musafir fakir di buayan fikir

Di kitab tua panduan pelayaran, termaktub pesan; "Lemak-Manis itu ilmu, Pahit-maung itu rindu..." (Dikutip dari sajak: Perahu Rindu, Ahmad David Kholilurrahman)

Tuesday, September 29, 2009

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (1)

Cerita Bersambung: Bangku Masjid (1)

Ahmad David Kholilurrahman

Berkisahlah seorang lelaki separuh baya pada anak muda yang duduk takzim disampingnya. Mereka berdua duduk beralas sekeping papan dari kayu bulian tua berbantal sepasang puntat bulian tua jua. Menurut riwayat cerita datukku; Masjid Az-Zahir siap dibangun tahun 1925. Sedangkan tegak tiang pertamanya jauh sebelum itu. Perlu waktu sebulan untuk menggergaji secara manual sebatang tiang dari kayu bulian untuk tiang teras penyangga yang empat buah itu. Belum lagi mengumpulkan bahan-bahan rasuk-ramuan kayu-kayu yang lainnya. Tahun 1925 tertera di Kolam Masjid sebelah Laut, tepat setelah dinding-dinding Masjid tua itu terpasang lengkap. Jika masjid tua bertiang empat teras bulian tua setegak 40 meter, berdinding dan berlantai kayu, beratap genteng diambil tarikh siap dipergunakan pada tahun 1925 M. Berarti tahun ini, usia masjid ditepian sungai Tembesi yang mengalir lembut itu telah berumur 84 tahun.

Sejak kanak-kanak, jika berada diruang utama masjid itu, aku selalu memandang ke atas. Menjangkau pandangan ke arah empat buah tiang bulian yang menopang atapnya. Sembari memperhatikan burung-burung masjid yang biasa bersarang didekat mulut loteng disebelah timurnya. Cericit burung-burung makin menghebat, jika malam kelam keling dan tempiasan hujan menerpa sayap-sayap kecilnya. Aku seringkali tersenyum sendiri; "Hmmm, burung saja menghindar hujan, rindu mencari rumah berteduh dan bersuluh!".

Dulu yang kudengar tukang kayu dari Palembang yang merancang bangunan masjid 'makan ukuran' ini. Istilah 'makan ukuran' dilidah orang-orang Gurun Tuo untuk menyebut bangunan yang sanggam, sesuai kaidah ilmu seni bina bangunan, juga memang ukurannya pas dijangkau ilmu perhitungan matematis. Seujung kuku pun tidak ada rasuk dan perabungannya senjang-timpang. Secelah pun tak ada kisi-kisinya yang renggang, susunan dinding papan berkepit-kawin antara yang jantan dan betina. Dimasjid itu terdapat sepasang kolam wudhu untuk kaum lelaki di sebelah laut- bagian yang menghadap sungai. Dan kolam khusus perempuan sebelah darat-bagian yang menjauh dari sungai.

Arah mata angin bukan hanya delapan penjuru. Dikampungku delapan penjuru mata angin yang sudah lazim diketahui itu, ditambah lagi menjadi empat arah; Laut-Darat-Hulu-Hilir. Mereka tahu bahwa termaktub delapan arah mata angin dalam pelajaran ilmu bumi di SR dulu. Tapi, yang tertanam dibenak sejak kanak-kanak mereka selalu menyertakan empat arah geografis tersebut. Jadi, jangan sesekali, ada yang berani menghapuskan empat arah tersebut, kalau tak segan dihambur sumpah-seranah penduduk kampungku!

Lelaki separuh baya dikenal sangat piawai berceritera. Mulutnya ibarat pelabuhan, tempat berpangkal dan berlayar cerita. Yang aku heran, antrean kata-kata urut-tertib dalam ragam ceriteranya. Dia seperti memiliki 'kamus' perbendaharaan kata-kata. Tak semua kata-kata yang unik dikeluarkannya. Tak semua cerita, sembarangan dibentangnya. Menengok pada khalayak pendengarnya. Semakin ramai majelis pendengarnya, semakin memikat ceriteranya. Dulu, kami, aku dan saudara sepupuku memanggilnya Wak Nga'. Tempat favoritnya menayangkan kisah-kisah yang tak berjarang bersambung sampai bermalam-malam, adalah dibangku halaman masjid tua itu. Bangku Masjid- begitu kami biasa menyebutnya. Disitu markas kami kumpul. Jika malam membungkus gelap kampungku yang kepunan disimbah delau cahaya setrum listrik.

Kalau mau cari saudara-saudara sepupuku yang berjumlah hampir selusin bujang jantan gagah disitulah tempatnya. Biasanya, selepas makan malam mereka mengotah-bercakap-cakap panjang lebar dibangku tua itu. Sebagai lelaki, kami memiliki kebiasaan memasang sarung terselempang dileher. Bak pendekar silat kampung zaman dahulu. Kami duduk dilaman masjid, disekeping kayu bulian licin yang pecah disela-sela permukaannya. Agaknya, ribuan pantat yang mendudukinya, tak ubah amplas yang mengubah kasar serat menjadi halus licin. Belum lagi, tempias air hujan yang jatuh berderai dari sela-sela dedaunan pohon manggis yang menjulang diatasnya.

Bagi aku dan sepupuku, kehadiran Wak Nga' yang terhitung masih saudara sepupu emak-bapak kami terasa lain. Jemarinya yang kasar memilin sebatang rokok kretek tanpa filter itu. Dari saku kantong bajunya dikeluarkan cetuk hijau lumut- semacam mancis yang menyulut api rokoknya. Kumisnya yang dulu hitam, kini berwarna kuning pirang, mungkin disebabkan asap rokok kretek kebiruan yang dihembus mulut dan hidungnya menerpa kumis hingga berubah warna unik itu.

Malam ini dia menyalakan cerita baru. Tak perduli hasil rekaan atau khayalannya. Kami tetap menjadi pendengar setianya. Rasanya, mata kami tersangkut dibibirnya yang menghitam arang. Berdebar-debar menunggu jalan ceritanya yang tak jarang bersambung. Mirip khalayak pendengar dongeng seribu satu malam antara Syahrazad dihadapan Syahriar, Raja berhati rusak yang selalu menaruh curiga-cemburu, dan tak segan-segan membunuh perempuan tukang dongengnya keesokan paginya.

Malam bulan setengah hilang-timbul dibalik awan. Giliran sepupuku yang lain yang terkena giliran jadi tokohnya. Dia menokohkan sepupuku yang berambut lurus landak, berbadan tegap ramping sebagai polisi. Baginya sosok polisi idaman yang berani memberantas kejahatan sekaligus anti suap.

"Bayangkan, suatu hari, Wak Nga' ni nak singgah dikantor si Daniel. Tiba digerbang kantor kepolisian itu, barisan topi dinas berteter dipos jaga. Melihat topi tu saja, bukan main terbit perasaan aman dihati Wak Nga'. Bayangkan, jika dengan topi ini saja, masyarakat merasa aman, apatah lagi jika petugas yang muda-cakap itu terjun menjaga ketertiban masyarakat. Dua kali kata bayangkan, yang diulang-ulangnya dengan penuh tekanan intonasi, sudah cukup membawa pelayaran cerita ini bermula.

Tiba-tiba seorang polisi berpangkat rendah menghampiri Wak Nga', lalu bertanya:"Mau ketemu siapa, pak?" Tanya polisi itu tegas tapi sopan.

Bukan main Wak Nga' terasa bangga sekali. Belum ketemu dengan keponakan Wak Nga sendiri, Wak dah merasa dihormati. "Saya mau ketemu bapak Daniel?, bilang saja pamannya mau ketemu. Sebentar pak ya, silakan bapak duduk dulu. Polisi bawahan itu mengetuk pintu ruang atasannya, sembari menghormat tegap;

"Pak, ada tamu seorang bapak separuh baya mau bertemu bapak?, ujar polisi bawahan ituujar polisi bawahan itu mendahului dengan mengangkat miring tangan kanan ke sisi tebing pelipis kanannya.

"Oh ya, sebentar, saya akan menemuinya langsung". Polisi kepala itu sembari menutup gagang teleponnya, seketika bangkit-bingkas menuju pos depan itu.

Lalu, dengan tak disangka-sangka dia terpekik; "Oh, Wak Nga', apakabar? Dia cium hangat tangan Wak Nga', sembari memeluk tubuh tua Wak kamu ini". Pada bagian ini, lama mulut dan hidung Wak Nga' -sang layar tancap kami menarik napas dalam. Dalam remang-remang cahaya lampu dikerubung laron, aku menangkap beberapa kilau kristal airmata jatuh dipipinya yang tebal coklat.

Sampai dipenggal cerita ini, kami mengulum senyum. Dan kulirik ke samping sepupuku yang jadi tokoh polisi itu tersenyum-senyum kucing. Ada perasaan bangga, karena malam ini menjelma 'anak muda' –tokoh hero dalam ceritera versi sutradara hebat dikampungku.

Wak Nga' bukan main bangga nian. Apalagi itu disaksikan belasan anak buahnya yang berseragam dan bertopi rapi. Ketika hendak pulang, Wak Nga' disangunya ongkos dan tumpangan bawahannya yang menuju arah kampung kita. Sebelum, menutup pintu mobil itu, dia bercakap pelan;"Insya Allah awal bulan kelak, saya nak balik kampung, Wak!". Sekalian menjenguk sanak-keluarga yang masih bermukim dikampung.

Pada hari H itu. Wak Nga' menjadi orang yang paling sibuk. Istilahnya, kepala panitia dadakan. Perahu motor tempel dah Wak Nga' pesan dengan Mat Derus. Pokoknya, hari tu, jangan disewakan ke orang lain. Seharian untuk anak keponakanku yang nak balik kampung.

Kalau ada toke getah yang nak angkut-muat barang-barang perniagaan dari Jambi nian, jangan dihiraukan. Suruh cari perahu motor yang lain milik Bujang Jauhari atau Darazak.

"Hehehehehehe, suara tawanya terkekeh memecah ketunakan kami menyimak ceritanya". Duduk kami pun jadi melingkar dihadapannya. Kutengok sepupuku yang lain dah duduk selonjor diatas sandal jepitnya beralas tanah. Sedangkan yang empat orang lagi masih duduk setia bertopang dagu disisi kiri dan kanannya, sambil mencerap bagian yang paling ditunggu-tunggu;"Kisah seorang anak kampung menjadi polisi idaman, berani dan jujur. Memberantas kejahatan dan anti suap!".

"Terus Kak Nga', macam mana kelanjutan kisah tu? Tanya abang sepupuku yang tertua, sengaja memancing suasan kian makin marak. Abang sepupuku ini politisi tulen. Sejak zaman orde baru dia dah berpolitik. Tak pernah mau pindah partai, walau reformasi melahirkan ratusan partai-partai baru.

Diantara kami, dia lah yang paling tua. Dah bujang tua, kalau tak mau dilekat gelar bujang lapuk. Abang sepupuku yang paling tua ini tak memanggil Wak Nga, lantaran bapaknya bersaudara dengan emaknya Wak Nga'. Dia sendiri yang hanya memanggil 'Kakak' pada lelaki separuh tua, berbadan besar tinggi, berkumis kuning pirang, berambut ikal jagung itu.

Lalu, Kak Nga' –ujarnya sembari menjeling pada abang sepupuku ini, Kak Nga' sendiri yang meminjam kursi besar dirumah saudagar kaya dikampung seberang, untuk duduk ponakan didalam perahu motor tempel menyeberangi sungai Batang Tembesi yang terbentang ratusan meter itu.

Bagi Wak Nga' -berubah lagi panggilannya sambil menyapu pandangan ke arah kami;"Kehormatan seorang anak kemenakan adalah mesti disambut meriah, sebagai wujud kebanggaan mengangkat marwah kampung halaman kita yang sering dipandang sebelah mata ini".

Di rantau ini kelak, orang akan mengenang baik-baik, ada kepala polisi yang jujur, sederhana, berani dan anti suap. Semua cukong-cukong kayu habis ditangkapnya. Bahkan seorang wakil rakyat kabupaten yang 'bermain mata' dengan cukong kayu disikatnya. Walau bapak pejabat DPRD itu masih terhitung sekampung, Cuma terpisah sebatang sungai mengalir lembut. Bukankah asal-muasal penduduk kampung simpang itu dari kampung seberang sini juga!

Tak sadar kami terpukau hanyut dengan cerita itu. Terdengar 12 kali dentang jam tua dari masjid tua dikampung gelap tua itu. Pertanda tengah malam makin beranjak, suara binatang malam tak ubah lantunan zikir dan tasbih memuja-muji kebesaran sang Pencipta. Seperti sesyahdu aliran sebatang sungai dihadapan kami. Bias riak-riak kecil keperakan sesekali memantul dari sinangan rembulan merejuk-merajuk ke balik awan.

Bangku tua dari selembar kayu bulian tua berusia ratusan tahun itu adalah peninggalan buyut kami. Kawasan yang menjadi kebun buliannya itu, sampai sekarang disebut bulian. Keempat tiang utama penyangga atap masjid itu adalah diangkut dari kebunnya. Tiang paling anti rayap sedunia. Bahkan hingga berumur 84 tahun ini, keempat tiang itu masih tegak sanggam. Padahal banjir besar tahun 1955 yang hampir menenggelamkan separuh kawasan Jambi tak melapukkan tiang itu. Panas kemarau tahun 1980-an tak melekangkan seinci pun dari atapnya.

Aku menatap lama dari selembar gambar yang dimuat sepupuku dilaman jejaring sosialnya. Pada hari raya Idul Fitri sepekan lepas, mereka masih juga duduk mengotah diatas selembar papan bulian tua beralas sepasang puntat bulian tua, dilaman masjid tua, dan umur mereka pun mulai beranjak tua. Kuhitung, jumlahnya masih lengkap, kurang aku dan seorang sepupuku yang tengah mengembara dinegeri jauh. Yang tak pernah lupa pada sesap jerami di talang-umo, tak pernah lupa sepatah kata pun dari perbendaharaan bahasa orang kampung.

Padaku, sebulan yang lalu, dia mengatakan;"Bangku masjid itulah madrasah atau sekolah sebenarnya. Guru-guru kita bisa siapa pun, termasuk Wak Nga' guru cerita paling hebat. Nakhoda piawai memandu pelayaran cerita. Dimulutnya, cerita yang biasa-biasa saja jadi luar biasa. Pandai membaca situasi khalayak pendengar, menghubung-kaitkan dengan peristiwa yang tengah hangat. Dari yang sendu syahdu gugur airmata hingga riang gembira menerbitkan derai gelak-tawa".

Pencerita kami yang paling hebat. Guru kehidupan itu telah lama berpulang ke asal manusia. Sebelum wafat, dia masih sempat menulis kata-kata puitis dalam selembar buku. Siapa pun yang membacanya, tak urung didera kesedihan mendalam. Semacam ungkapan pertaubatannya, penyesalan paling rampus. Pun harapan untuk hidup lebih baik lagi sembari memberi makna kebaikan pada kehidupannya.

Itulah malam terakhir aku bercakap dengannya. Terjadi hampir sepuluh tahun lampau. Sebelum aku pergi mengembara dari satu negeri ke negeri lain. Menimba ilmu dari satu guru ke guru lain. Malam itu cuma kami berdua. Aku tak tahu kemana saudara sepupuku yang berjumlah selusin, yang biasanya rajin berselempang sarung sepanjang malam. Malam itu terasa dia semacam memberi nasehat dengan bingkai cerita jua. Namun, aku diam-diam menebak, bahwa ada seutas harapan agar ada seseorang yang mau meriwayatkan cerita-ceritanya. Kalau dia sudah tiada, riwayat ceritanya tetap ada. Jika dalam ceritanya terselip nasehat pembimbing jiwa, dari situ bermula mengalir amal jariyah baginya.

Rabea Adawea, Cairo, 29 September 2009

Saturday, September 26, 2009

Sajak: Berlabuh di Bandar Tua*

Dari simpanan arsip sajak yang sudah lama aku tuliskan untuk Raja Pujangga Baru

Sajak: Berlabuh di Bandar Tua*

-Kepada Raja Pujangga Baru, Amir Hamzah

Ahmad David Kholilurrahman

Terhempas pulas dipinggir pasang
mengelupas pucuk-pucuk hijau berkinyau
melepas napas yang ditimpa pekat jelaga
hutan yang dibakar dipundak senja

Karang diamuk badai semusim
hujan merenggang ditebas topan
arakan hitam menerabas cakrawala
melukai elang leka yang pulang ke utara

Tanpa laut terkabar hilang
Ditelan beku yang tegak angkuh
Tanpa pantai landai yang terkapar bimbang
Dihirup ubur-ubur yang mundur berpeluh

Elang leka yang disajakkan
Amir Hamzah sang pangeran dari seberang
Elang leka yang mengepak gagah dilangit matahari
Terbang bebas tak tentu pulang ke sarang

Terkenang kasih terurai airmata
Tergenang sepi yang melepai senja
Kenapa tak berlabuh dibandar tua,
Wahai pangeran kaum pujangga?

Tinggalkan negeri Langkat dalam pekat
Mengembang layar keseberang laut
Takkan kau dipikat seribu sengat
Menyapu takut berkalut lumut

Pulanglah,
Wahai pangeran kaum pujangga
Jangan lagi awak mendekam gulana

Pulanglah,
Wahai anak rantau
Takkan negeri langkat tak bersultan
Kala mamanda mangkat, kemenakan diangkat

*(Mengenang Raja Pujangga Baru, Amir Hamzah)

Cairo, 11 Desember 2004

Sunday, September 20, 2009

Untuk Allahuyarhamha Nenekku Nacik binti Darasip!

Untuk Allahuyarhamha Nenekku Nacik binti Darasip!

Wahai Zat Maha Pencipta Abu-l Basyar tak beribu-ayah Nabiyullah Adam 'Alaihi Salam,
Inilah hari raya I'ed al-Fitr 1 Syawal 1430 H yang penuh kecamuk. Tak tentu perasaan. Dalam wajah kegembiraan umat Islam sedunia, kau selipkan 'langit' kemurungan yang melingkupi keluargaku. Dalam detik-detik perpisahan dengan bulan mulia ramadhan, nyaiku (nenekku) menghadapi nazak sakaratul maut. Sebuah fase penghujung 'akhir hayat' anak manusia. Kesakitan yang maha dahsyat, kedukaan yang maha dalam, kerapuhan tiada dua, kekerdilan yang tak terpermanai.

Wahai Zat yang menerbitkan banjir air raya, meniup pelayaran bahtera Nabiyullah Nuh 'Alaihi Salam,
Inilah pagi yang murung dalam kegembiraan jiwaku. Murung ditengah tumpukan cobaan-Mu. Gembira ditengah kasih-sayang-Mu yang melimpahkan kegembiraan tak terkatakan ke dalam ceruk terdalam kalbu umat Islam sedunia. gemuruh takbir memuji kemaha besaran-Mu memucuk hingga singgasana Arasy-mu. Lautan takbir berkumandang; Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar menderu, menuju, merindu ke hadapan yang Maha Cinta-Mu.

Wahai Zat yang mendinginkan Api yang membakar Abul-Anbiya 'Alaihi Salam,
Inilah sekerat waktu yang memusu antara doa dan pengharapan. Antara prasangka baik kepada takdir-Mu dan ketetapan takdir-Mu yang maha Adil. Jika sudah hukum berlaku, maka ketetapan takdir-Mu adalah ketaatan kami menerima dengan ikhlas dan sabar. Karena Kau lah yang Maha Mengetahui atas segala putusan-Mu. Pun, kesabaran dan keikhlasan yang mengaliri kami, adalah dari sungai kasih-sayang-Mu.

Wahai Zat yang menuntun Nabiyullah Ismail 'Alaihi Salam dan bundanya di lembah tandus berbatu,
Inilah saat dua hal yang berlawanan berpadu rasa. Dalam tangkupan silaturrahim dihari baik, bulan baik. Kau hadirkan kedukaan dalam keluarga besarku. Ditengah anak-cucu yang berkumpul 'mudik' ke kampung asal halaman, kau gelayutkan kedukaan dimata tua Datukku. Kesabaran luar biasa itu sudah terbasuh air mataair kedukaan, namun sedikit pun tak mengurangi keimanan yang mengakar disegala gerak, langkah, hati, jiwa dan akal pikiran keluarga kami. Pun, pada lelaki tua paling sabar dan tegar yang akrab kukenal.

Wahai Zat yang membelah laut bagi Nabiyullah Musa 'Alaihi Salam dan kaumnya,
Inilah senoktah dawat yang kutulis, ditengah hamparan samudera ilmu-Mu, dan andai kayu-kayu menjadi kalam penanya, tak akan sanggup menghitung ilmu-Mu. Aku menulis dalam kecamuk rasa, teraduk-aduk antara doa dan pengharapan, antara resah dan basah mata, diantara rindu di rantau dan hilang di lampau, mengenang akan kebaikan nyaiku yang luar biasa. (Untuk ini nanti, insha Allah aku akan menulis lebih khusus lagi!).

Wahai Zat yang menciptakan Nabiyullah tanpa Ayah, Isa ibn Maryam 'Alaihi Salam,
Inilah rupa-rupa kemanisan kasih-sayang-Mu. Dalam kelezatan lidah mencicipi hidangan awal hari raya I'ed al-Fitr, kau bubuhkan bumbu musibah pada kami. Kami memaknai sebagai 'hidangan kasih-sayang-Mu' dalam bentuk yang lain. Betapa Kau begitu sayang, mengambil milik-Mu dihari raya kemenangan Umat Islam. Harapan kami, semoga sebuah pertanda kematian husnul khatimah yang juga pasti kami dambakan. Memanggil hamba-Mu dalam wajah keriangan umat Islam sedunia, cukup itu sebagai pertanda keikhlasan kami menjaga dalam sebentuk gumpalan hati yang apabila baik, maka baik pula sangkar jiwa yang bertaut-paut dengannya.

Wahai Zat yang membelah Qamar dizaman Rasulullah Muhammad Shallahu 'Alaihi Wa Sallam,
Inilah hari baik,ibulan baik. Setelah menunaikan shiyam wa qiyam bulan ramadhan al-mubarak. Kau panggil wafat perempuan yang menjadi perigi bening bagi anak-anak dan suaminya. Yang menyulam baju untuk anak-anaknya. Yang menyedia segala keperluan bagi suaminya. Yang melunaskan ingin-kehendak cucu-cucunya. Yang merasa sangat merugi, bila waktu terlewatkan begitu saja. Perempuan tua yang sangat kutahu, tak pernah alpa membaca ayat-ayat suci-Mu. Berterang kerlap-kerlip pelita minyak selepas subuh hari, pada rumah bertiang bulian, berdinding kayu. Atau ketika merawat anak-cucunya yang bersekolah dikota Jambi. Di rumah sederhana yang berdinding kayu kasar, bercat kapur, beratap seng. Perempuan yang menjadikan membaca Kitab suci-Mu jua pengiring awal harinya. Semoga syafa'at-Nya menghampirimu di akherat kelak. Lalu, Allah menjadikanmu dalam kumpulan ahli jannah-Nya. "Allahumma Firglaha Warhamha wa'afiha wa'fu'anha..."

Cairo, 1 Syawwal 1430 H/ 20 September 2009

Ahmad David Kholilurrahman

Saturday, September 19, 2009

Tahniah I'ed al-Fitr 1 Syawal 1430 H

Ahmad David Kholilurrahman

Sehidangan Tahniah periang wajah, hati dan

akal-pikiran disajikan pada Tuan dan Puan sekalian alam;


Selamat Berhari Raya I'ed al-Fitr 1 Syawal 1430 H.

TaqabbAllahu Minna wa Minkum;

Mohon maaf lahir dan batin.

Kullu 'Am wa Antum Bikhair!

(Ahmad David Kholilurrahman)

Wednesday, September 16, 2009

Sajak: Laylat al-Qadr

Sajak: Laylat al-Qadr

Ahmad David Kholilurrahman

1/
Inikah malam terang-benderang?
Langit paling bening,
Angin paling sepoi,
Gugur daun paling lembut,
Kicau burung paling merdu,

Cuaca tak panas, pun tak sejuk;
Debur ombak paling mesra,
Lambai nyiur paling gemulai,
Sungai terasa berhenti mengalir,
Air dikendi terasa manis,

2/
Inikah malam terang-benderang?
Ketika malaikat turun menjenguk hamba Allah;
“Khusyuk menyusun rukuk, rajin menyungkur sujud.
Tunduk menderu zikir, deras melabuh taubat.

Tekun mendaras kitab-Nya, tunak dimadrasah ramadhan.
Sekali pun menyuruk ‘I’tikaf diceruk Jami’ tersunyi.

3/
Inikah malam terang-benderang?
Malam seribu bulan peruntungan,
Setara delapan puluh empat tahun empat bulan.
Malam hidangan terlezat kasih-sayang-Nya.

Dia yang Maha Tahu segala sesuatu;
Maujud dan ghaib, zahir dan batin,
Tersurat dan tersirat, tercatat dan terlintas,
Dipalung laut terdalam, dipucuk langit paling puncak,
Dibenteng paling rahasia, dimenara paling tinggi.

Nun, tungau diseberang lautan, gajah dipelupuk mata.
Pun, semut hitam dibatu legam digelap-gulita malam.

Heliopolis, Cairo, 8 Oktober 2007

Sunday, September 13, 2009

Sajak: Kawkab al-Kunafa wal-Qatayif

Sajak: Kawkab al-Kunafa wal-Qatayif

Ahmad David Kholilurrahman

Segaris ligat mengedar-lingkar kunafa,
Adalah rotasi tetes adonan tepung kental
Sehalus serat-serut benang jala,
Serupa taburan uban memutih kepala

Setuang adonan kental Qatayif,
Seperti bulan putih bundar berputar
Di telungkup langit kuali hitam pekat
Sekabut tipis air mengepul hangat

Lalu selembar bundar bertangkup
Berisi campuran sukkar, juz hindi, ful sudani, kismis
Adalah selengkung sabit dilangit lidah manis
Kuali dandang penggorengan meringis gerimis

Peredaran al-kawkab al-kunafa wal-qatayif,
Sepanjang taqwim ramadhan bertakrif,
Menanggalkan dua sembilan atau tiga puluh malam
Pun dua jiran bersempadan menunuh beribu dendam

Rabea Adawea, Cairo 13 September 2009

Saturday, September 12, 2009

Sajak: Maidaturrahman

Sajak: Maidaturrahman

Ahmad David Kholilurrahman

Dan berbuka lah hidangan Sang Pemurah,
Dihadapan mulut para puasa;
Harap lidah tak bertulang, tak berkeluh kesah
Menyecap jurang rahang, tak berbasuh susah

Basah kerongkongan menyesap qamaruddin
Sebutir tamar seperti melamar lapar,
Dari samar qamar sampai gemetar ashar

Ayo, silakan dicicipi hidangan Sang Pemurah,
Ketika airmuka fakir basah-kuyup zikir,
Menampung danau segurun mahsyar
Ketika airmata musafir melemah-sayup pikir
Menabung lampau segerun mashdar

Ditengah rengek anak kecil,
seutas senyum berkecambah
seakan terbit badar dibalik cadar sidar

Sepotong tongkat memandu si buta,
menyeduh embun durus,
menyuruh lantun tadarus
menemu rukun mihrab,
Juga setekun kitab

Rabea Adawea, Cairo, 12 September 2009

Thursday, September 10, 2009

Sajak: Iqra’

Sajak: Iqra’

Ahmad David Kholilurrahman

1/
Gua sempit atas bukit batu itu,
Taman bersunyi diri sang suri tauladan,
Al-Amin mencari cahaya iman.
Menjauh dari karam syirik,
Hiruk-pikuk Mekkah yang berisik;
Sesat jalan jahiliyah menarik-narik!

Dilembah bukit tandus tanpa tumbuhan,
Batu-batu bertahta pahat menjelma tuhan;
Latta, ‘Uzzah, Mannat, tegak terpancang
Menyemak liar sekitar Ka’bah.
Disembah-puja kaum Jahiliyah.

2/
Gua sempit atas bukit batu itu,
Secercah terang langit berkilau.
Jibril datang bertandang, lalu
Gelegas gemetar bertangkup tubuh.

Tercetus titah;
“Bacalah! Bacalah! Bacalah!”.
“Aku tak pandai membaca”, jawab Muhammad.
Lalu Jibril menuturkan lima ayat wahyu perdana;
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah Menciptakan...”*

3/
Gua sempit atas bukit batu itu,
Sunyi hening menyelubung,
Cemas menderas, keringat bercucuran.
Lalu, berkemas turun pulang ke rumah.

“Selimuti daku”, pintanya pada Khadijah.
Gigil dingin berangsur pulih.
Dia pun bercerita:
“Jibril telah datang padaku menyampai wahyu”.
“Aku percaya, apa yang kau katakan”, balas sang istri.

Heliopolis, Cairo, 29 September 2007

*(Surah Al’Alaq ayat 1)

*Dimuat Batam Pos, Ahad,

Friday, September 4, 2009

Sajak: Rindu Wangi Puasa

Sajak: Rindu Wangi Puasa

Ahmad David Kholilurrahman

Jika sebutir kurma bermuka cerah dilidah puasa
Seperti apa muka hamba bertemu wajah-Mu?

Jika seteguk air bermuka halus, melunas dahaga haus
Seperti apa muka hamba bertemu wajah-Mu?

Jika airmuka puasa terpancar cerah,
bertatap jamuan hidangan perbukaan

Seperti apa Bab Ar-Rayyan terbuka lebar,
Membentang tangan menyambut penuh senyum

Jika tercium bau mulut puasa,
Seperti apa harum yang melebihi wangi misk disisi-Mu?

Rabea Adawea, Cairo 4 September 2009

Tuesday, September 1, 2009

Sajak: Muka Air, Wajah Kurma

Sajak: Muka Air, Wajah Kurma

Ahmad David Kholilurrahman

Kerongkongan ditelan haus dahaga,
Serupa padang pasir yang terus membara
Terpanggang matahari musim panas

Dipenghujung jelang waktu berbuka,
Liur semakin terpilin kering-kerontang,
Serupa nyiur ditiup hawa panas musim kemarau
Kemana pun melambai, mati angin menggalau

Walau sedetik lagi lesap dikunyah
Sebutir kurma berbahagia dicicip lidah puasa

Kerongkongan yang bersitahan;
Menyimpan bujuk halus haus
Sabar bertengkar dengan lapar
Mata meredam amarah,
Perut kekang nafsu
Hati seduh airmata rindu

Seteguk air menelusuri dahan lidah
Jatuh pada kerongkongan sampai ke lambung

Betapa gembira muka air, melunas dahaga puasa
Menghantar raib dahaga ke sempadan maghrib

Betapa riang wajah kurma, memanis lidah puasa
Menghantar ghalib lapar ke sedu-sedan khatib

Rabea Adawea, Cairo 1 September 2009