musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Wednesday, December 31, 2008

Sajak: Jambi 3


Sajak: Jambi 3

1/
Urat sungaimu mengalir Batanghari,
Darah lautmu menghilir Selat Berhala
Gunung Kerinci menangkup payung teduh Sumatera,
Taman Bukit Tiga Puluh surga hutan basah tropika.

2/
Tubuhmu bilur menyadap deras getah karet,
Kilang-kilang minyak membangkai di Kenali Asam.
Pipa-pipa gas dihisap buas Singapura,
Tanah ulayat menguap berkeringat minyak sawit,
Anak negerimu sibuk membangun istana walet.
Tapi, laman hutan Suku Anak Dalam kian menyempit?

3/
Rimba gano terhampar punah-ranah,
Damar-jerenang lesap tak bergetah,
Aku nak minum air sulung diulu talang,
Tapi, sungai kusut-masai dicemar limbah dulang?

4/
Penjajah kulit sawo-matang kian kemaruk;
Mengeruk hingga ceruk mata hati Jambi.

Apalah arti merdeka, kekasihku?
Jika airmata pun mengering dilumat kemarau
Kita ditipu bujuk-rayu manis-muka Jakarta.

Wahai anak negeri Jambi;
Kita mau mati meragan atau tegak melawan?

Heliopolis, Cairo, 10 Agustus 2007

Sajak: Jambi 2


Sajak: Jambi 2

1/
Tak siapa pun berani hati menjengukmu,
Padahal kau tanah Melayu tua.
Jauh sebelum Melaka mekar,
Tumasik menjelma bandar dagang.

2/
Urat sungai darah laut menyembul ditubuhmu,
Adat resam Melayu mendedahkan;
Tegur-sapa pertanda malu,
Tegah-pantang isyarat sayang,
Tunjuk-ajar laluan datang!

3/
Sopan-santun menjunjung marwah,
Lenggak-lenggok menjaga tuah,
Seloka-pantun merenung jiwa,
Tengak-tengok menduga arah.

4/
Ke hulu-hilir memikul selemak-semanis ilmu,
ke laut-darat menjinjing pahit-maung hidup.
Bertemu-pikir menyusul anak gadis pemalu,
Bertaut-erat merungsing sakit murung gugup

Heliopolis, Cairo, 7 Agustus 2007

Sajak: Jambi 1


Sajak: Jambi 1

1/
Betapa aku merindumu siang-malam,
Sajak mencatatmu dalam bait-bait keterasingan

Betapa aku menyayangimu tanpa lelah,
Prosa menulismu dalam senarai kesunyian

2/
Kau mengisi laman mimpiku sepanjang musim;
Seharum ruba’i yasmin menyerbuk udara,
Seliuk angin seloka membelai awan,
Sederas hujan ghazal mengguyup buku.

3/
Walau aku meminum air sungai Nil,
Batang Tembesi jua mengaliri urat-nadiku.

Walau aku bermukim dinegeri Seribu Menara,
Tanah Jambi pula menghimbau bertalu-talu

4/
Tak kan aku malu mengaku Melayu,
Walau khalayak ramai menampikmu.
Jika pun mereka mengenalmu,
Taruhlah, sekedar pura-pura tahu.

Heliopolis, Cairo 3 Agustus 2007

Monday, December 29, 2008


Sajak: Sesudu Murung, Sepinggan Menung

I/
Mungkin, Majnun-Layla

Hikayat musafir fakir mengalir ke titik nadir;
Seperti luka yang tertusuk jatuh,

disiram asin garam,

Cuka cuaca,

Tetes limau.

Sahut orang ramai;
Lelaki itu perindu ulung,

Pun pemurung sulung.

Tapi, ada pula yang bilang,

Senyap tanpa berkata;

Dia majnun yang mencari Layla!

Sini, kubisikkan padamu seorang;
Dia memang terasing jauh,

Sejak laut menolak berlabuh,

Gelombang menghalau sauh,

Bintang jauh meredup rapuh.

II/
Kota Tua,

Pagi tadi dia menelusuri kota tua,
Pekat sejarah menyeduh aroma sastra.

Diantara laluan Korba-Kobba;

Deretan gedung-gedung tua,

Bercat kuning tembaga,

Tingkap usang,

Perabungan mengelupas.

Seperti retak musim cemas.

Mungkin, gugur pula kenangan orang Belgia,
Baron Van Imban, pun lepas-luncas sketsa arsitektural.

Membina al-Madinet as-Shams dipelupuk Cairo,

Dibaris awal tahun, seabad lampau.

III/
Plasa Sunyi,

Lalu-lalang menjelang ramai,
Menyemut mulut kedai pakaian,

Kios mainan kanak ditawar sepanjang jalan;

Boneka, balon, busa sabun dan kembang gula.

Harum roti terkapang meresuk udara.

Disini, tak pernah hidup tradisi khas kota seni;
Pelukis dan pemusik jalanan,

Menyaput kuas dan palet kanvas,

Merengek biola dan klarinet mengeras.

Tak tampak sekawanan burung dara,

Singgah memburu remah-remah roti diplasa kota.

IV/
Kedai Kopi,

Lalu perindu ulung singgah dikedai kopi,
Memilih duduk dipojok barat,

Menghadap ke arah jalanan.

Bersandar dikursi kayu separuh lingkar,

Taruh bekal merehat penat.

Memesan secangkir Ahwa Araby;
Kepul hangat hidangan qahwaji,

memenuhi ruangan bercampur aroma shisa

Pelan-pelan mengaduk lembut,

Sesudu murung, sepinggan menung!

Heliopolis, Cairo, 31 Oktober 2007

Sajak: Perahu Ilmu

Sajak: Perahu Ilmu

Dia suluh rindu, rindu, rindu pada pelayaran perahu ilmu,
Susah-payah terasa lemak-manis, aduhai

Pada tikung tanjung, kelok arus memusar telan,
Biduk oleng menuju kabut muara?

Kecipak dayung berbancuh bulan terang,
Kelopak sirip duyung merawan kenang;

Menggerus buai-desir dihembus cinta silam,
Menyelam, ke ceruk malam paling kelam?

Suatu kelak, si perindu ulung itu berkemas semangat,
Sebungkal bekal; gulungan kertas, kalam dan dawat

Tepuk-tiup sekujur tubuh, debu jatuh luruh,
Seraut airmuka menyisir rambut dibayang keruh

Dikitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan:

"Lemak-Manis itu ilmu,
Pahit-maung itu rindu..."

Heliopolis, Cairo, 25 November 2007

Saturday, December 27, 2008

Aku sedang tak menulis sajak, Layla!



Aku sedang tak menulis sajak, Layla!

Rindu daku mencicah dawat, menggores kalam bulu angsa dimalam sunyi. Ketika dedauan berguguran disiram hujan salju. Gigil kicau hudhud menyingkir cepat, sebelum badai dilaut menggulung hebat.

Aku sedang tak menulis sajak, Layla!

Kau boleh pergi jauh dariku. Kotamu telah menutup pintu gerbang sejak aku ditolak-tampik penduduk negerimu. Mereka mungkin, menyangka aku bakal 'kalah' dan terhumban jatuh dari kelindan rindu. Mereka, barangkali, mengira cintaku remuk-redam dipukul angin keras tentangan puak bangsamu.

Aku sedang tak menulis sajak, Layla!

Aku seolah kapas diterbang badai dahsyat. Meneroka awan mengembara ke nun jauh. Kotamu sayup-sayup memudar berkabut dipelupuk mataku. Dulu, ketika kotamu disebut, jantung hatiku berdetak keras. Seakan 'Kota' adalah kau sendiri, Layla!

Aku sedang tak menulis sajak, Layla!

Baiklah, aku katakan padamu seorang, Layla. Aku mau mencari ceruk rindu dilaman-laman kitab tua. Menjelajah kelezatan ilmu pengetahuan, dan menjauh dari hiruk-pikuk asmara yang menjerat. Aku mau memanjat menara hikayat, mendaki gunung hikmat dan memeluk plasa suluk.

Aku sedang tak menulis sajak, Layla!

Tadi, majnun sedang merenung dalam. Ditepi telaga bening hijau dedauan. Seperti taman bahasa yang ditamasya para Munsyi dibilik buku. Dipinggir teluk sempit diapit riuh-jerit camar. Seperti pelantar pantun yang dititi para Pujangga disenarai kitab kanon sastra.

Aku sedang tak menulis sajak, Layla!

Sepenggal kata yang kukatakan padamu; Cinta tak pernah meminta kita jadi 'budak'. Sebenarnya, manusia lah yang menghamba pada kemanisannya; Memuja hingga ke silau terang. Sesungguhnya, manusia lah yang menyumpah seranah pada kepahitannya; Memaki-hamun hingga ke tolak-abai.

Cairo, 14 November 2007

Sajak: Kecamuk Layla, Rindu Majnun

Sajak: Kecamuk Layla, Rindu Majnun

Pergilah, sebelum gugur salju memburumu
Apa yang kau harap dari musafir fakir;

Tak berbangsa,
Remuk-redam airmuka,
Retak-belah sayap patah

Pergilah, sebelum musim dingin menyerangmu
Apa yang kau impi dari si miskin;

Tak menyala seunggun kayu bakar,
Tak berdiang diperapian hangat,
Tak memanggang kebab domba

Pergilah, sebelum pintu istanamu terkunci rapat
Apa yang kau tunggu dari kecamuk rindu Majnun;

Layla, puakmu memaksa menjauhiku,
Melodi melankoli menggasing dipelupuk matamu
Pergilah, sebelum khalayak mengusirku keluar gerbang kotamu

Apa yang kau sukai dari si pendulang menung;
Sajaknya tergores dari bait-bait murung,
Lagunya terangkai dari nada-nada mendung.

Pergilah, sebelum angin cemburu merenggutmu ganas
Apa yang kau ingin dari si melarat;
Lepas-luncas daku dari ambal pikirmu

Karam rasa,
Bisu kata,
Lumpuh langkah

Aku menantang badai dahsyat, Layla
Tak mau piala cintaku, diteguk mabuk Majnun!

Heliopolis, Cairo, 2 November 2007

Sajak: Merendam Rindu Dendam

Sajak: Merendam Rindu Dendam

Airmuka si Asing merusuh tegang,
Terumpak jatuh mengokak karang.
Laut asyik-masyuk dilamun badai gelombang

Musim bermulut garang mengerang;
Siang-malam mengobar pasang
Mengunci bandar, kapal dan gudang

Di jangkung menara suar, berputar lampu suluh,
Singkap buta kelam tiga puluh
Kau pun turut mendaki anak tangga ilmu,
Bersangu selembar lehar, buku dan doa ibu

Mendulang bintang, langit kian legam
Isyarat cemas pelayar menghitung detak jam,
Segera singgah bermalam,
Atau berani menentang cuaca muram?

Jejak petualang mengelak karam.
Cacak tegak layar, rincus angin mengeram garam;
Kelam menghujam muram, menikam tajam malam,
Merendam rindu dendam, menyiram api dalam sekam.

Gigil demam melasak gumam;
Jenguklah, wahai para pesakitan cinta terpendam!

Heliopolis, Cairo, 19 Januari 2008

Sajak: Rindu, Demam Gering


Sajak: Rindu, Demam Gering

Tak kupinta kau menghirup secawan sajakku,
Secelup bibirmu menumpah demam gering,

Susah tidur melanda, takut terombang-ambing
Tengok, pesakitan cinta itu berpeluh, rusuh

"O' Perindu, dah redup delau zuhrah dilangit subuh!"

Surut laut, patah jangkar, tepian menghilang,
Kusut sahut, pecah pasar, rantau menyeberang

"Aku lancang, berani nian mengirimmu bait-bait rindu".

Belum tentu kau membubuh setuju;
"Mungkin, iya terima kasih, tulismu."

Badai debu mengaduk lembah Nil,
Bulan sabit memudar mengecil,
Burung-burung terbang mengucil,

"Hei, musafir, pergilah jauh berlindung digua terpencil!"
Menyingkir, seiring muram cuaca menggigil;
"Sayap-sayap angin menerbang pepasir, memerih pupil malam-malam ganjil"

Heliopolis, Cairo, 5 Maret 2008

Monday, December 15, 2008

Risalah Cinta untuk Layla










Batam Pos, Sunday, 06 April 2008



Cerpen Ahmad David Kholilurrahman
*



Layla
,

Dari jauh masih terbayang daku pada gemerlap kotamu. Malam-malam seperti tak pernah tidur. Seolah susah memberi 'sempadan' siang-malam. Siang serupa malam, malam sepadan siang. Hiruk-pikuk masih teringat diambal pikirku, ketika daku sampai dikotamu mencari persinggahan dalam safar panjangku.

Kukenang petang yang tenang. Matahari semakin memberat ke barat. Kakiku terhenti di kotamu. Telingaku menangkap gemercik nafoura, simbahan air sejuk berombak menjilat kaki pualam pelataran Jami'. Mulanya, kubayangkan ramai sekawanan burung dara mematuk remah-remah roti sepanjang plasa kotamu.

Petang itu aku lelah nian. Haus dahaga menyerbu kerongkonganku. Lilitan lapar menerkam hebat. Entah berapa hari aku 'puasa' sepanjang perjalanan jauh. Aku sekadar bertumpang barang semalam dua malam dikotamu. Kupikir, dapatlah merebah litak diserambi Jami'. Iya, rehat menyegar-bugarkan tubuh.

Layla,

Sampailah suatu hari, ketika kau pergi bersama keluargamu melalui setapak jalan samping Jami. Kata orang-orang ramai;"Tuan sekeluarga itu tengah berbelanja di pasar?"
Kudengar seorang saudagar menyambut ramah:"Ya Sidi, ahlan wa sahlan, ayo mari ke sini menengok barang-barang perniagaan kami".

Ketika aku tengah mencari upah untuk membeli makanan. Bersimbah keringat memikul karung-karung rempah dan obat-obatan.

Mungkin, lantaran daku pengembara jauh. Jarang kupikir untuk memberi sambutan berlebihan, seperti kaum bangsawan yang datang digelanggang mata orang ramai. Beriring hulubalang dan pengawal yang menunda kesibukan orang senegeri. Aku diajarkan untuk menghargai siapa pun sepatutnya saja. Tak boleh berlebihan, apalagi berlaku seperti 'budak' pada 'majikannya'.

Boleh jadi keluargamu sangat merah padam atas tingkahku. Seorang hina kelana tak tahu diri, memberi penghormatan sekedarnya saja pada kaum terhormat. Aku tak tahu, bahwa dikotamu, terdapat tingkatan masyarakat yang dibentuk sejak turun-temurun. Kupikir, tradisi aneh yang dipelihara para kaum lapuk.

Layla,

Aku pun lancang budi pada keluargamu. Hanya berlaku biasa-biasa saja. Tak ada penghormatan berlebihan yang kuberikan. Walau dengan sangat santun kujunjung adat-istiadat negerimu. Jika tahu bahwa kau terlahir dalam kaum terpandang. Mesti ditinggikan seranting, didahulukan selangkah. Aku tak bakal menumpang singgah bermalam dikotamu. Cuma ketika petang itu aku sudah kepayahan, haus-dahaga mengurungku berhari-hari. Sedang kotamu yang terdekat kucapai.

Seandainya, aku memilih terus berjalan. Entah apa yang bakal terjadi? Yang jelas aku tak bakal kebetulan mengenalmu. Meniti lorong-lorong tua kotamu. Menikmati bangunan purba yang dibangun entah berapa abad? Kota yang terus bergadang siang-malam. Seperti yang kukatakan diawal tadi:"Susah membubuh sempadan siang-malam?".

Seandainya, aku tak lancang berani meminta seteguk air pada gadis kesayangan Tuan terhormat. Niscaya, aku tak bakal menyingkir jauh dari kotamu. Setelah ditolak-tampik, sambil terpekik menghalauku keluar ke pintu gerbang negerimu. Seperti pesakitan aku diarak anak-anak kecil. Dihalau seperti layak binatang saja. Seperti inikah nasib para pengembara asing yang tengah bertumpang singgah?

Layla,

Dalam kesusahan penderitaan. Aku menghibur diri, menguat-nguatkan hati. Terlintas kisah para kaum terdahulu. Bukankah para Nabi menerima perlakuan yang lebih parah dariku. Bukankah para Alim-Ulama' pernah mendekam di balik jeruji penguasa durhaka? Bukankah para pemuda Ahl al-Kahfi menyingkir jauh ke gua purba dan 'tertidur panjang' sampai runtuhnya tirani lalim?

Aku merasa kuat lantaran tak menyimpan dendam. Itulah sebabnya, aku tak mengeluh sepatah pun. Bagiku, perlakuan seperti ini bukan hal yang aneh dalam hidupku. Itulah sebabnya, aku tak pernah menyimpan airmata? Kau boleh percaya atau tidak, aku tak pernah menangis lantaran siksaan kaummu?

Pun, dengan hati lapang aku berjalan keluar kotamu. Biarlah aku 'terasing' jauh. Sampai kapan pun, aku tak pernah 'kalah' terhumban jatuh kelindan rindu. Taruhlah, aku memang tak memiliki kelas, apalagi berbangsa sepertimu. Rumahku rantau; beratap langit, berlantai bumi.

Layla,

Kau baca atau tidak risalahku. Aku telah memaafkan perlakuan penduduk kotamu. Suatu ketika nanti, aku yakin mereka akan meralat kesalahannya. Dan saat itu, aku tak bakal mungkin kembali kekotamu. Walau dialu-alu sepanjang jalan, selingkar plasa kota dan dijamu siang-malam.

Cuma, satu saja yang kuharap padamu. Ajarkan pada kaummu, terutama kaum perempuan. Bahwa betapa ganasnya fitnah diujung lidah. Ketajaman lidah mampu menyarung pedang, juga dapat mengobar perang. Tak selamanya lelaki asing mengembara dari negeri jauh hina-dina. Sekali pun pakaiannya kumal berselaput debu, boleh jadi hatinya lebih teduh dari gemercik pancuran nafoura.

Baiklah, sebelum dawat yang kucicah kering. Aku hanya ingin mengatakan pada kaummu. Mungkin bernama Layla, Lamya', Nabila, Nawwal, atau siapa pun perempuan terhormat dikotamu:"Sesungguhnya cinta tak mengenal bangsa. Tak pernah memilih nasab. Tak pula mengukur roman airmuka!".

Cairo, 15 November 2007

Tulisan berupa artikel, esai, cerpen dan sajak dimuat di media tanah air. Juga dalam bentuk buku. Kini tengah menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar, Mesir. ben_kahlil@yahoo.com