musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Wednesday, March 31, 2010

10 Sajak-Sajakku di Majalah Sastra Horison!

Alhamdulillah: 10 Sajak-Sajakku di Majalah Sastra Horison, April 2010.

(1). Bertumpang Perahu Buku (2). Az-Zahir (3). Memanjat Tangga Umur (4). Sabut Berlayar (5). Awak lah Melayu, Yang Jambi Adalah Rumah Panggung (6). Lang Kelik, Lang Sagunggung (7). Mengaji Maghrib, Menguji Khatib (8). Merawang 1 (9). Merawang 2. (10) Merawang 3

Jenguk: http://horisononline.com

Sunday, March 28, 2010

Cerpen: Mimpi-Mimpi Syair Sultan

Cerpen: Mimpi-Mimpi Syair Sultan

Ahmad David Kholilurrahman


"Adakah rindu yang tak menumpah dawat pena penyair? Lalu, memekarkan kelopak wardah semerbak wangi syuhada?"

Kata-kata itu tertancap dalam sepotong kartu pos yang kuterima dari negeri seberang laut Mediterannia petang tadi. Aku membolak-balik, meneliti nama sang pengirim yang hanya membubuh inisial huruf bertulis Arab bercetak tinta tebal; Ba-alif-Dal-ba

Ammu Ibrahim, pemilik senyum paling hangat itu menyerahkan kepadaku. Senyum yang sedikit mengurangi rasa penasaranku atas kartu pos yang melayang padaku. Jarang sekali aku menjumpai orang Mesir seperti dirinya. Jika berbicara pelan, tenang, dengan intonasi tak tergesa-gesa seperti dikejar singa. Juga memandang lawan bicara dengan takzim.

Tukang pos setia pengantar surat di Maktab al-Barid, Heliopolis memencet bel flatku di bilangan Kobba Street. Berdiri tegak dengan sisiran rambut rapi. Tangan kirinya menahan beban tas hijau lusuh terbuka kancing resluiting berisi tumpukan surat-surat dan paket kiriman. Tangan kanannya menyerahkan sepucuk kartu pos bergambar panorama sebentang jembatan kota Istanbul.

Ketika aku tekun-tunak menulis bait-bait sajak di meja kamarku yang menghadap gedung-gedung tinggi yang tampak seperti isi dalam radio tanpa tutup di meja tukang reparasi elektronik.

Radio siaran Cairo memuat kabar cuaca hari ini:"Al-Jawwu al-yaum, ya'ni Mu'tadil nahaaran, wa syadid al-buruuda laylan!"1

Setiap tahun gedung-gedung di kota tua ini rajin menumbuhkan ribuan cendawan-cendawan membentang langit. Seperti hendak menampung segala yang tumpah jadi kabar berita. Angin penghujung musim dingin menusuk tajam. Aku meraih pintu tingkap, mengatupkan rapat-rapat. Rembang petang membias terpantul jatuh di kaki gedung-gedung tua.

Aku merasa sangat betah tinggal sendirian walau dikepung kesunyian. Selepas paman dan abang-abang sepupuku pulang ke Tanah Air. Mereka telah menamatkan belajar mereka di negeri tua bangka ini. Kelima orang penghuni terdahulu memiliki perangai dan tabiat berbeda-beda.

Penghuni pertama, adalah seorang pamanku yang mengukir sejarah akademik cemerlang menjadi mahasiswa asing terbaik dari 60 orang mahasiswa asing, pada akhir abad lampau. Sekitar dua puluh tahun silam. Anak Melayu Perdana dari kampungku yang menuntut ilmu di bawah menara kembar Al-Azhar. Umurnya sudah dewasa ketika memulai belajar di Negeri Lembah Nil ini. Kecerdasan ditambah khidmah kepada orangtuanya tiada tanding, tiada sanding. Pembaca ulung yang dalam flatnya tak memiliki televisi. Hanya sebuah radio yang lebih banyak diam berbulan-bulan.

"Kalau radio ini punya mulut dan telinga. Dapat ditanyakan, berapa kali paman menyetelnya dalam setahun?". Ujarnya seraya menarik selembar kain penutup radio tua itu dari bawah katil besi tua itu.

Penghuni kedua, seorang paman yang terlihat sukar ditebak wataknya. Terlihat agak temperamental, walau sebenarnya baik. Sejak pesantren dia juga masyhur jago bahasa. Memenangkan pidato berbahasa Arab dan Inggris di Pondok Pesantren di Jawa sana. Penutur bahasa paling fasih yang pernah kudengar. Lidahnya lentur mengikuti lekak-lekuk gelombang intonasi bahasa. Penggemar body building nomor wahid ini, juga penyimak lagu paling betah.

Pelajaran pertama darinya, berbicara lah persis native speaker-nya. Kalau kau bercakap pakai bahasa Arab, bercakaplah seakan-akan kau orang Arab yang lahir dan besar di negeri-negeri gurun pasir ini. Apabila kau ngobrol cas-cis-cus bahasa Inggeris, keluarkan lah segala kemampuanmu. Seolah-olah kau adalah Tony Blair yang tengah berbicara di depan anggota The Houses of Parliament, London.

Penghuni ketiga, abang sepupuku yang sudah berumur, masih semangat menekuni belajar. Ketika orang seumurnya pergi ke kuliah, dia pergi ke sekolah Ma'had Tsanawiyah Bu'uts Al-Azhar, Abbasea. Setiap hari pergi sekolah dengan semangat meluap-luap tanpa batas. Layaknya anak-anak umur belasan tahun. Dia termasuk pembaca paling lahap yang pernah kujumpai dalam perantauanku. Pemilik gudang cerita yang unik, langka dan menggelikan perut. Pun, seorang chef pandai tiada tanding kelezatan masakannya.

Penghuni keempat, seorang sepupuku bertubuh kurus ramping. Datang ke negeri ini dalam usia tujuh belas tahun. Riwayat kesehatannya tak terlalu menggembirakan, apalagi jika cuaca memburuk tak menentu. Dia cerdas, walau belajarnya tak tahan berjam-jam. Seperti durasi belajar paman-paman dan abang sepupuku yang lainnya. Kalau suntuk dan bosan, obatnya jalan keluar atau menulis buku diarinya sambil mendengarkan lagu-lagu cinta.

Penghuni kelima, orang sekampung, walau tak memiliki pertalian nasab dekat. Namun, keberadaannya sudah jadi anggota keluarga kami di rantau orang ini. Jiwanya lembut, ringan tangan menolong orang lain. Sebelum pindah di flat tua ini, dia sudah berkali-kali pindah tempat tinggal. Terakhir diajak oleh abang sepupuku, lantaran merasa kasihan melihat kondisinya yang terlunta-lunta.

Penghuni keenam, seorang lelaki bertubuh kurus tinggi. Seorang anak yang tak memiliki tradisi belajar yang tekun. Kegemarannya mendengar berita, membaca koran, menulis dan mengarang. Lebih banyak mempelajari sesuatu secara otodidak. Minat dan kecenderungan bakatnya tak terpetakan. Misalnya, berkecenderungan lalu mengkerucut pada satu ketekunan disiplin ilmu.

***

Enam riwayat singkat dari curriculum vitae penghuni flat tua. Yang lift gedung tua itu sekotak triplek warna biru, berkaca cermin, berusia lebih dari dua puluh tahun. Sebuah pintu lift yang boleh dipanggil, menekan tombol ke bawah. Tapi, tak mampu memenuhi panggilan tombol menuju ke atas.

Seorang bawwab bernama Salem. Lelaki kampung sha'idi*3 bertubuh pendek gempal dari Qena. Berbaju gelabeyah sepanjang hari. Dia mewarisi pekerjaan bapaknya yang telah wafat sebagai penjaga gedung. Pekerjaan setia menjadi penjaga gedung tua berpintu sebanyak 64 pintu flat.

"Ya Farid, el-Hajj shaahibul as-syaggaah a'iyzak inta, nahar dah!"4 Pesan Salem kepadaku singkat dari balik biliknya bawah tangga melingkar gedung. Udara dingin menerpa wajahku.

Namaku seringkali dipanggilnya nama abang sepupuku.

"El-Haggah 'auzah eh, ya Salem?5Tanyaku memasang ekspresi dingin.

Ekspresi pengembara asing yang memang kusuka, setiap kali mata khalayak memandang sebelah jiwa kepada Ajnabi*6.

Lalu, si Bawwab baik hati sebenarnya, hendak menyambung jawab. Melihat roman muka seperti tak mudah diduga lubuknya. Dia menarik napas, agak tergeragap menjawab;

"Ana musy 'arif. El-muhim ba'da ashr inta bitinzil 'ala thul!"7

"Thayyeb, insya Allah, law ana musy nayyim!8 Balasku datar.

Aku paling segan bertamu ke rumah tuan rumah. Padahal, mendiang suaminya, Tuan Sayyed Imam adalah sosok tuan flat penyewaan yang baik. Mencari pemilik tuan flat yang baik bukan perkara mudah di negeri ini. Aku menempati flat tua ini sudah bertahun-tahun.

Setidaknya, pamanku saja bertuan rumah kepada pemilik sewa flatt Tuan Sayyed Imam, mantan perwira Paspampres Mesir ini menempati sejak dua puluh tahun silam. Flat penyewaan yang ini juga pernah ditempati paman-paman dan abang-abang sepupuku. Mereka tak pernah memiliki masalah dengan tuan rumah. Tuan rumah pun tak pernah mencampuri urusan para penyewa-penyewa flatnya. Sewa itu dibayar bukan per bulan, namun setiap setengah tahun sekali. Termasuk tagihan listrik dan gas. Betapa beruntungnya!


***

Seorang penyair asing. Musafir fakir bertualang dari satu negeri ke negeri lain. Dari satu kota ke seribu kota lainnya. Pada sepetang yang lengang, bertumpang singgah masuk gerbang kota yang dipimpin Sultan. Konon, di istana sultan tengah menjalar kabar, bahwa Sultan memimpikan bertemu seorang lelaki yang seumur hidupnya tak pernah dilihatnya, namun syair-syairnya menyeruak akrab, tergantung di atas katil bilik istananya. Syair-syair itu persis sekali dengan yang dilihatnya dalam mimpi.

Kota pelabuhan yang tumbuh berkembang mekar jadi ibukota imperium Islam yang menggetar dan menggentarkan raja-raja bangsa Eropa. Sehingga membuat mereka, mewaspadai kekuatan yang tengah menjulang di kota yang diperebutkan sejak ribuan tahun silam yang terkapit antara pertembungan pengaruh Timur dan Barat.

Tiang-tiang menara lancip Cami menjulang tegak. Kubah-kubah tersungkup basah dibasuh angin musim dingin selat Bosporus. Sebuah kota melankolik dan eksotik tercacak di benua Asia, sebagian besarnya menyatu dengan Eropa. Kapal-kapal lalu-lalang membawa perdagangan antar negara. Singgah berlabuh mengisi perbekalan di dermaga kota yang terkenal dengan hidangan makanan lezat, pun kudapan baklava bertabur manis gula.

Semua penyair dari penjuru negeri diundang ke istana sultan. Satu persatu dipersilahkan membacakan syair-syair mereka. Namun tak satu pun yang mirip dengan syair yang tergantung dipohon delima di atas katil bilik sultan yang terjalin dalam mimpinya. Dari penyair kawakan hingga penyair pemula yang baru belajar menulis syair sudah diundang semua. Tapi, tak seorang pun yang memiliki syair-syair seperti dalam mimpi Sultan.

"Jangankan persis sama, menyerempet mirip pun tak sebait dari sebarang syair pun!" Titah Sultan pada Wazir Akbarnya.

"Yang Mulia, apakah tak sebaiknya, kita panggil ahli nujum di negeri kita?" Saran Wazir Akbar pada Sultan.

"Aku pandang tak perlu ahli nujum. Dan kau tahu sejak aku naik tahta, aku tak mau melibatkan ramalan ahli nujum yang banyak khayal itu. Omongan mereka banyak tak masuk akal. Mereka kaum yang berdayung di antara dua pulau; khayal dan kenyataan.

Muka Sultan nampak tengah memikirkan perkara yang musykil. Jenggotnya lebat tergantung bak sarang lebah. Tangannya menyelat-nyelat jenggotnya. Seolah ada bulir-bulir air yang menggantung jatuh. Kening kepalanya berkerut-kerut. Lengan kanan menopang dagunya. Rungsing pikirannya menerawang perihal mimpi-mimpi yang mengganggu tidur malam. Selama sepekan ini resah gelisah menyelimuti peraduannya. Malam-malam yang menyiksa!

Seisi istana terdiam. Tak mau menambah beban pikiran Sultan yang semakin risau. Tekanan mimpi-mimpi syair yang dilihatnya dalam tidur malamnya. Sebait syair yang tergantung di pohon delima, tumbuh di atas katil biliknya yang megah.

Permaisuri menggosok bahunya. Bermaksud berbagi beban pikiran Sultan. Apalagi awal bulan baru, Sultan mengadakan pelayaran ke Alexandria. Bertemu gubernurnya yang telah memerintah kota tua bersejarah sejak jatuh ke tangan kesultanan.


Dari depan pintu bilik peraduan Sultan terdengar ketukan halus. Pengawal memberitahu bahwa Wazir Akbar hendak bertemu. Dijawab balasan batuk dehem Sultan, dengan isyarat untuk menunggu di ruang balai balairung Istana.

Tak lama berselang, Sultan menghampiri balairung diiringi permaisuri dan penasihat Istana yang selama ini tak pernah nampak. Wazir Akbar terlihat seakan membawa kabar berita penting.

Setelah duduk di atas singgananya yang megah dan mengkilau berlapis beludru merah hati ayam itu. Sultan menyilahkan semua hadirin menyampaikan maklumat.

"Ada kabar berita penting, wahai Wazir Akbar?"

Begini Tuan yang dimuliakan Allah SWT. Hamba mendapati kabar dari kurir yang biasa hamba tugaskan. Bahwa ada seorang lelaki muda, musafir fakir dari negeri bawah angin, datang beberapa hari lalu ke kota kita ini. Lelaki itu lebih suka berdiam di Jami' Sultan Hamid.

"Kalau Sultan tak berkeberatan, hamba sendiri akan menemuinya langsung. Agaknya, lelaki asing pengembara itu dapat membantu memecahkan mimpi Sultan?" Kata Wazir Akbar seraya mengisyaratkan petunjuk dari sang Sultan.

Baik lah. Aku persilahkan anak buahmu untuk menyelidiki keberadaanya. Juga supaya tak terlihat bahwa pihak Istana tak diguncang kebingungan lantaran Mimpi-Mimpi Syair Sultan. Begitu saja, aku lebih suka menyebut perihal yang menghampiri tidur malamku itu. Kalian tempuh cara seolah sesama pengembara asing dari negeri lain juga.

"Baik lah wahai Sultan, petunjuk Tuan Yang Mulia akan selalu jadi panduan kami!" Kata Wazir Akbar sambil menghaturkan takzim hormat. Telapak tangannya didekap ke dadanya.

Penasihat Istana berusia enam puluh lima tahun sedari tadi diam. Menyimak airmuka Wazir Akbar yang terlihat tunduk depan Sultan. Kedua mata mereka beradu-pandang. Wazir Akbar mengalihkan tatapan itu dengan tertunduk menyimak petunjuk Sultan.

Dia kenyang asam garam kehidupan siasat Istana. Segala yang tampak dan tersembunyi seperti tirai tipis menutup pandangan bilik jendela. Seperti sutera negeri Tiongkok yang dibawa pedagang-pedagang jalur sutera.

Penasihat Istana selalu tak mengerti dengan sikap Sultan yang menolak mimpi-mimpi syair Sultan dibawakan ke hadapan para ahli nujum. Sejak beliau naik tahta, segala yang berbau ramalan dan nujum dijauhkan dari Istana. Sultan menerima pendidikan Istana yang kental dengan ajaran para Hoja dan Haci yang dulu didatangkan mendiang Sultan sebelumnya, yaitu bapaknya Sultan sendiri.

Sultan menggemari sejarah, kartografi, astronomi dan sastra. Perpustakaan Istana bertambah besar dan berkembang pesat dengan sumbangan pribadi Sultan dalam membeli kitab-kitab terbaru Bait al-Hikme. Sultan sendiri yang mengepalai Dewan Tinggi Penyelidikan, Terjemahan dan Penulisan Bait al-Hikme.

Setidaknya, Sultan sangat kagum dengan masa-masa kesultanan Daulah Islamiyah di Baghdad, Granada, Cordova dulu. Sultan-sultan yang menggemari perbincangan perbancuhan ilmu pengetahuan dan sains-sains modern. Kapal-kapal ekspedisi yang membawa sejumlah penjelajah, ahli peta, ahli ilmu hayat yang berlayar ke negeri-negeri bawah angin, sekitar dua pekan lalu dilepas Sultan dan pembesar Istana di Pelabuhan.

***

Aku menutup halaman tiga puluh tiga dari sebuah calon novel yang aku merasa pernah berjumpa pengarangnya. Dan selama ini, tak ada penerbit yang mau bersedia menjadi pelantar karya-karyanya ke khalayak pembaca.

Lebih tepatnya novelis yang disia-siakan penerbit yang lebih memperhitungkan keuntungan pasar. Novel yang kubacakan ini, tidak termasuk kategori pemikiran para ahli pemasaran penerbitan mana pun. Jika diterbitkan, akan masuk barisan depan rak-rak bertuliskan; best seller. Yang tak tahu, bermutu atau tidak?

Dan jika kuikuti logika dunia penerbitan di negeriku yang banyak menerbitkan buku-buku sampah. Buku yang seperti curahan perasaan atau ocehan tak tentu ke mana perginya; ke hulu-hilir atau ke laut-darat. Sengaja aku tak pakai nama letak mata angin dalam kompas pencari arah sebuah kota atau negeri. Biar kau tahu, bahwa aku memang tak mau menunjukkan letak kota dan negeri itu?

Dan nahasnya nasib diidap lelaki itu tanpa kata. Tidak kepada siapa pun diceritakannya dari para pengunjung maqha*9 ramai di perempatan Korba Street, yang selalu ramai sepanjang siang hingga malam larut. Aku pun yang sesekali datang ke kedai kopi itu hanya sesekali bertemu dengannya. Kalau kesuntukan menekan hari-hariku bermukim di kota tua ini, sesekali aku pergi ke kedai kopi.

Walau banyak dakwaan yang tertuju kepada anggota perkumpulan kedai kopi yang melarat hari-harinya dengan leha-leha mengisap pipa panjang tertancap dalam botol panjang bulat Syisa*8 atau sekedar menyeruput Ahwa sadah.*10

Aku suka ke sana. Sambil duduk terhenyak di kursi kayu setengah lingkar menghadap gedung-gedung tua bergaya klasik berjajar rapi rancangan arsitek Baron Van Embain seratus tahun lampau. Lampu-lampu kuning telur menyimbah cahaya. Aku merasa disana, ada sesuatu yang kutunggu, seseorang yang tampak hendak bertamu.

Gelegar tawa dan perbincangan sepakbola tentang kedua kesebelasan ibukota yang bakal berhadapan tiga hari mendatang semakin seru. Klub Al-Ahly dan Zamalek adalah kedua seteru yang selalu meramaikan kompetisi liga sepakbola negeri pemegang juara Piala Afrika tujuh kali ini.

Kedua klub memiliki suporter fanatik. Jika perbincangan tentang sepakbola dibentang. Lupa lah segala kesusahan hidup yang membelit. Dan perbincangan tentang si kulit bundar tumbuh subur di maqha mana pun. Iya, kedai kopi yang selalu menyeduh hari-hari penggemar sepakbola. Aku sering terperangkap dalam lansekap kedai kopi ini.

Aku tak punya kaitan dengan sepakbola. Bagiku cukup ilham selarik sajak saja yang mekar dari secangkir Ahwa sadah atau Ahwa bil-halib sukkar ziyadah11 yang sering kupesan. Aku tak mau terlibat jauh dengan perbincangan sepakbola kedua kesebelasan seteru abadi.

Secangkir kopi hitam Arab itu membentangkan layar sajakku berlayar. Kapalku meniti ombak Mediterannia seperti yang kubaca dalam halaman tiga puluh tiga dari novel yang tak pernah diterbitkan penerbit mana pun. Novel itu aku temukan tergeletak di sebuah bangku pojok pinggir kedai kopi tua di perempatan Korba Street yang selalu ramai itu.

Lelaki tua tadi, mungkin lantaran buru-buru, dia terlupa meninggalkan sebuah calon novel yang belum terbit. Novel itu tengah di tanganku. Aku berpikir, bagaimana mengembalikan karangan tercecer ini? Apakah aku mesti datang setiap hari di maqha ini, sambil berharap pengarang tua itu datang mencari-cari karangannya?

Aku putuskan, bahwa aku harus menyimpannya. Akan kujaga dengan cermat. Walau aku mohon maaf, sempat terbaca pada halaman tiga puluh tiga yang ditulis dengan huruf abjad yang bermulai dari sebelah kanan penulisannya. Karangan itu aku selipkan dibalik jaket tebalku.

Di luar angin penghujung musim dingin bertiup kencang. Secangkir kopi ahwa sadah tersisa ampasnya terpelanting di meja depan jalan itu. Jalanan menggigil itu terus ramai berbancuh perbincangan bersama asap-asapsyisya yang berpuntal-puntal keluar dari mulut para pengisapnya.

Aku merapatkan jaket tebalku. Memasang topi pet hitam hadiah dari sahabatku. Dan topi pet itu juga yang disukai oleh pengarang tua itu, suatu petang tiga hari lalu dia juga mengenakan topi yang sama. Aku kadang melihat wajahku di cermin kedai kopi itu, seperti pengarang tua di masa mudanya yang sudah tertinggal jauh.

(Bersambung)

Friday, March 26, 2010

Sajak: Tangan Sepanjang Jalan

Sajak: Tangan Sepanjang Jalan

Ahmad David Kholilurrahman

Seorang bapak dan anak
Duduk di sajadah laman masjid

Khatib, menyeru-nyeru;
"Muliakan emak, emak, emak
kemudian bapak?"

Tiga kali emak
Sekali bapak

Atas pohon,
Seekor induk Bulbul,
Menyuap ulat ke mulut anak,
Sayap-sayap lemas terbang labuh
Jatuhkan daun kering,
Tersangkut di kening teduh

Bawah pohon,
Sepasang anak jalanan
Nak makan menadah tangan
Sebayang angan yang ringan
Memungut kenyang si fulan

Sedekah tumpah
Pada sejumput jum'at
Yang menjemput umat
Segala jariyah

"Bapak, kenapa emak, emak, emak
Menadah tangan sepanjang jalan?

Cairo, 27 Maret 2010

Thursday, March 25, 2010

Sajak: Kering

Sajak: Kering

Ahmad David Kholilurrahman

Kering lah jiwa, padam segala tiup
Gemetar sumbu pelita redup

Entah pagi atau malam
Tak tuju ke retak telapak kaki
Sempuluh daki memulut dengki
Getah budi walau lebam

O' Karam
Sehunjam diam
Tak petah segala lidah
Badahkan kata pecah-belah

Tak datang musim semi
Sulur anggur, rebah rumput tafakur
Mengukur umur pada angin melantur
Entah ke Barat atau Timur?

Kicau bulbul,
Di ranting tuut,

Bangku taman meja batu
Percik nafoura mendenting lagu

Rinduku paling murup!

Tuesday, March 23, 2010

Cerpen: Lam-lum Naik Tangga

Cerpen: Lam-lum Naik Tangga

Ahmad David Kholilurrahman


"Lam-lum naek tanggo, aek dalam nak jadi rajo!"*1

Aku tercekat menengok seekor lam-lum*2yang mengkerut di dalam kaleng bekas susu kental manis. Sudah dua hari, aku memungut sepasang lam-lum di batang-batang pohon karet yang kulalui dalam jalur merawang*3 kemarin petang. Tersimpan rapat dalam laci lemari, dekat meja makan di dapur.

Semula kami nak memantau permukaan air yang kembali naik 3,5 cm. Papan pengukur yang dibuatkan Buya Abdullah Shoefie sejak empat hari lalu menunjukkan pertambahan volume air banjir terus naik dahsyat.

Dalam catatan yang digoreskan dalam buku pemantauan banjir yang dibuat oleh guru kami ini yang super teliti dan detail. Terhitung sejak ahad siang, air sulung sungai batang Tembesi bertemu-muka dengan air rawang*4 pada jam 12.35 WIB.

Dari tiga titik pemantauan yang diamati beliau. Bahwa, banjir besar akan merendam kampung kami setidaknya dalam sepekan ke depan. Curah hujan yang lebat turun tiada henti. Walau, gerimis kecil mengundang para penghuni rumah panggung yang berjumlah hampir tiga ratus tiga puluh lima untuk segera memeriksa logistik dapurnya.

Diperkirakan selama sepekan ke depan. Segala pekerjaan mata pencaharian motong parah*5 di kebun-kebun karet yang terendam terhenti total. Sementara Tauke saudagar getah karet bakal menerima kerugian sebesar 10 ton getah selama banjir datang bertandang ke kampung. Dan itu bukan persoalan sepele, artinya ada sekitar seratus mulut yang kepunan menikmati hasil timbangan getah itu.

Belum lagi perdagangan yang terhenti. Dan yang paling berkuasa pada musim banjir ini adalah 'kenderaan air' perahu lah yang menjelma jembatan penghubung ke mana pun hendak pergi.

Dari jauh hari. Aku sudah membayangkan, perahu yang kukayuh menyusuri lorong-lorong kampung yang direndam banjir ini seperti kota Venecia di Italia sana. Perahu yang kukayuh dalam merawang, bak gondola yang membawa turis-turis plesiran keliling kampung. Jalan-jalan antara rumah panggung berjumlah tiga ratus tiga puluh lima itu, menjelma kanal-kanal yang ditelusuri puluhan gondola tiada henti. Kecipak pengayuh berdayung. Tempias bebayang cahaya matahari datang sesekali bergoyang-goyang di permukaan air.

Sampai-sampai Wak Bangsit harus memagarkan tiang rumahnya dengan sebatang kayu. Lantaran di tepian paling rendah itu, air dari batang Tembesi masuk deras tak tertahankan. Arus deras hanyut ke darat itu, jika pengemudi tak mampu mengendalikan perahunya akan direbut arus deras hanyut. Celakanya, tak jarang perahu-perahu menghantam tiang rumahnya.

"Celegaaappp, celeeguuppp, gaaappp, gupppp!" Kepala perahu yang menghantam tiang luar rumahnya, membuat Wak Bangsit yang dikenal pendiam, boleh bangkit marah melonggok kepalanya di muka jendela kaca itu.

Aku selalu menghindar berkayuh perahu arah sana. Walau jalur itu bagi kami, kanak-kanak sangat menantang. Kelihaian si pengemudi perahu, atau si tukang kayuh adalah diukur sepandai apa dia mampu mengendalikan keseimbangan luan kepala perahu dan buntut kemudinya. Tapi, kami, berusaha untuk coba-coba melewati jalur tersebut. Jika dirasakan para penghuni rumah tengah tertidur siang.

***

Kalau kemarin petang tinggi air banjir masih sebatas pinggang. Pagi ini naik sebatas perut. Cuaca gelap bermuram durja. Langit menangis terus tanpa henti. Rinai-rinai rintik hujan jatuh ke air, menciptakan ruas tempias yang tiada laranya.

Aku terpaksa berenang ke rakit jamban yang kini berhampiran dengan tepian. Ujung depan rakit jamban seperti mau mencium bibir tepian dibawah pohon kelapa jangkung.

Teringat akan kambing-kambing yang mengungsi di rakit jamban datukku lah, aku terjun dari tangga, menerobos pagar lalu berenang ke arah laut. Dekat masjid tua itu tanahnya agak tinggi. Sehingga jarang sampai dijilati lidah banjir tahunan. Kecuali pada banjir terbesar yang paling tersohor dalam sejarah di Jambi pada tahun 1955.

Aku menyimpan foto-foto dokumentasi hitam-putih banjir di Kota Jambi itu. Kiriman dari seorang kawanku yang bermukim di sebuah negeri Eropa sana. Tentu saja, tak bakal aku pertunjukkan kini. Aku tengah menyiapkan Novel Sulungku yang juga menyedut beberapa fragmen suasana tentang banjir dan tradisi Merawang di kampungku.

Konon, seorang pembacaku, seperti tak tahan, menunggu calon novel yang kugarap dengan tekun-tunak terbit jadi buku. Sebagai pengobat kerinduan mereka, khalayak pembaca, aku sengaja menyiarkan sepotong sajak dan cerpen ini.

"Lam-lum naek tanggo, aek dalam nak jadi rajo!"

Entah berapa puluh kali. Anak kecil yang kami gelar "Hantu Aek"*6 menyanyikan macam sebentuk seloka adat tu.

"Hei, budak kecil, berhenti lah kau menyanyi, menyemak kupingku saja!" Teriak Haji Dailami ketika lewat didepannya, sepulang dari mengulang pukatnya di tanah lapang seberang. Timba ruang perahunya yang kutengok sambil berkayuh tegak penuh dengan ikan kepras, seluang, lais, kapiat. Malam ini rumah haji Dailami akan berlauk gangan ikan. Senyumnya terkembang, memandang timba ruang dan tempat duduk perahunya penuh dengan tangkapan hasil jalanya.

Anak kecil itu masih juga menyanyi. Matanya merah sirah. Sejak pagi dia berendam berenang ke hulu –hilir. Ke laut-darat. Bibirnya kecut mengigil. Tapi, dia seperti tak kenal lelah.

Seketika dia menyelam. Dan timbul di hilir masjid itu. Tawanya berderai-derai menampakkan gigi depannya yang kuning berbaris. Rambutnya kesing masai, dibilas air banjir yang bercampur segala hal di kampung itu.

***

Dan rumah-rumah panggung itu adalah kaki tiang terendam. Kalau air banjir makin naik. Nah, jadilah istana terapung di kampung!

Amboi, lamunanku terbuyar sejak dari Jambi tadi. Aku menyempatkan pulang ke kampung ditengah banjir memeram sembilu. Iya, sembilu yang mengoyak rinduku berbilang tahun. Iya, aku punya rindu kepada gadis-gadis Melayu yang kecik-molek. Begitu ungkapan orang Melayu menggambarkan gadis yang cantik ideal.

Aku rindu mencicipi buah duku dan rambai. Ketika banjir dulu, kami memenuhi timba ruang dengan kedua jenis buah-buahan manis dan asam itu. Tentu, rinduku kepada gadis Melayu serupa adukan rasa duku dan rambai. Manis dan masam.

Duku dan rambai di timba ruang* 7

Aku terbang dari Kuala Lumpur ke Jambi. Setelah mengikuti undangan pertemuan kesusasteraan Melayu sedunia. Di gedung PWTC yang megah menjulang itu. Pertemuan ini mengambil Tema: Pengiktirafan Tamadun Melayu ke Atlas Kesusasteraan Dunia. Yang dihadiri ratusan kaum sasterawan, penulis, pengarang Melayu antar bangsa. Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Thailand, Kamboja hingga ke Afrika Selatan. Perdana Menteri sendiri yang membuka perhelatan bertaraf antar bangsa ini sekaligus menubuhkan persatuan pengarang dan sasterawan Dunia Melayu Sedunia.

Tentu, di majelis tersebut, aku bertemu dengan banyak kawan-kawan sastrawan dan pengarang Melayu yang selama ini kukenal lewat pertukaran karangan dan karya-karya saja. Dari negeri semenanjung itu ada SN. Samad Said, Datin Asima Abdul Latif, Dato' Kemala, Phd, dan Puan Zainon Ismail, Phd. Ada peneliti kebudayaan Melayu, Bang Amin Sweeney dan istrinya Kak Sastri Amin Sweeney dari (Pusat Bahasa, Jakarta).

Utusan dari Riau berjumpa wajah dengan Elmustian Rahman, Phd dan pak Rida K. Liamsi, tokoh pers terkemuka Riau dan sasterawan terbilang, penulis Novel Bulang Cahaya. Dari Riau Kepulauan, aku menaut tali silaturrahim dengan Teja Alhab, Husnizar Hood, Hasan Aspahani, Hendri Anak Rahman, Ramon Damora, Samson Rambah Pasir.

Juga sempat berkenalan dengan sasterawan Afrika Selatan, Sallem Abubakar, keturunan dari Syekh Yusuf al-Mengkasari yang diakui sebagai pahlawan di negeri Nelson Mandela sana.

Kesempatan ini aku pergunakan untuk mengunjungi paman-paman dan sanak-keluarga yang bermukim di Kuala Lumpur. Setelah bertahun-tahun aku tak pulang ke rantau Melayu.

Dari pematang bukit rumah Abdurrazak. Menumpang perahu ke seberang. Aku seakan kembali ke masa dua puluh lima tahun silam. Terkenang kepada kawan-kawanku semua yang kini dah membina rumah tangga. Mereka yang menghirup zat dan uap kampung. Senyum yang tiada putus, walau air banjir hampir merampus.

Negeri kami akan memilih raja baru. Pada pemilihan langsung yang dua bulan lagi. Raja baru itu datang ketika banjir merendam kampung. Ada empat pasang raja yang nak bersaing naik tahta. Tapi tak seorang pun yang menampakkan batang hidungnya meninjau banjir di kampungku. Mereka lebih memilih mengurus hajatan lain. Yang dirasakan mereka lebih mustahak.

Dan dengus ingus arus ditengah sungai terus-menerus tanpa putus. Mengabarkan warkah banjir setidaknya menggenang kenangan kampung.

Sepatah pesan yang dulu kuingat dari datuk elok Haji Utsman Ja'far di masa kanak-kanakku dulu:"Kalau lah air sungai batang Tembesi bertemu air rawang, alamat lah banjir akan menggenang!".

Ketika sampai di seberang. Masuk dari arah hilir jalan setapak babat. Di lapangan Madrasah dan Sekolah Dasar. Aku masih mendengar sayup-sayup suara si budak kecil 'hantu aek' menggumamkan nyanyian yang membikin marah Haji Dailami dulu.

"Lam-lum naik tanggo, Aek dalam nak jadi rajo!"

Cairo, 23 Maret 2010


Catatan:

1. Sebaris ungkapan idiom Melayu Jambi yang kukarang sendiri.

2. Lam-lum; Kulum-kulum. Binatang kecil sejenis ulat yang suka bergelung. Binatang yang menyemarakkan banjir selain geruneng.

3. Merawang: Tradisi berperahu keliling serata kampung secara beramai-ramai atau sendiri ketika banjir merendam kampung.

4. Air Rawang: Air hujan yang menggenang belakang kampung. Biasanya, air rawang ini disiratkan seperti 'perempuan' yang menunggu 'suaminya' yaitu air sungai batang Tembesi. Apabila terjadi pertemuan keduanya, pertanda banjir merendam kampung.

5. Motong Parah: Menyadap/menoreh getah pohon karet.

6. Hantu Aek: Hantu Air. Ungkapan kepada anak-anak kecil yang suka mandi berenang menyelam di sungai berjam-jam. Konon, memang ada makhluk penghuni sungai yang disebut penduduk Melayu Jambi; Hantu Aek.

7. Penggalan dari bait sajak: Rempan Tersepar Rindu, Ahmad David Kholilurrahman.

Saturday, March 13, 2010

Cerpen: Teluk Kuari

Cerpen: Teluk Kuari

Ahmad David Kholilurrahman


Aku berdiri depan bibir sungai mengalir lembut syahdu itu. Airnya tenang riak ke tepi, ke Teluk Kuari rindu mereka tertuju. Setelah 20 hingga 30 tahun tak mengayuh perahu mudik ke hulu, ke induk rindu.

Lama nian kedua lelaki itu tertegun. Setelah berpelukan rindu, lama tak berjumpa selepas meninggalkan kampung halaman puluhan tahun silam. Di tepian rakit jamban Datuk Haji Hamdan. Akhirnya, pulang juga kedua lelaki yang kusapa dengan Pakning Adib dan Paman Syaukani.

Iya, pulang ke hulu, ke induk rindu. Seperti jema'ah ikan mudik yang menyusur arus, mudik ke induk rindu. Yang tak mempan sanggi-sesap menghalangi. Jema'ah ikan mudik bersaf-saf bergerak, bergelombang, berduyun-duyun meniti arus. Terpantul kilau putih keperakan di permukaan sepanjang rantau tepian.

Jemaah ikan mudik berbaris
mendaki arus sungai ke hulu,
menjenguk induk segala induk
menginduk tunduk segala tunduk
menunduk khusyuk segala khusyuk*1


Dua lelaki seperti jema'ah ikan mudik terselip dalam saf-saf barisan panjang. Terus menebas rintangan deras. Tamparan tebing napal, hadangan batang kayu rebah, rakit jamban melintang-pukang. Melipir tepian mudik ke induk rindu, hulu Teluk Kuari.

Pada mulut teluk tertambat hikayat Tebu Bujang, persis di tepian tebing seberang. Hikayat yang lalu-lalang menyuruk dan menyembul di laman kanak-kanakku dulu. Ketika aku duduk tertib menimba air yang masuk di tengah timba ruang perahu yang dikayuhkan abang sepupuku. Sedangkan di luan perahu bapakku dengan bentangan jala yang siap dihamburkan ke tepian landai.

Aku paling suka diajak bapakku menjala sepanjang rantau tepian. Kadang menghulu hingga mulut sungai Sirih di hulu Teluk Kuari. Tak jarang pada musim ikan mudik, kami menghadang jema'ah ikan mudik yang hijrah dari hilir mencari induknya di hulu. Dan pepasiran hilir Teluk Gilo adalah lokasi penghadangan yang paling menarik.

Setiap jala yang dihambur, memutih perak sisik-sisik ikan tersangkut dari kandul jala, rang-rang babi2 hingga pucuk tali jala. Ibarat meraup ikan-ikan di hari sabtu, zaman Nabi Musa dulu. Tanpa perlu menabur benih ikan, memberi makan dan memeliharanya dari telur hingga besar. Limpahan rezeki yang luar biasa, daging ikan sungai terasa manis jika dibikin gangan gulai yang sedap aduhai. Mertua lewat pun, kata orang tak tampak!

Ramai lah kaum ibu membuat bekasam dalam tabung tembikar dan buluh. Ikan asin, kerupuk ikan yang dijemur diatap seng rakit jamban. Aroma kuah asam cuka menyeruak dari bilik-bilik lubang angin dapur yang berasap sepanjang hari. Penganan Pempek ikan mudik tiada lawan, kawan!

Tersebut lah dalam hikayat yang tergantung di ujung bibir penduduk kampungku. Adakah yang masih ingat, perihal Hikayat Tebu Bujang yang tumbuh di bahu tebing Teluk Kuari?

Dulu seorang bujang terusir dari kampung halamannya, lalu menghanyutkan diri dengan rakit batang pisang dari hulu sungai Tembesi. Berhari-hari menempuh lekak-lekuk alur sungai. Suatu petang rakit pisangnya tersepar arus Teluk Kuari. Rakit pisang beratap sudung-sudung pelepah kelapa ini terhenti di kelok arus tengkujur.

Sekilas arus tengkujur Teluk Kuari nampak tenang, namun pusaran arus mampu memilin perahu berbobot sepuluh pikul3 sekali pun. Jika tukang kayuh tak pandai meniti arusnya, karam di Teluk Kuari adalah mimpi buruk. Teluk yang menyimpan sepasang ikan bangsawan, ikan tapa selebar tikar, yang suka berenang ke permukaan jika air tengah surut. Belum lagi buaya-buaya katak yang suka mengeram telur di pepasiran tepian seberang pada musim bertelur.

Ditengoknya selayang pandang. Alangkah indahnya pemandangan seberang. Sebahu tebing setinggi 30 meter, ditumbuhi belukar lebat, kayu bengkal, rotan berkait, aur kuning. Dibawahnya dengus arus tengkujur menumbur tebing napal keras batu. Memecah riak sungai yang berbiak-biak seperti kapak putih yang mengapak batang kayu bayur. Lembut namun memecahkan gulungan arus dari hulu.

Keesokan harinya, dirasanya penat capai surut dibadannya. Pergi lah si Bujang ke tepian sungai. Hendak mencari rakit kayu yang dapat dikayuh ke seberang. Namun, tak sebuah pun perahu lalu-lalang lewat mudik-hilir. Maksud hati nak bertumpang ke seberang.

Sahibul riwayat yang turun-temurun menuturkan, entah kutukan apa yang menimpa si Bujang terusir dari kampungnya, hanyut dari hulu berakit pisang. Apa yang ditanamnya tak pernah tumbuh berbuah elok. Tebu yang ditanam, tak setetes pun manis gula terkecap, malah sepah rasanya. Akhirnya, rumpun tebu dibiarkan tumbuh liar begitu saja. Sehingga tak seorang penduduk kampungku yang berani memampas Tebu Bujang.

Sebagai penanda tebing tepian ketika berkayuh pergi ke ladang atau Talang Umo4. Pun, pengedangan5 sejauh mata melabuh pandang. Jika menghilir berperahu sarat membawa hasil kebun, hamparkan lah pandangan ke sisi kiri pundah bahu Teluk Kuari. Niscaya sisa tanaman Tebu Bujang berkerinyut liar dipuput angin seberang. Suara burung Elang Kelok mengaok-ngaok, seperti menajamkan tubir sunyi pilu nyanyian Tebu Bujang.

*****

Sejak kedua pamanku ini pergi merantau puluhan tahun lampau. Aku tak terlalu ingat sangat, masa remaja mereka berdua. Lantaran ketika aku asyik bermain di laman kanak-kanak, mereka sudah pergi sekolah ke Jogja.

"Datuk, selalu mencita-citakan Pakningmu sekolah agama. Lantaran itu datuk kirim ke Krapyak, di Jogja sana". Bunyi suara datukku parau. Pertanda kepada nyaiku, segera bikin seduhan kopi kesukaannya.

"Biar dia jadi guru agama saja, mengajar ngaji atau madrasah di kampung kita. Yang apabila datuk tiada kelak, jadi amal jariyah bapak dapat kiriman pahala dari anak saleh. Bukankah hanya tiga macam usaha saja yang amal seseorang tak bakal terputus". Sambung datukku membubuh tunjuk-ajar kepadaku dulu.

Sepotong riwayat yang kudengar tentang mereka berdua. Ketika aku memijit betis kaki datukku setiap malam sehabis makan di depan jendela yang menghadap ke darat. Sunyi sekali waktu itu, hanya seorang datuk dan cucunya saja yang bercakap-cakap. Secangkir gelas kopi besar bertutup mengembunkan uap. Di luar jendela malam hitam sehitam kopi datukku.

Datukku memang berharap anak lelaki tertuanya pergi mengaji ilmu ugamo6. Mengikut jejak abang dari Datukku yang mengaji dua puluh satu tahun dengan Masyayeikh di Mekkah. Dalam perihal pendidikan anak-anaknya, datukku berkecenderungan menyuruh anak-anak lelakinya mengaji madrasah dan belajar ilmu-ilmu syari'ah. Sedangkan bagi anak-anak perempuannya, dia tak terlalu mendukung sekolah tinggi-tinggi. Bagi datukku, cukup tamat Sekolah Rakyat dan mengaji madrasah di kampung untuk anak-anak perempuannya.

"Apa yang nak dicari kaum perempuan. Di kampung kita ini semua cukup. Ada madrasah khusus keputrian, Madrasah al-Fatayat yang diperuntukkan bagi kaum perempuan saja. Bahkan orang-orang dari kampung jauh pun datang mengaji ke Gurun Tuo!" Balas datukku setiap kali orang bertanya padanya.

Baginya, sekolah jauh untuk anak-anak lelaki saja. Lantaran itu anak lelaki tertuanya dikirim mengaji ke tanah Jawa. Jogjakarta tujuannya. Anaknya dimasukkan ke pondok pesantren Krapyak, ketika itu diasuh KH. Ali Maksum.

Tapi, anak lelaki datukku, yang kupanggil Pakning ini malah tak betah di dunia pesantren. Tanpa sepengetahuan datukku, diam-diam dia mendaftar di sekolah menengah di kota pelajar itu. Walau, pada malam harinya tetap mengaji jadi 'santri kalong' dengan para ustadz dan kyai di Krapyak.

Bertahun-tahun berlangsung hingga tahun akhir sekolah menengahnya hampir tamat. Cita-citanya ingin kuliah di universitas negeri di kota budaya itu. Mungkin, pamanku ini mau jadi ekonom, meneruskan pengelolaan kebun karet tua milik bapaknya. Atau ibukota yang hendak dituju, mengadu nasib di kota terletak di teluk Jakarta itu.

Sedangkan Paman Syaukani yang kuingat-ingat selintas kilas. Perantauan menyeberang ke negeri semenanjung Malaysia adalah sebagai wujud 'perlawanan'. Semacam dendam sejarah yang tak pernah padam!

Api tekad itu menyala-nyala dahsyat. Membakar semangatnya untuk menunjukkan kepada pihak yang dulu memandangnya sebelah mata. Dia anak lelaki tertua dari saudara bungsu datukku. Sangat berhasrat menyambung ke sekolah tinggi. Tapi, ketika itu kondisi ekonomi orangtuanya tengah susah. Harga karet jatuh, harga rotan jatuh. Musim kemarau, balok kayu sukar dihanyutkan ke muara. Penghidupan di kampung tak terlalu menggembirakan.

Semula mereka bertiga dengan satu lagi abang sepupu mereka, akan pergi mengubah nasib ke Jogjakarta. Akhirnya, berdua dengan abang sepupunya saja, pakningku pergi juga ke Jawa. Jogjakarta adalah tujuan mereka. Jika abang sepupunya belajar di IAIN Sunan Kalijaga. Maka, Pakningku berkuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia.

Dan harapan paman Syaukani untuk menempuh bangku perguruan tinggi pun kandas. Dendam sejarah itu menggumpal jadi tekad, menyekolahkan adik lelaki bungsunya yang kelak juga pergi mengaji jauh ke Negeri Seribu Menara, Mesir.

Bertungkus-lumus dia membanting tenaga mencari penghidupan di negeri orang. Baginya, semacam pembuktian, bahwa manusia tak boleh berlaku semena-mena pada sesamanya. Bahwa harta itu fana. Ilmu itulah yang bermanfaat sepanjang waktu.

Kedua lelaki itu bertemu di pangkal tepian rakit jamban Datuk Haji Hamdan. Keduanya tertegun menatap ke arah Teluk Kuari di hulu. Pakning Adib terbang dari Jakarta. Sedangkan Paman Syaukani tiba dari transit di Batam, selepas menempuh pelayaran feri dari Pelabuhan Situlang Laut, Johor Bahru.

Akhirnya pulang juga kedua lelaki ini. Lelaki yang merindukan mudik ke induk rindu. Hulu Teluk Kuari.

"Awak rindu nian nak berkayuh mudik ke hulu Teluk Kuari, mungkin dah dua puluh tahun dak berkayuh perahu ke Teluk Kuari." Tukas Pakning Adib.

"Saye pun dah rindukan menyicip sambal asam udang sarap7". Timpal Paman Syaukani dengan lenggok bahasa Melayu Semenanjung.

Aku berdiri depan bibir sungai mengalir lembut syahdu itu. Airnya tenang riak ke tepi, ke Teluk Kuari rindu mereka tertuju. Setelah 20 hingga 30 tahun tak mengayuh perahu mudik ke hulu, ke induk rindu.

Dan perahu karangan ini kapan waktu pun berkayuh ke hulu juga. Menuju induk hulu. Teluk Kuari yang menyimpan hikayat Tebu Bujang. Aku menutup halaman 40 dari laman kitab tua dalam lemari tua di kamarku itu.

Di luar malam pekat hitam, sehitam kopi datukku.


Cairo, 13 Maret 2010



*1 Dikutip dari sajak: Jema'ah Ikan Mudik, Ahmad David Kholilurrahman

*2 Kandul Jala, Rang-rang babi; adalah bagian bawah jala yang terlipat, diberati batu timah, berfungsi sebagai pengembang jala ketika dihamburkan

*3 Pikul: ukuran berat timbangan. Satu pikul setara 100 Kg

*4 Talang Umo: Ladang Huma. Lahan yang dibuka dari hutan rimba perawan (Rimba Tuyo)

*5 Pengedangan: Pemandangan, panorama

*6 Ugamo: Agama. Kosakata yang paling banyak dipakai orang tetua dahulu

*7 Udang Sarap: Udang kecil halus, ditangkap dengan jala sesap-sanggi (tangkul)

Thursday, March 11, 2010

Sajak: Jema'ah Ikan Mudik

Sajak: Jema'ah Ikan Mudik

Ahmad David Khoilurrahman

Jemaah ikan mudik berbaris
mendaki arus sungai ke hulu,
menjenguk induk segala induk
menginduk tunduk segala tunduk
menunduk khusyuk segala khusyuk

Sehabis banjir, hanyutkan segala hulu
terbis tebing, luputkan segala perahu
mendayung pengayuh,
entah luan atau kemudi
yang sampirkan pelupuk teluk kuari
yang nadirkan telunjuk teluk gilo

Sanggi-sesap sepanjang rantau tepian
menghadang tangkul, selalu kumpul
sesenyum simpul

Jangan kau hitung
segala yang untung
sebab kampung adalah lesung pipit
yang menumbuk padi jadi budi

Jangan kau hitung
segala yang jantung
sebab kampung adalah lengkung sabit
yang memeluk hati jadi janji

Cairo, 11 Maret 2010

Wednesday, March 10, 2010

Sajak: Tabik Zikir, Titik Pikir

Sajak: Tabik Zikir, Titik Pikir

Ahmad David Kholilurrahman

Jika petah lidah,
Seludah cakap terbelah
Yang runcingkan setajam lisan
Menggores senampan kalbu,

Aku nak bilas-bilas
Segala cangkir mulut,
Yang bergetah amarah

Aku nak lekas-lekas
Segala hadir luput,
Yang bertumpah lupa

Wajah wudhu merunduk malu,
Hatta sebutir zarrah berziarah,
Menjenguk segala yang rejuk
Meneguk segala yang sejuk
Memeluk segala yang rusuk

Sepasang tangan yang mengepas-ngepas
Sempadan siku lebih sekuku

Hitam kepala yang menguras-nguras
Kedua daun telinga bertalu-talu

Kedua telapak kaki sebatas tumit mengentas-ngentas
Makna fana yang menjerat terpesong alpa?

Kuhirup-hirup huruf-huruf yang menangkup sebentang doa
Jatuh jadi awan, hujan, banjir, panas, dingin, salju, sahara

Jadi lah musafir fakir;
Yang mendesir terik pasir sehebat tabik bibir berzikir

Jadi lah mufasir zahir;
Yang mengukir selidik sampir selebat titik nadir berpikir

Cairo, 11 Maret 2010

Sunday, March 7, 2010

Sajak: 'Atthar Ar-Rabi'

Sajak: 'Atthar Ar-Rabi'

Ahmad David Kholilurrahman

Sehirup angin musim semi,
Mengetuk-ngetuk bilik tingkap,
Sedekat urat menjerat, selesat sakat menyirat

Hirupkan harum limau, rekah delima, wangi wardah
Yang julangkan jenjang tunang,
Linjang bujang bertandang

"Kenapa sembunyikan wajah balik selendang,
yang waktu melekang, selengang petang mengedang?"

Risau lah hati,
Rawan lah jantung
Tersisip sepasang alis,
Mengiris pelipis bulan limau,
Memekar kembang, menakar kumbang
Setangkup taman yang tak kuncup
Seletup geli-geman yang tak sungkup

Untuk galikan perigi madu,
Melunas haus dahaga,
Perindu yang dagang jauh menumpang,
Lepas karam tongkang, cemas ridam pulang

Jika kujingkau bulan,
Nak gapai yang sampai,

Aduhai, jangan beri murung
Yang sulung mendengung
Sekurung-kampung,

Aduhai, jangan beri menung
Yang rebung menyurung
Seharung-lebung,

Jika kujingkau bulan,
Nak gemulai yang lepai

Cairo, 7 Maret 2010

Friday, March 5, 2010

Sajak: Jika Kajang Lako adalah Buku

Sajak: Jika Kajang Lako adalah Buku

Ahmad David Kholilurrahman

-Kepada Ahmad Faris

Aku bayangkan,
Jika Kajang Lako adalah buku
yang kau kayuh berlayar,
setunjuk-ajar isyarat lapar yang tersepar,
setelunjuk sadar kemaruk yang memeluk
yang kecil tak lupa janji, besar tak lupa budi
Tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah

Yang Batanghari mengalu-alukan
Penulis-pengarang menajam kalam pena,
Menggores dawat tinta, menuang akal budi
Sepanjang pelayaran dari hulu ke hilir

"Seperti sepasang angso duo berenang,
Satu jadi perahu, lainnya jadi pengayuh"

Selam lah lubuk kaya ikan,
Yang diam mengidam sentuh
Pada untaian huruf-huruf jatuh
Jadi kalimat yang memaraf cerita
Membaca peta yang memanjang kaki
Ke tujuh ulu talang perindu

Jika dihidang perjamuan ilmu,
Jangan hitung-hitung seperti deret untung dagang,
Seperti saudagar yang gemar membilang-bilang

Aku bayangkan,
Jika Kajang Lako adalah buku
Yang kau kayuh berlayar,
setunjuk-ajar isyarat lapar yang tersepar,
setelunjuk sadar kemaruk yang memeluk
Kecil tak lupa janji, besar tak lupa budi
Tanah Sepucuk Jambi Sembilan Lurah

Cairo, 5 Maret 2010

Tuesday, March 2, 2010

Sajak: Oh, Akhirat

Sajak: Oh, Akhirat

Ahmad David Kholilurrahman


Oh, Akhirat, masih jauh kah kami sesat mulakat?

Dunia adalah laluan bertumpang lewat,
Sebatang jembatan, yang bentang
Hantar ke sempadan seberang
Hidup dibalik setipis kematian,
Yang menjemput kapan pun tepian?

Al-maut, yang meraut-raut
Seraut airmuka yang luput
Kepada takut tersangkut
Duri limau, sekulit jangat dilurut
Memang sakit, menyahut,
Dianyam benang sadar bawah sadar, menyebut;
Allah, Allah, Allah, Allah, Allah, Allah, Allah

Ibarat pulau, sejenak bertumpang jengkal
Jangan jadikan ladang kekal,
Hingga lupa akan tujuan awal
Perbanyak bekal amal,
yang tepat niat khairiyah,
yang sarat lebat jariyah

Kenapa berebut-rebut?
Mencakar kesumat
Saling khianat, saling tunuh rindu

Kenapa bercarut-marut?
Menyasar alamat,
Saling larat, saling bunuh malu

Oh, Akhirat, masih kah kami jauh sesat mulakat?

Cairo, 2 Maret 2010