopan-santun adalah mendasar bagi kami. Jauh sebelum kami mengenal baca-tulis. Sopan-santun adalah didikan rumah tangga. Jika orangtua pandai mendidik anaknya, maka anak itu akan tumbuh berkembang jadi anak baik perangai, berakal dan berbudi halus. Hormat pada yang tua. Sayang pada yang muda. Tahu perbasaan-panggilan sanak kerabat sekampung; Mana yang dipanggil paman, bibi, wak, datuk, buyut. Dari ketepatan cara panggilan perbasaan, dapat diukur apakah kedua orangtua mereka dirumah mengajari atau tidak? Anak yang baik itulah dinamakan ‘makan ajaran’ orangtua.

Jangan coba-coba salah panggil. Yang dipanggil boleh menegur langsung. Atau dia pura-pura tak mendengar. Perlakuaan diacuhkan itulah yang tak mengenakan. Bagi yang lekas paham, sadarlah dirinya telah salah panggil perbasaan.

Seketika terlontar ucapan:”Kurang ajar, aku ini masih terhitung sepupu jauh datukmu, kau panggil pulak dengan Wak!”. Ucapan yang mengatakan ‘aku’ terloncat macam sambaran petir ditengah siang bolong

Dengan orangtua dan sanak keluarga, setidak-tidaknya pada yang lebih tua, kami tak pernah mengatakan ‘Aku’ tapi ‘Saya’. Walau makna keduanya sama saja. Tapi, panggilan diri dengan saya. Bagi kami orang Melayu Gurun Tuo, panggilan saya lebih ‘halus’ daripada aku. Kami tak pernah memanggil yang lebih tua dari kami dengan panggilan kau atau kawan. Bagi yang lembut perasaannya, seringkali ditambah; iya, saya!

Dan Guru Kami Wak Gus Damiri adalah penjaga gawang moral di kampungku. Jika tak pandai panggilan perbasaan, mesti siap-siap menerima jeweran kuping. Atau sebatan rotan peledas yang hangatnya minta ampun. Ketika itu, kalangan orangtua wali murid tak satu pun yang komplain, jika anaknya dihukum guru. Karena, hukuman guru adalah wajah lain dari pendidikan akhlak budi pekerti. Itu bagian dari ‘reward and punishmen’ yang sangat jitu dikemudian hari kelak.

Sejak kecil emakku sudah menggadang-gadang aku untuk diserahkan mengaji dengan Guru kami Wak Gus Damiri. Ketika itu beliau sudah berpindah ke seberang kampung, membangun rumah panggung bertiang berdinding kayu bersebelahan dengan rumah Datuk Haji Hamdan. Rumah pengajian disamping rumah mertuanya dikampungku itu tutup, sejak beliau pindah ke rumah barunya di seberang kampung.

Namun, lantaran aku masih kecil baru kelas satu SD. Sedangkan aku belum pandai berkayuh perahu, walau sudah berenang di sungai macam itik ke hulu-hilir. Emakku agak khawatir melepasku sekecil itu. Rencananya tahun depan, jika aku sudah duduk di kelas dua atau tiga SD, aku akan diserahkan seperti abang-abang sepupuku yang telah mengaji ke rumah guru kami Wak Gus Damiri.

Setiap petang, aku hanya dapat menelan ludah melihat abang-abang sepupuku menyeberang mengaji dengan sang pendidik sejati itu. Jika sudah petang melamur dilangit barat hulu kampung. Ramai lah perahu-perahu tertambat di rakit jamban Datuk Haji Hamdan. Rumah guru kami, Wak Gus Damiri macam digelayuti puluhan ekor sarang lebah. Suara mengaji al-Qur’an seperti dengungan ribuan lebah.

Jauh sebelum aku lahir. Kampungku adalah salah-satu pusat pengajian Islam terkenal dikawasan pedalaman Jambi. Banyak guru-guru agama yang pernah mengaji di Bilad al-Haramain dan lulusan madrasah pengajian di Jambi Seberang. Datuk dan buyutku sendiri adalah alumnus sekolah agama di Mekkah. Bahkan keduanya, sekembali ke Tanah Air semakin ligat menyiarkan dakwah Islam hingga ke penjuru Jambi. Mengajar wilayah pedalaman sungai Batang Tembesi hingga ke Sabak dan Tungkal dibagian hilir.

Ramai nian orang-orangtua menyerahkan anaknya mengaji di kampungku Gurun Tuo. Dari wilayah mudik pedalaman macam Tabir, Rantau Panjang, Air Liki, Pangkal Bulin, Jernih, Air Hitam, Pauh, Sepintun, Lubuk Napal, Lamban Sigatal mengaji ke Gurun. Juga dari wilayah peiliran, semacam Rantau Kapas, Muara Tembesi, Mato Gual, Aur Gading, Jelutih, Muaro Ketalo, Kertapati dan lain sebagainya mengaji ke para datuk-buyutku.

Anak-anak pengajian ini bermukim di pondok-pondok kecil yang dibangun di tanah kosong. Di sebelah hulu rumah datuk Haji Hamdan ada beberapa buah pondok. Dikampungku sebagian mereka tinggal di rakit-jamban yang lebih besar. Sehabis belajar mengaji baca Al-Qur’an, mereka pergi memotong-menyadap karet tauke getah, atau mengambil upah pada orang kampung yang memerlukan tenaga mereka. Jika tidak, kiriman dari orangtua mereka di kampung mencukupi. Hanya perlu beli beras dan cabe. Sedangkan lauk-pauk ikan, tinggal menjala atau memancing di sungai.

Biasanya, ada saja kaum dermawan yang baik hati menyumbang mereka berupa kebutuhan belanja dapur sehari-hari. Yang berladang-kebun, biasa memberi sayur-sayuran, jenis cabai, kesik, kacang panjang, pucuk ubi, labu dan cendawan. Memang, rezeki orang yang menuntut ilmu agama itu tak sama dengan yang bekerja. Pintu-pintu rezeki terbuka dari arah yang tak terduga. Jadi, berbahagia lah, wahai para penuntut ilmu!

Guru Haji Manshur yang kupanggil Datuk Muk adalah salah-satu guru yang mengajarkan ilmu-ilmu agama di Madrasah kampungku. Jauh sebelum beliau pulang ke Tanah Air. Sudah tersiar kabar, bahwa akan pulang seorang guru dari Mekkah. Ketika itu ramai lah, harapan orang-orang kampungku dengan kedatangan beliau. Seorang alim pandai yang mengaji selama dua puluh satu tahun dengan Masyayeikh Bilad al-Haramain. Lebih lama empat tahun dari Guru Mudir, KH. Nawawi Ahmad, datukku sendiri yang juga mengaji selama tujuh belas tahun.

Guru Haji Manshur pulang ke kampungku membawa anak-istrinya. Salah-satu anak yang dibawanya, dia lah Guru kami kelak; Buya Abdullah Shoefie. Sedangkan anak keduanya, Wak te Ahmad Kautsari, sebelum pindah mengajar di Kuala Lumpur, Malaysia juga sempat mengajar abang-abang sepupuku mengaji madrasah. Namun, aku sendiri tak sempat belajar dengan beliau.

Pada mulanya, Madrasah pengajian berlangsung di rumah bertiang yang kini dibeli oleh Wak Jailani. Disitu lah murid-murid belajar mengaji madrasah. Asal mulanya madrasah itu adalah gedung Sekolah Rakyat (SR). Namun, Sekolah Rakyat itu berpindah ke kampung seberang. Yaitu ke gedung kayu yang kelak juga menjadi tempat aku belajar di Sekolah Dasar No 53/VI. Guru Sekolah Rakyat (SR) yang tersohor di zaman orangtua kami adalah Guru Manan dan Guru Sabki.

Dan pangkalan perahu menyeberang bagi murid sekolah di tahun 1960-an itu adalah lubuk Samaragi. Biasanya, dari tepian seberang, murid-murid Sekolah Rakyat berteriak memanggil orangtuanya minta dijemput. Datuk Ndek Azaya akan meneruskan pesan jemputan itu kepada orang-orangtua mereka yang tinggal di hulu kampung. Ketika itu kampung Gurun Simpang masih hutan belukar lebat. Hanya ada jalan setapak yang menghubungkan Sekolah Rakyat dengan bangunan gardu tua yang dibangun zaman Belanda itu. Konon, Belanda merencanakan bangunan Gardu besar diperuntukkan pasar kalangan pekanan bagi Gurun dan kampung-kampung sekitarnya.

Bangunan tua bertiang beton beratap seng itu, masih kusaksikan hingga zaman aku masuk sekolah dasar. Begitu kokoh dan kuatnya bangunan yang dirancang oleh Penjajah Belanda itu. Apabila diterpa hujan tengah jalan hendak pergi sekolah di pagi hari atau sekolah madrasah di siang hari, gardu tua menjulang tinggi itu menjadi tempat persinggahan berteduh sementara. Di malam hari itulah tempat hangat bagi kambing-kambing yang tak diperdulikan tuan pemiliknya balik kandang. Bau tahi dan kencing kambing menguap dahsyat, apabila bertimpa tempiasan hujan!

Gurun Tuo adalah tujuan para pengaji ilmu-ilmu agama (dalam bahasa Melayu Jambi; Ugamo) dari penjuru pedalaman aliran sungai Batang Tembesi. Kampung besar itu, sudah masyhur sebagai tempat lahirnya para alim-ulama yang menyiarkan agama Islam di Jambi. Banyak yang pandai menguasai ilmu-ilmu keislamanan. Wibawa kampungku di zaman itu sudah terdengar ke mana-mana negeri, sebagai salah-satu pusat pengajian Islam penting di provinsi Jambi.

Sejak dari zaman batu sabak kalam gerip sampai buku tulis pena pensil. Gurun Tuo telah tegak menjulang jadi menara penyiaran Islam di Pedalaman Jambi. Yang gaung syiar Islam itu disiar-siarkan ke wilayah pedalaman dan peiliran. Lantaran pernah menjadi pusat terkemuka pengajian Islam, maka diakal pikiran penduduk kampungku, wilayah geografis itu seolah berpusat di Gurun Tuo. Penduduk yang mendiami wilayah pedalaman sungai Batang Tembesi dan Merangin disebut orang-orang mudik. Sedangkan bagi yang mendiami sepanjang aliran sungai hingga bermuara ke sungai Batang Hari bermuara di Sabak disebut orang peiliran.

Wibawa Gurun Tuo ketika itu sudah menyamai bahkan melebih Sarolangun. Sebuah kota kecil yang terletak di tangah urat nadi perhubungan di Provinsi Jambi. Jika pasar Sarolangun sudah mekar sejak zaman Belanda. Maka, Gurun Tuo sudah marak menjadi pusat pengajian Islam, jauh sebelum zaman kemerdekaan Indonesia. Paling tidak, wilayah Kepesirahan yang sekarang mencakup Kecamatan Mandiangin dan sekitarnya adalah Buyutku sendiri, Pesirah Ja’far Shoefie dari Gurun Tuo.

Kebesaran dan kegemilangan sejarah masa lalu. Sampai kini masih melekat disebagian penduduk kampungku. Bagi mereka, Gurun Tuo itu pernah berjaya sepadan dengan Sarolangun. Karena itu, sedikit tidak mempengaruhi kultur dan sikap penduduk kampung yang tak mudah tunduk. Terkadang, kejayaan masa lalu menjadi ingatan kolektif yang tak segera jua tanggal dari alam pikiran mereka. Walau, kuakui sikap semacam ini, adalah salah-satu faktor penghambat kebangkitan Neo Gurun Tuo.

Jika bercakap mengotah, mereka tampak seperti pakar dan ahli disiplin keilmuan mana pun. Jika berteori, bukan main seolah Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Ibnu Khaldun, Al-Jabbar, Al-Khawarizm pernah menyinggahi kampungku. Dan penduduk kampungku terciprat tumpahan ilmu mereka yang meninggalkan jejak tapak pengaruh hingga direguk peradaban Eropa Abad Pertengahan. Sejak kanak-kanak, aku sering mengamati, bahwa penduduk kampungku memiliki tiga bakat keahlian sekaligus; Pengamat, komentator dan reporter!

Macam-macam perbincangan yang mengupas teori ini teori itu. Walau, tak semua teori itu pernah mereka jajal eksprimen di Laboratorium ilmu pengetahuan. Berdasarkan prakiraan dan dugaan belaka. inilah penyakit kalau telah banyak berbual-bual. Khayalan tingkat tinggi merengkuh hingga Tembok Raksasa di Negeri Tiongkok, di Timur dan tanah Andalusia di Barat.

Namun, kehadiran guru-guru alumni pengajian Madrasah di Bilad al-Haramain, sedikit tidak telah memberikan imbangan pada watak kultur penduduk kampungku. Mereka, menyerukan bahwa kunci ilmu pengetahuan adalah membaca, menelaah, berpikir dan mengamalkannya. Tanpa itu semua kosong belaka. rumah-rumah pengajian, madrasah dan gedung sekolah umum adalah usaha dari mengerem mulut orang-orang kampungku tak menghabiskan waktu sepanjang hari dengan obrolan otahan belaka.

Jika dulu, bapak dari buyutku Shoefie bin Tengkin sudah menyibak jalan terang cahaya. Kala itu penduduk kampungku sibuk menghabis waktu ditelan sia-sia dengan mengaji kitab perukunan Iman dan Islam. Diteruskan anak-anaknya, yang mengaji di Mekkah, lalu menyebarkan dakwah Islam hingga wilayah pedalamanan Jambi. Maka generasi cucunya, mulai membuka rumah Madrasah Pengajian Keislaman di tanah kelahiran datuknya. Sehingga berduyunan dari kampung-kampung pedalaman dan peiliran yang datang mengaji dengan Guru Manshur Ja’far, KH. Nawawi Ahmad, Haji Ismail Ja’far hingga kelak diteruskan anak-anak mereka. Yaitu Guru-guru kami; Wak Hasan Utsman, Wak Gus Damiri, Buya Abdullah Shoefie dan lain-lainya.

Rumah-rumah pengajian belajar membaca mushaf Al-Qur’an tumbuh merecup sepanjang kampung. Dari yang paling kecil hingga besar. Dari hulu ke hilir. Dari yang muridnya sekitar 10 orang hingga 50-an orang. Sekolah Madrasah Al-Falah dan Ats-Tsaqafah tegak menjulang bak menara kembar yang menaungi kampungku dari kegelapan jahiliyah. Membuka mata menatap dan menghikmati delau terang benderang ajaran Islam.

Guru-guru yang ikhlas itu tegak di barisan paling depan membentengi dari syirik, khurafat dan bid’ah jahiliyah. Para pengamal ilmu hitam dan sihir semakin menyusut jauh. Sejak para alim-ulama tamatan Madrasah di Mekkah itu pulang menyiarkan akidah Islam, mengajak hanya beribadah dan menyembah Allah Subhanallah Ta’ala. Memurnikan akidah tauhid adalah hal yang paling mustahak dalam hidup ini. Tanpa kompas tauhid, karam lah biduk perahu yang berlayar di tengah gelombang dunia fana ini.

Guru kami Buya Abdullah Shoefie sering menasehati kami semasa kecil dulu;“Jangan berkeliaran di waktu petang maghrib. Pergi ke Masjid atau pulang saja ke rumah!”.

Maksudnya jelas, pergi lah sholat jema’ah di Masjid atau pergi mengaji al-Qur’an di rumah-rumah pengajian. Jika waktu petang melamur, rumah-rumah pengajian berterang lampu kandil minyak itu bersimbah cahaya terang benderang. Suara anak-anak mengaji terdengar dari hulu sampai hilir kampung, bak dengungan suara lebah membelah angkasa raya. Setan iblis takut mendekat, membisikkan pengaruh jahat. Hantu-hantu memilih pergi menjauh.

Sebatang sungai yang mengalir lembut di kampungku itu menyimak kalam Allah yang dibaca para umat Muhammad SAW di Gurun Tuo. Suara-suara kanak-kanak melantunkan ayat-ayat suci itu merentas tebing, menyeberangi sungai, memantul pematang bukit di seberang, lalu menghulu ke Teluk Kuari, menghilir ke Teluk Gilo. Lalu, diam-diam terbang membumbung ke langit malam. Seiring bentangan sayap-sayap malaikat memayungi langkah kaki-kaki kecil para penuntut ilmu.

(Bersambung)


Rabea Adawea, Cairo, 7 Desember 2009

Friday, December 4, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (21)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (21)

Ahmad David Kholilurrahman


Majelis Serambi Masjid dan As-Syajarat al-Silsilah


Selepas pengajian Tafsir di subuh hari sepanjang bulan puasa ramadhan di Masjid Az-Zahir itu. Guru kami, Buya Abdullah Shoefie Manshur seringkali duduk di serambi Masjid. Biasanya, dalam majelis itu hadir juga datuk, wak dan paman-pememan kami yang sengaja menunggu matahari terbit. Ada datukku Haji Abu Bakar, Datuk Hanafi Ja’far yang kami panggil Abah, Wak Nazori Abdul Majid, Wak Sya’rani Abdul Majid, Pakde Hasanain, Wak Te Ihsan, bapakku, termasuk aku dan sepupu-sepupuku yang lebih dikenal dengan Bujang Bangku Masjid.

Buya Abdullah Shoefie mengenakan kain sarung bergaris hijau putih, baju safari lengan panjang coklat tua bersaku dua. Kepalanya berbungkus syal bercorak putih-hitam seperti yang sering dikenakan pemimpin PLO, Yasser Arafat. Pakde Hasanain membawa tikar yang lebih baru dari dalam ruang sholat perempuan yang terletak di bagian darat Masjid tua itu. Tikar itu dibentangnya untuk guru kami dan tetua kampungku yang mendengar majelis surahan di serambi Masjid tua bergaya setengah rumah panggung Melayu itu.

Jika pengajian ba’da taraweh atau subuh hari, mengupas seputar hukum-hukum yang bertalian dengan Aqidah, syari’ah dan akhlak. Maka majelis surahan di serambi masjid ini biasanya lebih umum, lepas dan bebas. Termasuk menyinggung kajian tarikh (sejarah) yang memang sangat kugemari. Wak Sya’rani menyukai kajian geografi atau ilmu bumi, sebagaimana yang sering diungkapkannya. Kalau memandang globe dan peta, beliau suka mengangguk-angguk kepala. Tak jarang, beliau banyak bertanya hal ilmu bumi ini pada guru kami Buya Abdullah Shoefie. Sedangkan Wak Nazori adalah sosok bertutur kata halus, macam orang-orang sastra kebanyakan. Konon, dimasa mudanya, beliau yang kupanggil Wak ini sangat menyukai kesenian. Pandai memainkan gitar dan biola, juga menyukai karya-karya kesusastraan.

Pada pagi itu, aku duduk di tangga masjid dengan sepupuku mendengar orang-orang tua bercerita. Hikayat cerita itu yang seolah memang sengaja diceritakan, agar kami yang masih kanak-kanak menyadari bahwa datuk-buyut kami bukanlah orang sembarangan. Mereka telah menggoreskan tarikh sejarah cemerlang di tanah Gurun Tuo hingga sampai ke Jambi. Dan hal itu masih kuingat rapat dalam benak pikiranku.

“Dengarkan, Buya mau berkisah padamu, tentang silsilah Moyangmu Shoefie bin Tengkin.” Kata Guru kami itu sambil menyapu pandangan padaku.

Aku memasang telinga tajam-tajam, dan mata tak berkedip sedikit pun. Kutengok sepupu-sepupuku yang lain juga duduk merapat. Seakan tak mau kehilangan huruf dan harakat satu pun. Para datuk, wak dan paman-pameman kami pun juga ikut memasat telinga menyimak pula.

Siti Halimah binti Abdul Halim Abizar Chaniago, bergelar Datuk Paduko Ndo Kayo, kawin dengan Mas Agus Gunawan. Dapat anak tiga orang, yaitu: Tengkin, Gelgan dan Ali.” Kata Buya sambil menunjukkan telunjuk, jari tengah dan jari manis tangannya sebelah kanan agak gemetar. Sementara kelingking dan ibu jarinya saling menggulung. Paham!

Aku mengangguk-angguk sembari menyerap nama yang agak aneh di telingaku. Walau sudah jauh memeluk Islam. Nama-nama Melayu kuno melekat pada nama bapak dari moyangku. Tengkin bin Mas Agus Gunawan.

“Kemudian Tengkin kawin dengan Bendarimen binti Ki Agus Gunarti (dari Sungai Tawar, Terusan, Palembang) dapat empat anak, yaitu Shoefie, Saman, Maznah dan Jenah. Shoefie kawin dengan Zainab binti Syamsuddin Nakhodo (cucu dari Mas Mato binti Ahmad Kromo Joyo, yang bergelar Sunan Pakubuwono III). Dari perkawinan Shoefie bin Tengkin dan Zainab Syamsuddin Nakhodo dapat tujuh anak, antara lain; Haji Ja’far Shoefie dan Haji Ahmad Shoefie.” Sambung Buya Abdullah Shoefie sambil merenggangkan duduknya.

Menurut kisah yang masyhur kudengar dimasa kanak-kanak dulu, Sunan Pakubuwono III dari Kraton Solo ini lari ke Sumatera, sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonial Belanda. Sampai di Lubuk Landai, Bungo, Jambi kawin dengan perempuan tempatan. Jadi kampungku Gurun Tuo memiliki pertalian darah dengan Lubuk Landai, Kabupaten Bungo. Bahkan di masa bupati Bungo, Husin Sa’ad, para orang-orang tua kami bersilaturrahim ziarah ke Lubuk Landai. Orang-orang Lubuk Landai membalas kunjungan ke Gurun Tuo dengan membawa dua ekor kambing untuk disembelih dan dimakan bersama-sama. Kisah ini aku dapatkan juga dari bapakku.

Bahkan as-Syajarat al-Silsilah (Pohon Silsilah) Nenek-Moyangku itu pernah dibawakan Husin Sa’ad dan kerabat keluarga di Lubuk Landai, Bungo ke pihak Kraton Solo. Pihak Kraton Solo membenarkan dan mengesahkan bahwa memang Pakubuwono III memang lari ke Sumatera dan beroleh zuriat keturunan disana. Aku pun dengan mata kepala sendiri, pernah melihat As-Syajarat al-Silsilah leluhurku ini dalam selembar karton yang dibikin oleh guru kami Buya Abdullah Shoefie, yang bertulis dengan huruf arab. Jika ditelusuri secara detail dan teliti, hampir penduduk Gurun Tuo memiliki keterkaitan hubungan pertalian darah satu dengan lainnya. Aku tak tahu, apakah susunan pohon silsilah itu masih ada atau tidak lagi?

Bahkan selepas bubar majelis di serambi masjid itu kembali ke rumah masing-masing. Begitu juga guru kami, Buya Abdullah Shoefie berlalu. Aku, abang sepupuku, anggota Bujang Bangku Masjid tertua berwatak politisi dan abang sepupuku nomor empat, beserta Wakte Ihsan menyimak dan membaca As-Syajarat al-Silsilah leluhur kami itu, sampai keasyikannya hingga masuk waktu zuhur. Sementara sepupuku yang lain, masuk gulungan tikar di tempat sholat kaum perempuan menuntaskan tidur pagi mereka. Ada juga sepupuku yang lain yang tak terlalu hirau. Bagiku, bukan mau membangga-banggakan atau mengambil sikap ‘ashabiyah (fanatisme) puak dan klan. Namun, disitu tersisip sejarah, yang jika tak dikisahkan akan luntur terkubur zaman.

Pada malam keesokan harinya. Selepas pulang dari pengajian taraweh. Emak Faridah berpesan kepadaku untuk ke rumahnya di Kampung Tengah. Perempuan ramah dan baik hati yang kusapa emak ini, adalah saudari tua bapakku. Dia biasa mengajak kami menikmati makanan dan minuman sehabis sholat taraweh. Bahkan dulu, aku pulang liburan dari pesantren di Bangil, Jawa Timur, beliau sering mengundangku dan sepupuku yang lain berbuka puasa di rumahnya. Anak lelakinya yang tertua adalah sepupuku yang cerdas. Kawanku semasa sekolah di SD dan Pesantren di Jawa Timur itu. Bersama adiknya, mereka berdua juga, sebagaimana kebiasaan Bujang Bangku Masjid, bila dimalam hari suka mengenakan kain sarung terselempang di leher. Mirip pendekar-pendekar di zaman baheula.

Seperti yang telah kukisahkan sebelumnya. Bahwa guru kami, Buya Abdullah Shoefie adalah seorang pembaca tekun dan pencerita yang memikat. Jika melihat kami datang ke rumahnya, tak jarang beliau menumpahkan ilmunya melalui obrolan bertenaga dengan balutan kisah tarikh-sejarah zaman dahulu. Dan itulah yang sebenarnya sangat memikatku. Aku seringkali tak puas, sembari bertanya ini-itu, dan tak jarang melebar ke persoalan hukum Islam yang kerap mencetuskan ‘perdebatan’ antara kami dan beliau. Bukan perdebatan kusir, lebih tepatnya semacam transfer ilmu dari beliau pada kami, Bujang-Bujang Bangku Masjid.

Ditemani hidangan bubur jahe, sumping tanah dan bubur talam lemak. Malam itu, guru kami Buya Abdullah Shoefie, seolah sengaja hendak membentangkan sejarah tentang nenek-moyangku. Sambil memegang handuk radio kecil, handuk kecil yang terselempang di bahunya, rokok putih beliau mulai melayarkan cerita-ceritanya.

“Dengar, malam ini, buya mau berkisah khusus tentang sejarah buyut-buyutmu. Perhatikan dan ingat baik-baik. Kata beliau lantang dan jelas. Abang sepupuku nomor dua, menyifati kelantangan suara Buya ini dapat ‘memakan’ suara yang keluar dari mikrofon sekali pun.

“Pada tanggal 12 Rabiul Awwal 1292 H. Lahirlah Buyutku Haji Ja’far Shoefie dari pasangan Shoefie bin Tengkin dan Zainab binti Syamsuddin Nakhodo. Tahun kelahiran buyutku dari sebelah emak, bersamaan dengan tahun didirikannya Madrasah As-Shaulatiyah, Mekkah. Jauh sebelum itu telah berdiri juga dua Madrasah As-Shaulatiyah di Lucknow dan Hyderabad (India) yang didirikan seorang wanita bernama Shaulah asal India. Dia adalah istri dari Syeikh Rahmatullah. Maka, nama Madrasah ini dinisbatkan kepada namanya. Kemudian Madrasah As-Shaulatiyah dipimpin oleh cucunya Sheikhah Shaulah, yaitu Sheikh Salim sebagai mudirnya, ketika Haji Manshur Ja’far (bapak dari Guru kami Buya Abdullah Shoefie) belajar di Mekkah.” Tukas beliau mengembangkan senyum hangatnya.

“Sedangkan Madrasah Al-Falah. Sekolah datukmu KH. Nawawi Ahmad (alias Guru Mudir) mengaji di Mekkah berdiri tahun 1330 H. Tahun itu juga berdiri sebuah organisasi Islam besar di Indonesia, yaitu Perserikatan Muhammadiyah 8 Dzulhijjah 1330 H yang diasaskan KH. Ahmad Dahlan di Jogjakarta.” Sambung beliau sambil menatap padaku dalam-dalam.

Aku mengangguk-angguk dalam. Benak pikiranku berkelabat menjelajah jauh ke zaman silam. Singgah di wajah datukku yang kuingat dalam usiaku lima tahun. Ketika itu kondisi kesehatannya sudah rapuh dimakan penyakit sesak-napas. Tapi, penyakit macam apa pun tak sanggup mengusir watak pemarah Guru Mudir. Aku masih ingat, ketika menjenguk beliau ke rumah Nyai Lautku, Nyai Mahanin. Selepas aku mencium tangannya, aku diberinya sekerat roti biskuit coklat disimpan dalam stoples plastik disampingnya. Ketika anak-cucunya agak terlambat memenuhi permintaannya, amarahnya pecah seketika. Aku pun merasakan seolah mau diteguk oleh amarah penyakit tuanya. Kakiku gemetaran hebat ketika itu. Kalau-kalau tak lekas dibawa bapakku ke luar kamarnya, boleh jadi aku terkencing-kecing dibuatnya.

Marah datukku akan mereda, bila datang anak lelaki tertuanya. Abang dari bapakku yang dipanggil dengan Wak. Beliau adalah anak lelaki kesayangannya sedari kecil. Dulu, kemana-mana pun datukku pergi urusan dinas. Wakku ini seringkali diajak. Bahkan dimasa kecil, beliau sudah pergi ke kota-kota besar di Sumatera macam Palembang dan Padang. Bahkan menurut cerita nyaiku, wakku ini sudah naik pesawat dimasa bujang kecilnya mengikuti tigas dinas datukku di kantor sosial Provinsi Jambi. Konon, dari cerita paman, sepupu bapakku, mungkin, lantaran Wakku inilah anak lelaki tertuanya. Dua anak tertua datukku semuanya perempuan. Yakni, Wak te Halimah dan Emak Faridah.

Kemudian alur benak pikiranku kembali mencerap cerita-cerita yang dibentangkan guru kami; Buya Abdullah Shoefie. Kutengok emak Faridah menghidangkan teh panas bercampur daun Ni’nak (Mint) kering. Dituangnya secangkir untukku, cangkir-cangkir lainnya untuk sepupuku yang duduk berkumpul melingkari guru kami. Sedangkan didepan Buya secangkir besar kopi A tigo bertutup.

Dalam ilmu falak. Buya dulu mengaji dengan Buyutmu Ahmad Shoefie. Sehabis subuh menjelang masuk sekolah rakyat di hulu kampung, yang kemudian hari dibeli oleh Jailani. Penduduk kampungku memanggilnya Wak Jai.

Yang mengaji falak bukan hanya Buya seorang. Ada Bang Hasan Utsman, Gus Damiri, Sulaiman, Haji Zulkifli dan lain-lainnya. Termasuk yang generasi bapakmu sesekali sering ikut mengaji. Kami mengaji di serambi Masjid ini lah, berterang lampu pelita kandil, dibawah beduk tua itu.

Tapi, setiap kali mengaji ilmu Falak. Pandangan Buyutmu selalu tertuju ke Buya seorang. Kadang Buya tak enak dengan kawan-kawan yang lain. Seolah-olah buyutmu hanya mengajar buya seorang saja. Padahal banyak murid-muridnya yang lain duduk melingkar sekeliling buyutmu. Tiap apa yang buyutmu terangkan, buya paling cepat paham. Jadi pengajian ilmu falak tersambung terus. Jika ada pertanyaan, buya lah yang selalu mendapat giliran pertama menjawab. Jika pertanyaan yang diajukan pada kawan-kawan yang lain tak mampu dijawab mereka, buya juga yang terkena giliran menjawabnya. Jadi, lama-kelamaan, Buyutmu merasa yang ‘makan kaji’ ilmu falak yang diajarkannya hanya buya seorang.

Tapi, sebenarnya ilmu falak yang buya dapatkan dari buyutmu adalah kunci-kuncinya yang berupa inti saripati dari ilmu falak. Sedangkan selepas itu merupakan hasil otodidak dan penyelidikan buya sendiri. Karena ilmu Falak ini adalah ilmu eksakta (ilmu pasti). Maka, siapa yang mengaji dan mempelajarinya harus pakam dulu menguasai disiplin ilmu Al-Jabar, berikut cabang-cabangnya berupa geometri, matematika, aritmatika dan logaritma. Disamping memang menuntut ketekunan luar-biasa, senantiasa menyelidiki dan meneliti dan rajin membaca perkembangan keilmuan astronomi yang sudah luar biasa pengembangannya.

“Jadi, kalau disusur-jelujur ilmu Falak ini. Buya berguru dengan Buyutmu Sheikh Haji Ahmad Shoefie (1302-1386). Buyutmu belajar mengaji ilmu Falak dengan Sheikh Mukhtar Bogor (1278-1349 H). Sheikh Mukhtar Bogor bersama Sheikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif al-Minangkabawi (1276 -1334 H dan Sheikh Sa’id Yamani (1265-1352 H). (Datuk dari Zaki Yamani, mantan Menteri Perminyakan Arab Saudi) mengaji ilmu Falak dengan Sheikh Abu Bakar Syatha (1266-1310 H) penulis kitab I’anat at-Thaalibin (kitab rujukan ulama-ulama bermazhab Syafi’i di Indonesia).” Terang Buya Abdullah Shoefie panjang lebar, jari-jemarinya agak gemetaran.

Sheikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi adalah ulama besar di Masjidil Haram. Nama al-Khatib melekat dibelakang namanya, lantaran beliau menjadi salah-satu Khatib di Masjidil Haram. Seorang anak Melayu yang jadi alim besar dari jadi rujukan alim-ulama di Bilad al-Haramain. Beliau juga merupakan gurunya Inyik Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah (bapaknya Buya Hamka). Sosok ulama besar yang sangat dihormati Inyiak Rasul yang kelak mengilhami gerakan tajdid (pembaharuan) di Sumatera Barat.

Sheikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif al-Minangkabawi ini lahir di Koto Gadang, Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Pada hari senin, 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 M) dan wafat di Mekkah hari Senin, 8 Jumadil Awal 1334 H (1926 M). Semasa mudanya di Mekkah, dia mengaji berguru dengan ulama terkemuka antara lain, Sayyid Bakr as-Syatha, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Sheikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.

“Ketika datuk Mukmu Haji Manshur Ja’far pergi mengaji ke Mekkah. Beliau bertemu dengan Sheikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Jadi Datuk Mukmu bertemu dengan guru Buyutmu Haji Ahmad Shoefie. Karangan kitab beliau antara lain, Ar-Riyadh al-Wardhiyah, Hasyiah Fath-ul Jawad di Fatwa al-Khatib”. Jelas Buya bak membuka lapisan langit pengetahuan baru bagiku.

Dalam penelusuran kemudian hari setelah aku merantau jauh dari negeriku. Ternyata Sheikh Ahmad Khatib bukan hanya ahli dalam ilmu fiqh, hadits dan tafsir serta ilmu-ilmu agama lainnya. Beliau juga ahli geometri, terbukti dengan kitab yang dikarangnya, berjudul: Raudhat al-Hussab fi ‘Ilmi al-Hissab, dicetak pertama kali oleh Maktabah Al-Maimuniyah al-Halabi, Mesir (1910 M). Kitab ini mengetengahkan perbincangan seputar ilmu geometri dan lain sebagainya.

Bahkan dalam ulasan tiga sarjana penyelidik Noor Hayati Marzuki, Sharul Nizam Ishak, Jamaludin Md Ali dari Universitas Sains Malaysia, Penang. Mengulas kitab Sheikh Ahmad Khatib tersebut yang membahas teori Sfera (tiga Matra) terilhami dari kuncup bunga Tuut (Shonunbur). Teori Geometri Sheikh Ahmad Al-Khatib mengulas juga, segitiga, segi empat, bulatan dan elips, piramid, silinder, trapizium dan lain sebagainya. Sheikh Ahmad Khatib ini juga menghubung-kaitnya dengan bentuk bumi bulat. Sarjana Islam sudah lebih mengetahui bahwa bentuk bumi itu bulat. Ketiga sarjana penyelidik (peneliti) mengangkat kepakaran multidimensi dari ketokohan Sheikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga anak Melayu abad 19 yang menjulang tegak menjadi menara ilmu di Bilad al-Haramain.

Malam itu, sambil menikmati hidangan perhausan taraweh. Aku dan sepupuku menikmati perbancuhan ilmu pengetahuan yang juga dihidangkan guru kami; Buya Abdullah Shoefie. Sosok jenius didikan pengajian di kampungku. Pembaca ulung dan pencerita hebat yang memikat kami sejak kanak-kanak dulu. Beliau juga tipikal ulama zaman dahulu, yang menaruh minat dalam pada ilmu sains.

Pada dasarnya, yang dinamakan ulama itu adalah Mutaafaanin (menguasai banyak cabang ilmu) Jadi, bukan hanya menguasai ilmu-ilmu agama belaka, juga ahli dan pakar dibidang ilmu sains sebagaimana yang ditunjukkan ulama-ulama abad pertengahan seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Qayyim, Al-Jabbar, Al-Khawarizmi dan lain-lain.

Sosok ulama itu bukan yang jenggotnya panjang jatuh menjuntai ke lantai dan lilitan gulungan surban di kepalanya sebesar bunang. Sementara menjauhkan perbincangan ilmu sains dari urusan persoalan agama. Bukan sosok yang sampai kini masih sibuk mempertengkarkan, bahwa belajar bahasa asing selain bahasa Arab itu haram!

(Bersambung)

Rabea Adawea. Cairo, 4 November 2009

Tuesday, December 1, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (20)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (20)

Ahmad David Kholilurrahman


Seorang Alim dan Ahli Ilmu Falak


Kabut buta menyelimuti wajah batang sungai Tembesi. Tak seujung kuku pun, nampak perahu yang dikayuh ke seberang. Dedaunan manggis dan rambutan basah bersimbah embun di laman Masjid di tepi sungai. Matahari pagi belum lagi bangkit, berselimut tebal di ufuk timur. Dingin udara subuh menggigilkan ujung kakiku. Kaki kecil itu melengkung bergelung ke balik tepi sarung. Biasanya sehabis pengajian subuh di bulan puasa di Masjid Az-Zahir. Adalah perkara lazim bagiku dan sepupu yang selusin itu duduk mendengar riwayat cerita yang dibentangkan di serambi Masjid tua yang menghadap arah hilir sungai Batang Tembesi.

Pengajian subuh yang biasanya dihantar oleh Guru kami Buya Abdullah Shoefie, kerapkali mengupas tafsir surah Al-Qur’an yang dibuat bersambung sepanjang subuh di bulan ramadhan. Dibingkainya dalam tafsir Qashasul al-Qur’an perihal semacam tema kisah-kisah yang termaktub dalam kitab suci Al Qur'an. Juga tak lupa percikan lintasan tarikh sejarah kaum-kaum terdahulu yang terkubur zaman. Dikaitkan dengan fenomena kekinian yang berselaras dengan perguliran Surah yang tengah diurai tafsirnya.

Bagiku itu adalah curahan ilmu yang terbentang luar biasa. Aku merasa seolah-olah diajak mengendarai mesin waktu plesiran ke zaman tempo doeloe. Menyimak kisah kaum-kaum pupus yang diazab Allah lantaran kedurhakaan mereka yang melampau batas. Kaum-kaum yang mengingkari keimanan dan membangkang para Rasul Allah yang diutus pada mereka ditimpa ragam azan bencana yang tak terperikan.

Guru kami Buya Abdullah Shoefie kalau berkisah seolah mata kami tergantung menyimak aliran kisah yang dibentangkannya secara runtut, detail dan rapi. Seakan tak satu pun huruf dan harakat yang tertinggal. Kata orang kampungku menyebut hal demikian sebagai “Tak terbuang Kata”. Terkadang matanya memejam, mengingat detail sebuah cerita dengan kalimat yang runtut dan catatan kaki berupa tarikh nama orang, silsilah, negeri, tahun, letak, jarak beserta gambaran peta yang dilukis dalam kalimat-kalimat yang diterangnya jelas.

Aku dan selusin sepupuku duduk melingkar di serambi Masjid itu. Kami tekun-tunak mencerap kisah-kisah bermutiara itu. Walau terkadang, aku tak terlalu ingat secara detail, namun kelak ketika aku pergi menimba ilmu dari satu guru ke guru lain, dari satu perguruan ke perguruan yang lain negeri, tersangkut perihal hal-ihwal yang pernah kudengar di majelis ilmu serambi masjid itu. Dari buku-buku yang kubaca, dari pertukaran pikiran dengan seperkawanan. Hingga menjejak kaki ke negeri-negeri yang pernah disebut dalam kisah-kisah dimasa kanak-kanak dulu.

Guru kami, Buya Abdullah Shoefie adalah sosok pembelajar sejati. Otodidak yang berotak cerdas luar biasa dan pembaca tekun-tunak, menelaah kitab-kitab kuning hingga jauh larut ke lubuk malam. Dia menerima pengajian dari bapaknya yang juga dipanggil Abuya Manshur Ja’far. Kami memanggil bapaknya dengan panggilan Datuk Muk. Beliau adalah saudara tua dari datukku, Haji Abu Bakar Ja’far.

Seperti yang kukisah sebelumnya, jika datukku sebelah bapakku menerima pengajian di Madrasah Al-Falah (berdiri tahun 1330 H) di Mekkah. maka Datuk Muk Haji Manshur Ja’far adalah alumni madrasah as-Shawlatiyah yang didirikan tahun 1292 H, Jabal al-Hindi, Mekkah. Beliau bermukim menuntut ilmu dengan Masyayeikh Bilad al-Haramain selama 21 tahun. Datuk Muk Haji Manshur Ja’far ini bahkan menikah dengan Nyai Fathma binti Muhammad, anak seorang Guru di Jambi Seberang yang juga bermukim di Mekkah. Dari pernikahan ini beliau mendapat karunia dua permata hati di kota kelahiran Rasulullah SAW itu dan tiga anak perempuan sekembali mereka nanti ke tanah Jambi.

“Dulu, semasa Datuk Muk mengaji di Mekkah. Pernah suatu waktu, hampir habis bekal sakunya, sementara kiriman dari buyutmu Ja’far Shoefie belum juga sampai. Datuk Mukmu mengambil upahan menjahit pakaian. Sampai lah suatu masa datang kiriman dari buyutmu dikampung. Uang kiriman itu cukup untuk hidup setahun. Bukannya, Buyutmu tak mau mengirim uang, namun mengingat perhubungan antara Jambi dan Mekkah di zaman itu begitu sulit. Jika pun pergi naik haji berkapal berbulan-bulan”. Kisah yang kudengar dari pamanku Kasyfun Nadzir, orang kampungku yang pertama kali kuliah di Universitas Al-Azhar, Mesir.

Anak tertuanya adalah guru kami; Buya Abdullah Shoefie dan Wak Te Ahmad Kautsari yang kini berdakwah di Kuala Lumpur, Malaysia. Mereka berdua dibawa kembali ke Tanah Air dalam usia kanak-kanak. Jadi belum berkesempatan sama sekali mengerjakan rukun kelima Islam yaitu ibadah haji. Itulah jika mengenang Mekkah, guru kami Buya Abdullah Shoefie seperti dihisap kenangan pada masa kanak-kanaknya dulu. Terkadang, tanpa kami sadari, diam-diam butiran kristal mengalir di matanya. Ketika beliau dilamun kenangan ingatan pada laman masa kanak-kanaknya di Negeri Mekkah.

Kerinduannya kepada negeri tempat pecah tangis pertama kelahirannya begitu kuat dahsyat. Apalagi di musim orang-orang kampungku yang hendak naik haji. Semenjak dia dibawa kedua orangtuanya kembali ke kampungku dimasa belum baligh umur lagi. Jadi, belum satu kesempatan pun beliau berkesempatan naik haji. Melainkan sekali umrah diajak seorang jema’ah pengajiannya yang telah berbaik hati mengongkosinya umrah. Itu saja, katanya seperti mimpi!

“Tak terbayang nian, buya akan pergi ke Tanah Suci!” Katanya padaku ketika beliau berumrah ke Mekkah tahun itu melalui telepon.

Aku tak lupa mengucapkan doa, semoga pada masa mendatang, beliau dipanggil Allah ke Tanah Suci untuk mengerjakan ibadah haji. Aku menarik napas dalam-dalam, jika mengenang nasib guruku yang satu itu. Sementara alim-ulama yang dekat dengan penguasa di negeriku di Jambi sana naik haji sampai berpuluh-puluh kali.

Dulu, aku ingat suatu ketika datukku baru balik dari hilir ke Jambi. Membawa berita pesan dari bapaknya guru kami Buya Abdullah Shoefie, bahwa ada kabar sebuah partai politik yang menawarkan mengongkosi naik haji para alim-ulama. Namun, guruku ini tersenyum tipis saja. Kalau tak salah, hanya menambah separuh ongkos, dapat berhaji pada tahun depannya.

Tapi, beban kehidupan yang ditanggungnya bukan ringan. Ketika itu anak-anaknya banyak yang tengah menempuh sekolah memerlukan biaya. Juga kehidupan di kampungku yang dikatakan tak miskin, namun juga tak kaya. Jadi, baginya naik haji itu disamping memang mampu juga ada undangan dari pemilik Baitullah itu sendiri.

Dulu ada seorang jema’ah pengajiannya dari Pauh datang ke kampungku meminta bimbingan manasik haji pada beliau. Maka, guru kami ini akan menerangkan hukum rukun dan syarat haji dengan panjang lebar. Disertai dalil-dalil nash al-Qur’an dan al-Hadits. Juga dilengkapi dengan peta Ka’bah dan Masjidil Haram. Kami jema’ah masjid hanya mendengar dengan penuh harapan, semoga suatu ketika kelak, kami juga termasuk tamu Allah yang mendapati undangan suci itu.

Ketika guru kami buya Abdullah Shoefie bingkas bangkit ke dalam masjid mengambil kapur dan papan tulis kecil demi menjelaskan pada jema’ah pengajiannya yang datang khusus bertanya perihal Manasik Haji tersebut. Lalu seorang penduduk kampungku yang juga telah berhaji menyeletuk;

“Abdullah itu tak bakal lagi terbayang dengan Mekkah kini. Boleh sesat dia berjalan kini di sana. Itu di zamannya dulu, ketika Mekkah masih belum semaju dan seramai sekarang” Ringan saja seolah tanpa beban Haji itu berkomentar seenak perut. Memang orang-orang di kampung sejak lahir, seperti yang pernah kunyatakan memiliki bakat tiga ahli sekaligus; Pengamat, reporter dan komentator.

Sedangkan datuk-datuk kami, orang yang sangat dihormati guru kami setelah bapaknya sendiri tak pernah melemparkan kata seperti demikian. Aku ketika itu masih kanak-kanak memandang geram pada pak haji yang tak pandai memelihara lisan itu. Mau saja, aku menimpali membasuhnya dengan kata-kata, jika saja tak memandang datuk dan pamanda aku di majelis itu.

Lalu, aku terkadang jatuh iba hati dengan guru kami yang bersusah-payah menerangkan syarah pengajian, namun ada saja mulut para Bahlul Jahil Murakkab* seenak perut melontarkan komentar sinis. Dimasa kanak-kanak itu juga, telah timbul semacam sikap ‘perlawanan’ terhadap orang-orang yang berwatak Qil Wa Qaal**, bahwa suatu hari kelak, orang-orang semacam ini mesti aku kunci mulutnya dengan gaya perdebatan berperisai logis mantiqi.

"Tunggu saja waktunya, biar haji si fulan itu ketemu batunya dengan aku!" Bisikku geram, darah mudaku menggelegak hebat.

Aku ini cucunya KH. Nawawi Ahmad yang pernah berpidato memerahkan telinga Belanda, namun seketika meredakan airmuka kemarahan penjajah itu di gelanggang mata orang banyak. Setelah penjajah itu disindirnya telak, tapi diakhir pidatonya justru mereka tersenyum-senyum mengangguk-angguk kepala. Riwayat cerita ini kudapati dari bapakku yang mendengar langsung dari orang yang pernah mendengar langsung orasi pidato datukku di Bungo, di zaman penjajahan Belanda dulu.

Pernah suatu ketika, sebelum aku jauh pergi merantau menuntut ilmu. Guru kami Buya Abdullah Shoefie menuturkan semacam kilas-lintas sejarah yang diteroka datuk dan buyut kami yang dikenal luas sebagai peneraju utama dakwah Islam di kampungku dan negeri Jambi. Juga perihal kesempatan menuntut ilmu ke Bilad al-Haramain di zaman mereka yang seolah terputus. Padahal datuk, bapak mereka sempat bermukim belasan tahun di Mekkah. Tapi, tahun 1950-an adalah masa yang sulit. Usia kemerdekaan Republik baru seumur jagung, sekolah-sekolah dalam negeri banyak tutup lantaran perang dapat meletus kapan pun.

Jadi bagi generasi sezaman guru kami ini, kebanyakan hanya menempuh sekolah dikampung. Atau paling jauh mengaji di Madrasah Nurul Iman di Jambi Seberang. Ada beberapa orang yang berkesempatan sekolah di INS Kayutanam, Padang. Namun, tak sampai selesai, karena meletus perang PRRI yang melanda Sumatera Barat ketika itu, banyak yang putus sekolah.

Bapakku sendiri saja tak sampai ke bangku kuliah. Sekolah menengah atas ditempuhnya semacam sekolah persamaan, yang kemudian hari tak lagi dibuka. Tapi, kualitas lulusan sekolah menengah di zaman itu setingkat dengan kuliah zaman kini.

“Ujian akhir sekolah diadakan di Sarolangun begitu ketat dan soal yang diujikan begitu berat!” Begitu bapakku seringkali bercerita padaku.

“Dari 10 soal, bapak dapat mengerjakan 6 soal. Bukan tak sanggup mengerjakannya, namun waktu yang diberikan sangat terbatas. Alhamdulillah dari ke enam soalan tadi benar semua. Akhirnya bapak memenuhi nilai kelulusan”. Ujar bapakku menyemangati ketika belajar malam hari di kampungku yang haram bersimbah setrum listrik ketika itu.

Guru kami, buya Abdullah Shoefie adalah peminat ilmu sains yang luar biasa. Dia hapal nama-nama latin flora dan fauna, nama jenis penyakit dan obat-obatan. Ilmu Falak (Astronomi) adalah salah-satu keahliannya yang sampai kini belum nampak lagi calon pewarisnya. Keahlian ilmu Falak inilah yang menghantarnya membikin jadwal sholat sepanjang waktu untuk Provinsi Jambi beserta selisih waktu antara kampung-kampung dan kota serata negeri "Sepucuk Jambi Sembilan Lurah". Hisab ilmu Falak yang dihitung dan disusun beliau, terkadang dicomot sembarangan saja oleh Instansi yang mengurus masalah agama di Jambi tanpa menyebutkan penukilan dari sang penyusunnya (ahli hisabnya). Dulu pernah berlaku seperti itu, entah lah kalau sekarang sudah terbit kesadaran bahwa itu ada hak ciptanya yang dilindungi oleh Undang-Undang yang dikenal dengan HAKI (Hak Kekayaan Intelektual).

Aku tak ingat, namun dari cerita orangtua dan paman-pameman kami, beliau sendiri yang menghitung matahari sepanjang tahun dengan alat penimbang waktu yang dirancangnya sendiri. Setiap hari selama setahun beliau sibuk mengukur, menimbang, menelaah dan mencocokkan dengan disiplin ilmu Falak yang sangat langka itu ahlinya. Beliau juga sering dipinta membetulkan letak kiblat di Masjid-masjid di serata Jambi. Bahkan Masjid Raya Kota Bangko adalah beliau sendiri yang membetulkan letak arah kiblatnya yang semula keliru beberapa derajat.

Ada keunikan beliau di masa kanak-kanakku dulu. Guru kami ini suka menggambar binatang dengan pena antenanya yang dapat dipanjang-pendekkan. Aku dulu begitu suka, jika beliau menggambar di secarik kertas putih. Gambar-gambar yang bermula dari huruf-huruf latin berubah menjadi gambar binatang-binatang. Beliau juga suka menangkap ular berbisa dengan tangannya langsung, dengan doa yang komat-kamit di mulutnya. Ular itu pun takluk. Lalu mulut ular itu dijahitnya dan dimasukkan dalam karung.

Dulu, ada juga seekor napu, hewan hutan rimba raya yang kini mungkin dah punah, kalau tak mau dikatakan langka yang pernah dipeliharanya. Entah darimana beliau mendapatkan binatang sebesar kambing itu, namun bentuknya lebih mendekati kancil pelanduk. Binatang itu pernah hendak ditunggang oleh anak-anak beliau, yang juga diantara sepupu-sepupuku anggota Bujang Bangku Masjid (BBM).

Dengan salah-seorang anaknya, yang juga sepupuku ketika kami pulang dari rakit-jamban, suatu malam kami ditunjukkannya mata pandangan kami ke arah langit seberang. Lalu, kami ditunjuknya bentuk dan arah bintang-gemintang yang berkelap-kelip dilangit malam. Sekalian menunjukkan letak rasi bintang zodiak kami. Aku yang ketika itu masih kanak-kanak begitu kagum.

“Bintangmu Aquarius, As-Saakib al-Maa’ atau al-Dalw, penuang air, pembawa air. Bintang tercerah dalam rasi ini adalah Sadal Suud atau Shad al-Melik, begitu orang Arab memberi nama. Tampak antara lintang +65° dan −90° paling jelas pada pukul 21.00 selama bulan Oktober!” Kata Buya Abdullah Shoefie padaku seraya menunjukkan letaknya.

“Ada 22 bintang yang membentuk rasi Aquarius. Simbolnya Sang Pembawa Air. Bagi yang terlahir antara 20 Januari hingga 18 Februari memiliki zodiak Aquarius. Jadi, jangan heran, jika kau suka air, berenang hilir-mudik macam itik di sungai.” Canda beliau seraya tertawa.

“Jika saja dari dunia belahan lain aku menatap bintang-bintang yang ditunjukkanya dimalam yang bersamaan, alangkah menariknya, kawan!” Bisikku dalam hati, seraya menyunggingkan senyum.

Ilmu astronomi buta dimata kanak-kanakku. Aku terkadang, ingin mendengar dan menyimak lebih banyak lagi cerita perihal benda-benda langit dibelahan planet lain. Namun, beliau seringkali seperti menangkap kilatan mata keingin-tahuanku yang suka bertanya macam-macam hal. Aku sadar, bahwa aku bukan lah seperti beliau yang dikarunia otak cerdas cemerlang. Memiliki daya ingat luar biasa runtut, detail dan logis. Kualitas intelektualnya, bersanding dengan alumnus universitas mana pun.

“Dulu, Buya suka baca kitab Tafsir Al-Jawahir fi at-Tafsir al-Qur’an al-Karim, karangan Syeikh al-Tantawi al-Jauhari dari Mesir yang bercorak sains ilmi. Kadang-kadang ketika Datuk Muk kamu (Bapaknya, red) kehilangan kitab tafsir yang juga tengah dibacanya. Lantaran, diam-diam, buya juga ikut membacanya.” Tuturnya meriwayatkan kisah kanak-kanaknya padaku, disuatu masa yang telah lampau.

“Buya ini, kalau dulu tak mengaji belajar ilmu agama. Mungkin, minat besar buya tertuju menyelami ilmu-ilmu sains. Dulu, ketika buyutmu Haji Ahmad Shoefie mengajar ilmu Falak, mata dan kepalanya hanya tertuju menghadap ke Buya saja. Kadang buya merasa tak enak dengan kawan-kawan yang lain. Sedangkan murid-murid mengaji ilmu Falak kepada beliau bukan buya seorang saja”. Kata Buya padaku dan sepupuku yang duduk dibangku bulian tua, di laman Masjid tua berdinding kayu menghadap ke sungai yang mengalir lembut itu.

Dimataku, pengetahuan dan wawasan beliau yang melimpah ruah, termasuk mencakup ilmu-ilmu sains yang sangat digemarinya semenjak kanak-kanaknya, bak langit-langit masjid tua di kampungku yang memayungi kami dari panas dan hujan.

(Bersambung)

Rabea Adawea, Cairo, 2 Desember 2009

*Bodoh, perangainya kurang ajar, biasanya disertai sikap cenderung memandang remeh-temeh

**Kata orang, kabar burung, isu dan gosip