musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Tuesday, December 28, 2010

Opini Jambi Ekspres: Neo Nasionalisme dari Lapangan Hijau?

Opini:
Jumat, 24 Desember 2010 10:58

http://jambiekspres.co.id/index.php/opini/17420-neo-nasionalisme-dari-lapangan-hijau.html

Neo Nasionalisme dari Lapangan Hijau?

Oleh: AHMAD DAVID KHOLILURRAHMAN

ADAKAH sebuah nasionalisme baru tumbuh subur dari lapangan hijau?

Semula abai dan cuai. Betapa rapuh dan getas hal tersebut. Koor semangat dan teriakan dukungan, kibaran bendera, nyanyian kebangsaan, kostum berlambang seekor burung gagah sebagai sebuah isyarat. Mungkin sebuah ikhtiar membangun 'mercu tanda’ dari serangkaian pencaharian identitas baru. Sekaligus ‘perekat’ dari rasa keterpurukan dan ketidak-percayaan diri yang hampir paripurna melingkupi gerhana persada Nusantara.



"Si Kapiten" Firman Utina anak Manado. Markus Horison bujang Medan. Maman si ujang Sunda. Okto mutiara hitam dari Papua. Irfan Bachdim berdarah separuh Malang-Belanda. Bambang Pamungkas dari Jawa bagian Tengah. Gonzalez, si wajah Latin dari negeri Uruguay nun jauh dibenua Amerika bagian Selatan serta pemain-pemain lainnya. Menyulam pernak-pernik hiasan warna-warni dalam tenunan potret “Mini Indonesia” hari ini.

Sebuah mozaik keberagaman yang teruntai indah. Bak mutu manikam zamrud khatulistiwa. Negeri bahari yang membentang dari Sabang hingga Merauke. Dari Mianggas sampai Rote.

Jangan lupakan sentuhan ‘maestro’ Alfred Riedl dari Austria yang telah mengubah prestasi sepakbola negeri semeranjana yang pernah diasuhnya. Lelaki berwajah dingin miskin ekspresi ini bak maestro musik klasik, Wolfgang Amedeus Mozart (27 January 1756 – 5 December 1791). Komposer besar yang lahir di kota Salzburg. Menghibur kemurungan dunia dengan sentuhan 600 musik klasik yang hidup pada paruh kedua abad 18.

Sentuhan Riedl ini sudah terasa sejak awal konserta kejuaraan piala AFF Suzuki 2010 dimulai. Dia berani memilih darah-darah muda, menggabungkan antara pemain senior dan junior. Sekaligus melebur jadi kekuatan luar biasa. Pendekatannya detail dan rinci.

Dari sisi teknik hingga non teknis. Namun, disiplin dan tegas. Seorang Boaz Salosa yang memiliki keterampilan dan tenaga itu menepi dari timnas lantaran tak disiplin. Suntikan pemain naturalisasi Gonzalez dan Irfan Bachdim bak asupan ‘vitamin’ yang menambah vitalitas dan kreatifitas luar biasa di lapangan hijau.

Corak permainan kesebelasan berjuluk Garuda Merah Putih ini menyerang dengan memadukan benteng pertahanan yang tangguh. Terbukti 15 gol lahir dari penyerang haus gol dan hanya kemasukan 2 gol. Itu pun di babak penyisihan Grup A.

Kesebelasan tangguh di Asia Tenggara, merasakan bagaimana dahsyatnya gigitan Garuda. Harimau Malaya membahang kepanasan dicengkeram 5-1. Tim kuda hitam semacam Laos tak luput dimangsa setengah lusin gol tanpa balas. Kesebelasan Gajah Putih yang digdaya selama belasan tahun di kancah persepakbolaan Asia Tenggara tumbang mengenaskan dengan sepasang gol Bepe. Pasukan Azkal yang dihuni delapan pemain naturalisasi yang bermain di klub-klub daratan Eropa tak ketinggalan dilumpuhkan dengan pola permainan Timnas Garuda yang memiliki pola seimbang; Menyerang dan bertahan yang sama-sama tajam dan tangguh.

Kembali ke nasionalisme baru yang bertumbuh subur dari lapangan hijau. Seolah sepakbola melebur perbedaan pandangan dalam ragam bidang dari anak-anak bangsa. Persoalan dalam dan luar negeri yang selama ini carut-marut, seakan tertutupi dengan kemeriahan euforia yang menjalar hebat dari pelbagai penjuru. Dari Istana raja hingga gubuk jelata. Dari kota sampai kampung-kampung terpencil. Sialnya, kaum politisi yang buntu penciuman seolah menemukan ‘kantong-kantong suara’ demi kepentingan politik belaka.

Satu sisi hadir kerinduan kepada zaman kejayaan generasi Ramang, Maulwi Saelan, Aang Witarsa, Djamiat, dan Tan Liong Houw yang membuat dunia tercengang setelah menahan imbang tim kuat Uni Soviet di Pra Olimpiade Melbourne 1956.

Kini Ramang, Maulwi Saelan, Aang Witarsa, Djami'at dan Tan Liong Houw; Insha Allah menjelma Firman Utina, Okto, Gonzalez, Bachdim, Ridwan, Bepe, Maman, Markus dan kawan-kawan.

Pada partai puncak yang bakal melahirkan sejarah dan juara baru. Kembali Garuda bermuka-muka dengan “Harimau Malaya”?

Tentu dua partai laga tandang dan kandang ini akan bertempur seru. Apalagi percikan gesekan antara dua negeri serumpun ini kerap-kali memanas? Semoga permainan yang menjunjung sportifitas dan kejujuran dikedepankan dari kedua belah pihak. Juga tanpa merusak dan menghina simbol-simbol negara kedua belah pihak.

Dan ini diperjuangkan sekumpulan anak-anak muda yang datang dari aneka latar belakang dan perbedaan dalam segala hal. Namun, berazzam hendak mengikat simpul kolektifitas ingatan nasionalisme baru. Jika terwujud 'pernikahan' sejarah dan juara baru yang bukan sekadar ditandai kenduri perjamuan dan bagi-bagi medali, piala, hadiah bonus saja. (*)

*) Ahmad David Kholilurrahman, Penyair Melayu Jambi-Indonesia

Sajak: Maridh al-Hubb

Sajak: Maridh al-Hubb

Ahmad David Kholilurrahman

Ulurkan timba
Perigi tua
Menyambut dahaga
Bersitahan

Kulah melimpah
Basah bejana
Jiwa melapah
Lelah sengsara

Aduhai,
Tabibah mata hitam zaitun,
Kicau bulbul sedikit
Menghibur sakitku

"Sesuap bubur gandum,
Menerobos kerongkonganku!"

Gugur salju
Menderas
Langit pucat biru
Memelas

Ranting kering
Berayun buayan badai

Ambilkan kalam pena
Dawat tercelup
Adalah napas syairku

Rungsing daku
Jika beku dakwat risalah
Atas meja bangku

Kuingin menulismu,
Syair yang menghangat
Malam-malam beku
Ridam timbun salju
Memburu
Membiru
Menyilu

Debu bertayamum
Kembali ke debu

O, Constantine
Aduh rinduku
Jatuh rusuk
Jauh peluk

Dari rukuk ke masbuk

Cairo, 22 Desember 2010

Sajak: Aku Sajadah Terhampar Majenun

Sajak: Aku Sajadah Terhampar Majenun

Ahmad David Kholilurrahman

Gugur salju
Menjulur
Jubah malam
Kayu kertap
Api unggun
Bersedekap
Sepasang tangan
Menyulam tenun
Menung dan murung
Majenun

Kicau bulbul
Mengungsi
Dari tombak salju
Berderai ngarai
Teruntai belai
Semampai musim
Meniupkan seruling
Jauh buluh dan perindu

O, Constantine,
Jauh jalan menengadah
Tepian impian musafir
Bertitian cermin licin
Memantul-mantul suara
Tapal kuda, kesiur angin
Beku malam pucat biru

Gering sekujur badan
Rungsing mengukur jalan

"Semakin jauh tersesat
Kejatuhan cinta?"

Aduh, mana pahit
Yang tabibah suruh telan
Aduh, mana madu
Yang tabibah sudu makan

Tak sembuh jiwaku
Majenun,

Kertap api perapian
Menghangat rusuk kayu
Tahannuts gua cari khalwat?

Semangkuk zaitun
Dan kukunyah,
Lidah menetal
Pahit segala rakit
Kelat segala selat

Aduhai,
Ke mana ittijah jiwa
Bermulakat siasat wazir
dan isyarat aljazair

Dari suara bang azan
Menara Haaraat al-Qadimah
Langkah larat merakaat kilah
Kulah yang melimpah basah
Airmata

Cahaya mengusap tengkuk
Diluar subuh menggigil
Mengetuk khusyuk:
"Bangkit lah, wahai Musafir Fakir!"

"Merhaba fi Bilad Milyun wa an-Nush Syahid!"

Mana tabibah bermata hitam zaitun?
Aku sajadah terhampar Majenun

Cairo, 20 Desember 2010

Sunday, December 19, 2010

Sajak: Al-Manfaa al-Gharibah

Sajak: Al-Manfaa al-Gharibah

Ahmad David Kholilurrahman

Kota-kota
Asing berunding
Mengasingku
Rungsing
Bukan pusing
Segala pening
Bukan pening
Segala pusing

Dulu, gerbang kotamu
Menutup fakir musafir

Bulbul berlari
Dari ranting
Menghindar badai
Salju menyilu
Kelam membiru
Pokok tuut terjuntai
Putih malai

Lorong-lorong kuhapal
Kemana jejak memantul
Getar halus kuping kekal
Rebah memapas bendul

Malam-malam dingin
Timbunan salju
Memeluk ruas jalan
Sepasang tangan
Gemulai zaitun menenun
Bertepi api perapian

"Harum daging qibasy
Terpanggang, Istana Tuan
Menjulang pucuk bukit."

Tak kan menggoda laparku

Aduhai malam fakir
Yang khalwat cinta
Yang mulakat derita
Senarai syair paling zikir

Pelita kandil dari bilikmu
Tingkap yang senyap
Menahan napas, harap cemas
Terompah kulit merentas
Luar tembok tinggi putih

Diluar, mungkin dedahanan
Tersembunyi bawah talang air
Bulbul menyanyi lagu merdu

Gugur salju berderai
Seperti airmata terurai
Lembah ngarai terjurai

O, Constantine

Cairo, 17 Desember 2010

Sajak: Constantine

Sajak: Constantine

-Mim-Haa'

Ahmad David Kholilurrahman

Aku sudah
Begitu fakir

Jalan musafir
Melipir pikir
rungsing secangkir
Tumpahkan lidah
Sebilah kata pecah
Bukan menggosok
Emas atau suasa,
Berlian atau intan

Aku sudah
Begitu fakir

Jika kataku tumpah
Menggores sembilu
Aku lah perih nyilu
Mengulu hati
Membiru kaki
Melesu besi
Mengkayu peti

Aku sudah
Begitu fakir

Jangan lagi
Kau percikkan
Perasaan limau
Aduh pedih
Hatiku yang
Kejatuhan cinta
Menyibak onak duri
Setitian datang
Setepian pulang

O bibir yang cangkir
Kerap tergelincir
Meniup kincir air
Angin menggulir getir
Rupa gandum timpa salju

Sebentang jembatan
Costantine
Mengekalkan harapku
Yang rapuh lekang
Yang lapuk hujan
Bertimbun salju
Kurun gurun merindu
Labuh sauh perahu sahara

Aku sudah
Begitu fakir

O jalan memutih
Seombak salju
Memburu rindu
Bertombak-tombak
Memanah-manah
Cinta rupa rasa resa
Perisa lidah ke belanga
Terbelah pecah

Aku sudah
Begitu fakir

Cairo, 16 Desember 2010

Monday, December 13, 2010

Sajak: Shobah al-Khayr, Andunisiya!

Sajak: Shobah al-Khayr, Andunisiya!

-Farid Gaban dan Ahmad Yunus

Subuh ini
Langit bangun lebih dini
Lekang bintang dan galaksi
Di hamparan duli 'Arsyi
Yang menyangga singgasana Tuhan

Ufuk timur yang mencelang
Menyeduh rindu secangkir kopi
Jambi atau Arabi

Aku ingin membaca koran
dan surat kabar bersabar
Memuat penglihatan cermat
Orang buta dan yang dibutakan

Aku ingin mendengar radio
Menyiarkan pekik teriak
Orang pekak dan yang dipekakkan

Aku ingin menyimak televisi
Yang menayangkan dendang lagu
Orang bisu dan yang dibisukan

Bukan suara politisi dan pejabat
Yang memang penyandang buta, bisu dan pekak abadi

Aku letakkan koran surat kabar
Padamkan radio dan matikan televisi

Bingkas bangkit
Membuka jendela tingkap
Pada rumah sutuh

Aku keluar rumah
Berjalan pagi bertemu udara segar
Masuk mengalir hidung dan paru-paru
Bersitemu tuju; Zamrud Khatulistiwa

Kaum buta sangat cermat melihat
Kaum bisu sangat merdu berlagu
Kaum pekak sangat bijak bersajak

Kami duduk di plasa kota
Menyeduh bercangkir-cangkir
Kopi Jambi atau Arabi

Cairo, 6 Muharram 1432 H/ 13 Desember 2010

ajak: Cinta Sebentang Doa

Sajak: Cinta Sebentang Doa

Ahmad David Kholilurrahman

Bertaman-taman bunga
Menguncupkan kerdil jiwa
Apabila cinta
Setakat berhala
Sebentuk takrif
Merah wardah
Harum yasmin
Putih lili
Wangi misk

Engkau yang bentangkan
Langit separuh malam
aku yang kembangkan
Sepasang tangan
Yang menengadah;

Tuhanku,
Aku telah
Mencintai
hamba-Mu

Mudahkan lah
Ketaatannya
Dan pelihara
Ia dari maksiat
Pada-Mu

Dan mastautin
Ia di keteduhan
Surga-Mu

Jauhkan
Ia dari neraka-Mu

Limpahkan
Ia rezeki kebaikan
Semuanya

Dan ampuni
Ia dari dosa-dosa
Silam dan sesudah

Jangan perlambatkan
Sesungguhnya Engkau
Maha Pengampun
Maha Pengasih

Cairo, 11 Desember 2010

Thursday, December 2, 2010

Sajak: Cukai Semasam Cuka

Sajak: Cukai Semasam Cuka

Ahmad David Kholilurrahman

Kau peramkan cukai
Semasam cuka
Menyulih lidah
Memedih mulut,
Memerih perut
Yang selalu rajin
Berbagi lapar
Di tengah bazar
Memusar tengkar
Daun kuping
Mendengar jeritan
Bermalam-malam buta
Kami pelajar dan mahasiswa
Dari kampung-kampung
Terbantu hidangan
Kedai-kedai kecil
Demikian terjangkau
Surut kantong saku
Yang tak penuh
Ke pucuk,
Yang tak penuh
ke bawah
Tengah-tengah ditebuk kumbang

Aduhai negeri
Kematian pemimpin
Menabalkan gergasi
Sebagai penguasa
Setiap pagi kami
Sarapan caci maki
Yang kalian hidangkan

Alangkah sedapnya
Lidah-lidah kalian
Bertulang uang
tualang menebang talang
Pokok-pokok kayu
Yang kami pelihara
Dengan pupuk keringat
darah dan airmata

Ya Allah,
Cabutlah kuasa
Penderhaka
Yang menyiram cukai
Semasam cuka
Atas tubuh acar
lidah, mulut, perut
Pelajar dan mahasiswa
Papa kedana makan
Sekali dua kali sehari

Cairo, 2 Desember 2010

Wednesday, December 1, 2010

Sajak: Lidahmu Tulang, Cuka, Duri!

Sajak: Lidahmu Tulang, Cuka, Duri!

Ahmad David Kholilurrahman

Penguasa,
Lidahmu
Bertulang
Tersangkut
Setiap hari
Jadi duri
Jadi racun
Jadi limbah

Menyakiti hati kami
Membasi nasi kami
Memahit kopi kami

Biarlah kami tuai padi di ladang talang
Kami petik dan sangrai kopi di kebun huma

Padang sabana stepa
Terbuka telanjang
Tak pernah kau beri ternak
Sapi, kerbau dan kambing
Kau perah jadi susu
Bayi-bayi busung lapar
Kurang gizi

Laut terhampar rumah ikan-ikan
Istana udang dan lokan
Tak kau jaga sepenuh hati

Kelak melahir juara olimpiade
Segala cabang kehidupan

Setiap hari
Lidahmu tulang
Setiap pekan
Ludahmu cuka
Setiap bulan
Cakapmu duri

Yang kau tabur
di jalanan papa kedana

Aku memaklumat;
Menalakmu seribu tolak-telak
Jakarta!

Cairo, 1 Desember 2010