musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Sunday, February 28, 2010

Sajak: Ah, Dunia

Sajak: Ah, Dunia

Ahmad David Kholilurrahman

"Ah dunia, puja-puji itu dakimu,

hendak kurenjis-renjis dengan sebasuh tumit
yang tak embun-embun,
hendak terbitkan sekolam zamzam,
yang tak lantun-lantun
hendak titipkan setalam salam
yang tak terjun-terjun
hendak sakitkan sesilam geram
yang tak susun-susun
hendak lilitkan sesuam benam
yang tak puyun-puyun
hendak besitkan setajam tikam
yang tak turun-temurun
hendak sulitkan sehunjam demam
yang tak dusun-dusun
hendak dikitkan selebam resam
yang tak jakun-jakun
hendak pilinkan semasam rukam
yang tak pikun-pikun

Ah, dunia, puja-puji itu dakimu!

Cairo, 1 maret 2010

Saturday, February 27, 2010

Sajak: Selidah Penyiar, Setelinga Pendengar

Sajak: Selidah Penyiar, Setelinga Pendengar

Ahmad David Kholilurrahman

-Kepada Yulia Dea Nesty

Itukah selidah penyiar yang memanjang suara,
Mengulur waktu dari ragu ke lagu?

Adalah penyiar menghantar secebis lisan
Berlarian mendaki tangga kata,
Menurun getar ke tudung telinga pendengar,
Memutar lingkar gelombang,
Ke degup pasang, ke sayup petang

Inikah setelinga pendengar yang mengundang irama,
Menyulur suluh dari semu ke sipu?

Adalah pendengar menyasar sebingkis pesan
Bertalian meniti rongga jiwa,
Melamun sadar ke ujung lidah penyiar,
Menakar tegar guncang,
Ke tangkup lengang, ke sungkup selendang

Cairo, 27 Februari 2010

Tuesday, February 23, 2010

Sajak: Bertumpang Perahu Buku

Sajak: Bertumpang Perahu Buku

Ahmad David Kholilurrahman

Tumpang lah perahu buku,

Selengan pengayuh yang tak capai-capai,
Setangan penyimpuh yang tak sampai-sampai
Seangan penyepuh yang tak sansai-sansai

Kubolak-balik laman kata
Yang tiap helai kalimat menjuntai belalai frasa
Tunggu disuling musafir dahaga,
Mampu dijeling mufassir bahasa

Yang diminum, jadi obat segala taubat
Menyeduh pahit empedu jadi manis madu

Pangkal berlayar, angin berhembus rincus
Seperti hembus yang rampus, memutus
Tali rantai luan kemudi, mengurai panjang unjut
Angan membekal jauh perjalanan ke laut maut

Mungkin, badai kantuk bertiup kencang,
Memukul gelombang sampai pelupuk pandang
Jauhkan jatuh liur ke galang bantal,
Sauhkan labuh dengkur ke batang sesal

Hiruplah, sesegar udara menguar
Di kedai-kedai kopi yang menghampar tikar
Hikayat bandar, siasat saudagar, riwayat pelayar
Yang tak memejam mata malam tukang cerita berihtisar

"Timba daku perigi ilmu, setawar sedingin pengetahuan
Membesuk sakit ziarah sejarah, memeluk tumit dakwah surah"

Sunday, February 21, 2010

Sajak: Jangan Melepas Batuk di Pangkal Tangga

Sajak: Jangan Melepas Batuk di Pangkal Tangga

Ahmad David Kholilurrahman

-Kepada Iwan Farhat

Malam segantang bintang,
Sungai terkedang syahdu, jauh sebatang
Derak tandan kelapa jatuh mumbang

Adalah melepas batuk di pangkal tangga
Jangan ditadah segala yang tumpah
Jangan dibadah segala yang pecah

Sekelimun perbincangan,
Menyeduh bergelas-gelas panas kopi hitam
Menyentuh cemas, seperti senyap ampas
Umpama memungut kayu puntung dalam ambung
Sandar lesung setegak sudung-sudung

Bulan menanjak separuh loyang
Jurai kabar cerita negeri seberang
Menyimpan gula madu sialang
Yang senjang tualang
Yang jenjang malang
Yang lekang hilang

Tentang sebaris kisah anak-anak melompat parit Melaka
Menempa Pasir Gudang, memutik Menara Jagung Kembar
Semalam di Malaya, merdu-merdukan pelayar tersadar
Jauh sauh melabuh riuh,
Jauh pengayuh menyimpuh perahu

Adakah anak-anak Gurun Tuo titip rindu telapak kaki emak?
Adakah anak-anak Gurun Tuo kutip sepuh rentak kaki bapak?

Cairo, 21 Februari 2010

Sajak: Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif al-Minangkabawi

Sajak: Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Lathif al-Minangkabawi

Ahmad David Kholilurrahman

Koto Gadang, Agam

Paruh kedua abad delapan belas
Senin, 6 Dzulhijjah 1276 Hijrah
Lahir seorang anak Minangkabau
Turunan Tuan Abdul Lathif

Yang pergi ke rantau,
Melampau segala surau,

Yang pergi ke rantau,
Menyilau segala lampau

Yang pergi ke rantau,
Mendelau segala ungau


Mekkah,

Lantaran Tuan Syeikh
Padi yang runduk
Budi yang sejuk,
Hati yang khusyuk,
Kaki yang suluk

Menyalakan suluh-suluh anak Jawi
Pergi mengaji ke Negeri Mekkah
Yang melimpah talbiyah,
para jema'ah haji dan umrah.

Walau tuan tak pernah pulang kampung,
Suluh-suluh penerang dibawa
Inyiak Haji Rasul dan kawan sepaham
Menjunjung ajaran tauhid berjiwa tajdid
Yang menolak segala buta taklid

Melalui lisan murid-murid Tuan Syeikh
Melancarkan nasehat kepada kaum adat
Agar kembali berkemudi kepada Kitabullah
dan berpengayuh Sunnah Rasulullah.

Syeikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif al-Minangkabawi
Menadah mizab ilmu masyayeikh Bilad al-Haram
Berguru kepada Syeikh Sayyid Bakri Syatha,
Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan,
Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki

Pada majelis ilmu mazhab Syafi'i,
Pada suatu malam, yang dikelilingi murid
Kandil penerang zawayah pengajian
Dilempar batu hingga kelam suram.

Tapi, tak pernah memadamkan
Niat dan himmah Tuan Syeikh
Menyemai syarahan dan hasyiyah
Perihal Masaail al-Fiqhiyah as-Syafi'iyah

Tuan Syeikh tekun-tunak memungut permata ilmu
Mengarang kitab-kitab berbahasa Arab dan Melayu
Tersebar luas Syiria, Turki dan Mesir

Yang berhiwar tentang akidah Nasrani,
Bubuh kritik kepada trinitas
Irsyadul Hajara fi Raddhi 'alan Nashara

Yang bermunaqasyah tentang ilmu Falak
Waktu Sholat, Gerhana Matahari dan Bulan,
Bintang-bintang Tsaabitah dan Syajarah

Yang bermakmal tentang ilmu Hisab
Geometri dan Tringonometri,
Terpakai menentukan letak kiblat
Raudhat al-Hussab fi Ilmi al-Hisab

Yang berhujah tentang Ilmu Miqat
Dalam bahasa Arab dan Melayu
Al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A'mali al-Jaibiyah

Yang Membetul hukum waris adat yang terpesong, berganti kepada Syara'
tanah kelahiran, mata kerinduan dari jauh yang tak sempat di jenguk pulang
Al-Da'il Masmu'fi al-Raddi ala man Yurist al-Ikhwah wa Aulad al-Akhawat ma'a Wujud al-Ushl wa al-Manhaj al-Masyru'


Rantau Melayu Nusantara,

O, Tuan Syeikh segala Masyayeikh
Guru segala guru,
Menurunkan silsilah sanad ilmu
Kepada barisan shaf alim-ulama negeri Melayu
Yang memburu ilmu, yang membiru rindu
Kepada kemerdekaan umat, bangsa dan negara

Yang Inyiak Rasul, Haji Abdul Karim Amrullah
Adalah penghulu murid kesayangan Tuan Syeikh Ahmad Khatib

Syeikh Muhammad Jamil Djambek, Bukit Tinggi
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, Candung,
Syeikh Muhammad Jamil, Jaho, Padang Panjang,
Syeikh Abbas Qadhi, Padang Lawas,
Syeikh Abbas Abdullah, Suliki,
Syeikh Khatib Ali Padang,
Syeikh Ibrahim Musa Parabek,
Syeikh Mustafa Husein, Purba Baru, Mandailing,
Syeikh Hasan Maksum, Medan

Yang KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Ahmad Dahlan
Menyimpul tampuk ilmu kepada Tuan Syeikh Ahmad Khatib

Tuan bergiat menyerbuk mekar kuncup pembaharuan
Akhir abad sembilan hingga awal abad dua puluh
Membasuh baju umat dari bid'ah, takhayyul dan khurafat
yang karam, yang kelam, yang legam, yang hitam

Menggemarkan semangat ijtihad,
Melamar niat bertuma'ninah
Sepanjang hayat dikandung badan

Aku tegak berdiri memandang kepada batang zaman
Melahirkan sosok macam Tuan Syeikh Ahmad Khatib
Di Masjidil Haram menjadi menara yang menyambung azan
Ilmu pengetahuan bersuluh lentera mujtahid yang turut tertib adib


Cairo, 21 Februari 2010

Thursday, February 18, 2010

Sajak: KH. Ahmad Dahlan

Sajak: KH. Ahmad Dahlan

Ahmad David Kholilurrahman


Kaoeman,

Adalah Muhammad Darwis,
Tumbuh menyulur di Kaoeman,
Paruh kedua abad ke delapan belas
Sejak kanak tumbuh cerdas
Dalam belai asuhan sang bapak alim pandai
Mengaji kepada banyak guru dan kyai
Berpuyun-puyun tangkai ilmu pengetahuan
Didapat jadi sahabat, jadi riwayat, jadi surat

Kelak ditunjuk Ketib Masjid Sultan
Memelihara ibadah, tegak jadi tiang azan
Memulia syahadah, jalankan rukun iman
Seiring-seperjalanan dari kaki hingga kepala
Sejanji-setujuan dari hati hingga wajah


Mekkah,

Di batang umur muda,
Pergi mengaji ke Mekkah,
Bersalin nama jadi Ahmad Dahlan
Menadah pengajian di pancuran ilmu Masyayeikh,
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
Salah-satu guru terkemuka Negeri Ka'bah

Dia suling bening azzam
Dari mataair zamzam
Yang mengalir sepanjang zaman
Yang bergulir setuang pinggan

Syeikh Jamaluddin al-Afghani,
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Berjalan memegang lampu lentera
Mengajak bangkit dari kegelapan
Yang makin membekap semangat
Untuk hadirkan satu kebangkitan
Bersatu-padu dibawah naungan wahyu


Ketib putra Ketib ahli Falak
Hendak membetul letak kiblat,
Yang semula hadap arah Barat,
Diubah arah Barat Laut
Namun, seikhlas niat,
Masyarakat dilarat sengat takut
pada lumut jumud yang tersangkut
sebatang zaman yang menelan sebut,
seruan para pembaharu
yang zuhud, yang juhud

O, zaman yang saksi merecup tunas baru
Awal abad lampau yang ngilu
Untuk simak suara angin menyedu-sedan
Akan azan mujaddid menjulangkan ajaran tauhid

Mencelangkan mata umat berselubung
Tahayyul, bid'ah dan khurafat

Berbekal semangat Surah Al-Maun
Menanam amal jariyah, daripada berkata sia-sia

Sebab umur Persyarikatan Muhammadiyah
Jauh lebih tua dari Republik Kesatuan

Wahai lelaki bersurban, janggut membuih putih
Memilih tangan bekerja, bahu memikul, tangan mencencang
Daripada mulut sibuk berbincang segala ucap yang senjang
Daripada hiruk-pikuk berlekang segala sesap yang timpang

Adakah dimana deras darah umat mengalir?

Kalau bukan pada pemuda yang bijak pikir
Berpikir melampaui zamannya, mengukir
Kerja nyata yang memulia akal dan jiwa
Kerja nyata yang memadai kaki dan kepala

Jogjakarta,

Dari jantung kerajaan Jawa,
Lahir pemikir umat, yang memilih jalan dakwah
Melayani amal usaha, pendidikan dan kesehatan
Koperasi dan kesejahteraan orang banyak

Tutur katanya adalah abjad hikmah
Sulur tangannya adalah khidmah umat,
Ulur kakinya adalah telekan tongkat
Seri wajahnya adalah jihad ibadah

Yang menggaung sebarisan kata bertenaga dahsyat;

"Hidup-hidupi lah Muhammadiyah,
Jangan mencari hidup dalam Muhammadiyah!"


Cairo, 18 Februari 2010

Sajak: Pernahkah Kau Merasa Sendirian?

Sajak: Pernahkah Kau Merasa Sendirian?

Ahmad David Kholilurrahman

-Kepada Abdul Wadud Shoefie


Pernahkah kau merasa sendirian?

Awan gelap memayung lebat,
Sungkup langit, menyelubung tubuh taubat
Mengalir deras darah merasuk aorta
Dari kalang hulu, hujan airmata mendera
Zikir melipir bibir paling tubir?

O, yang pucat wajah
Kemana perahu hendak dilabuh
Larat arus menghanyut hulu, jauh
Karam kamus mendenyut guru, peluh
Tersepar menyangkut hulu, aduh
Sansai ratus membalut ribu, kayuh
Kelam rampus merenggut daku, jatuh

Pernahkah kau merasa sendirian?

Menempuh rimba dunia,
Yang berseteru onak duri, marabahaya
Hilang pangkal jalan, hilang pangkal hari

Ingatlah, segala puncak didaki, segala lembah
Diturun, segala lurah dibelah, segala muara ditumpah

Akan tercerai-berai yang tersemai,
Akan terkulai-lepai yang tersampai
Akan termalai-malai yang terurai

Yang hangat-hangatkan silu-kuku
Yang sangat-sangatkan haru-biru
Yang erat-eratkan kelu-beku

Pernahkah kau merasa sendirian?


Cairo, 18 Februari 2010

Tuesday, February 16, 2010

Sajak: Pak M. Natsir

Sajak: Pak M. Natsir

Ahmad David Kholilurrahman

Alahan Panjang,

Di lembah Gumanti,
Berdepan Jembatan Berukir,
Rumah tangis perdanamu,
Adalah Alahan Panjang,
Yang kumandang azan
Menjulang, ruang waktu
yang bertumpang rindu

O, Putra Muhammad Idris Sutan Saripado
Yang santun, cerdas dan sederhana
Seperti pantulan sepasang danau kembar
Di kaki Gunung Talang
Laman kanak-kanakmu, terbentang
Antara Alahan Panjang, Maninjau,
Solok dan Padang

Seperti lazim bujang surau,
Jauh sebelum ke rantau,
Yang hirau, yang lepau, yang limau
Manis airmuka santunmu,
Yang kalau jadi pantun,
Terjun turun ngarai,
Jadi lembah, lurah dan muara
Tersusun Capita Selecta

Bandoeng,

Kau bungkam mulut congkak guru Belanda
Yang pandang sebelah mata anak Sumatera

Rantaumu tanah Jawa,
Tera perahumu berkayuh ke telaga ilmu
Berguru ke Tuan A. Hassan
Di Kampung Keling,
Mengasah diskusi serembang petang,
Haji Agoes Salim dan Syaikh Ahmad Soorkati
Pun, kau mengaku berguru tiada henti

Sebenarnya hampir nyicip selemak-semanis ilmu,
Kau abaikan beasiswa ke Negeri Belanda
Narik hatimu, adalah syarah gurumu
Yang berpaham pembaharu
Yang fasih Arab, Inggris, India dan Melayu

Dalam perbancuhan mengaji ilmu,
Diskusi dan debat adalah perkara baru
Yang tumbuhkan rindu murid-guru
Mencari panduan Soal Jawab
Sembuhkan lumpuh umat,
Yang kebat-kebatkan khurafat,
Yang ada-adakan bid’ah
Yang kumpul-kumpulkan tahayyul

Djakarta-Djogjakarta,

Dalam pergerakan dunia siasat,
Kesantunanmu tiada kira,
Majelis terdiam menyimak pasat
Bulir-bulir bernas pemikir besar nan bersahaja
Daya jelajah intelektual terbentang luas
Menyelam di lubuk agama, falsafah, bahasa, sastra
Menyuluh kandil lentera cahaya emas
Akan akal budi berterang wahyu Allah

Pembela Islam, Panji Masjarakat
Memuat buah pikirmu, sedari mula
Gurumu menyuruh cari sendiri
Akan persoalan berkelindan kemudian
Mencari jawaban tahan ujian zaman?

Walau tangga dunia berupa wazir
Dan perdana menteri pernah kau daki
Tak silau akan harta, tak tuna akan kuasa
Karena jabatan adalah khidmah, bukan hadiah?

Masih terkenang aku, akan jiwa sederhana
Baju kemeja bernoda tinta, jas berjahit tambal-sulam
Kau tolak halus mobil kenderaan, harta benda dunia
Yang bukan hak dan milikmu?

Kau rancang arstitektural Mosi Integral Negara Kesatuan,
Menyelamatkan cerai berai Nusa Antara
Yang dah teriris-iris kecil jadi serikat-serikat
Kembali anak-anak negeri ke pangkuan persatuan

Hoetan Rimba Raja Soematera

O, zaman yang kacau,
Melahirkan keajaiban sosok lurus, sayang keluarga
Sepanjang masa memikirkan umat

Ketika penguasa berlaku timpang,
Maka rumah perjuanganmu menjelma hutan-hutan Sumatera
Keluar masuk nagari, bermalam di alam rimba raya
Pusat Pemerintahan Republik Revolusioner Indonesia

Pintu penjara adalah tamasya,
Seperti Hamka yang berkhalwat,
Mengarang lunas Tafsir Al-Azhar,
Bagimu adalah bilik munajat
Menyuling pancuran niat
Yang rakaat merukuk sholat
Tiada tinggal menoreh taqwim umat

Pantaslah, berdua sahabat karib saling berbalas syair
Kata Hamka kepadamu; “Masukkan aku dalam daftarmu!”*

Fiqh Dakwah adalah bacaan anak-anak muda
Tegak menjadi tiang, menara dan azan
Tali napas pesantren, kampus dan masjid
Jelajah dakwah merambah pelosok pedalaman
Wilayah terasing yang terkucil kesunyian

Surat-suratmu kepada pemimpin-pemimpin dunia
Sebagai buah cinta kasihmu pada Indonesia,
Walau penguasa mengurungmu berjeruji besi,
Baktimu tiada berhenti kepada negeri

Bahkan, seorang Raja dalam Muktamar Dunia Islam,
Lebih memilih bertanya; “Mana Natsir?”

Seorang Mantan Perdana Menteri;
“Merasakan kehilanganmu, lebih dahsyat dari bom atom Hiroshima!”

Cairo, 17 Februari 2010


*Sebuah Syair Hamka untuk M. Natsir

Monday, February 15, 2010

Sajak: Buya Hamka

Sajak: Buya Hamka

Ahmad David Kholilurrrahman


Jeddah-Mekkah,

"Malik, pulang lah ke Tanah Air?"
Bisik si Lelaki Tua Bijak hangat


Sehangat airmatanya,
Yang neteskan hikmah,
Yang netaskan ibrah

Lalu, Bujang Jauh
Pergi berkayuh, datang berlabuh,
Setelah terkatung-katung, belasan hari
Diayun perut gelombang, dilamun laut samudera Hindia
Hingga Laut Merah yang menanam sejarah

Pada mulanya, mungkin adalah rajuk,
Yang menunggu bujuk, menyuruk suluk
Di Bawah Lindungan Ka'bah

Pada mulanya, mungkin adalah peluk,
Yang menunggu takluk, menyucuk sejuk
Di Belaian hangat Bunda?

Qel'ah Tua Jabbal Hindi,
Serupa bangku meja,
Yang menera Mekkah, tumpah-ruah talbiyah,
Menadah ibadah tertuju rindu Rabb al-Ka'bah

Kelepak elang gurun,
Menggelar susun jakun,
Yang membantun santun, menuntun ubun
Jatuh mengembun sepasang alis,
Mengalir sungai, mengiris tangis Jabbal Qubbais,
yang sampai selepai lebai, terkulai sansai?

Pecah kaki, menarat darat Gurun
Antara Jeddah-Mekkah,
Menajam rindu, menanam cemburu
Kepada Muara Maha Perindu
Yang Ahad, Ahad, Ahad

Bujang Jauh, dua puluh empat jam
gantungkan jiwa
Memutar thawaf, melikat belikat Ka'bah
Serahkan jiwa, pasrahkan jiwa, rumahkan jiwa
Sehelai kain ihram, yang seputih uban, seputih kafan
Membalut tubuh, yang tak ada Malik, tak ada Muluk
Jatuh jadi hamba sahaya segala sahaya
Duduk bermenung, diatap rumah Sutuh
Segantang bintang melekang, setandang hilang membilang;

"Pulang lah, Malik, Tanah Air menunggumu?"

Azzam berderam, mengaji kitab
Sedelau kandil Masyayeikh Bilad al-Haramain?

Maninjau,

Jiwanya adalah permenungan sunyi Merapi dan Singgalang,
Memurung pujangga, yang selidah lisan, mengasah tajam mata pena
Yang menurun lembah, sehijau air muka Maninjau

Khatib-ul Ummah,
Adalah himpunan karangan perdana
Tunjukkan bakat, telunjukkan niat
Menambat perahu, dendang saluang, hikayat tambo,
Yang bermalam-malam hapalkan pepatah-petitih
Merintih perih, meringkih didih, menyulih sedih

Inyiak Rasul, adalah tiang teras
Yang tertempa cerdas,
pertembungan kaum adat dan paderi
Sebentang tafsir, Adat Bersandi Syara', Syara Bersandi Kitabullah

Murid kesayangan Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi,
Alim-ulama Mekkah menaruh hormat pada gurunya,
Walau jauh jadi tali sauh, menambat berlabuh
Puluhan kapal-kapal pembaharu

Sesegar jum'at, kedua anak-beranak,
Berjalan seiringan, Abuya sampirkan syal
Kepada Bujang Jauh yang pulang dari rantau Mekkah
Sepanjang jalan menuju surau kami yang belum roboh

Simaklah, Kenang-kenangan Hidup, Ayahku
Goreskan bahasa, oleskan kata yang hidupkan
Bahasa Melayu, bahasa Ibuku

Dakwah jua yang mengembara,
Mengasah tajam mata pena,
Yang bernas jadi emas,
Bersimbah keringat zaman
Yang tak tunduk kepala Abuya kepada Jepang
Mengaku saudara tua Asia Raya
Serasa samurai membelah, sangkur menghunus usus
Tiang pancang iman, menawar takut jadi gagah

Mati terhormat berperisai akidah,
Lebih mulia memindai maut,
Yang hanya sujud kepada Maha Maujud

Jakarta,

Sejak bujang bertualang tanah Jawa,
Bertemu Haji Oemar Said, Haji Agus Salim, AR. Sutan Mansjur
Berkawan Bung Karno, M. Hatta, Sjahrir dan M. Natsir

Ke penjara, yang menghantar khalwat,
Menuang dawat, tafsir Al-Azhar adalah tamasya
Alim besar mengarung samudera ilmu Allah
Yang setetes merembes, yang pokok-pokok kayu
Tak cukup pena untuk menuangkan rindu
Bertemu wajah-Nya?

Kediamannya adalah rumah hangat,
Tempat nasehat bersahabat,
Jadi perigi bertumpang-tanya,
ketika haus dahaga mendera umat
bak tongkat berpegangan larat
Karam dunia, kelam akhirat?

Tengok lah, sikap qana'ahnya
Pada dunia yang fana
Jabatan bukan lah segala-galanya,
Biar lah langit runtuh, namun kebenaran pantang dilumpuh?

Cairo, 16 Februari 2010

Sajak: Tuan A. Hassan

Sajak: Tuan A. Hassan

Ahmad David Kholilurrahman

Tumasik,

Dari bilik Negeri Tumasik, sebelum mekar bandar dagang,
Menjulur Melaka yang melidah petah sejarah,
Ayun buayan gelombang darah, menyimpul temali kapal nasab,
Akan nasib al-kamar mengibar dirham dinar,
labuh sauh jangkar, jaring silsilah menghimpun turun-temurun,
memuyun setangkai ilmu,
yang sampai, yang gapai, yang landai, yang pandai

sehiruk-pikuk saudagar melamar pasar,
Menyuruk seceruk sempit lapar,
Ragam bangsa jatuh bangun menegak kuasa,
Keletah lidah yang bergetah bahasa,
merimbun rumpun Melayu,
Menyeduh rindu seteguk ilmu,
Yang menyelam-nyelam di lipatan laman-laman kitab kuning,
Setabah mengeja larat harakat,
Bertunak niat yang melemak-manis,
dibetis tiang pelantar,
atap melentik, sesenyap samar camar,
dan airmuka manis Syahbandar menguar koar;

"Dah karam dunia, dah kelam buta?"

Inilah denyut pasang-surut anak manusia penjelajah Arab, Sudan, Palekat,
Madras, Tamil, Bangla, Tionghoa menyacak layar Ke Tenggara, Merentas Samudera Hindia,
Sesempit selat akrab bungin berumah laut musim angin utara,
yang ngaum seribu harimau terkam badai, yang koyak-moyak gudang-gudang,
Tapi sejak lama kami belajar menjahit jala, mendempul perahu,
Pun memintal bantal ombak, memuntal gazal lasak, mengekal ikat talikat

"Tuan, ince, mari, mari sini, kita tawarkan perniagaan,
seluar destar, kain Palekat pun ada?
Tukar sirih, pinang dan barus pun jadi?"

"Yang sudah gaharu, cendana pula, wahai kafilah dagang!"

Seperti ziarah dari satu jazirah ke seribu jazirah,
Berputik cengkih, harum kenanga, pedas lada, wangi kesturi,
kalungkan bunga rampai ihtisar percakapan setedas kalam
akan kandil akal pengetahuan, bersimbah cahaya wahyu Al-Qur'an,

Bukan nafsu yang melesukan zaman,
memalsukan surban yang uban
Tersebab pernah membisu kepala batu,
pengampu bid'ah, penganut khurafat dan pemuja tahayyul?

Dan merecup jiwa mujtahid yang mujahid.
Berkuncup lah Ijtihad yang berjihad.
Berlayar dari pangkal Ilmu-ilmu alat,
Melamar gemar ilmu Nahwu,
Pembahasan Tashrif,
memaling satu huruf, akhir kalimat dari pasung pujian ke lancung ujian?

Dari satu rakaat ke taubat,
Berpikir mantiq yang meletakkan akal di pinggan wahyu,
yang sudu pun tak bakal saling seteru,
karena seiring selaluan,
sepadu-sepaham,
sebentang-seperlapikan kata,
seanyam sesirat kalimat
perdebatan sekhalayak pencinta ilmu,

Perihal perbincangan ilmiah;
Jawab yang bertamu soal, atau soal yang bertemu jawab?

Termaktub dalil Ummu-l Kitab, dan Kutubu-Tis'ah
Perbincangan syarah ulama-ulama pemangkin ijtihad
dalam sebatang pohon zaman usia seratus tahun,
Terang berjodoh benderang, seperti nyalang matahari pukul dua belas siang!

Soerabaja,

Awalnya, adalah pelayaran menebuk Bandar Soerabaja,
Seperti riwayat yang mu'tamad,
Sekitar tegah paman kepada kemenakan;

"Jangan ceburi majelis si Fakih,
tak melebus lafadz niat sebelum sholat,
yang tak berqunut,
yang menampi Barzanji jadi nyanyi,
dari Maghribi hingga Serambi!"


Walau, setekun penenun, meraih satu alif ba ta,
Dari satu nun ke Nun
Dari satu Kitab ke kitab terbentang,
Menyelidik mana Sunnah, mana Bid'ah?
Menyelisik sisik-siang, mana beras mana atah?

Lantaran akal bersimbah cahaya wahyu,
Tak akan pernah saling silang sengketa?

Ibarat keahlian vulkanisir, yang memeriksa bocor jantung angin,
pecah jangat ban, sekafan kain putih
yang aus, yang lampus, yang hangus

Bandoeng,

Setekun bertenun,
Menulis buku, menjilid,
Mencetak dan menerbitkan.
Itu pekerjaan sehari, selain ceramah dan melayani ruang perdebatan,
Pada sebatang kara zaman yang kacau,
Dan api revolusi yang membakar "Bandoeng Laoetan Api"

Ada kedua bilah tangan sepasang sahabat menggelar tikar pengajian,
Persatuan Islam, saudagar dari Palembang dan Kalimantan,
Tapi Tuan lebih dikenal lebih luas,
Sebagai Guru memancur ilmu,
Bagi M. Natsir, anak datuk Sumatera yang alim dan cerdas,
si orator ulung, Isa Anshari, anak Tatar Sunda Abdurrahman,
Pun, Rusyad Nurdin dan kawan-kawan sepermainan.

Tuan takik gores Soal-Jawab,
yang setebal bantal,
Tafsir Al-Furqan, yang
Segera tahu Tuan juga memulia bahasa Melayu, bahasa ibuku?

Dari balik jeruji tanah pengasingan di Timur, Ende,
Bung Karno kirim surat kepada Tuan,
lalu gayung bersambut polemik seputar Islam, Kebangsaan dan Kemodernan,
yang Proklamator itu mengaku berguru juga pada Tuan.

Di Bawah Bendera Revolusi, merekam fragmen pertukaran pikiran cerdas
Antara Guru dan Murid, walau keras, tapi bersahabat?

Dan Stasiun Kereta Api Bangil,

Adalah rentangan saksi bisu kehangatan persahabatan Tuan dan Bung?
Pada malam-malam yang tak tahu di mata telinga orang banyak?
Kata orang ramai;"Tuan adalah Singa podium, sekaligus Domba pergaulan?

Zamanku kini kian langka, yang ulama bermata setajam mata elang,
Yang politisinya bertelinga ke bumi dan langit?

Yang berlambak-lambak, malah yang mengaku ulama,
tapi nyatanya, tak lebih pelawak atau penghibur belaka.
Politisinya berkuping pekak badak, walau daunnya selebar tudung saji

Adakah ombak persahabatan yang mengikat Tuan dan Bung Karno,
yang perahu dan tongkang saling berpegangan?

Bangil,

Kenapa Tuan menjatuhkan hati ke Kota kecil sepelemparan batu dari Soerabaja?

Kenapa, misalnya bukan Malang atau Pasoeroean?

Berbekal sembilan murid dibawa dari Bandoeng,
Tegakkan kaki pesantren di Bangil,
Tangan dingin, pikiran sejuk mengalir cerdas,
Tekun-tunak, bak seorang penenun menjalin pintin benang umat,
Memilih jalan pendidikan, bukan lapangan siasat?

Itu biar tugas M. Natsir dan kawan-kawan mencebur politik di parlemen dan
panggung kekuasaan?

Tuan Lebih suka menabur semai bibit-bibit baru,
Sembari menulis buku-buku baru,
Yang mengundang minat baca baru
Mencari Soal-Jawab baru
Yang kelak Bergayung-Sambut?

Atau mencari soalan baru
Atas jawaban lama?

Yang berpuluh jilid buku
Menyusun risalah atas segala persoalan,
Dari kamus bahasa, tauhid, syari'ah, fiqh, ushul fiqh, tafsir, hadist,
Pemikiran, Kristologi, Ahmadiyah, Kebangsaan, Kebatinan, pun
menyaji hidangan sejuk moral kejiwaan umat?

Jika Tuan kini hadir di Bangil, hari ini
Menatap tapak-tapak sejarah,
Tuan akan menangis,
Seumpama tikaman gerimis,
Yang mengiris-ngiris
Pelipis, paling tipis
Seiris, iris
Secebis, cebis
Sampai habis

Cairo, 15 Februari 2010

Wednesday, February 10, 2010

Sajak 34: Ka'bah Tergantung di Laman Kanak-Kanakku

Calon Penghuni Kumpulan Sajak: Awak Thawaf, di Rumah-Mu

Sajak 34: Ka'bah Tergantung di Laman Kanak-Kanakku

Ahmad David Kholilurrahman

Awak tengok Rumah-Mu,

Pada sebuah hiasan sulaman setrimen
Tergantung di dinding papan kayu,
Rumah yang panggung, ramah ke kampung

Jatuh tertegun,
Hingga teralun bantun
Ke tuntun yang paling jantung

SubhanAllah, itukah Rumah-Mu?

Awak tengok Rumah-Mu,

Pada sebuah kekeran mainan kanak-kanak
Hadiah dari kerabat yang turun dari Tanah Suci
Tergantung di bibir si kurus kering,
Singgah yang sulung, pindah ke relung

Jatuh tertegun,
Hingga turun temurun
Ke santun yang paling lempung

SubhanAllah, itukah Rumah-Mu?

Cairo, 11 Februari 2010

Saturday, February 6, 2010

Sajak: Mimpi Anak-Anak Bahari

Sajak: Mimpi Anak-Anak Bahari

-Kepada Farid Gaban dan Ahmad Yunus

Ahmad David Kholilurrahman

Setiap hari, penguasa negeri kami
Tak pernah mau melautkan jembatan,
Negeri lautan merangkum pulau-pulau
Yang dibangun centang-perenang
Seperti angsa berenang di lemban?

Padahal, laut adalah uap keringat
Anak-anak bahari, laman bermain kami
Meminang ratusan tahun, menampi sunyi
Menegak layar kuasa, bersayap angin,
Asin garam, dan kecamuk gelombang, ingin
Yang bungin sampirkan kabut pandangan
Perahu jerami, kapal kertas, rakit pisang
Melautkan samudera lukisan angan kanak-kanak,

Yang hendak dikubur penguasa, di ketiak musim
Adalah gemerincing janji, yang menjelma jalan-jalan
Dari Sabang hingga Merauke, berlubang yang lebih liang dari mata uang?

Silahkan Tuan,
Timbun lautan, selat, tanjung dan palung
Ratakan gunung-gemunung, datarkan bukit-bukau
Sehamparan daratan, seperti disunglap, menjelma
Ratusan ribu lapangan bolakaki, padang layang-layang
Meluapkan mimpi kami jadi anak-anak bahari?

Cairo, 7 Februari 2010

Sajak: Az-Zahir

Sajak: Az-Zahir

Ahmad David Kholilurrahman

Jika perahu berlayar,
Periksa lambung ketika bersandar,
Asin laut dan kelepak camar
Di tiang-tiang pelantar, memekar
Angan al-kamar, sepasang tangan dirham-dinar
Yang melamar bazaar menjauh tersasar
Memusar hingar-bingar saudagar,
Akan jangkar yang bertagar seluar destar
Menembus jantung pasar,
Siang menggelepar, bertukar kabar
Ke lumbung paling lapar

Kububuh rindu paling suruk
Menciduk wudhu khusyuk
Yang sejuk, meresuk-resuk
Yang bujuk, memeluk-meluk
Yang suluk, menakuk-nakuk

Di Plasa kota tua,
Aku berbaring setengah sadar,
Memasuk gemetar jemari kasar
Segulung roti gandum tawar,
Yang mengundang merpati berputar
Memikat lapar paling sabar?

“Makan lah, wahai burung-burung rajin berzikir,
Hingga butir paling akhir”


Biarlah, aku bertahan air liur, sampai matahari tergelincir
Kekal waktu menyampir desir pepasir,
Kepada Az-Zahir, yang menulis syair
Perihal musafir fakir
Bertualang melipir pikir
Menetal debu seribu menara,
memintal riwayat papa kedana
Sedakwat tinta, mengukir kalam bulu angsa
Mengenang kisah paling basah airmata
Melekang petah paling helah cinta
Yang surut umur, menyusur uzur kelemumur

Di laman tafakkur, tangga umur menyulur;
Syukur, syukur, syukur
Syukur, syukur
Syukur

Cairo, 6 Februari 2008

Thursday, February 4, 2010

Sajak: Perahu Rehal, Setelunjuk Pengayuh Kekal

Sajak: Perahu Rehal, Setelunjuk Pengayuh Kekal

-Miswar Mushadiq

Ahmad David Kholilurrahman

Dan perahu rehal berlayar,
Terkembang mushaf Kitab terbentang
Penunjuk lidi enau atau duri landak
Setelunjuk jari, mematuh pengayuh
Meminang jatuh waktu
Kelak selemak rindu,
Menyeru bangku Madrasah setabah dakwah?

Meletak tawadhu syakal, rukuk harakat,
Dari kekal niat hingga tunduk taubat

Menyelam Ayat-ayat suci,
ke lubuk paling dalam
yang kelam menyingkir
yang malam melipir akhir

Dengung anak-anak lebah,
Serata menghulu, serasa menghilir kampung,
Serupa alir darah terpompa rabu jantung
Rumah panggung menggelar tikar pandan
Menangguk laba paling untung

Nyesap madu, seramping sialang,
Ngisap ilmu paling benderang
Ngecap malu saling ngundang

Cairo, 4 Februari 2010

Tuesday, February 2, 2010

Esai: Sujud Syukur “Anak-Cucu-Cicit” Fir’aun!

Esai: Sujud Syukur “Anak-Cucu-Cicit” Fir’aun!

Ahmad David Kholilurrahman*

Di malam yang hangat itu, tiba-tiba tersungkur sujud di lapangan hijau.

Nun, jauh di sana, di 11 de Novembro Stadium, Luanda, Angola. Sebuah Negeri yang masih bergejolak perang (pemberontakan). Riuh-rendah sepakbola di benua yang terpanggang matahari Afrika, menabalkan gelar ke tujuh sang “Anak-Cucu Fira’un” (Abnaaul al-Fira’inah). Begitu mereka sering mengklaim, tim sepakbola Mesir, ajaibnya merengkuh kampiun Afrika tiga kali berturut-turut. Menambah daftar kejayaannya meraih tujuh kali Piala Afrika. Sebuah rekor yang diukir generasi emas Persepakbolaan Mesir ini, rasanya sulit diulangi lagi di tahun-tahun mendatang!

Tapi, ada yang getir ironis. Timnas sepakbola Mesir gagal melaju ke perhelatan akbar sepakbola dunia di Afrika Selatan pertengahan tahun ini.

Aku tak akan bercerita tentang gadis muda yang mengucurkan airmatanya untuk kejayaan negaranya, juga nasib nasionalisme si kulit bundar? Itu, adalah kisah dua tahun lepas, setelah aku menyaksikan peristiwa kejayaan sepakbola mereka menaklukkan Kamerun lewat gol Muhammed Abou Treka di partai puncak, di Ghana, tahun 2008.

Bukan pula tentang jalannya pertandingan sepanjang 90 menit. Tak juga perihal aksi-aksi saling balas serangan antar dua tim yang berhadapan di partai final. Mesir yang diperkuat pemain-pemain dua tahun lepas melawan tim muda Ghana yang sebagian besar adalah pemain muda yang menjuarai Piala Dunia Junior 2009, di Mesir tahun lalu.

Atau perihal terciptanya gol yang lahir dari pemain pengganti Muhammed Nage Gedo (yang belakangan populer di kalangan muda penyokong fanatik) dengan panggilan;”Ya Gedo!” Satu gol Gedo, si anak pesisir pantai kota cantik pemandian pantai laut Mediterannian, Alexandria, sudah cukup membuat 80 juta penduduk negeri tua turun membuncah ke jalan-jalan. Bergadang semalam suntuk, tanpa kantuk secebis pun!

Tapi, sepakbola bukan diadon dalam semalam dua malam seperti roti gandum?

Sepakbola itu seperti kegemaran penduduk negeri piramid ini pada fuul dan tha’miyah (dua jenis makanan khas) yang tak pernah lepas dari sepasang siang dan malam. Sebuah ihwal yang mengkhabarkan, salah-satu cara melepas kesuntukan kehidupan yang menghimpit. Ditengah ancaman angka pengangguran, kelangkaan lapangan kerja, kepadatan, citra budaya peradaban yang tumpang-tindih, serta paradoksal peradaban.

Saya, suka memperkenalkan sebuah istilah baru “Negeri Paradoksal Peradaban” kepada para tamu-tamu yang datang bertandang ke “Negeri Kedua” saya ini?

Kenapa?

Karena rupa dan citraan negeri ini melekat dengan warna-warni kebudayaan yang saling tumpang-tindih, bertentang-lawan, berhadap-hadapan, namun bersimbah keharmonisan kehidupan. Aneka ragam bangsa pernah menjajah negeri ini, aneka peradaban pernah menanamkan pengaruhnya, namun negeri ini memiliki citra dan warna khas, yang sukar saya sapukan diatas kanvas lukisan kata-kata?

Sepakbola adalah salah-satu bagian terkecil, dari ihwal yang membentuk paradoksal. Sisi pertama, karena mereka sendiri (bangsa Mesir) mengklaim leluhur bangsa Fir’aun (Pharaoh) juga memainkan sepakbola, sekali pun dalam bentuk yang paling purba?

Nama julukan tim sepakbola boleh berbau simbol pembangkangan besar sejarah peradaban manusia, Abnaaul Firaa’inah (anak-cucu-cicit Fir’aun), namun simbol lain hadir di lapangan hijau, selebrasi gol ditutup dengan ungkapan sujud syukur berjama’ah oleh pemain dan offisialnya?

Bukankah ini citraan lain dari peradaban paradoksal?

Dan menurut surat-kabar yang memberitakan sendiri. Bahwa sang Pelatih Mesir yang paling sukses, Hassan Shehata, membuang nama-nama pemain kondang lain yang kurang memiliki ketaatan kepada Allah SWT. Mohammed Hossam (Mido) tersingkir, lantaran dianggap kurang berbaur dan kurang taat beribadah? Dan Mohammed Zidan, awalnya pribadi yang suka mengucilkan diri, berkat pendekatan dan pencerahan sang Pelatih, bergelaral-Mu’allim Hassan Shehata, jadi rajin beribadah dan bermasyarakat? Sang pelatih yang secara resmi ditunjuk lagi menukangi timnas ini hingga kualifikasi Piala Dunia 2014 dari kontrak semula yang berdurasi sampai 2012.

Malam itu, penghujung bulan januari yang menggigil di Cairo, sebuah gol tunggal Gedo cukup membuat seluruh penjuru ini berpesta semalam suntuk; suara lengking klakson, terompet, gendang, api obor semprotan, mercon, kembang api, cat tiga warna; merah-putih-hitam di wajah sebuah hidangan di depan mata?

Senyum yang tumpah. Riang-gembira yang ramah. Malam sejuk yang hangat. Kehangatan yang terkirim dari Luanda, Anggola, dari sebuah negeri yang bergejolak, ditandai tertembaknya dua offisial tim Togo mundur dari keikutsertaan Piala Afrika?

Pada suatu malam selepas kemenangan itu. Di lorong-lorong labirin Khan el-Khalily, Hussain, seorang lelaki Mesir penyokong sepakbola menyambut tahniah yang spontan saya lontarkan; "Milyun Mabruk li-Muntakhabna Mashr!" (“Berjuta-juta Mabruk bagi Timnas (kita) Mesir!). Dia jawab, Allahu Yubaarik Fiik! Wa Malayin Kaman! (Semoga Allah Memberkahi bagimu (juga) dan berjuta-juta lagi!).

“Adakah sepakbola itu memiliki agama?" Tanya saya kepada lelaki pemilik kedai kerajian tangan itu. Dia diam sejenak, lalu menjawab singkat dan mengena; An-Nasr min Rabbuna! (Kemenangan itu dari Tuhan kita). Saya menyambut dengan senyum, lelaki itu pun tersenyum lebar, selebar hidangan kuningan yang banyak terdapat di kawasan itu.

Berjam-jam di bilangan salah-satu pusat keramaian Abbas Akkad, saya dan seorang kawan senior, terselip dibalik antusias pesta kegembiraan negeri ini menjadi kampiun Afrika? Seperti wajah sang kapten, “As-Shaqr” Ahmed Hassan yang memecahkan rekor pertandingan internasional ke 172, melewati sang "al-‘Amid al-Kurratul Mashriyah” Hossam Hassan yang hanya 169 kali.

Sebuah pertunjukan sepakbola, juga mempertontonkan warna paradoksal lain negeri ini!

Cairo, 2 Februari 2010


*Milanesti sejati!